"Terimakasih Paman, atas semua sarannya. Kau seperti sosok Ayah yang tengah menasihati putranya. Andai saja kau Ayahku. Aku pasti senang sekali."
Abiseka terkejut, dia berlanjut memandangi wajah pemuda itu cukup lama.
"Yah, sayangnya Ayahku itu tidak sepertimu. Sejak kecil aku tidak ingat jika dia pendekar adiwira. Yang kuingat hanya seorang penjual batu biasa. Tapi sekalinya ingat, malah mendapat berita kurang mengenakkan. Ternyata dia penghianat adiwira. Cih ...!" Perkataan Askara terdengar getir, Abiseka mampu menerka. Laki-laki itu pasti kecewa.
"Heran. Bisa-bisanya dia berkhianat. Aku penasaran bagaimana ekspresi Ayah jika tahu kalau Ashoka mati karena cindaku juga. Apa dia akan berubah pikiran?"
Abiseka semakin bungkam terdiam.
"Lupakan saja Paman, jangan bahas Ayahku yang aneh itu. Kau bisa mengajariku bagaimana cara supaya tidak banyak gaya saat bertarung? Bisa kan? Jurus
Askara terhentak, mendadak pemuda itu membuka mata setelah cukup lama pingsan. Terbangun dengan sebelah mata berwarna jingga kemerahan, namun dia sama sekali tidak menyadari akan hal itu. Pada akhirnya efek perubahan manik mata itu hanya beberapa detik, lantas warnanya kembali seperti semula."Ah ... Mimpi ya?" gumam Askara saat menyadari bahwa dirinya tengah terbaring di tempat yang asing baginya. "Tapi, di mana ini?"Malas untuk bangun, pemuda itu malah kembali merebahkan badan dengan posisi senyaman mungkin. Karena kebetulan tempat berbaringnya itu sangat bersih dan empuk. Setelah terbiasa akan ranjang batu dan kayu, kapan lagi bisa dirinya bisa sesantai ini?"Fuhh ... Nyaman sekali tempatnya.""Tapi rasanya hampa. Seperti ada yang kurang."Terakhir kali Askara bisa berbaring santai adalah saat bertemu Abiseka."Paman Abiseka ... Dia selalu muncul di alam bawah sadarku. Sebenarnya siapa dia?" gumamnya sambil menjadikan kedua telapak tanga
Derit pintu terdengar. Pertengkaran Askara dan Sanggapati sontak terhenti. Mereka kompak berdalih memandangi orang yang baru saja membuka pintu. Seorang pemuda, berkisar sebaya dengan keduanya. Rambut panjang terurai indah, rahang tegas, hidung mancung, bulu mata lebat dengan bagian bawah yang lentik, kulit putih dan mulus, kontras dengan pakaiannya serba hitam. Matanya sedikit sipit, seakan punya ras berbeda dan diterka bukan asli masyarakat pasundan. Ditambah warna bibir sedikit merah, membuat laki-laki itu tampil mempesona sekalipun dihadapan sesama jenisnya. Pemuda itu sangat tampan, membuat Askara juga Sanggapati ternganga sesaat. Pertanyaan sama yang muncul dalam benak mereka. Yang jelas laki-laki itu belum pernah terlihat sebelumnya. "Siapa kau?" tanya Askara dan Sanggapati kompak. Sama sekali tak menggubrisnya pertanyaannya. Si pemuda tampan itu hanya melirik se
"Aska? Sangga? Sedang apa kalian di sana?" tanya Baduga. Kedua pemuda itu mati kutu saat keberadaan mereka berhasil diketahui. Lebih tepatnya, aksi mengintip mereka terbilang gagal. Askara dan Sanggapati berakhir saling mendorong bahu satu sama lain. "Gara-gara kau, kita jadi ketahuan tuh," gerutu Sanggapati. "Justru karena kau! Mulutmu itu sedari tadi tidak diam!" gerutu balik Askara sambil memicingkan matanya. Baru saja mereka sengit beradu tatap beberapa menit, tiba-tiba wajah Dwara secepat kilat sudah berada di tengah-tengah wajah keduanya. "Kalian ..." "HUWWAA!" pekik Askara juga Sanggapati yang kaget bersamaan sampai terjungkal ke belakang. Baduga datang menghampiri, pria itu berkacak pinggang sambil berdiri di belakang Dwara yang masih jongkok. "Kalian ini, dari tadi bertengkar terus. Telingaku agak risih." Baduga mengorek kupingnya sendiri
"Oi Aska. Tidak ada kerjaan sekali kau. Sedang apa berdiam diri di sana, ha?" Sanggapati melihat Askara berdiri tegap di bawah cahaya matahari pagi. Kebetulan Askara ingat akan perkataan Abiseka, bagaimana caranya membangkitkan teknik rahasia Aditya.Menyerap energi matahari.Askara berusaha konsentrasi, namun sedikit saja suara yang ia dengar mampu membuyarkannya. Pemuda itu berakhir mendesah, apalagi sedari tadi Sanggapati terus menyerunya.'Cahaya mataharinya mulai panas. Tetapi aku belum bisa menyerapnya. Ah, sialan!'Hanya dengan berdiri sambil mendongkak menatap bentangan langit yang biru, ia merasakan suhu tubuh yang naik. Tetapi jika pikirannya goyah, mendadak ia lunglai dan hampir jatuh.Namun, semua itu tidak dijadikan alasan Askara untuk berhenti mencoba."Sebenarnya apa yang dia lakukan?" gumam Sanggapati yang sibuk memakan pisang.
"Bagaimana caraku mengalahkannya? Bahkan tadi aku dikalahkan dengan mudahnya," keluh Askara yang sepertinya putus asa."Ayolah, belum juga mulai, kau sudah berkecil hati saja," tukas Sanggapati yang sedikit geram mendengar keluhan Askara."Ah, kenapa Sepuh memberiku tantangan seperti ini? Padahal apa susahnya tinggal serahkan saja kujangku," gerutu Askara.Sanggapati masih sedikit termangu saat mendengar senjata Askara adalah kujang. Bukannya apa, Sepuhnya —Baduga tidak pernah memperlihatkan pusaka itu saat pemilihan senjata diadakan.Namun sempat melintas di dalam benak perkataan dari Baduga, jika pendekar terkuat selama 10 tahun terakhir ini masih dipegang adiwira kujang. Belum siapapun yang bisa mengalahkannya.Memang kuat, namun catatan sejarah adiwira sengaja menghapusnya karena adiwira kujang pertama diketahui berkhianat.Sanggapati termenung cuku
Kai memasuki ruangan tempat keberadaan Dwara saat ini. Tak ada Baduga di sana karena kebetulan sedang keluar, saat itu juga Kai bergegas menghadap usai dipanggil."Sepuh memanggilku?" tanya Kai setelah duduk di depan Dwara."Kai, apa kau sudah bertemu dengan muridku yang baru?""Murid baru?" Kai sedikit mengernyitkan dahi saat mendengar pernyataan Dwara. Pemuda itu sibuk akan misi, membuat kontak dengan gurunya sendiri agak terbatas. Wajar sekarang dirinya tak tahu jika Sepuh Dwara mengangkat murid lagi."Yah. Bisa dibilang dia adik seperguruan atau rekanmu. Kalian sepertinya sebaya," ucap Dwara.Kai diam, dia tak membalas lebih lanjut perkataan Dwara."Namanya, Askara."Kai mulai menerka, ia menduga pemuda yang secara tiba-tiba menyeru dan berusaha memukulnya adalah orang yang dimaksud."Dia ceria, sedikit berisik da
Tibalah saatnya adu kekuatan antara Askara dan Kai. Dua murid Dwara ini bersiap-siap untuk perkelahian yang akan digelar siang hari.Askara yang kala itu tengah memakai seragam adiwira, dikejutkan oleh Sanggapati yang tiba-tiba datang merangkul bahunya. "Tenang Sahabat, kau pasti bisa. Aku akan menyemangati supaya kau menang.""Menurutmu aku akan menang?" tanya Askara ragu."Oh, tentu saja tidak. Dia jauh lebih kuat darimu," balas Sanggapati sambil terkekeh.Geram sendiri, Askara berakhir menjewer telinga Sanggapati. "Dasar! Katanya kau akan menyemangatiku!"Sanggapati tertawa kecil. "Yaah, itu sebagai bentuk harapanku padamu, Sahabat. Meski kau dipastikan akan kalah, tapi masih ada setitik keyakinan dalam diriku jika kau akan menang.""Hanya setitik?" decih Askara."Ahahahaha, lupakan saja. Yang penting kau selamat saat selesai pertarung
"Kita akhiri saja ini ..." Kai menodongkan pedang tepat di leher Askara. Lantas ia acungkan tinggi-tinggi senjatanya itu, hendak menusuk lawannya. 'Konsentrasi ...' Askara segera merogoh saku, dia mengambil benda andalannya. Langsung saja Askara melempar batu sedari tadi dikantongi saku tepat mengarah wajah Kai. Bunyi 'klontrang' terdengar, Kai terlihat berhasil menepis lemparan batu itu. Aksinya sedikit teralihkan karena menggolekkan pedang guna menangkis. Tentu saja hal itu membuat pijakan kaki Kai di perut Askara sedikit melonggar. Ada kesempatan. Askara mengangkat sebelah kakinya, hendak menendang area vital Kai. Sadar jika Askara hendak menyerang organ rawannya. Kai memindahkan pijakannya, beralih menyandung kaki Askara yang terhentak hampir mengenai area rawan. Askara tak kehabisan akal. Sebelah