Langkah Pertama yang Sulit
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai kamar Kirana, membangunkannya dari tidur yang penuh mimpi tentang Adrian. Ia duduk di tempat tidur, memikirkan malam yang penuh emosi di taman. Pelukan Adrian masih terasa nyata, hangatnya seolah masih melekat di tubuhnya. Kirana menghela napas panjang. Hubungan ini bukan hanya tentang perasaan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan—tanggung jawab mereka, risiko yang akan dihadapi, dan bagaimana orang lain akan melihat mereka. Namun, di balik semua kekhawatiran itu, ia tahu satu hal pasti: ia tidak bisa mengabaikan apa yang dirasakannya. Ketegangan di Kantor Saat Kirana tiba di kantor, suasana terasa lebih sibuk dari biasanya. Tim sedang mempersiapkan presentasi besar untuk klien yang sangat penting, dan semua orang tampak tegang. Namun, yang membuat Kirana lebih gugup adalah kehadiran Adrian. Ia tahu mereka harus tetap profesional, tetapi bagaimana mungkin setelah semua yang terjadi antara mereka? “Kirana,” suara Adrian memanggilnya dari ruang kerjanya. Kirana mengangguk, mencoba bersikap biasa saja saat melangkah masuk. Adrian sudah duduk di kursinya, mengenakan setelan abu-abu yang membuatnya terlihat lebih berkarisma dari biasanya. “Kita akan bertemu dengan klien utama dalam waktu satu jam. Sudah siap?” tanyanya dengan nada formal. Kirana mengangguk. “Tentu, semua dokumen sudah saya siapkan. Tim juga sudah mempersiapkan semua kebutuhan presentasi.” Adrian tersenyum tipis, tapi ada kilatan lembut di matanya. “Bagus. Kamu selalu bisa diandalkan.” Ada jeda sejenak. Suasana di ruangan itu terasa tegang, tetapi bukan karena pekerjaan. Kirana bisa merasakan tatapan Adrian yang mencoba menyampaikan sesuatu lebih dari sekadar apresiasi profesional. “Saya akan memastikan semuanya berjalan lancar,” kata Kirana akhirnya, mencoba mengalihkan fokus. Adrian mengangguk. “Saya tidak pernah meragukan itu.” Momen yang Tak Terduga Presentasi berjalan lancar. Klien tampak puas, dan tim Kirana mendapatkan pujian atas kerja keras mereka. Setelah rapat selesai, seluruh tim berkumpul di ruang istirahat untuk merayakan kesuksesan kecil itu. “Kirana, kamu luar biasa!” ujar Rendy sambil mengangkat gelas kopi sebagai tanda perayaan. “Terima kasih, tapi ini semua hasil kerja tim,” jawab Kirana, tersenyum. Di tengah kegembiraan itu, Kirana menyadari Adrian berdiri di dekat pintu, mengawasinya dengan senyum kecil. Tidak ada yang aneh bagi rekan-rekannya, tetapi Kirana tahu tatapan itu lebih dari sekadar ucapan selamat. Ketika semua orang sibuk berbicara, Adrian mendekat. Ia berbicara pelan, cukup hanya untuk didengar Kirana. “Bisakah kita bicara sebentar nanti?” tanyanya. Kirana menoleh, merasa gugup tapi juga penasaran. “Tentu, kapan?” “Nanti sore, setelah jam kerja. Saya akan menunggumu di ruang kerja,” jawab Adrian sebelum kembali bergabung dengan rekan-rekan lainnya. Langkah yang Lebih Berani Setelah jam kerja selesai, Kirana mengetuk pintu ruang kerja Adrian. Jantungnya berdegup kencang saat ia masuk dan menemukan Adrian duduk di sofa, tampak santai tetapi tetap memancarkan karisma yang tak terbantahkan. “Kirana, duduklah,” kata Adrian sambil menunjuk sofa di depannya. Kirana duduk, merasa canggung dengan keheningan yang mengisi ruangan. Akhirnya, Adrian memecah keheningan itu. “Saya ingin membicarakan tentang kita,” katanya langsung, tanpa basa-basi. Kirana terdiam, merasa gugup tetapi juga lega. Ia tahu percakapan ini tidak bisa dihindari. “Kirana, saya tahu situasi ini tidak mudah, terutama untukmu. Tapi saya ingin kita mencoba. Saya ingin kita memberikan kesempatan pada hubungan ini,” ujar Adrian dengan nada serius. Kirana menatapnya, matanya mencari kejujuran dalam tatapan pria itu. “Adrian, ini bukan hanya tentang kita. Ada tanggung jawab, ada risiko. Bagaimana jika semua ini berantakan?” Adrian mengulurkan tangan, menyentuh tangannya dengan lembut. “Kirana, hidup ini penuh risiko. Tapi jika kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa kita capai bersama. Saya tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Saya hanya peduli padamu.” Kirana merasakan air mata menggenang di matanya. Kata-kata Adrian begitu tulus, begitu meyakinkan. Ia ingin percaya, tetapi ketakutan itu masih ada. “Aku butuh waktu, Adrian. Aku butuh waktu untuk menerima semuanya,” kata Kirana akhirnya. Adrian tersenyum lembut, menggenggam tangannya lebih erat. “Ambillah waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku akan menunggumu, Kirana. Aku tidak akan ke mana-mana.” Sebuah Langkah Kecil Malam itu, saat Kirana meninggalkan ruang kerja Adrian, ia merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Hubungan ini memang penuh tantangan, tetapi ia tahu satu hal: Adrian adalah pria yang tulus, dan ia ingin memperjuangkannya. Saat ia berjalan keluar dari kantor, Adrian memanggilnya dari belakang. “Kirana,” katanya, mendekat dengan langkah yang cepat. “Ya?” tanya Kirana, berbalik. Adrian tersenyum kecil sebelum berkata, “Jaga dirimu, ya. Dan ingat, kamu tidak sendiri.” Kirana hanya bisa tersenyum. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihatnya, menghargainya, dan peduli padanya dengan cara yang lebih dalam. Langkah Pertama yang Sulit Setelah Adrian berkata, “Jaga dirimu,” Kirana hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kecil. Tapi dalam hatinya, kata-kata itu terus bergema. Langkah kakinya terasa ringan, seolah udara malam mengangkat beban yang selama ini ia pikul. Namun, saat ia keluar dari gedung, Kirana merasa ada yang mengikutinya. Ia menoleh, mendapati Adrian masih berdiri di pintu kaca kantor, menatapnya dengan sorot mata lembut. Kirana menggeleng pelan, berusaha menahan senyumnya. “Adrian…” bisiknya tanpa suara. Adrian hanya membalas dengan anggukan kecil sebelum kembali masuk ke dalam kantor. Malam yang Penuh Pikiran Sesampainya di apartemen, Kirana melemparkan tubuhnya ke sofa. Pikirannya terus memutar ulang semua yang terjadi hari ini—tatapan Adrian, sentuhannya, dan kata-katanya yang begitu yakin. “Kenapa dia begitu yakin?” gumamnya sambil memeluk bantal. Sebagai seorang wanita mandiri, Kirana selalu memutuskan segala sesuatu sendiri. Namun kali ini, kehadiran Adrian menggoyahkan semua prinsip yang selama ini ia pegang. Ia membuka jendela apartemennya, membiarkan udara malam masuk. Langit penuh bintang, dan Kirana merasa anehnya malam ini begitu tenang. Ponselnya bergetar di atas meja, memunculkan pesan dari Adrian. “Terima kasih sudah mau bicara denganku tadi. Aku tahu ini berat untukmu, tapi aku percaya kita bisa melewati semuanya. Selamat malam, Kirana. Tidur nyenyak.” Hatinya berdesir. Pesan sederhana itu terasa lebih berarti daripada puisi cinta sekalipun. Adrian tahu kapan harus mendorong, kapan harus menunggu, dan itulah yang membuat Kirana merasa aman bersamanya. Keesokan Harinya Pagi itu, Kirana tiba di kantor lebih awal, berharap bisa menyibukkan diri dengan pekerjaan dan mengalihkan pikirannya dari Adrian. Tapi ternyata, Adrian juga sudah ada di sana, menatap layar laptopnya dengan serius. “Kirana, pagi,” sapa Adrian saat menyadari kehadirannya. “Pagi, Pak,” jawab Kirana refleks, kembali ke sikap formal yang biasa. Namun, saat Adrian menatapnya dengan senyum kecil, ia tahu bahwa panggilan itu tidak lagi sama seperti sebelumnya. “Ada sesuatu yang ingin kubicarakan nanti di sela waktu, jika kamu punya waktu,” kata Adrian sambil menutup laptopnya. “Baik, saya akan mengatur jadwal,” jawab Kirana sambil tersenyum kecil, meskipun ia tahu pertemuan itu lebih bersifat pribadi daripada profesional. Momen Tak Terduga Di sela-sela kesibukan siang itu, Adrian tiba-tiba muncul di depan meja Kirana, membawa dua gelas kopi. “Untukmu,” katanya sambil menyodorkan salah satu gelas. Kirana mengangkat alis. “Kenapa tiba-tiba membawakan kopi?” Adrian tersenyum, matanya memancarkan kilatan nakal. “Kamu terlihat terlalu serius sejak pagi. Aku pikir kamu butuh ini.” Kirana mendengus kecil, tapi mengambil kopi itu juga. “Terima kasih. Tapi jangan harap aku akan membalas dengan membawakanmu kopi esok hari.” “Tidak perlu,” jawab Adrian sambil menyandarkan diri di pinggir meja. “Melihatmu tersenyum saja sudah cukup.” Kirana hampir tersedak mendengar kata-kata itu. Ia menatap Adrian dengan mata melebar, sementara pria itu hanya tertawa kecil sebelum berjalan kembali ke ruangannya. Saat yang Mendebarkan Sore hari, Kirana memutuskan untuk menyelesaikan semua dokumen sebelum pulang. Kantor sudah mulai sepi, hanya ada beberapa rekan kerja yang masih sibuk. Kirana bernapas lega, berpikir ia akan memiliki waktu tenang sebelum akhirnya pulang. Namun, ketika ia hendak meninggalkan ruangannya, Adrian muncul di pintu. “Pulang terlambat lagi?” tanya Adrian. Kirana mengangguk. “Masih ada yang harus diselesaikan. Anda juga masih di sini?” Adrian mengangguk pelan. “Aku menunggumu.” Jantung Kirana berdegup kencang. Kata-kata itu sederhana, tapi sarat makna. “Menungguku? Untuk apa?” tanyanya dengan nada setengah bercanda, meskipun wajahnya memerah. Adrian tersenyum, lalu berkata, “Karena aku ingin memastikan kamu pulang dengan selamat.” Kirana menatapnya, bingung apakah Adrian benar-benar serius atau hanya mencoba mencairkan suasana. Tapi saat melihat tatapan Adrian yang penuh ketulusan, ia tahu pria itu tidak sedang bercanda. “Adrian…” bisiknya, tanpa tahu harus berkata apa lagi. “Kirana,” balas Adrian, berjalan mendekatinya. “Aku tahu ini tidak mudah untukmu. Tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk menunjukkan bahwa perasaanku tulus.” Suasana di antara mereka menjadi hening. Kirana bisa merasakan napas Adrian begitu dekat, dan sebelum ia sadar, pria itu sudah menggenggam tangannya dengan lembut. “Beri aku kesempatan untuk membuktikan semuanya, Kirana. Aku tahu kita bisa menemukan jalan.” Kirana menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang tiba-tiba muncul di sudut matanya. Perasaan yang ia pendam selama ini akhirnya pecah, dan ia tidak bisa lagi menyangkal apa yang ia rasakan. Ia mengangkat wajahnya, menatap Adrian dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Adrian. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini.”Pertaruhan yang BerbahayaHari-hari setelah pengakuan Adrian terasa berbeda bagi Kirana. Ada kegugupan yang menyelinap setiap kali mereka berdua berada dalam satu ruangan. Tatapan Adrian yang dalam, cara dia memperhatikan Kirana dengan detail, semuanya membuat perempuan itu semakin sulit menjaga jarak.Namun, semua itu menjadi lebih rumit ketika gosip mulai beredar di kantor.Bisikan di KoridorKirana sedang duduk di pantry ketika Rendy, salah satu rekan kerjanya, masuk dengan senyum penuh arti.“Wah, kayaknya ada yang jadi favorit bos sekarang,” celetuknya sambil mengambil kopi.Kirana mengernyit, berusaha terlihat santai. “Apa maksudmu?”“Ah, pura-pura nggak tahu,” kata Rendy sambil menyeringai. “Aku lihat tadi pagi, Adrian mengantarkan dokumen langsung ke mejamu. Biasanya dia nggak pernah repot-repot begitu.”Kirana terdiam, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. “Itu cuma dokumen biasa, Rendy. Jangan terlalu banyak berspekulasi.”Rendy mengangkat bahu, tapi senyumnya tidak hila
Bab 13: Retakan yang Tak TerlihatHari-hari setelah rapat tegang itu berubah menjadi medan penuh duri bagi Kirana. Atmosfer di kantor terasa berbeda. Tatapan kolega, desas-desus yang beredar, dan sikap dingin beberapa orang membuat Kirana merasa seperti berjalan di atas kaca.Di satu sisi, Adrian tetap berada di dekatnya, memberikan dukungan tanpa henti. Namun, di sisi lain, ia mulai merasakan tekanan yang semakin berat. Tidak hanya dari rekan-rekan kerjanya, tetapi juga dari dirinya sendiri—keraguan dan ketakutan yang terus menghantui pikirannya.Sikap Dingin RendyPagi itu, Kirana mencoba berbicara dengan Rendy, salah satu senior di tim yang sebelumnya selalu suportif terhadapnya. Ia menyadari sikap Rendy yang semakin jauh setelah rapat terakhir.“Rendy, ada waktu sebentar? Aku ingin bicara,” kata Kirana, mendekati meja kerjanya.Rendy mendongak, ekspresinya datar. “Ada apa, Kirana?”Kirana ragu sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, “Aku merasa ada sesuatu yang berubah. Kalau aku
Antara Dua PilihanKirana memulai harinya dengan perasaan berat. Langkahnya ke kantor terasa lebih lambat dari biasanya. Di lift, ia berpapasan dengan Rendy yang hanya memberikan senyuman dingin sebelum berjalan keluar lebih dulu. Kirana tahu, gosip yang menyelimutinya belum juga reda.Ketika sampai di mejanya, ia mendapati sebuah amplop putih di atas keyboardnya. Perlahan, ia membukanya. Isinya adalah catatan kecil dengan tulisan tangan:“Terkadang, kemampuan saja tidak cukup. Dunia ini lebih menyukai yang tahu bagaimana bermain aman.”Kirana merasakan darahnya mendidih. Ia tahu ini bukan pesan motivasi, melainkan sindiran tajam.“Siapa yang berani melakukan ini?” pikirnya. Namun, ia memilih tidak menanggapinya, meskipun di dalam hatinya rasa frustrasi terus menumpuk.Ketegangan di Rapat TimDi ruang meeting, suasana semakin memanas. Adrian mencoba menjaga kendali, tetapi dinamika tim mulai terlihat terganggu.“Saya ingin kita fokus pada solusi, bukan masalah,” kata Adrian tegas. “P
Retakan Halus di Antara KitaKeesokan harinya, suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Gosip di antara rekan-rekan kerja semakin merajalela, meskipun tidak ada yang berani mengatakannya langsung. Tatapan-tatapan tajam itu cukup menyiksa Kirana. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi pikiran-pikiran negatif terus mengganggu.Di sisi lain, Adrian berusaha menjalani hari seperti biasa, meskipun ia bisa merasakan ketegangan yang melingkupi ruangan. Ia tahu bahwa tindakannya belakangan ini mungkin memicu lebih banyak masalah untuk Kirana, dan rasa bersalah itu mulai menggerogoti pikirannya.Interaksi yang Tak TerdugaKetika jam makan siang tiba, Kirana memutuskan untuk makan sendiri di pantry kantor. Ia berharap bisa menikmati sedikit waktu tenang. Namun, harapannya sirna ketika Rendy masuk dengan senyum yang tampak dipaksakan.“Kirana, boleh ngobrol sebentar?” tanyanya, menyandarkan diri pada pintu pantry.Kirana mengangkat alis. “Ada apa, Rendy?”Rendy mendekat, menatapnya de
Di Ambang PilihanHari itu dimulai seperti biasa, dengan hiruk pikuk pekerjaan dan suasana kantor yang tegang. Namun, bagi Kirana, perasaan jengah terhadap situasi yang terus memburuk mulai menumpuk. Gosip yang terus bergulir, sindiran-sindiran halus, serta tatapan mencemooh dari beberapa rekan kerja membuatnya merasa terkekang.Di sisi lain, perhatian Adrian yang konsisten menjadi pedang bermata dua. Meskipun itu memberinya kekuatan, perhatian itu juga menjadi bahan bakar gosip yang tak kunjung padam.Kehilangan Kendali di RapatPagi itu, Kirana menghadiri rapat proyek baru. Adrian memimpin rapat seperti biasa, dengan gaya tegas namun penuh kehangatan. Namun, di tengah rapat, Rendy lagi-lagi melemparkan sindiran yang membuat suasana semakin panas.“Pak Adrian, apakah Kirana yang akan memimpin proyek ini?” tanya Rendy dengan nada datar. “Atau kita perlu konfirmasi dulu soal… kelayakan lainnya?”Suasana di ruangan langsung berubah kaku. Beberapa rekan kerja saling bertukar pandang, sem
Jejak Misteri di Balik LayarE-mail AnonimPagi itu, saat Kirana sedang menyiapkan presentasi untuk pertemuan tim, sebuah e-mail misterius masuk ke inbox-nya. Subjek e-mail itu tertulis: “Hati-hati dengan orang yang kamu percaya.”Kirana mengernyit. Ia ragu untuk membukanya, tetapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Isi e-mail itu hanya berupa satu kalimat singkat:“Tidak semua yang terlihat mendukungmu benar-benar di pihakmu. Perhatikan baik-baik siapa yang bermain di belakang layar.”Tidak ada tanda pengirim, hanya sebuah alamat e-mail yang tampak dibuat secara acak. Kirana merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi kata-kata itu terus terngiang di kepalanya sepanjang pagi.Keanehan dalam ProyekDalam rapat siang hari, Kirana mempresentasikan laporan kemajuan proyek dengan percaya diri. Namun, ketika ia membuka file terakhir yang berisi data pendukung, file tersebut tidak dapat ditemukan.“Maaf, semuanya,” kata Kirana sambil berusaha tenang. “Sepert
Pengkhianatan di Tengah KepercayaanPetunjuk yang MengerucutPagi itu, Kirana menerima email anonim dengan subjek: “Berhenti sebelum semuanya hancur.” Isi email itu hanya satu kalimat: “Kamu tidak tahu siapa yang benar-benar ada di belakang semua ini.”Kirana membaca email itu berulang kali, hatinya dipenuhi kecemasan. Ia langsung menunjukkan pesan itu kepada Adrian, yang membacanya dengan ekspresi serius.“Ini bukan kebetulan,” kata Adrian. “Seseorang jelas ingin menakutimu, atau mungkin mencoba mengaburkan kebenaran.”“Tapi siapa? Dan kenapa mereka melakukan ini?” tanya Kirana, frustrasi.Adrian menghela napas, lalu berkata, “Kita sudah punya daftar kecil orang yang mungkin terlibat, termasuk Rendy. Tapi email ini menunjukkan kalau mungkin ada lebih dari satu orang yang bermain di balik layar.”Kirana menatap Adrian dengan ragu. “Kamu yakin kita bisa mengungkap semuanya? Aku takut ini akan membuat situasi semakin buruk.”Adrian menyentuh bahunya dengan lembut. “Aku janji, Kirana. Ki
Jejak di Balik Bayang-BayangKebingungan yang MenyeruakPernyataan Rendy meninggalkan ketegangan di udara. Kirana menatap Adrian, mencoba membaca pikirannya, tetapi Adrian hanya menggeleng pelan. “Dia tahu sesuatu yang tidak kita tahu,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak akan membiarkan dia dan yang lainnya lolos.”Kirana ingin berkata sesuatu, tetapi kelelahan dan kebingungan menguasainya. Malam itu, ketika semua orang mulai meninggalkan kantor, Adrian menghampiri Kirana di mejanya.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut.Kirana mengangguk, meskipun jelas raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. “Aku cuma… merasa semuanya terlalu banyak. Kenapa ini terjadi? Apa salahku sampai harus menghadapi semua ini?”Adrian tersenyum tipis, lalu duduk di kursi di depannya. “Ini bukan salahmu, Kirana. Kadang, orang yang bekerja keras justru menjadi sasaran karena mereka terlihat menonjol.”Kirana menunduk, menahan air matanya agar tidak jatuh. “Aku cuma nggak mau orang-orang yang aku percayai ternyata
Kebenaran yang Mulai TerbukaSidang Internal yang MenegangkanPagi itu, Adrian memimpin rapat darurat di ruang rapat utama perusahaan. Hanya tim inti yang hadir: Kirana, Bima, Kevin, dan beberapa anggota tim hukum yang terpercaya. Di meja mereka, dokumen-dokumen penting dari brankas gudang tersusun rapi, siap untuk dianalisis lebih dalam.“Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Adrian membuka rapat. “Pak Wisnu pasti sudah menyadari bahwa kita membawa sesuatu dari gudang. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka menutup semua celah.”Salah satu anggota tim hukum, Maya, mengangkat tangan. “Dari dokumen yang sudah saya periksa, jelas ada keterlibatan Pak Wisnu dalam manipulasi data proyek dan aliran dana ilegal. Tapi kita perlu lebih banyak bukti untuk mengaitkan Rahman Kurnia alias Rizky Darmawan secara langsung.”“Kalau begitu, kita fokus pada aset mereka,” kata Adrian. “Bima, pastikan kamu memonitor semua transaksi mencurigakan. Kirana dan Kevin, coba cari informasi tambahan dari dokume
Keberanian di Tengah AncamanPersiapan untuk Serangan BalikAncaman yang diterima Adrian membuat suasana di tim semakin tegang. Namun, ia tidak menunjukkan rasa gentarnya di depan tim. Kirana memperhatikan betapa tenangnya Adrian, meski jelas bahwa ia juga memikirkan keselamatan semua orang.“Kita tidak bisa berhenti sekarang,” ujar Adrian di depan Bima, Lani, Kirana, dan Pak Bram di ruang rapat. “Ancaman ini justru bukti bahwa mereka mulai goyah. Kita harus melanjutkan langkah kita dengan lebih hati-hati, tapi juga lebih cepat.”Pak Bram mengangguk. “Kita sudah punya cukup bukti untuk menggoyahkan mereka. Tapi yang kita butuhkan adalah langkah strategis. Jangan hanya mengandalkan dokumen-dokumen ini. Kita harus menguatkan dengan saksi.”“Bu Ratih sudah setuju untuk membantu,” kata Kirana. “Tapi kita harus melindunginya. Dia merasa ada risiko besar jika terlalu terlibat.”Adrian menatap Pak Bram. “Bisakah Anda mengatur perlindungan untuknya?”“Saya punya beberapa kenalan yang bisa mem
Kebenaran yang Mulai TerkuakRencana StrategisKeesokan paginya, Adrian mengumpulkan seluruh timnya di ruang rapat kecil di kantor. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun tahu tentang penemuan di gudang malam sebelumnya, kecuali orang-orang yang benar-benar dipercayainya.“Aku sudah memeriksa dokumen-dokumen yang kita temukan di gudang,” ujar Adrian sambil meletakkan berkas-berkas di meja. “Ini bukan hanya soal sabotase terhadap aku, tapi ada indikasi korupsi besar yang melibatkan beberapa proyek perusahaan di masa lalu.”Bima menatap dokumen itu dengan serius. “Apa kamu yakin kita bisa melibatkan tim hukum tanpa memancing perhatian mereka?”Adrian mengangguk. “Kita harus melibatkan mereka. Tapi kita harus hati-hati memilih siapa yang akan kita ajak bicara. Tim hukum punya dua divisi, dan salah satunya berada di bawah pengaruh Pak Wisnu.”Kirana yang duduk di sisi Adrian angkat bicara. “Kalau begitu, kita hanya punya satu pilihan: langsung lapor ke kepala tim hukum yang netral
Jejak yang TersisaPerburuan DimulaiSetelah mendapatkan petunjuk dari dokumen yang mereka temukan di gudang tua, Adrian segera menyusun langkah strategis. Nama Ardianto kini menjadi fokus utama mereka. Adrian meminta Bima untuk menggali lebih dalam aktivitas digital Ardianto.“Kalau dia benar pelakunya, pasti ada jejak yang dia tinggalkan di jaringan,” ujar Adrian sambil mengamati layar komputer Bima.Bima mengangguk dan mengetik cepat. “Aku akan coba melacak pola transaksi digitalnya. Kalau dia menggunakan perangkat atau akun palsu, kita bisa mencoba melacak sumber dana atau aktivitas lainnya.”Sementara itu, Kirana tetap terjaga di apartemennya. Pikirannya dipenuhi dengan spekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Adrian telah memberi tahu dia untuk beristirahat, tetapi ia tahu tidak mungkin baginya untuk benar-benar bersantai.Ponselnya berdering. Itu Adrian.“Ada perkembangan?” tanya Kirana.“Aku ingin kamu datang ke kantor pagi ini. Kita punya sesuatu yang penting,” jawab Ad
Jaringan yang TersembunyiKejutan di Balik DataMalam itu, Adrian tidak bisa tidur. Kata-kata terakhir Pak Wisnu terus terngiang di kepalanya. “Ada orang lain yang jauh lebih kuat dari kamu.” Siapa yang dimaksud? Apa motif mereka?Bima, yang masih bekerja hingga larut, kembali menemukan sesuatu. “Adrian, aku baru saja memeriksa ulang seluruh log aktivitas jaringan. Ada pola aneh di sini.”Adrian bergegas menghampiri meja Bima. “Apa yang kamu temukan?”“Ada akses ke server dari lokasi yang tidak tercatat sebagai kantor atau rumah salah satu karyawan. Lokasinya berubah-ubah, seolah mereka menggunakan koneksi yang sulit dilacak. Tapi ada satu perangkat yang konsisten terhubung setiap kali ada transfer data.”Adrian mengamati layar dengan seksama. “Ini berarti ada pihak eksternal yang terlibat. Kita butuh bantuan dari luar untuk melacak ini lebih jauh.”“Kita bisa minta bantuan konsultan forensik IT,” saran Bima. “Tapi mereka pasti butuh waktu untuk memproses semuanya.”“Hubungi mereka,”
Bayangan Musuh di Balik KegelapanRencana Adrian dan KiranaAdrian dan Kirana duduk berdampingan di ruang kerja Adrian. Di hadapan mereka adalah tumpukan dokumen proyek dan hasil analisis Bima tentang aktivitas mencurigakan yang melibatkan Pak Wisnu. Malam itu mereka memutuskan untuk menyusun rencana strategis.“Kalau laporan palsu ini sudah ada di tangan Wisnu, berarti dia punya tujuan lebih besar,” ujar Adrian sambil mengetuk-ketukkan jarinya di meja.Kirana mengangguk. “Tapi kenapa harus aku? Kalau dia ingin menjatuhkan tim, kenapa dia memilih nama aku yang jadi sasaran?”Adrian menatap Kirana dengan penuh perhatian. “Karena kamu kunci dari semua ini. Kamu orang yang paling menonjol di proyek ini. Kalau reputasimu rusak, proyek kita kehilangan fondasi utamanya.”Kirana terdiam, merasakan beratnya tanggung jawab yang ia pikul. “Jadi apa rencanamu?”Adrian menunjukkan rencana yang telah ia susun. “Kita butuh bukti konkret untuk mengaitkan Wisnu dengan laporan palsu ini. Aku sudah mem
Jejak di Balik Bayang-BayangKebingungan yang MenyeruakPernyataan Rendy meninggalkan ketegangan di udara. Kirana menatap Adrian, mencoba membaca pikirannya, tetapi Adrian hanya menggeleng pelan. “Dia tahu sesuatu yang tidak kita tahu,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak akan membiarkan dia dan yang lainnya lolos.”Kirana ingin berkata sesuatu, tetapi kelelahan dan kebingungan menguasainya. Malam itu, ketika semua orang mulai meninggalkan kantor, Adrian menghampiri Kirana di mejanya.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut.Kirana mengangguk, meskipun jelas raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. “Aku cuma… merasa semuanya terlalu banyak. Kenapa ini terjadi? Apa salahku sampai harus menghadapi semua ini?”Adrian tersenyum tipis, lalu duduk di kursi di depannya. “Ini bukan salahmu, Kirana. Kadang, orang yang bekerja keras justru menjadi sasaran karena mereka terlihat menonjol.”Kirana menunduk, menahan air matanya agar tidak jatuh. “Aku cuma nggak mau orang-orang yang aku percayai ternyata
Pengkhianatan di Tengah KepercayaanPetunjuk yang MengerucutPagi itu, Kirana menerima email anonim dengan subjek: “Berhenti sebelum semuanya hancur.” Isi email itu hanya satu kalimat: “Kamu tidak tahu siapa yang benar-benar ada di belakang semua ini.”Kirana membaca email itu berulang kali, hatinya dipenuhi kecemasan. Ia langsung menunjukkan pesan itu kepada Adrian, yang membacanya dengan ekspresi serius.“Ini bukan kebetulan,” kata Adrian. “Seseorang jelas ingin menakutimu, atau mungkin mencoba mengaburkan kebenaran.”“Tapi siapa? Dan kenapa mereka melakukan ini?” tanya Kirana, frustrasi.Adrian menghela napas, lalu berkata, “Kita sudah punya daftar kecil orang yang mungkin terlibat, termasuk Rendy. Tapi email ini menunjukkan kalau mungkin ada lebih dari satu orang yang bermain di balik layar.”Kirana menatap Adrian dengan ragu. “Kamu yakin kita bisa mengungkap semuanya? Aku takut ini akan membuat situasi semakin buruk.”Adrian menyentuh bahunya dengan lembut. “Aku janji, Kirana. Ki
Jejak Misteri di Balik LayarE-mail AnonimPagi itu, saat Kirana sedang menyiapkan presentasi untuk pertemuan tim, sebuah e-mail misterius masuk ke inbox-nya. Subjek e-mail itu tertulis: “Hati-hati dengan orang yang kamu percaya.”Kirana mengernyit. Ia ragu untuk membukanya, tetapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Isi e-mail itu hanya berupa satu kalimat singkat:“Tidak semua yang terlihat mendukungmu benar-benar di pihakmu. Perhatikan baik-baik siapa yang bermain di belakang layar.”Tidak ada tanda pengirim, hanya sebuah alamat e-mail yang tampak dibuat secara acak. Kirana merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi kata-kata itu terus terngiang di kepalanya sepanjang pagi.Keanehan dalam ProyekDalam rapat siang hari, Kirana mempresentasikan laporan kemajuan proyek dengan percaya diri. Namun, ketika ia membuka file terakhir yang berisi data pendukung, file tersebut tidak dapat ditemukan.“Maaf, semuanya,” kata Kirana sambil berusaha tenang. “Sepert