Suasana area parkir kampus tampak sepi, hanya ada cctv bergentayangan merekam setiap kejadian di tempat yang penuh dengan kendaraan roda dua dan empat. Termasuk kecelakaan kecil yang terjadi antara sedan merah dengan hitam.
Selepas parkir-memarkir selesai, laki-laki semampai berjaket hitam yang baru saja keluar dari sedan hitam, tampak mendesah kesal tatkala melihat bumper mobilnya lecet karena kecelakaan kecil beberapa detik lalu. Aura kemarahan terpancar jelas di wajah ovalnya. "Bokap pasti marah besar kalau sampai tau. Aish!"Mata tajam itu beralih pada dua perempuan yang keluar dari kendaraan penyebab kerusakan bumper mobilnya. Mengetahui siapa gerangan mereka, Yongki Gabriel, alias Abil tampak mengeratkan rahang. "Yang megang kemudi, gue minta tanggung jawabnya." Tatapannya dingin, tetapi menyeramkan.Rella dan Stella, kedua gadis itu terlihat ketakutan dengan salah satu tangan mereka saling mengait. Lidah terasa kelu saking takutnya, bahkan Rella sampai berkeringat dingin karena tahu pasti siapa yang tengah menghunuskan tatapan tajam itu. Laki-laki yang gambarnya terpampang di setiap sudut kampus dengan senyum lebar. Namun untuk pertama kalinya, ia perlihatkan aura menakutkan. Siapa pun mungkin akan kaget mengetahui sosok Abil ternyata bisa menampakkan sisi tersebut.Kembali menghela napas kasar, bibir Abil mulai meluncurkan lengkingan yang memekak. "Yang megang kemudi ... gue minta tanggung jawabnya! Lo budek?!"'Mampus, gue!'"Ini semua salah aku, Kak!" seru Stella lebih dulu, membuat Rella dan Abil mengalihkan pandangan padanya dengan tatapan berbeda. "Aku yang punya mobil, jadi ini salah aku dan aku bakal ganti rugi, berapa pun itu.""Bukan lo yang nyetir, mana mungkin gue nyalahin orang yang nggak bersalah?" timpal Abil sedikit ketus bercampur kesal mendengar perkataan Stella. Lebih tepatnya, jengkel? "Yang salah, tetap yang megang kemudi.""Tapi, Kak–"Rella menarik lengan Stella, membuat ucapan gadis itu menggantung. Kepala Rella menggeleng, disertai mimik kepasrahan. Netranya beralih menatap Abil yang masih diam di tempat."Saya mengaku salah dan akan ganti rugi.""Bagus.""Tapi tidak sekarang.""Gue maunya sekarang."Menganga tidak percaya, Rella merutuk dalam hati. "Tapi kalo sekarang tidak ada, Kak.""Gue nggak mau tau dan nggak peduli."Memejam kuat menahan amarah, lantas menghela napas sabar. Rella menarik leher ke samping, menatap penuh tanya pada Stella yang tiba-tiba mengguncang lengannya. "Kenapa?""Pake uang gue aja, lagian gue juga yang salah udah nyuruh lo ngemudiin Rose. Ya?" bisik Stella, sengaja agar tidak didengar Abil.Menggeleng keras, tanda Rella tidak setuju. "Jangan, dong, uang kamu itu buat biaya kuliah. Orang tua kamu sudah cape-cape nyari uang, malah mau dipakai buat nebus kesalahan yang aku perbuat? Tidak, aku tidak ikhlas kalau sampai kamu diam-diam ganti rugi ke Kak Abil. Sampai hati kamu melakukannya, kamu bukan sahabat aku lagi."Stella terdiam, tidak berani mengucap satu patah kata penolakan jika Rella sudah menggunakan hubungan persahabatan mereka sebagai senjata."Woi, nggak usah ngerumpi, buang-buang waktu."Keduanya beralih menghadap Abil. Rella menarik, lalu membuang napas, lantas berkata, "Karena kelas sebentar lagi dimulai, jadi ada baiknya masalah ganti rugi kita bahas nanti, setelah jam kuliah selesai. Kakak setuju?"Dahi Abil mengeriting. "Nanti? Masalah itu nggak bisa nanti-nanti, harus sekarang. Atau, jangan-jangan lo mau menghindar dari tanggung jawab?"Rella benar-benar dibuat kesal bercampur takut. 'Ya, Allah, ini orang punya hati apa tidak, sih? Ternyata aslinya seperti ini? Mahasiswa paling disiplin di kampus? Hh.'"Tuh, kan, El ... mending pake uang gue aja. Paling cuma satu jutaan, nggak lebih, kok."Seketika mata Rella membulat mendengar bisikan Stella. "Satu jutaan? Tidak salah? Yang lecet, kan, hanya bumper mobilnya, itu pun tidak terlalu kentara lecetnya. Gila, apa? Itu tidak sedikit, Stel.""Ekhem," dehem Abil, spontan keduanya bersamaan mengalihkan perhatian. "Time is money." Menunjuk-nunjuk arloji hitam di pergelangan kirinya.Lama-lama Rella jengah dengan sikap Abil yang tidak memikirkan orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. "Kakak bisa, tidak, menghargai ketidakmampuan orang lain? Iya, saya memang salah dan sepatutnya menebus kesalahan saya sendiri. Kakak seharusnya sadar dengan sikap tidak mau tau Kakak, meski sebenarnya TAU sama ketidakmampuan saya untuk ganti rugi detik ini juga. Kalau sampai ketua universitas tau, Kakak bisa lengser dari kedudukan Kakak di kampus ini."Cctv merekam semuanya, dengan sikap Kakak yang keluar dari kategori panutan, Kakak bisa saja kehilangan nama baik di seantero kampus ini."Terbungkam, Abil bagai tersambar petir mendengar ceramah dadakan Rella. Gadis gemuk itu berjalan selangkah, kemudian berkata, "Kalau Kakak tidak mau label Mahasiswa Paling Disiplin dicabut, cukup setujui usulan saya. Nanti sehabis jam kuliah, saya tunggu di cafe dekat kampus. Bukan untuk menebus ganti rugi, tapi untuk merundingkan masalah saya dengan Kakak. Ingat, harus memakai unsur musyawarah dan mufakat, tidak boleh ada unsur memaksa."Abil benar-benar dibuat tercengang oleh usulan sepihak dari adik tingkat, jurusan fashion design yang sudah memasuki semester empat itu. Sampai-sampai, untuk menolak pun ia tidak bisa, lebih tepat lagi, tidak berani mengambil risiko. Terlalu bahaya bagi kelangsungan hidupnya di rumah."Baik, karena Kakak diam, saya anggap Kakak setuju. Kalau begitu, kami permisi, assalamualaikum." Rella buru-buru menarik tangan Stella, enyah dari hadapan Abil yang sepertinya sebentar lagi akan meledak."Sh*t!" umpat Abil seraya menendang bumper mobil setelah kepergian dua gadis menyebalkan itu.***"What the h*ll?! Gue bener-bener nggak nyangka Kak Abil punya sifat super duper tempramen! Lo tau nggak, sih? Kaki sama tangan gue gemetaran, asli!"Dua gadis yang baru saja sampai di ruangan belajar-mengajar itu duduk di satu tempat-bagian ketiga dekat tembok. Desain kayu berbentuk persegi panjang, baik meja maupun kursi dengan warna cokelat kilap menjadikan suasana tampak hidup. Penempatan meja-kursi yang semakin belakang, kian ke atas, bertujuan untuk memperluas area penglihatan, baik bagi dosen pun pelajar."Gila aja, nyali gue buat deketin Kak Abil makin ciut, kayak kata lo, mungkin sisanya cuma segede biji ziroh," imbuh Stella berceloteh."Zarrah, Stel, bukan ziroh," komentar Rella memperbaiki. Tampaknya, gadis itu kehabisan gairah untuk sekadar membahas tentang Abil. Maklum saja,sejak kejadian di parkiran tadi, sampai sekarang dia masih tidak percaya mengeluarkan kalimat demi kalimat yang bahkan berisi ancaman itu pada laki-laki penyandang gelar 'paling disiplin' di kampus."El," panggil Stella pelan, mencipta gumaman lirih dari Rella. "Gue minta maaf, sumpah gue nggak bermaksud bikin lo kena masalah serumit ini.""It's okey, aku tidak pa-pa, lagian, salah aku juga yang kurang paten memarkirkan Rose," timpal Rella dengan seulas senyum terpaksa."Lo mau, ya, pake uang gue buat ganti rugi? Tapi jangan putusin hubungan persahabatan kita. Ya? El ... Please ....""Tidak, Stel. Satu kali berkata, tidak boleh diseleweng, karena perkataan adalah doa." 'Dan aku tidak mau hubungan persahabatan kita putus di tengah jalan.' Sambung Rella dalam hati.Terdiam cukup lama, Stella mengembuskan napas panjang. "Oke, kalo itu mau lo. Gue bisa apa kalo lo jadiin hubungan persahabatan kita sebagai senjata? Karena sahabat gue satu-satunya cuma lo, El. Cuma lo yang nerima gue apa adanya.""Dan cuma kamu yang mau jadi sahabat seorang Cinderella bertubuh gemuk," sambung Rella dengan mimik terharu.Suasana kelas yang ramai seketika terasa sunyi. Sepasang sahabat itu saling merengkuh satu sama lain bersama tangis pecah layaknya anak kecil. Tidak peduli berpasang-pasang mata menyaksikan, yang jelas, rasa malu hilang bersama beban hidup ketika bersama sahabat."I hate you, El," bisik Stella di sela tangisnya."And I hate you so much, Stel."Keduanya tertawa dalam hangatnya rengkuh persahabatan. Ya, sahabat adalah sosok yang lebih ajaib daripada sihir, lebih mujarab daripada obat, dan lebih menenangkan daripada alunan musik merdu. Persahabatan akan indah, apabila tidak ada kata ‘khianat’ di dalamnya.Dari Ali bin Abi Thalib berkata, "Seorang teman tidak bisa dianggap teman sampai ia diuji dalam tiga kesempatan: pada saat dibutuhkan, sikapnya di belakangmu, dan setelah kematianmu."***3 ... 2 ... 1Klik.Bunyi pulpen hitam berdesain tanpa tutup, dengan bagian ujung terdapat benda untuk ditekan berguna sebagai buka-tutup otomatis tersebut menjadi tanda sebagai berakhirnya waktu belajar-mengajar. Dosen muda berumur 25 tahun yang baru saja mendapat predikat dosen tetap dan terkenal paling disiplin waktu juga apik dalam segala hal itu segera mengangkat kepala, mengumbar senyum, lalu bersuara, "Waktu habis. Untuk presentase hari ini, saya cukup puas. Cinderella, good job."Terlukis senyum lebar di bibir Rella, tampak senang dengan pujian itu. "Terima kasih, Pak."Stella menyikut lengan gadis itu dan berbisik 'cie'. Membuat kedua pipi Rella bersemu merah layaknya kepiting rebus."Sampai berjumpa pekan depan dan jangan lupa tersenyum. Wassalamualaikum.""Waalaikumussalam, Pak."Dosen tersebut mengambil langkah ke luar ruangan selepasnya dengan bulan sabit yang setia terukir.Para pelajar membubarkan diri, beberapa di antaranya masih sibuk mengemasi peralatan, termasuk Stella dan Rella."El, lo jadi ketemu sama Kak Abil, 'kan?" tanya Stella seraya menyampirkan tali tas ke bahu kanannya.Menutup resleting tas, lalu mengenakan benda berwarna biru muda tersebut, Rella menjawab, "Jadi, kok. Kamu juga ikut, 'kan?""Aduh, gimana, ya? Sebenernya gue baru aja di-chat sama Bokap, hari ini keluarga besar kumpul di rumah. Lo juga taulah, mau ngebahas apa. Pastinya tentang perjodohan gila itu," balas Stella, lantas mengembuskan napas berat."Jadi, kamu tidak ikut. Begitu?""Ya ... mau gimana lagi? Soalnya kata Bokap, dia bakal kecewa kalo sampe gue nggak hadir, dan gue paling nggak bisa nolak kalau urusannya udah sama Bokap. I am so sorry .... Lo sendirian, nggak pa-pa?"Menghela napas pendek, Rella mengangguk samar. "It's okey, Stel. Aku tidak pa-pa, lagi pula orangnya, kan, cuma Kak Abil, bukan dosen killer."Terkekeh, Stella mencubit pipi gembul Rella dengan gemas,
Cuaca di sore ini terasa dingin. Angin berembus pelan, membelai pepohonan, hingga daun-daunnya menari tanpa beban. Deru kendaraan di jalan terdengar bersahutan. Debu-debu trotoar beterbangan bagai berusaha lari dari kenyataan yang sebentar lagi akan menghempaskan mereka.Kesedihan Rella juga dimengerti oleh langit. Rintik mulai berjatuhan, bersamaan dengan orang-orang berteduh di bawah naungan. Kecuali Rella, gadis yang menghentikan langkah di tengah guyuran hujan. Tidak peduli dingin menembus tulang. Ia merasa, hujan tengah memberinya rahasia terbesar. Ya, walau berjatuhan dari tempat yang teramat tinggi demi menyuburkan bumi, tetapi ia tidak pernah merengek ataupun menolak takdir Tuhan. Ia sangat tegar."... Marah aja tiap hari, biar gue nggak bosen liat wajah lo yang penuh lemak itu.""Orang tua lo pinter banget, ya, ngasi nama. Terus pangerannya segede apa kira-kira kalo tuan putrinya kayak lo?"Suara Abil terus berputar keras di telinga Rella. Kedua kaki yang memijak bumi tidak ma
"Gue, sih, nggak masalah lengser dari jabatan ketua BEM sama gelar mahasiswa teladan, tapi masalahnya ada sama bokap gue, Al. Kalau sampai bokap tau, tamat riwayat gue! Aduh, Al ... please bantuin gue mikir. Gue nggak tau musti ngapain sekarang!"Racauan sang teman dari lima belas menit lalu hanya ditanggapi kekehan olehnya, laki-laki penyandang gelar dosen termuda. Ialah, Muhammad Alka Marshal, si tuan rumah sekaligus pendengar setia curhatan panjang dari seorang teman yang datang bertandang di malam hampir larut. Tautan jari tangan di atas meja dari awal sesi curhat, kini beralih disedekapkan depan dada.Wajah kusut laki-laki yang tidak lain adalah milik Abil, semakin kusut tatkala mendengar kekehan Alka. "Gila lo, ya, ketawa di atas penderitaan gue. Bukannya kasih solusi, atau apa, kek, malah ketawa."Sebelah tangan Alka memperbaiki kacamata yang membingkai iris berwarna abu dengan bentukan sipit. Lalu, kata demi kata bernada halus teralun merdu melewati bibir tipis kemerahannya. "
Kaki nan putih bersih tanpa cat kuku itu menyusuri trotoar tepi jalan. Meski sering kali dilanda pening dan mual, Rella tetap memaksakan diri. Cara berjalannya pun terhuyung-huyung seperti orang mabuk yang terlalu banyak minum khamr. Jam 7 lebih 5 menit, seketika perasaan lega merundung benak. Sebuah minimarket sudah terlihat di depan mata.Dengan penuh kesabaran, Rella kembali memacu langkah pelannya memasuki tempat perbelanjaan. Memilih barang-barang yang hendak dibeli, khususnya benda putih nan empuk itu. Tidak tanggung-tanggung, tiga pack ukuran besar pembalut diborong.Setelah dirasa cukup, Rella menuju kasir. Tidak pernah sedikit pun kepeningan enyah dari kepala, tetapi mau bagaimana lagi? Tidak ada Stella yang akan dimintai bantuan, paket data pun belum ada untuk belanja secara online."Sekalian isi kuota sepuluh Gibyte, ya, Mbak," pesan Rella di sela kesibukan petugas kasir bekerja."Iya, Mbak, sebentar, ya. Tolong tulis nomor telepon yang mau diisikan kuota di sini," kata petu
"El, Ella, lo kenapa? El, please bangun, jangan bikin gue takut! Ella!"Tubuh Rella terkesiap, bersamaan dengan netra yang terbuka cepat, seperti orang terbangun dengan keterkejutan pada umumnya. Wajah dibanjiri air mata, lengkap dengan sesenggukan yang masih ada. Bola matanya tertuju pada Stella yang tampak sangat cemas, cairan bening bergelayut di kedua pipi gadis itu. Cukup lama tanpa suara, hingga napas Rella menguar panjang disertai pejaman, antara bahagia dan kecewa.Stella beranjak tergesa. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan segelas air putih. "Minum dulu, biar agak mendingan."Rella masih terbungkam, tetapi mengiakan saran Stella lewat gerakan tubuh yang berusaha mengangkat tubuh bagian atas. Stella mengulurkan tangan kirinya yang bebas, m
Ke-kekeh-an Rella untuk ikut serta ke minimarket membuat Stella mau tidak mau mengalah dan memberi restu-eh-izin. Padahal, gadis yang kabarnya baru saja didatangi bulan itu masih dalam kondisi drop, jalan saja seperti orang habis mabuk ciu. Terpaksa jarak lima puluh meter dari kos-an tersebut harus ditempuh menggunakan si Rose. Astaga, tinggal tekan gas satu detik pun sudah sampai. Dasar manusia kuker, salahkan saja Rella yang ngebet.Satu di antara beberapa alasan Rella kekeh ikut, sejenak mencipta gelak tawa dari Stella. Masih terikat dengan mimpi yang entah buruk atau baik waktu lalu, Rella bersama kemantapan hati pun jiwa, berseru, "Siapa tahu mimpi aku jadi kenyataan, Stel! Didatangi bulan sama stok pembalut di mimpi saja, jadi beneran, apalagi dengan bagian adegan ketemu sama Pak Alka, mungkin saja jadi kenyataan! Alu ikut, ya ... please ...!"
Di malam sunyi sepi. Merendah pasrah pada sang Ilahi. Bila esok 'kan tiba. Biarlah cerita mengalir apa adanyaAllah lebih tahu . Segala hal yang terbaik untukku. Jadi tiada lagi . Gundah gelisah merundung hatiAku 'kan jadi hujan. Tegar, tak putus asa. Aku 'kan jadi mutiara. Tersembunyi di balik cangkangAku adalah seperti apa yang Tuhan takdirkan. Biarlah dunia menyiksa. Biarlah mereka mencela. Aku adalah aku, Tuhan lebih tahu ituUntukmu, pemilik jiwa juang lagi tegar
Rose melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang. Gadis di balik kemudi sesekali memutar leher hanya untuk mengamati raut yang tercetak di wajah gembil milik Rella. Berdehem, Stella menggerakkan jari-jemarinya di atas kemudi, mulai memikirkan apa yang akan ia katakan. Kejadian semalam cukup membuat komunikasi mereka sedikit memburuk. Sedari awal, Rella hanya menampilkan senyum tipis tanpa suara, paling untuk menjawab setiap perkataan Stella, itu pun satu-dua patah kata.Entah sudah berapa lama hening meraja, hingga akhirnya potongan kejadian waktu lalu menyambangi pikiran Stella. Demikian membuat gadis itu segera berkata, "Kemarin waktu lo nggak masuk, Kak Abil cariin lo tau."Rella menampakkan respon dengan wajah menghadap Stella. Kedua alisnya bertaut tajam dengan mimik terkejut. "Kak Abil nyari aku?" tanya gadis itu, lantas mendapat anggukan cepat dari St
[Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia
Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala
Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam
Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika
Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s
“Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete
Wanita berpakaian khas dokter itu menggelung tt dan memasukkannya ke dalam tas khusus. Rautnya tampak berbeda selepas memeriksa keadaan pasien yang terbaring di ranjang king size. Sesaat kemudian, dia melempar senyum kepada orang tng duduk di kursi dekat ranjang, Gloria. "Bagaimana keadaan Stella, San? Dia tidak kenapa-napa, kan?" Kecemasan tergurat jelas di wajah renta Gloria. "Ibu jangan khawatir, Stella baik-baik aja. Dia cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga, sebentar lagi pasti siuman." Ucapan Santiya, dokter yang biasa menanganinya terdengar meyakinkan, membuat Gloria tersenyum tenang dan bernapas lega. "Entah apa yang Stella kerjakan selain kuliah sampai membuatnya kecapean, tapi syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa." Gloria berdiri mendekati Santiya yang telah selesai mengemasi peralatan medisnya. "Kamu nggak makan dulu bareng kita? Sambil nunggu Stella siuman.""Nggak usah, Bu, saya mau langsung balik ke rumah sakit selesai dari sini. Mungkin ... lain kali kalau ng
"Sebesar apa pun perjuanganmu untuk mendapatkannya, sekalipun mendaki gunung himalaya, bahkan mengarungi samudera hindia, jika Tuhan tidak berkehendak, kamu tidak akan pernah bisa memilikinya."***Anna, kenapa gadis yang pernah menjadi saudara tirinya itu ada di sini? Pertanyaan itulah yang pertama kali menyambangi pikiran Rella tatkala masuk ke rumah bak istana milik Gloria. Ia benar-benar terkejut, Abil berbisik padanya bahwa gadis dengan dress selutut itu adalah adik Stella. Adik kandung, tetapi beda ibu. Satu rahasia kembali terkuak. Lantas, kenapa selama ini, Stella bersikap seolah tidak mengenal Anna? Tunggu dulu. Annasterra dan ... Annastella. Kenapa Rella baru sadar, jikalau nama dari kedua gadis itu ada kemiripan? Kenapa ia tidak ngeh sama sekali? Rella tidak habis pikir. Lantas, apa alasan Stella sampai merahasiakan tentang ikatannya dengan Anna? Anna sangat menyukai Alka, apakah Stella mendukung hal itu di belakang Rella? Apakah Stella hanya berpura-pura mendukung per
"Setiap hal yang tersembunyi, ada kalanya tampak ke permukaan. Semata-mata agar manusia paham, bahwa sesuatu yang seharusnya tidak menjadi rahasia, tidak perlu dirahasiakan. Jika ketersembunyian saja mencipta masalah baru, kenapa tidak dengan menyuarakan kebenaran saja? Toh, ujungnya akan tetap sama. Walau sejatinya, kejujuran di awal lebih mampu untuk diterima hati, daripada menyemai kebohongan, yang pada akhirnya tertuai kekecewaan dan sulit untuk sekedar diikhlaskan."***[Kemarin lusa, kan, kamu belum jawab iya apa enggak. Apa mau ke sana sekarang? Kebetulan udah selesai kuliah. Kamu udah selesai?]Pesan itu didapat Rella dari Abil dua hari setelah mengajar di panti asuhan. Hal itu yang sangat ingin ditanyakan Rella, seandainya kemarin lusa laki-laki tersebut tidak menerima telepon penting. Pembicaraan tentang Stella pun terhenti, terlupakan begitu saja. Ingin bertanya, sudah sampai kos-an, jadilah Rella menahan rasa penasarannya hingga sekarang. [Udah selesai, Kak, ini mau bali