Mata Askara membola sempurna, warna biru kini mendominasi kornea matanya. Askara murka. Menyebabkan pusaran angin menderu di sekitar, pada akhirnya gemuruh angin itu pencar ke setiap penjuru arah seiring kaki Askara melangkah.
Cindaku yang cidera itu sempat terhempas mundur oleh dorongan angin yang disebabkan Askara. Hanya mundur, tak sampai terjungkal. Si monster pun kembali menerjang lagi setelah itu. Hebatnya, kaki pincangnya itu bukanlah sebuah halangan untuk menyerang.
Askara lantas melesat berlari, meliuk-liuk antara sela batang pepohonan. Tujuannya tiada lain supaya si monster kebingungan saat hendak menerkam. Hingga akhirnya Askara tak terlihat berlarian lagi. Membuat cindaku celingukan mencari jejak pemuda itu.
Sekelebat bayangan membuat cindaku menoleh ke selatan. Namun tak ada apapun yang berbekas, suasana sepi kembali dan hanya menyisakan dengus dan geramannya saja.
Sekali lagi sekelebat bayangan itu melintas, kini di arah barat. Makhluk itu m
"Kena kau!"Bersamaan dengan itu, pakaian Askara banjir cairan kental berwarna merah, bahkan bercipratan ke segala arah. Askara menacapkan dalam-dalam batu yang sekilas sudah berbentuk kapak genggam itu.Namun sepertinya batu yang ia tancapkan tak cukup untuk memutus urat nadi cindaku.Si monster masih menyempatkan untuk mengaum, lantas dilanjut menghempaskan badan Askara sampai pemuda itu bergulingan di tanah. Cindaku terdengar meraung sekeras-kerasnya, ia mengeleng-gelengkan kepala. Mengamuk karena lehernya berlubang sampai mengocorkan darah merah menyala.Askara mendecih, ia meraba-raba mencari batu yang sempat terlempar tadi. Untungnya ia berhasil mendapatkannya kembali. Segera ia merangkak bersembunyi untuk sementara waktu di balik batang pohon tengkaras. Keadaan sekitar cukup gelap, nampak mata biru Askara berkedip-kedip seolah waktu pemakaiannya hampir habis."Ini aneh. Hari itu aku bisa memutus lehernya dengan cepat," gumam Askara dengan na
Sanggapati terjun dari ketinggian, bersama dengan cindaku yang ikut meluncur dengannya. Pemuda itu berusaha tidak berteriak, memutuskan untuk menyilangkan tangan guna berjaga-jaga dari apapun yang bisa melukai wajahnya. Seketika ia lupa akan tongkat kayunya.Sanggapati jatuh menembus hamparan kabut yang membentang di tengah-tengah ketinggian tebing. Embusan angin kini terasa menjadi cambuk saking cepatnya ia meluncur. Sanggapati membulatkan mata, kala mendapati bentangan sungai memanjang di bawahnya."Konsentrasi ...""Konsentrasi ..."Pemuda itu dengan cepat memutar tubuh di udara, menjadikan kaki sebagai organ pertama yang mendarat. Lantas sibuk mengumpulkan beban untuk diubah jadi pelepasan energi. Maka pada saat kakinya mulai terasa ringan, ia siap menapak di atas air menggunakan teknik napak banyu.Sanggapati berhasil mendarat menggunakan Napak banyu. Namun efek penggunaannya itu menimbulkan dentuman yang nyaring. Air sungai meluap ke pinggir,
Sanggapati dikejutkan dengan terkaman cindaku yang terbilang sangat tiba-tiba. Padahal jelas jika si monster ikut hanyut dalam aliran air yang meluap deras ke pinggir. Namun nyatanya sekarang ia lengah dan berakhir dalam terkaman kuku makhluk itu."Lepaskan!" erang Sanggapati saat kuku cindaku perlahan menancap dan malukai dua sisi bahunya. Ia tertindih bobot berat makhluk itu, tepat berada di atasnya yang tengah terlentang.Sanggapati mengelak saat si monster hendak menggigit lehernya. Segera ia meronta sekuat mungkin supaya tangannya berhasil lepas dari belenggu kuku. Maka saat tangan mulai bisa bergerak, dengan cepat ia menjewer daun telinga cindaku. Menariknya hingga kepala si monster juga ikut tertarik."Arrgh!" Sanggapati saat itu sudah menyiapkan jidat lebarnya untuk melawan, lantas ia benturkan pada kepala cindaku yang ia tarik. Dua jidat pun bertumbuk lumayan kencang sampai menciptakan suara retakan tulang.Keduanya pun oleng seketika, baik kenin
"Sangga!" seru Askara dari atas tebing. Suaranya terpantul-pantul di antara dua dinding tebing. Pertama yang sekarang ini dipijak Askara, juga tebing lain yang berdiri jauh di depan sana. Menyisakan lembah yang dalam menjadi pembatas antara dua tanah tinggi itu."SANGGA!" teriaknya lagi lebih kencang.Suara itu sampai ke dasar lembah. Meskipun berbentuk gema yang sedikit terdengar bising, Sanggapati mampu mendengarnya. Segera ia bangkit dan menyeru balik rekannya itu."ASKA?""AKU DI SINI! TURUNLAH!""ASKA!""ASKAAA!"Seruan balik itu memantul dari dinding ke dinding tebing. Karena Askara tak cukup mendengar lebih jelas apa yang diteriakkan Sanggapati, ia mendadak panik setelahnya. Askara berulang-ulang kali berusaha menyeru lagi ke bawah. Karena menimbulkan suara yang amat berisik, Sanggapati abai dan malah berakhir mengedikkan bahu."Telingaku sepertinya salah dengar."Seruan Sanggapati kali ini tak terdengar jel
Askara dan Sanggapati berhasil membuat rakit dari batang pepohonan yang tumbang. Tidak terlalu bagus, karena keduanya hanya mengandalkan lima batang pohon tumbang yang entah apa namanya. Keduanya sama sekali belum pernah melihat pohon itu. Sekilas mirip batang pisang dengan bentuk daun yang berbeda, mungkin sejenis pohon rawa.Untuk membuat rakit supaya bisa ditumpangi, Askara memanfaatkan tanaman rambat yang tumbuh di pinggir sungai. Meskipun terbilang mudah putus, lain lagi ceritanya jika tanaman itu dirangkap hingga menjadi satu tali yang tebal. Lalu, tali panjang super tebal itu digunakan untuk merekatkan lima batang sampai merangkap.Setelah memerlukan waktu beberapa saat, jadilah sebuah rakit sepanjang dua meter yang siap ditumpangi."Kau yakin ini akan berhasil?" tanya Sanggapati."Setidaknya kita tidak perlu lelah berjalan. Tinggal ikuti arus sungai aja," jawab Askara yang sudah menempatkan p
"Cindaku siluman?" Sanggapati terkesiap, pasalnya ini adalah kali pertama dia melihat wujud cindaku dengan postur sesempurna itu.Kekar bahkan berotot, enam kotak tercetak rapi di sekitar perut. Berdiri gagah seakan badan manusia dengan wajah harimau mamalia. Sungguh bentuk monster yang terbilang perkasa. Sanggapati malah berdalih dulu sejenak ke perutnya. Hanya ada gumpalan lemak di sana, bisa-bisanya dia merasa kalah postur dari sesosok monster di depannya ini."Gawat!" Askara mempercepat dayungannya."Waw ... Cindaku itu berotot. Sekuat apa dia?" tanya Sanggapati"Kau gila?! Jangan pernah meremehkan kemampuan cindaku macan tutul itu!" peringat Askara tanpa menoleh ke belakang. Ia sibuk melesatkan rakit agar melaju sekencang mungkin.Sanggapati masih memantau si monster berkulit kuning kecoklatan itu. Rakit yang ditumpangi mereka mengambil jalur tengah-tengah sungai, dila
Askara dan Sanggapati masih terkesima. Melihat cindaku macan tutul menancapkan kuku tajamnya di tebing yang berdiri tegak. Mirip sekali dengan cecak atau monster laba-laba. Dengan mudahnya ia merayap di kecuraman tebing yang membentang vertikal. Seolah-olah gravitasi bumi kesulitan menariknya ke bawah."Celaka! Dayung lebih cepat Sangga!" pekik Askara. Sontak keduanya kembali memacu dayung supaya rakit kembali melesat.Di pinggir mereka, tepatnya di kecuraman tebing yang tegak. Cindaku siluman itu tak melepaskan penglihatannya. Manik matanya terus menatap buas dua pemuda yang sibuk mendayung itu. Askara beberapa kali menelan ludah, ia khawatir jika cindaku itu mampu mengingat dirinya.Namun sepertinya si macan tutul memang mengenali Askara. Lihatlah, bahkan sekarang pemuda itu menjadi target sorotan matanya terus.Berpikir dalam kondisi yang sempit, Askara berujung banyak melamun. Dia berusaha mengingat kembali bagaimana cara mengalahkan cindaku macan tut
Byuur! Rakit yang ditumpangi Sanggapati dan Askara jungkir balik, membuat keduanya berputar-putar di dalam air. Askara lebih dulu berhasil menyembulkan kepala ke permukaan air. Dilanjut meneriaki Sanggapati yang hilang dan tak kunjung menampakkan diri. "Sangga! Sangga!" Beberapa kali Askara mengedarkan pandangan di tengah derasnya aliran sungai. Namun nihil, rekannya itu tak menyahut sama sekali seruannya. Kedalaman sungai yang kini dirasa tak dangkal lagi, membuat Askara sedikit was-was. Bisa dikatakan ukurannya mulai setinggi lehernya. Itupun dalam keadaan terseret-seret. Entah setinggi apa jika dia memasuki kawasan hilir nanti. Berusaha mempertahankan kepalanya supaya tetap menyembul, Askara mencoba mengeluarkan teknik andalannya yakni Napak banyu. Sayang, dalam kondisi badan terseret arus seperti ini, sangat sukar untuk bisa menapakkan kaki di permukaan. Askara bera