Askara dan Sanggapati masih terkesima. Melihat cindaku macan tutul menancapkan kuku tajamnya di tebing yang berdiri tegak. Mirip sekali dengan cecak atau monster laba-laba. Dengan mudahnya ia merayap di kecuraman tebing yang membentang vertikal. Seolah-olah gravitasi bumi kesulitan menariknya ke bawah.
"Celaka! Dayung lebih cepat Sangga!" pekik Askara. Sontak keduanya kembali memacu dayung supaya rakit kembali melesat.
Di pinggir mereka, tepatnya di kecuraman tebing yang tegak. Cindaku siluman itu tak melepaskan penglihatannya. Manik matanya terus menatap buas dua pemuda yang sibuk mendayung itu. Askara beberapa kali menelan ludah, ia khawatir jika cindaku itu mampu mengingat dirinya.
Namun sepertinya si macan tutul memang mengenali Askara. Lihatlah, bahkan sekarang pemuda itu menjadi target sorotan matanya terus.
Berpikir dalam kondisi yang sempit, Askara berujung banyak melamun. Dia berusaha mengingat kembali bagaimana cara mengalahkan cindaku macan tut
Byuur! Rakit yang ditumpangi Sanggapati dan Askara jungkir balik, membuat keduanya berputar-putar di dalam air. Askara lebih dulu berhasil menyembulkan kepala ke permukaan air. Dilanjut meneriaki Sanggapati yang hilang dan tak kunjung menampakkan diri. "Sangga! Sangga!" Beberapa kali Askara mengedarkan pandangan di tengah derasnya aliran sungai. Namun nihil, rekannya itu tak menyahut sama sekali seruannya. Kedalaman sungai yang kini dirasa tak dangkal lagi, membuat Askara sedikit was-was. Bisa dikatakan ukurannya mulai setinggi lehernya. Itupun dalam keadaan terseret-seret. Entah setinggi apa jika dia memasuki kawasan hilir nanti. Berusaha mempertahankan kepalanya supaya tetap menyembul, Askara mencoba mengeluarkan teknik andalannya yakni Napak banyu. Sayang, dalam kondisi badan terseret arus seperti ini, sangat sukar untuk bisa menapakkan kaki di permukaan. Askara bera
"Tiga ... Dua ... Satu!"Askara dan Sanggapati meluncur dari ketinggian air terjun. Diterka puluhan meter. Pendaratan mereka pun diiringi suara dentuman yang kencang. Badan mereka seakan tercambuk air yang menggenang di bawahnya.Aliran air dirasa cukup tenang sekarang. Namun kepala mereka masih seakan terasa berputar-putar. Jatuh dari air terjun setinggi puluhan meter memang berhasil mengguncangkan mereka hingga pusing sampai mabuk.Begitu Sanggapati menemukan batu sungai, lantas dia sergap berpegangan erat. Berakhir melenggorkan tubuhnya di atas sana, lalu mengatur deru napas yang keluar tak beraturan.Beberapa saat kemudian dia bangkit lalu menduduki batunya. "Aska!" serunya lagi."Aku di sini," jawab Askara lesu. Pemuda itu juga terlihat berpegang pada salah satu batu sungai yang berada tak jauh darinya."Fiyuuh ... Kau tidak apa-apa kan?"
Askara berhasil membawa Sanggapati ke tepian sungai, memapah pemuda itu supaya ikut lari bersamanya di di pinggir sungai. Namun usaha itu sempat terhambat karena Sanggapati mulai kelelahan, tenaganya banyak terkuras akibat membendung serangan demi serangan dari cindaku."Bertahanlah, Sangga ..." Askara cepat-cepat melingkarkan tangan temannya itu ke bahunya, lalu pergilah mereka lari tergesa-gesa. Menyeret Sanggapati yang kala itu tengah pincang.Sebenarnya Askara bisa saja meninggalkan Sanggapati demi menyelamatkan diri sendiri. Hanya saja dia berpegang teguh pada peraturan yang dikatakan oleh sepuhnya. Mengingat kunci lulus dari latihan gabungan sekaligus ujian bertahan hidup ini adalah 'kerja sama tim'.Suara auman kembali terdengar. Bersamaan dengan itu, cindaku melompat keluar dari dalam air sungai. Menapaki daratan dan hendak mengejar dua pemuda yang melarikan diri itu.Kondisi Sanggapati yang kala itu pincang ternyata menghambat. Keduanya berhasil
Pupil mata si monster seketika mengecil, yang bermula mengerikan kini berubah seolah kucing biasa.Si monster terlihat celingukan, mengangkat kedua tangan dan berdalih menatap telapaknya yang kotor dengan darah.Cindaku sedikit jinak sekarang, terdiam menatapi Askara dan Sanggapati yang tergeletak tak sadarkan diri di depannya. Kedua pemuda itu terluka cukup parah, dengan berbagai luka menyebar di sekujur tubuh mereka.Seharusnya saat inilah waktunya cindaku memangsa dua laki-laki itu untuk makan malam. Namun anehnya, si monster seakan menyia-nyiakan kesempatan itu.Karena pertarungan demi pertarungan yang terjadi begitu panjang, tak terasa rembulan sudah tenggelam di salah satu ufuk. Digantikan dengan kilat kuning mentari yang perlahan muncul, merambat dari ufuk timur.Sinar kuning itu berjalan di pijakan bumi, perlahan menyinari cindaku yang diam tak berkutik. Dengan cahaya itu
Baduga menarik tali busurnya, membidik si monster yang kala itu mendadak diam tak berkutik. Sepuh itu memang tidak memiliki anak panah. Ajaibnya, seiring tali busurnya dia tarik, munculah bentangan cahaya membentuk anak panah. Berkelip-kelip dan mengalirkan percikan listrik. "Konsentrasi ..." gumam pria itu sebelum melesatkan anak panah hasil dari pelepas energinya itu. Batang berlistrik itu pun berhasil dilesatkan, melaju cepat ke arah cindaku macan tutul yang tengah termenung. Dwara sadar akan serangan Baduga. Benar saja. Pasca ia menoleh, panah energi hendak mendarat di leher si monster. Tentu saja Dwara tahu bagaimana akibatnya. Rivalnya itu diketahui mampu memenggal kepala cindaku hanya menggunakan energi yang dihasilkan dari angin kosong. Nampaknya Dwara punya pandangan lain. Pria itu terlihat berlari dan berhenti di tengah-tengah sasaran anak panah Baduga. Tidak
(Kabeh mahluk cipta anu maha suci ...)[Semua makhluk ciptaan yang sangat suci](Kalebet sasatoan ...)[Termasuk para binatang](Pangpangna rasa kanyeri ...)[Terutama rasa sakit](Hayu urang ngaji rasa ...)[Mari kita satukan perasaan]Askara serentak bangun dari pembaringannya yang terasa seperti hamparan rumput itu. Dia mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Terlihat pemandangan tak asing, kawanan pohon yang rimbun akan bunga wisteria berhasil memanjakan mata.Askara tak kaget lagi. Ini alam bawah sadarnya."Paman Abiseka?" seru Askara usai mendengar senandung Pupuh maskumambang itu. Ia yakin, pria itulah yang selama tadi fasih menyanyikannya."Hei Paman, di mana kau?" seru Askara lagi."Yoo Aska!" Abiseka kemudian muncul dari belakang Askara, melambaikan tangan dan berjalan mendekati pe
"Terimakasih Paman, atas semua sarannya. Kau seperti sosok Ayah yang tengah menasihati putranya. Andai saja kau Ayahku. Aku pasti senang sekali."Abiseka terkejut, dia berlanjut memandangi wajah pemuda itu cukup lama."Yah, sayangnya Ayahku itu tidak sepertimu. Sejak kecil aku tidak ingat jika dia pendekar adiwira. Yang kuingat hanya seorang penjual batu biasa. Tapi sekalinya ingat, malah mendapat berita kurang mengenakkan. Ternyata dia penghianat adiwira. Cih ...!" Perkataan Askara terdengar getir, Abiseka mampu menerka. Laki-laki itu pasti kecewa."Heran. Bisa-bisanya dia berkhianat. Aku penasaran bagaimana ekspresi Ayah jika tahu kalau Ashoka mati karena cindaku juga. Apa dia akan berubah pikiran?"Abiseka semakin bungkam terdiam."Lupakan saja Paman, jangan bahas Ayahku yang aneh itu. Kau bisa mengajariku bagaimana cara supaya tidak banyak gaya saat bertarung? Bisa kan? Jurus
Askara terhentak, mendadak pemuda itu membuka mata setelah cukup lama pingsan. Terbangun dengan sebelah mata berwarna jingga kemerahan, namun dia sama sekali tidak menyadari akan hal itu. Pada akhirnya efek perubahan manik mata itu hanya beberapa detik, lantas warnanya kembali seperti semula."Ah ... Mimpi ya?" gumam Askara saat menyadari bahwa dirinya tengah terbaring di tempat yang asing baginya. "Tapi, di mana ini?"Malas untuk bangun, pemuda itu malah kembali merebahkan badan dengan posisi senyaman mungkin. Karena kebetulan tempat berbaringnya itu sangat bersih dan empuk. Setelah terbiasa akan ranjang batu dan kayu, kapan lagi bisa dirinya bisa sesantai ini?"Fuhh ... Nyaman sekali tempatnya.""Tapi rasanya hampa. Seperti ada yang kurang."Terakhir kali Askara bisa berbaring santai adalah saat bertemu Abiseka."Paman Abiseka ... Dia selalu muncul di alam bawah sadarku. Sebenarnya siapa dia?" gumamnya sambil menjadikan kedua telapak tanga