Pagi di kantor NextWave dimulai dengan lebih ramai dari biasanya. Kirana memperhatikan anggota timnya terlihat lebih fokus, meskipun ada lingkaran gelap di bawah mata beberapa dari mereka. Itu bukan pertanda baik—tekanan pekerjaan mulai terlihat. Namun, Kirana tahu ia tidak bisa menunjukkan kelemahan. Sebagai pemimpin, ia harus menjaga semangat mereka tetap tinggi.
Saat memulai briefing pagi, Kirana menatap satu per satu anggota timnya. “Kita telah membuat kemajuan yang signifikan dengan simulasi data, dan itu semua berkat kerja keras kalian. Tapi kita belum selesai. Hari ini, saya ingin memastikan semua komponen sudah sinkron sebelum data asli dari vendor tiba. Johan, bagaimana perkembangan sistem backend?” Johan mengusap wajahnya yang terlihat letih. “Backend sudah hampir selesai. Tapi ada beberapa fitur tambahan dari klien yang belum saya pahami secara teknis. Saya mungkin perlu waktu lebih untuk mendalaminya.” “Kita bisa atasi itu bersama,” balas Kirana. “Amara, desain antarmuka sudah sesuai dengan spesifikasi baru?” Amara mengangguk, meskipun ekspresinya tampak kurang puas. “Sudah 90 persen, Mbak. Tapi saya masih merasa ada yang kurang pas. Mungkin perlu diuji lagi setelah data aslinya masuk.” Kirana tersenyum kecil. “Itu sudah kemajuan besar. Saya percaya pada naluri kamu.” Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Rendy yang sejak tadi diam tiba-tiba berbicara. “Mbak, saya tidak bermaksud meremehkan usaha semua orang, tapi menurut saya, terlalu banyak perubahan ini membuat pekerjaan kita semakin sulit. Saya rasa klien tidak realistis dengan permintaan mereka.” Ruangan menjadi hening. Semua mata tertuju pada Kirana. “Saya paham kekhawatiranmu, Rendy,” jawab Kirana dengan tenang. “Tapi tugas kita adalah menyelesaikan proyek ini, bukan untuk mengeluh. Jika ada masalah, kita selesaikan bersama. Saya percaya kita mampu.” Rendy mendengus pelan, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Kirana tahu, membangun kepercayaan di tim ini tidak akan mudah, terutama dengan anggota seperti Rendy. Keputusan Berat Siang harinya, Kirana memutuskan untuk berbicara dengan Adrian mengenai kondisi tim. Ia mengetuk pintu ruangannya dengan hati-hati, dan Adrian mempersilakannya masuk. “Ada apa, Kirana?” tanyanya tanpa basa-basi. “Saya ingin melaporkan perkembangan terbaru, Pak. Tim sudah membuat simulasi data yang cukup baik, tetapi kami masih mengalami tekanan besar karena tenggat waktu yang ketat.” Adrian menatap Kirana dengan ekspresi datar. “Tekanan adalah bagian dari pekerjaan, Kirana. Saya yakin Anda tahu itu saat menerima tanggung jawab ini.” “Saya tahu, Pak. Tapi saya khawatir jika tekanan ini dibiarkan, hasil akhir proyek bisa terpengaruh. Apakah ada kemungkinan kita meminta klien untuk memperpanjang waktu?” Adrian menyandarkan diri ke kursinya, menatap Kirana dengan tajam. “Meminta perpanjangan waktu akan membuat kita terlihat tidak profesional. Klien tidak ingin mendengar alasan, Kirana. Mereka hanya ingin hasil.” “Tapi, Pak—” Adrian mengangkat tangan untuk menghentikannya. “Anda diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan proyek ini. Jangan datang ke saya dengan masalah. Datanglah dengan solusi.” Kirana menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. Ia tahu Adrian benar, tetapi ia juga merasa kesulitan ini harus dibicarakan. “Saya mengerti, Pak. Saya akan mencari cara agar proyek ini tetap berjalan lancar.” Adrian mengangguk kecil. “Bagus. Itu yang ingin saya dengar.” Malam yang Menegangkan Hari itu berlanjut dengan atmosfer yang semakin tegang di tim. Kirana berusaha mendekati Rendy, berharap bisa meredakan ketegangan. Ia menemukan Rendy sedang bekerja di ruangannya sendiri. “Rendy,” panggil Kirana dengan nada lembut. Rendy menoleh, lalu kembali fokus pada layar laptopnya. “Ada apa, Mbak?” “Saya tahu kamu merasa frustasi dengan semua tekanan ini. Tapi saya ingin kamu tahu bahwa saya menghargai kerja kerasmu.” Rendy mendengus. “Mbak Kirana, saya tidak masalah dengan kerja keras. Yang membuat saya kesal adalah kurangnya kejelasan dari klien. Mereka terus meminta tambahan, tapi tidak pernah memberikan panduan yang jelas.” “Itu sebabnya kita harus lebih solid sebagai tim,” jawab Kirana dengan tegas. “Kalau kita terus bekerja seperti sekarang, saya yakin kita bisa melewati ini.” Rendy menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Baiklah, Mbak. Saya akan coba lebih fokus.” Kejutan Tengah Malam Pukul sebelas malam, Kirana masih berada di kantornya. Semua anggota tim sudah pulang, kecuali dia. Saat ia sedang fokus pada dokumen di layar laptopnya, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Adrian muncul, membawa secangkir kopi di tangannya. “Anda lagi-lagi lembur,” komentarnya sambil berjalan mendekat. Kirana tersenyum tipis. “Saya hanya ingin memastikan semuanya sesuai jadwal.” Adrian menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kirana, Anda harus belajar bagaimana mempercayai tim Anda. Kalau Anda terus bekerja seperti ini, Anda akan kelelahan sebelum proyek selesai.” “Saya tidak bisa tenang jika ada yang belum selesai, Pak,” jawab Kirana jujur. Adrian meletakkan kopinya di meja Kirana. “Saya menghormati dedikasi Anda. Tapi ingat, pemimpin yang baik tahu kapan harus beristirahat.” Kirana menatap Adrian, merasa ada sesuatu yang lebih di balik ucapannya. Meskipun sering terlihat keras, Adrian menunjukkan sisi yang berbeda malam itu. “Terima kasih, Pak,” kata Kirana akhirnya. Adrian tersenyum kecil, lalu berjalan keluar. Kirana menatap cangkir kopi yang ditinggalkannya, merasa sedikit terhibur di tengah tekanan yang memuncak. Kirana duduk diam sejenak, memandangi cangkir kopi yang ditinggalkan Adrian di mejanya. Pikiran-pikirannya bercampur aduk—tentang proyek, timnya, dan Adrian sendiri. Ada sisi dirinya yang merasa frustrasi dengan pendekatan Adrian yang sering kali dingin dan menuntut, tetapi ada juga sisi lain yang mulai menyadari bahwa pria itu mungkin lebih dari sekadar bos yang keras kepala. Ia menghela napas panjang, lalu menyeruput kopi tersebut. Aromanya kuat, pahit, tetapi entah bagaimana menenangkan. “Mungkin dia benar,” gumamnya pelan. “Aku harus belajar membagi beban ini dengan tim.” Namun, sebelum ia bisa benar-benar merenungkan nasihat Adrian, notifikasi pesan di laptopnya berbunyi. Itu dari Johan. Johan: Mbak, saya menemukan bug di sistem backend tadi. Saya sudah coba perbaiki, tapi ada kemungkinan ini akan memengaruhi simulasi data kita. Mata Kirana langsung terpaku pada layar. Masalah ini bisa menjadi kendala besar. Ia segera mengetik balasan. Kirana: Baik, Johan. Saya akan lihat detailnya sekarang. Kita bisa rapat kecil besok pagi untuk menyelesaikan ini. Krisis di Backend Pagi harinya, Kirana memulai hari dengan mengumpulkan tim untuk membahas masalah yang dilaporkan Johan. Semua anggota tim hadir, termasuk Tina yang biasanya jarang terlibat langsung dalam pengembangan teknis. “Masalahnya ada di bagian mana?” tanya Kirana sambil menatap layar presentasi yang diproyeksikan Johan. Johan menunjuk pada salah satu modul utama dalam sistem backend. “Ini, Mbak. Sistem tidak bisa membaca beberapa variabel yang kita gunakan dalam simulasi. Kalau kita tidak memperbaikinya sekarang, data asli dari vendor mungkin juga tidak akan bisa diproses dengan benar.” Rendy langsung mengangkat tangan. “Tapi kalau kita memfokuskan waktu untuk memperbaiki ini sekarang, pekerjaan lain bisa tertunda lagi.” “Tidak ada pilihan lain,” jawab Johan dengan tegas. “Kalau bug ini dibiarkan, dampaknya akan lebih besar nanti.” Kirana mengangguk, mencoba membuat keputusan cepat. “Kita fokuskan sebagian tim untuk menangani masalah ini. Johan, kamu yang pimpin. Rendy, sementara itu, kamu tetap lanjutkan fitur tambahan sesuai rencana. Tina, bantu Johan untuk mendokumentasikan langkah-langkah perbaikannya.” Semua orang mulai bergerak, meskipun ada ketegangan yang jelas terasa di ruangan itu. Tekanan di Balik Layar Saat makan siang, Kirana kembali ke ruangannya untuk mengecek email. Sebuah pesan baru dari klien membuatnya tertegun. Subjek: Permintaan Perubahan Tambahan Isi email itu adalah daftar permintaan revisi baru dari klien, termasuk penyesuaian fitur yang sedang dikerjakan. Kirana menutup email itu dan menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kusut. “Ini tidak bisa terus seperti ini,” gumamnya. Ia segera menghubungi Adrian melalui telepon internal. “Adrian,” sapanya ketika panggilan diangkat, suaranya lebih serius dari biasanya. “Klien baru saja mengirimkan permintaan perubahan lagi. Saya pikir kita perlu batasan yang jelas untuk revisi ini. Kalau tidak, proyek ini akan terus tertunda.” Suara Adrian di ujung telepon tetap tenang. “Kirimkan detail permintaan itu ke saya. Saya akan berbicara langsung dengan klien. Tapi ingat, Anda tetap harus menyiapkan tim untuk menghadapi kemungkinan apa pun.” Kirana merasa lega mendengar Adrian akan menangani klien secara langsung. Namun, ia tahu tekanan di dalam tim tetap menjadi tanggung jawabnya. Ketegangan dengan Rendy Sore itu, Kirana memanggil Rendy ke ruangannya untuk membahas progres pekerjaannya. Namun, Rendy masuk dengan wajah masam. “Ada apa, Rendy?” tanya Kirana, mencoba terdengar ramah. “Mbak, saya merasa kita tidak punya arah yang jelas dalam proyek ini. Klien terus mengubah permintaan, dan kita yang harus menanggung bebannya. Saya tidak tahu sampai kapan ini bisa bertahan.” Nada suara Rendy jelas menunjukkan frustrasi. Kirana menarik napas panjang sebelum menjawab. “Saya mengerti apa yang kamu rasakan, Rendy. Tapi sebagai tim, kita harus menghadapi ini bersama. Saya sedang berusaha agar permintaan klien tidak terlalu membebani kita, dan Adrian juga akan membantu berbicara dengan mereka.” “Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kita kelelahan, Mbak,” balas Rendy. “Kalau terus seperti ini, saya tidak yakin proyek ini akan selesai tepat waktu.” Kirana menatap Rendy dengan tegas. “Saya tahu ini sulit, Rendy. Tapi saya butuh kamu untuk tetap fokus. Saya percaya pada kemampuan kamu, dan saya yakin kita bisa menyelesaikan ini.” Rendy hanya mengangguk kecil sebelum meninggalkan ruangan, tetapi Kirana tahu ketegangan di antara mereka belum sepenuhnya hilang. Pertemuan Larut Malam Malam itu, seperti biasa, Kirana masih berada di kantor. Kali ini ia sedang mempersiapkan laporan untuk Adrian terkait perkembangan proyek. Saat ia sedang mengetik, pintu ruangannya diketuk pelan. “Kirana,” suara Adrian terdengar dari balik pintu. “Masuk, Pak,” jawabnya, sedikit terkejut. Adrian melangkah masuk, membawa sebuah map di tangannya. “Saya sudah berbicara dengan klien. Beberapa permintaan perubahan mereka bisa ditunda hingga fase berikutnya. Itu harus memberi Anda sedikit ruang bernapas.” Kirana menghela napas lega. “Terima kasih, Pak. Itu sangat membantu.” Adrian mengamati Kirana sejenak sebelum berkata, “Saya tahu ini bukan tugas yang mudah. Tapi Anda melakukannya dengan baik.” Kirana tertegun mendengar pujian itu, meskipun disampaikan dengan nada datar. “Saya hanya mencoba melakukan yang terbaik, Pak.” Adrian tersenyum tipis. “Tetap jaga semangat Anda, Kirana. Ini baru permulaan.” Saat Adrian pergi, Kirana merasa semangatnya kembali terisi. Ia menatap layar laptopnya, lalu melanjutkan pekerjaannya dengan tekad baru.Keesokan paginya, Kirana tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Hawa dingin masih terasa, dan hanya beberapa lampu di lantai kantor yang sudah menyala. Dengan secangkir kopi di tangan, ia berjalan menuju ruang kerja bersama timnya.Hari ini adalah hari penting. Kirana dan tim harus menyelesaikan simulasi akhir sebelum data asli dari vendor tiba. Ia tahu bahwa setiap kesalahan kecil bisa menjadi bencana besar nantinya.Namun, begitu ia membuka laptop, sebuah pesan pop-up dari Tina langsung menarik perhatiannya.Tina: Mbak, saya baru saja mendapat kabar dari vendor. Data asli mereka tidak akan sesuai dengan format yang kita harapkan.Kirana membacanya dengan alis berkerut. “Tidak sesuai format? Apa maksudnya ini?” pikirnya.Tanpa membuang waktu, ia segera menelepon Tina, yang masih dalam perjalanan ke kantor.“Tina, apa maksud pesan kamu tadi? Kenapa datanya tidak sesuai?”“Mbak, mereka bilang ada perubahan dalam cara mereka menyimpan data. Saya juga baru tahu pagi ini,” jawab Tina de
Pagi itu, Kirana bangun dengan rasa lelah yang masih tersisa dari hari sebelumnya. Namun, ia tahu tidak ada waktu untuk bermalas-malasan. Dengan secangkir kopi di tangan, ia memeriksa jadwal hari ini di ponselnya. Beberapa rapat, satu diskusi dengan tim, dan tentu saja, tindak lanjut dari presentasi kemarin dengan klien.Kirana tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Beberapa karyawan lain baru saja datang, termasuk Tina yang melambai sambil tersenyum.“Mbak Kirana, kemarin saya dengar dari Rendy, presentasi sama klien berjalan lancar ya?” tanya Tina dengan antusias.Kirana tersenyum tipis. “Lumayan lancar, walaupun banyak pertanyaan sulit. Tapi tim kita sudah melakukan yang terbaik.”“Syukurlah,” sahut Tina. “Oh ya, saya sudah susun laporan mingguan. Nanti tinggal Mbak review saja.”“Terima kasih, Tina. Kamu memang selalu bisa diandalkan,” jawab Kirana sebelum melangkah ke ruang kerjanya.Kehadiran yang MengejutkanSaat Kirana tengah sibuk membaca laporan mingguan dari Tina, sebuah
Pagi itu, suasana kantor NextWave tidak seperti biasanya. Ada ketegangan yang tidak terlihat namun terasa di udara. Kirana merasakan ada sesuatu yang salah begitu ia masuk ke ruang kerja timnya.Amara dan Johan, yang biasanya terlihat akrab, kali ini saling diam di meja masing-masing. Rendy tampak sibuk dengan laptopnya, tetapi dari raut wajahnya, Kirana tahu pikirannya tidak sepenuhnya di sana.Kirana meletakkan tasnya, lalu berjalan mendekati meja Amara. “Pagi, Amara. Kamu kelihatan murung. Ada masalah?”Amara hanya menggeleng tanpa menoleh. “Tidak apa-apa, Mbak.”Kirana mengerutkan dahi. Ia tahu Amara tidak biasa bersikap seperti ini. Ia kemudian mendekati Johan.“Johan, ada yang terjadi?” tanyanya dengan nada lembut.Johan mendesah pelan. “Nggak tahu, Mbak. Tadi pagi Amara tiba-tiba jadi dingin sama saya. Saya rasa ini ada hubungannya dengan hasil revisi desain yang saya minta minggu lalu.”Kirana mulai memahami sumber masalahnya. Sebagai pemimpin tim, ia tahu konflik kecil sepert
Kantor NextWave dipenuhi keheningan yang mencekam. Meski suara ketikan keyboard terdengar di mana-mana, atmosfernya berat, seperti tali yang terus ditarik hingga hampir putus. Kirana duduk di ruangannya, menatap papan tulis penuh dengan jadwal dan revisi. Waktunya semakin sempit, dan timnya berada di ambang kelelahan.Namun, siang itu, sebuah email dari klien masuk. Subjeknya membuat darah Kirana berdesir: “Urgent: Final Changes Discussion”.Ia membuka email itu dengan tangan gemetar. Isinya seperti pukulan keras:“Kami meminta perubahan tambahan yang harus disertakan dalam waktu 48 jam. Jika ini tidak dipenuhi, kami akan mempertimbangkan pihak lain untuk melanjutkan proyek.”Kirana terdiam. Napasnya terasa sesak. Ancaman ini tidak hanya mempertaruhkan proyek, tapi juga reputasi NextWave.Pertemuan DaruratKirana memanggil seluruh tim ke ruang rapat. Raut wajah mereka mencerminkan kelelahan dan kekhawatiran. Johan membawa laptopnya dengan langkah berat, sementara Amara hanya memandang
Pagi itu, Kirana datang ke kantor dengan semangat baru. Setelah malam panjang yang penuh perenungan, ia bertekad untuk memimpin dengan hati. Langkahnya lebih ringan meski beban kerja masih menumpuk.Saat ia membuka pintu ruangannya, ada sesuatu yang berbeda. Di atas mejanya, tergeletak secangkir kopi hangat dengan tulisan kecil di atas tutupnya: “Untuk penyemangat pagi. Jangan lupa tersenyum. – A”.Kirana tertegun. Tulisan itu jelas berasal dari Adrian. Tidak ada yang lain di kantor yang inisialnya “A”. Ia menatap cangkir kopi itu sambil tersenyum kecil, merasa ada sedikit kehangatan di tengah dinginnya tekanan kerja.Interaksi Tak TerdugaBeberapa jam kemudian, saat Kirana sibuk memeriksa jadwal revisi, pintu ruangannya diketuk pelan.“Masuk,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.Adrian muncul, membawa map tebal di tangannya. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung hingga siku, terlihat santai namun tetap profesional.“Kirana, saya mau membahas rencana revis
Pagi itu, Kirana masih memikirkan percakapannya dengan Adrian malam sebelumnya. Rasanya begitu nyata, begitu dekat, namun ia tahu batas-batas yang harus dijaga. Sebagai seorang bawahan, perasaan yang mulai tumbuh di hatinya adalah sesuatu yang berbahaya.Namun, apa yang ia rasakan sulit diabaikan. Setiap kali ia mengingat senyuman Adrian atau cara pria itu menatapnya, ada sesuatu yang menggeliat di dalam dirinya.Sebuah Kejutan dari AdrianSiang harinya, saat Kirana tengah memimpin rapat kecil dengan timnya, seorang kurir datang ke ruangannya membawa kotak kecil dengan pita berwarna biru.“Kirana Adiningrum?” tanya kurir itu.“Ya, saya,” jawab Kirana bingung.Kurir menyerahkan kotak itu dan pergi tanpa penjelasan lebih lanjut. Kirana membuka kotak tersebut dengan hati-hati, dan di dalamnya terdapat sebuah buku jurnal kulit berwarna cokelat dengan tulisan kecil di dalamnya: “Untuk seseorang yang selalu bekerja keras. Jangan lupa luangkan waktu untuk dirimu sendiri. – A”.Wajah Kirana m
Langkah Pertama yang Sulit Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai kamar Kirana, membangunkannya dari tidur yang penuh mimpi tentang Adrian. Ia duduk di tempat tidur, memikirkan malam yang penuh emosi di taman. Pelukan Adrian masih terasa nyata, hangatnya seolah masih melekat di tubuhnya. Kirana menghela napas panjang. Hubungan ini bukan hanya tentang perasaan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan—tanggung jawab mereka, risiko yang akan dihadapi, dan bagaimana orang lain akan melihat mereka. Namun, di balik semua kekhawatiran itu, ia tahu satu hal pasti: ia tidak bisa mengabaikan apa yang dirasakannya. Ketegangan di Kantor Saat Kirana tiba di kantor, suasana terasa lebih sibuk dari biasanya. Tim sedang mempersiapkan presentasi besar untuk klien yang sangat penting, dan semua orang tampak tegang. Namun, yang membuat Kirana lebih gugup adalah kehadiran Adrian. Ia tahu mereka harus tetap profesional, tetapi bagaimana mungkin setelah semua yang terjadi antara mereka? “Kirana,”
Pertaruhan yang BerbahayaHari-hari setelah pengakuan Adrian terasa berbeda bagi Kirana. Ada kegugupan yang menyelinap setiap kali mereka berdua berada dalam satu ruangan. Tatapan Adrian yang dalam, cara dia memperhatikan Kirana dengan detail, semuanya membuat perempuan itu semakin sulit menjaga jarak.Namun, semua itu menjadi lebih rumit ketika gosip mulai beredar di kantor.Bisikan di KoridorKirana sedang duduk di pantry ketika Rendy, salah satu rekan kerjanya, masuk dengan senyum penuh arti.“Wah, kayaknya ada yang jadi favorit bos sekarang,” celetuknya sambil mengambil kopi.Kirana mengernyit, berusaha terlihat santai. “Apa maksudmu?”“Ah, pura-pura nggak tahu,” kata Rendy sambil menyeringai. “Aku lihat tadi pagi, Adrian mengantarkan dokumen langsung ke mejamu. Biasanya dia nggak pernah repot-repot begitu.”Kirana terdiam, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. “Itu cuma dokumen biasa, Rendy. Jangan terlalu banyak berspekulasi.”Rendy mengangkat bahu, tapi senyumnya tidak hila
Jalan Tanpa KembaliMalam yang SunyiHujan turun perlahan, menyelimuti kota dengan suasana yang kelam. Kirana berdiri di depan jendela penginapan, memandang tetesan air yang jatuh tanpa henti. Di baliknya, Adrian duduk di sofa kecil, mengamati berkas-berkas yang menumpuk di meja. Setiap dokumen yang mereka temukan di gudang seolah menjadi potongan puzzle yang perlahan menyusun gambaran besar kejahatan yang dilakukan Rahman dan jaringannya.“Kamu yakin dengan semua ini, Adrian?” tanya Kirana, suaranya hampir tenggelam dalam suara rintik hujan.Adrian mendongak dari dokumen yang tengah ia baca. Matanya memancarkan keyakinan, meskipun terlihat lelah. “Ini bukan lagi soal yakin atau tidak. Kita tidak bisa mundur. Kalau kita berhenti sekarang, mereka akan terus melakukan kejahatan ini tanpa ada yang menghentikan.”Kirana melangkah mendekat, duduk di samping Adrian. Ia menatapnya dalam-dalam, mencoba memahami keputusan yang telah mereka ambil. “Aku hanya ingin memastikan kamu tahu risikonya
Langkah BerisikoAncaman yang Semakin DekatSetelah pertemuan mengejutkan dengan Pak Wisnu, Adrian langsung memanggil Bima dan Kirana ke ruangannya. Dengan wajah tegang, Adrian menjelaskan apa yang baru saja terjadi.“Dia datang untuk mengancam,” kata Adrian dengan nada marah, sembari berjalan mondar-mandir di ruangan. “Mereka tahu kita semakin dekat dengan inti masalah ini.”Kirana mencoba menenangkan Adrian. “Ini berarti kita membuat mereka merasa terancam, Adrian. Mereka tidak akan bertindak seperti ini kalau tidak merasa posisinya mulai goyah.”Bima, yang sedari tadi mendengarkan, tiba-tiba berkata, “Kalau begitu, kita harus bertindak lebih cepat. Aku punya ide, tapi ini cukup berisiko.”Adrian dan Kirana memandangnya penuh harap.“Apa idemu, Bima?” tanya Adrian.“Kalau kita bisa menyusup ke salah satu server utama perusahaan, ada kemungkinan kita menemukan data rahasia yang selama ini mereka sembunyikan. Data itu mungkin cukup untuk menjatuhkan mereka sekaligus,” jelas Bima.“Tap
Kebenaran yang Mulai TerbukaSidang Internal yang MenegangkanPagi itu, Adrian memimpin rapat darurat di ruang rapat utama perusahaan. Hanya tim inti yang hadir: Kirana, Bima, Kevin, dan beberapa anggota tim hukum yang terpercaya. Di meja mereka, dokumen-dokumen penting dari brankas gudang tersusun rapi, siap untuk dianalisis lebih dalam.“Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Adrian membuka rapat. “Pak Wisnu pasti sudah menyadari bahwa kita membawa sesuatu dari gudang. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka menutup semua celah.”Salah satu anggota tim hukum, Maya, mengangkat tangan. “Dari dokumen yang sudah saya periksa, jelas ada keterlibatan Pak Wisnu dalam manipulasi data proyek dan aliran dana ilegal. Tapi kita perlu lebih banyak bukti untuk mengaitkan Rahman Kurnia alias Rizky Darmawan secara langsung.”“Kalau begitu, kita fokus pada aset mereka,” kata Adrian. “Bima, pastikan kamu memonitor semua transaksi mencurigakan. Kirana dan Kevin, coba cari informasi tambahan dari dokume
Keberanian di Tengah AncamanPersiapan untuk Serangan BalikAncaman yang diterima Adrian membuat suasana di tim semakin tegang. Namun, ia tidak menunjukkan rasa gentarnya di depan tim. Kirana memperhatikan betapa tenangnya Adrian, meski jelas bahwa ia juga memikirkan keselamatan semua orang.“Kita tidak bisa berhenti sekarang,” ujar Adrian di depan Bima, Lani, Kirana, dan Pak Bram di ruang rapat. “Ancaman ini justru bukti bahwa mereka mulai goyah. Kita harus melanjutkan langkah kita dengan lebih hati-hati, tapi juga lebih cepat.”Pak Bram mengangguk. “Kita sudah punya cukup bukti untuk menggoyahkan mereka. Tapi yang kita butuhkan adalah langkah strategis. Jangan hanya mengandalkan dokumen-dokumen ini. Kita harus menguatkan dengan saksi.”“Bu Ratih sudah setuju untuk membantu,” kata Kirana. “Tapi kita harus melindunginya. Dia merasa ada risiko besar jika terlalu terlibat.”Adrian menatap Pak Bram. “Bisakah Anda mengatur perlindungan untuknya?”“Saya punya beberapa kenalan yang bisa mem
Kebenaran yang Mulai TerkuakRencana StrategisKeesokan paginya, Adrian mengumpulkan seluruh timnya di ruang rapat kecil di kantor. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun tahu tentang penemuan di gudang malam sebelumnya, kecuali orang-orang yang benar-benar dipercayainya.“Aku sudah memeriksa dokumen-dokumen yang kita temukan di gudang,” ujar Adrian sambil meletakkan berkas-berkas di meja. “Ini bukan hanya soal sabotase terhadap aku, tapi ada indikasi korupsi besar yang melibatkan beberapa proyek perusahaan di masa lalu.”Bima menatap dokumen itu dengan serius. “Apa kamu yakin kita bisa melibatkan tim hukum tanpa memancing perhatian mereka?”Adrian mengangguk. “Kita harus melibatkan mereka. Tapi kita harus hati-hati memilih siapa yang akan kita ajak bicara. Tim hukum punya dua divisi, dan salah satunya berada di bawah pengaruh Pak Wisnu.”Kirana yang duduk di sisi Adrian angkat bicara. “Kalau begitu, kita hanya punya satu pilihan: langsung lapor ke kepala tim hukum yang netral
Jejak yang TersisaPerburuan DimulaiSetelah mendapatkan petunjuk dari dokumen yang mereka temukan di gudang tua, Adrian segera menyusun langkah strategis. Nama Ardianto kini menjadi fokus utama mereka. Adrian meminta Bima untuk menggali lebih dalam aktivitas digital Ardianto.“Kalau dia benar pelakunya, pasti ada jejak yang dia tinggalkan di jaringan,” ujar Adrian sambil mengamati layar komputer Bima.Bima mengangguk dan mengetik cepat. “Aku akan coba melacak pola transaksi digitalnya. Kalau dia menggunakan perangkat atau akun palsu, kita bisa mencoba melacak sumber dana atau aktivitas lainnya.”Sementara itu, Kirana tetap terjaga di apartemennya. Pikirannya dipenuhi dengan spekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Adrian telah memberi tahu dia untuk beristirahat, tetapi ia tahu tidak mungkin baginya untuk benar-benar bersantai.Ponselnya berdering. Itu Adrian.“Ada perkembangan?” tanya Kirana.“Aku ingin kamu datang ke kantor pagi ini. Kita punya sesuatu yang penting,” jawab Ad
Jaringan yang TersembunyiKejutan di Balik DataMalam itu, Adrian tidak bisa tidur. Kata-kata terakhir Pak Wisnu terus terngiang di kepalanya. “Ada orang lain yang jauh lebih kuat dari kamu.” Siapa yang dimaksud? Apa motif mereka?Bima, yang masih bekerja hingga larut, kembali menemukan sesuatu. “Adrian, aku baru saja memeriksa ulang seluruh log aktivitas jaringan. Ada pola aneh di sini.”Adrian bergegas menghampiri meja Bima. “Apa yang kamu temukan?”“Ada akses ke server dari lokasi yang tidak tercatat sebagai kantor atau rumah salah satu karyawan. Lokasinya berubah-ubah, seolah mereka menggunakan koneksi yang sulit dilacak. Tapi ada satu perangkat yang konsisten terhubung setiap kali ada transfer data.”Adrian mengamati layar dengan seksama. “Ini berarti ada pihak eksternal yang terlibat. Kita butuh bantuan dari luar untuk melacak ini lebih jauh.”“Kita bisa minta bantuan konsultan forensik IT,” saran Bima. “Tapi mereka pasti butuh waktu untuk memproses semuanya.”“Hubungi mereka,”
Bayangan Musuh di Balik KegelapanRencana Adrian dan KiranaAdrian dan Kirana duduk berdampingan di ruang kerja Adrian. Di hadapan mereka adalah tumpukan dokumen proyek dan hasil analisis Bima tentang aktivitas mencurigakan yang melibatkan Pak Wisnu. Malam itu mereka memutuskan untuk menyusun rencana strategis.“Kalau laporan palsu ini sudah ada di tangan Wisnu, berarti dia punya tujuan lebih besar,” ujar Adrian sambil mengetuk-ketukkan jarinya di meja.Kirana mengangguk. “Tapi kenapa harus aku? Kalau dia ingin menjatuhkan tim, kenapa dia memilih nama aku yang jadi sasaran?”Adrian menatap Kirana dengan penuh perhatian. “Karena kamu kunci dari semua ini. Kamu orang yang paling menonjol di proyek ini. Kalau reputasimu rusak, proyek kita kehilangan fondasi utamanya.”Kirana terdiam, merasakan beratnya tanggung jawab yang ia pikul. “Jadi apa rencanamu?”Adrian menunjukkan rencana yang telah ia susun. “Kita butuh bukti konkret untuk mengaitkan Wisnu dengan laporan palsu ini. Aku sudah mem
Jejak di Balik Bayang-BayangKebingungan yang MenyeruakPernyataan Rendy meninggalkan ketegangan di udara. Kirana menatap Adrian, mencoba membaca pikirannya, tetapi Adrian hanya menggeleng pelan. “Dia tahu sesuatu yang tidak kita tahu,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak akan membiarkan dia dan yang lainnya lolos.”Kirana ingin berkata sesuatu, tetapi kelelahan dan kebingungan menguasainya. Malam itu, ketika semua orang mulai meninggalkan kantor, Adrian menghampiri Kirana di mejanya.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut.Kirana mengangguk, meskipun jelas raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. “Aku cuma… merasa semuanya terlalu banyak. Kenapa ini terjadi? Apa salahku sampai harus menghadapi semua ini?”Adrian tersenyum tipis, lalu duduk di kursi di depannya. “Ini bukan salahmu, Kirana. Kadang, orang yang bekerja keras justru menjadi sasaran karena mereka terlihat menonjol.”Kirana menunduk, menahan air matanya agar tidak jatuh. “Aku cuma nggak mau orang-orang yang aku percayai ternyata