Askara berhasil membawa Sanggapati ke tepian sungai, memapah pemuda itu supaya ikut lari bersamanya di di pinggir sungai. Namun usaha itu sempat terhambat karena Sanggapati mulai kelelahan, tenaganya banyak terkuras akibat membendung serangan demi serangan dari cindaku.
"Bertahanlah, Sangga ..." Askara cepat-cepat melingkarkan tangan temannya itu ke bahunya, lalu pergilah mereka lari tergesa-gesa. Menyeret Sanggapati yang kala itu tengah pincang.
Sebenarnya Askara bisa saja meninggalkan Sanggapati demi menyelamatkan diri sendiri. Hanya saja dia berpegang teguh pada peraturan yang dikatakan oleh sepuhnya. Mengingat kunci lulus dari latihan gabungan sekaligus ujian bertahan hidup ini adalah 'kerja sama tim'.
Suara auman kembali terdengar. Bersamaan dengan itu, cindaku melompat keluar dari dalam air sungai. Menapaki daratan dan hendak mengejar dua pemuda yang melarikan diri itu.
Kondisi Sanggapati yang kala itu pincang ternyata menghambat. Keduanya berhasil
Pupil mata si monster seketika mengecil, yang bermula mengerikan kini berubah seolah kucing biasa.Si monster terlihat celingukan, mengangkat kedua tangan dan berdalih menatap telapaknya yang kotor dengan darah.Cindaku sedikit jinak sekarang, terdiam menatapi Askara dan Sanggapati yang tergeletak tak sadarkan diri di depannya. Kedua pemuda itu terluka cukup parah, dengan berbagai luka menyebar di sekujur tubuh mereka.Seharusnya saat inilah waktunya cindaku memangsa dua laki-laki itu untuk makan malam. Namun anehnya, si monster seakan menyia-nyiakan kesempatan itu.Karena pertarungan demi pertarungan yang terjadi begitu panjang, tak terasa rembulan sudah tenggelam di salah satu ufuk. Digantikan dengan kilat kuning mentari yang perlahan muncul, merambat dari ufuk timur.Sinar kuning itu berjalan di pijakan bumi, perlahan menyinari cindaku yang diam tak berkutik. Dengan cahaya itu
Baduga menarik tali busurnya, membidik si monster yang kala itu mendadak diam tak berkutik. Sepuh itu memang tidak memiliki anak panah. Ajaibnya, seiring tali busurnya dia tarik, munculah bentangan cahaya membentuk anak panah. Berkelip-kelip dan mengalirkan percikan listrik. "Konsentrasi ..." gumam pria itu sebelum melesatkan anak panah hasil dari pelepas energinya itu. Batang berlistrik itu pun berhasil dilesatkan, melaju cepat ke arah cindaku macan tutul yang tengah termenung. Dwara sadar akan serangan Baduga. Benar saja. Pasca ia menoleh, panah energi hendak mendarat di leher si monster. Tentu saja Dwara tahu bagaimana akibatnya. Rivalnya itu diketahui mampu memenggal kepala cindaku hanya menggunakan energi yang dihasilkan dari angin kosong. Nampaknya Dwara punya pandangan lain. Pria itu terlihat berlari dan berhenti di tengah-tengah sasaran anak panah Baduga. Tidak
(Kabeh mahluk cipta anu maha suci ...)[Semua makhluk ciptaan yang sangat suci](Kalebet sasatoan ...)[Termasuk para binatang](Pangpangna rasa kanyeri ...)[Terutama rasa sakit](Hayu urang ngaji rasa ...)[Mari kita satukan perasaan]Askara serentak bangun dari pembaringannya yang terasa seperti hamparan rumput itu. Dia mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Terlihat pemandangan tak asing, kawanan pohon yang rimbun akan bunga wisteria berhasil memanjakan mata.Askara tak kaget lagi. Ini alam bawah sadarnya."Paman Abiseka?" seru Askara usai mendengar senandung Pupuh maskumambang itu. Ia yakin, pria itulah yang selama tadi fasih menyanyikannya."Hei Paman, di mana kau?" seru Askara lagi."Yoo Aska!" Abiseka kemudian muncul dari belakang Askara, melambaikan tangan dan berjalan mendekati pe
"Terimakasih Paman, atas semua sarannya. Kau seperti sosok Ayah yang tengah menasihati putranya. Andai saja kau Ayahku. Aku pasti senang sekali."Abiseka terkejut, dia berlanjut memandangi wajah pemuda itu cukup lama."Yah, sayangnya Ayahku itu tidak sepertimu. Sejak kecil aku tidak ingat jika dia pendekar adiwira. Yang kuingat hanya seorang penjual batu biasa. Tapi sekalinya ingat, malah mendapat berita kurang mengenakkan. Ternyata dia penghianat adiwira. Cih ...!" Perkataan Askara terdengar getir, Abiseka mampu menerka. Laki-laki itu pasti kecewa."Heran. Bisa-bisanya dia berkhianat. Aku penasaran bagaimana ekspresi Ayah jika tahu kalau Ashoka mati karena cindaku juga. Apa dia akan berubah pikiran?"Abiseka semakin bungkam terdiam."Lupakan saja Paman, jangan bahas Ayahku yang aneh itu. Kau bisa mengajariku bagaimana cara supaya tidak banyak gaya saat bertarung? Bisa kan? Jurus
Askara terhentak, mendadak pemuda itu membuka mata setelah cukup lama pingsan. Terbangun dengan sebelah mata berwarna jingga kemerahan, namun dia sama sekali tidak menyadari akan hal itu. Pada akhirnya efek perubahan manik mata itu hanya beberapa detik, lantas warnanya kembali seperti semula."Ah ... Mimpi ya?" gumam Askara saat menyadari bahwa dirinya tengah terbaring di tempat yang asing baginya. "Tapi, di mana ini?"Malas untuk bangun, pemuda itu malah kembali merebahkan badan dengan posisi senyaman mungkin. Karena kebetulan tempat berbaringnya itu sangat bersih dan empuk. Setelah terbiasa akan ranjang batu dan kayu, kapan lagi bisa dirinya bisa sesantai ini?"Fuhh ... Nyaman sekali tempatnya.""Tapi rasanya hampa. Seperti ada yang kurang."Terakhir kali Askara bisa berbaring santai adalah saat bertemu Abiseka."Paman Abiseka ... Dia selalu muncul di alam bawah sadarku. Sebenarnya siapa dia?" gumamnya sambil menjadikan kedua telapak tanga
Derit pintu terdengar. Pertengkaran Askara dan Sanggapati sontak terhenti. Mereka kompak berdalih memandangi orang yang baru saja membuka pintu. Seorang pemuda, berkisar sebaya dengan keduanya. Rambut panjang terurai indah, rahang tegas, hidung mancung, bulu mata lebat dengan bagian bawah yang lentik, kulit putih dan mulus, kontras dengan pakaiannya serba hitam. Matanya sedikit sipit, seakan punya ras berbeda dan diterka bukan asli masyarakat pasundan. Ditambah warna bibir sedikit merah, membuat laki-laki itu tampil mempesona sekalipun dihadapan sesama jenisnya. Pemuda itu sangat tampan, membuat Askara juga Sanggapati ternganga sesaat. Pertanyaan sama yang muncul dalam benak mereka. Yang jelas laki-laki itu belum pernah terlihat sebelumnya. "Siapa kau?" tanya Askara dan Sanggapati kompak. Sama sekali tak menggubrisnya pertanyaannya. Si pemuda tampan itu hanya melirik se
"Aska? Sangga? Sedang apa kalian di sana?" tanya Baduga. Kedua pemuda itu mati kutu saat keberadaan mereka berhasil diketahui. Lebih tepatnya, aksi mengintip mereka terbilang gagal. Askara dan Sanggapati berakhir saling mendorong bahu satu sama lain. "Gara-gara kau, kita jadi ketahuan tuh," gerutu Sanggapati. "Justru karena kau! Mulutmu itu sedari tadi tidak diam!" gerutu balik Askara sambil memicingkan matanya. Baru saja mereka sengit beradu tatap beberapa menit, tiba-tiba wajah Dwara secepat kilat sudah berada di tengah-tengah wajah keduanya. "Kalian ..." "HUWWAA!" pekik Askara juga Sanggapati yang kaget bersamaan sampai terjungkal ke belakang. Baduga datang menghampiri, pria itu berkacak pinggang sambil berdiri di belakang Dwara yang masih jongkok. "Kalian ini, dari tadi bertengkar terus. Telingaku agak risih." Baduga mengorek kupingnya sendiri
"Oi Aska. Tidak ada kerjaan sekali kau. Sedang apa berdiam diri di sana, ha?" Sanggapati melihat Askara berdiri tegap di bawah cahaya matahari pagi. Kebetulan Askara ingat akan perkataan Abiseka, bagaimana caranya membangkitkan teknik rahasia Aditya.Menyerap energi matahari.Askara berusaha konsentrasi, namun sedikit saja suara yang ia dengar mampu membuyarkannya. Pemuda itu berakhir mendesah, apalagi sedari tadi Sanggapati terus menyerunya.'Cahaya mataharinya mulai panas. Tetapi aku belum bisa menyerapnya. Ah, sialan!'Hanya dengan berdiri sambil mendongkak menatap bentangan langit yang biru, ia merasakan suhu tubuh yang naik. Tetapi jika pikirannya goyah, mendadak ia lunglai dan hampir jatuh.Namun, semua itu tidak dijadikan alasan Askara untuk berhenti mencoba."Sebenarnya apa yang dia lakukan?" gumam Sanggapati yang sibuk memakan pisang.