"Bagaimana caraku mengalahkannya? Bahkan tadi aku dikalahkan dengan mudahnya," keluh Askara yang sepertinya putus asa.
"Ayolah, belum juga mulai, kau sudah berkecil hati saja," tukas Sanggapati yang sedikit geram mendengar keluhan Askara.
"Ah, kenapa Sepuh memberiku tantangan seperti ini? Padahal apa susahnya tinggal serahkan saja kujangku," gerutu Askara.
Sanggapati masih sedikit termangu saat mendengar senjata Askara adalah kujang. Bukannya apa, Sepuhnya —Baduga tidak pernah memperlihatkan pusaka itu saat pemilihan senjata diadakan.
Namun sempat melintas di dalam benak perkataan dari Baduga, jika pendekar terkuat selama 10 tahun terakhir ini masih dipegang adiwira kujang. Belum siapapun yang bisa mengalahkannya.
Memang kuat, namun catatan sejarah adiwira sengaja menghapusnya karena adiwira kujang pertama diketahui berkhianat.
Sanggapati termenung cuku
Kai memasuki ruangan tempat keberadaan Dwara saat ini. Tak ada Baduga di sana karena kebetulan sedang keluar, saat itu juga Kai bergegas menghadap usai dipanggil."Sepuh memanggilku?" tanya Kai setelah duduk di depan Dwara."Kai, apa kau sudah bertemu dengan muridku yang baru?""Murid baru?" Kai sedikit mengernyitkan dahi saat mendengar pernyataan Dwara. Pemuda itu sibuk akan misi, membuat kontak dengan gurunya sendiri agak terbatas. Wajar sekarang dirinya tak tahu jika Sepuh Dwara mengangkat murid lagi."Yah. Bisa dibilang dia adik seperguruan atau rekanmu. Kalian sepertinya sebaya," ucap Dwara.Kai diam, dia tak membalas lebih lanjut perkataan Dwara."Namanya, Askara."Kai mulai menerka, ia menduga pemuda yang secara tiba-tiba menyeru dan berusaha memukulnya adalah orang yang dimaksud."Dia ceria, sedikit berisik da
Tibalah saatnya adu kekuatan antara Askara dan Kai. Dua murid Dwara ini bersiap-siap untuk perkelahian yang akan digelar siang hari.Askara yang kala itu tengah memakai seragam adiwira, dikejutkan oleh Sanggapati yang tiba-tiba datang merangkul bahunya. "Tenang Sahabat, kau pasti bisa. Aku akan menyemangati supaya kau menang.""Menurutmu aku akan menang?" tanya Askara ragu."Oh, tentu saja tidak. Dia jauh lebih kuat darimu," balas Sanggapati sambil terkekeh.Geram sendiri, Askara berakhir menjewer telinga Sanggapati. "Dasar! Katanya kau akan menyemangatiku!"Sanggapati tertawa kecil. "Yaah, itu sebagai bentuk harapanku padamu, Sahabat. Meski kau dipastikan akan kalah, tapi masih ada setitik keyakinan dalam diriku jika kau akan menang.""Hanya setitik?" decih Askara."Ahahahaha, lupakan saja. Yang penting kau selamat saat selesai pertarung
"Kita akhiri saja ini ..." Kai menodongkan pedang tepat di leher Askara. Lantas ia acungkan tinggi-tinggi senjatanya itu, hendak menusuk lawannya. 'Konsentrasi ...' Askara segera merogoh saku, dia mengambil benda andalannya. Langsung saja Askara melempar batu sedari tadi dikantongi saku tepat mengarah wajah Kai. Bunyi 'klontrang' terdengar, Kai terlihat berhasil menepis lemparan batu itu. Aksinya sedikit teralihkan karena menggolekkan pedang guna menangkis. Tentu saja hal itu membuat pijakan kaki Kai di perut Askara sedikit melonggar. Ada kesempatan. Askara mengangkat sebelah kakinya, hendak menendang area vital Kai. Sadar jika Askara hendak menyerang organ rawannya. Kai memindahkan pijakannya, beralih menyandung kaki Askara yang terhentak hampir mengenai area rawan. Askara tak kehabisan akal. Sebelah
"Sampai akhir pun aku akan melawanmu dengan tangan kosong!"Askara menyunggingkan bibir, balik meremehkan lawan.Untungnya Kai tidak tersulut emosi, pemuda itu hanya menganggap perkataan Askara sebagai angin yang lewat. Bahkan sulit percaya jika pemuda itu mampu membendung serangan demi serangan dari pedangnya.Sombong sekali murid baru yang satu ini.Mungkin itulah patah kata yang ada dalam pikiran Kai saat ini.Kai melangkah maju, mendekati Aska yang kala itu masih berdiri lunglai."Jangan sombong, orang baru ..." Setelah mengatakan itu, Kai gesit mendekat. Tergesa mengayunkan pedang, namun sama sekali tak berniat melukai Askara.Kai sengaja membuat Askara takut akan pedang yang dibawanya. Sekaligus memancing lawan agar mengeluarkan senjata.Tebas demi tebasan Kai lontarkan, Askara hanya bisa mundur dan mengelak seb
Dwara menghentikan pertarungan, disertai Askara keluar sebagai pemenang. Tentu saja Kai tak terima, mengingat pertarungan sangat tidak imbang karena salah satu melawan tanpa senjata.Kai kembali menghadap Dwara dan hendak melakukan protes, ia ingin mengulang kembali pertarungannya dengan Askara."Sepuh, aku mohon ulangi lagi pertarungannya. Hasil tadi tidak akurat karena perlawanan tidak seimbang," keluh Kai tidak setuju.Dwara tersenyum menanggapinya. "Jangan terlalu dianggap serius, itu mungkin keberuntungan Aska saja. Aku sengaja menantangnya agar dia bisa mendapatkan senjatanya kembali."Kai tertegun pasca mendengarnya. "Sepuh, menahan senjata dia? Lantas kenapa kau menyuruhnya untuk melawanku?""Jangan bilang kau ingin membuatku melukainya," desis Kai lagi. Hampir saja dia menebas Askara saat bertarung tadi. Pantas saja pemuda itu bersikukuh tidak akan melawan tanpa senjata. Pada dasarnya, ternyata ulah Dwara."Apa maksud Sepuh melakuka
"Setelah sekian lama tak jumpa, kujangku akhirnya kembali ... Aku sangat merindukannya!" seru Askara terharu. "Kan? Kau juga merasakannya. Itulah kenapa aku berat hati saat dikirim ke bukit pasir nagog," sela Sanggapati. Sebenarnya ia ingin menanyakan asal-usul Askara usai melihat kujangnya. Namun dia mengurungkan niatnya dalih menunggu waktu yang tepat. "Ngomong-ngomong Aska." Sanggapati duduk mengangkat satu kakinya ke atas kursi seraya memakan buah pisang kesukaannya. "Tak kusangka, kau akan memenangkan pertarungan tadi. Kau tahu? Aku puas melihat wajah kesal si sok tampan itu." "Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa Sepuh menyuruhku bertarung dengan orang itu. Tapi lupakan saja, yang penting kujangku kembali," balas Askara. Satu tangannya meraih pisang dan lahap memakannya. "Hei kau. Berapa banyak pisang yang kau makan?" Askara protes. Pasalnya stok pisang di kamarnya selalu menghilang. Di
Askara dan Kai kini berdiri saling berhadapan di halaman belakang padepokan. Dengan jarak berkisar antara enam meter, keduanya saling melempar tatapan sengit. Di salah satu sisi, ada Sanggapati yang menjadi saksi pertarungan gelombang ke dua. Ditemani satu bakul pisang, pemuda itu siap jadi pengawas mereka.Sebagai permulaan, Kai lebih dulu menghunuskan pedangnya. Hal itu dilakukan guna memancing lawannya berbuat hal yang sama.Benar saja. Askara mencabut kujang dari warangka yang menggantung di sabuknya. Berbeda dengan senjata pada umumnya, kujang justru memiliki sarung mirip clurit. Tak bisa dimasukan seperti halnya pedang.Seiring pusaka kujang diperlihatkan. Baik Kai maupun Sanggapati sempat tercengang dengan bentuk senjata langka yang indah itu.'Orang ini ... Apa dia benar-benar membangkitkan pusaka itu?' batin Kai.Berbeda dengan Kai, Sanggapati justru berpikir akan pendek
"Kau jangan takabur anak muda ..."Suara itu terdengar berat dan serak. Amat jelas keluar dari mulut Askara.Sanggapati yang sedikitnya sudah mengenal baik Askara, dibuat kaget karenanya. Bukan hanya suara, aura bahkan energi yang dirasakan juga berbeda dari sebelumnya.Askara mendekat seraya menebaskan kujangnya ke arah Kai. Kai sendiri berusaha menangkis serangan itu menggunakan pedangnya. Suara betrikan logam pun terdengar saling bersahutan. Namun karena jenis senjata yang berbeda, Kai sukses membendung serangan kujang.'Sudah kuduga. Pusaka itu tak bisa menebas apapun. Ini kesempatanku!' pikir Kai.Askara berusaha menikam, namun usahanya digagalkan oleh Kai yang memblok kujang dengan pertahanan pedang panjangnya itu.Gelombang energi pun tercipta, membuat keduanya terpental mudur seketika.Dengan gesit Askara kembali maju, mengacungkan kujang lantas membabi buta mendobrak pertahanan Kai. Kesekian kalinya pedang dan kujang be
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam