"Sangga!" seru Askara dari atas tebing. Suaranya terpantul-pantul di antara dua dinding tebing. Pertama yang sekarang ini dipijak Askara, juga tebing lain yang berdiri jauh di depan sana. Menyisakan lembah yang dalam menjadi pembatas antara dua tanah tinggi itu.
"SANGGA!" teriaknya lagi lebih kencang.
Suara itu sampai ke dasar lembah. Meskipun berbentuk gema yang sedikit terdengar bising, Sanggapati mampu mendengarnya. Segera ia bangkit dan menyeru balik rekannya itu.
"ASKA?"
"AKU DI SINI! TURUNLAH!"
"ASKA!"
"ASKAAA!"
Seruan balik itu memantul dari dinding ke dinding tebing. Karena Askara tak cukup mendengar lebih jelas apa yang diteriakkan Sanggapati, ia mendadak panik setelahnya. Askara berulang-ulang kali berusaha menyeru lagi ke bawah. Karena menimbulkan suara yang amat berisik, Sanggapati abai dan malah berakhir mengedikkan bahu.
"Telingaku sepertinya salah dengar."
Seruan Sanggapati kali ini tak terdengar jel
Askara dan Sanggapati berhasil membuat rakit dari batang pepohonan yang tumbang. Tidak terlalu bagus, karena keduanya hanya mengandalkan lima batang pohon tumbang yang entah apa namanya. Keduanya sama sekali belum pernah melihat pohon itu. Sekilas mirip batang pisang dengan bentuk daun yang berbeda, mungkin sejenis pohon rawa.Untuk membuat rakit supaya bisa ditumpangi, Askara memanfaatkan tanaman rambat yang tumbuh di pinggir sungai. Meskipun terbilang mudah putus, lain lagi ceritanya jika tanaman itu dirangkap hingga menjadi satu tali yang tebal. Lalu, tali panjang super tebal itu digunakan untuk merekatkan lima batang sampai merangkap.Setelah memerlukan waktu beberapa saat, jadilah sebuah rakit sepanjang dua meter yang siap ditumpangi."Kau yakin ini akan berhasil?" tanya Sanggapati."Setidaknya kita tidak perlu lelah berjalan. Tinggal ikuti arus sungai aja," jawab Askara yang sudah menempatkan p
"Cindaku siluman?" Sanggapati terkesiap, pasalnya ini adalah kali pertama dia melihat wujud cindaku dengan postur sesempurna itu.Kekar bahkan berotot, enam kotak tercetak rapi di sekitar perut. Berdiri gagah seakan badan manusia dengan wajah harimau mamalia. Sungguh bentuk monster yang terbilang perkasa. Sanggapati malah berdalih dulu sejenak ke perutnya. Hanya ada gumpalan lemak di sana, bisa-bisanya dia merasa kalah postur dari sesosok monster di depannya ini."Gawat!" Askara mempercepat dayungannya."Waw ... Cindaku itu berotot. Sekuat apa dia?" tanya Sanggapati"Kau gila?! Jangan pernah meremehkan kemampuan cindaku macan tutul itu!" peringat Askara tanpa menoleh ke belakang. Ia sibuk melesatkan rakit agar melaju sekencang mungkin.Sanggapati masih memantau si monster berkulit kuning kecoklatan itu. Rakit yang ditumpangi mereka mengambil jalur tengah-tengah sungai, dila
Askara dan Sanggapati masih terkesima. Melihat cindaku macan tutul menancapkan kuku tajamnya di tebing yang berdiri tegak. Mirip sekali dengan cecak atau monster laba-laba. Dengan mudahnya ia merayap di kecuraman tebing yang membentang vertikal. Seolah-olah gravitasi bumi kesulitan menariknya ke bawah."Celaka! Dayung lebih cepat Sangga!" pekik Askara. Sontak keduanya kembali memacu dayung supaya rakit kembali melesat.Di pinggir mereka, tepatnya di kecuraman tebing yang tegak. Cindaku siluman itu tak melepaskan penglihatannya. Manik matanya terus menatap buas dua pemuda yang sibuk mendayung itu. Askara beberapa kali menelan ludah, ia khawatir jika cindaku itu mampu mengingat dirinya.Namun sepertinya si macan tutul memang mengenali Askara. Lihatlah, bahkan sekarang pemuda itu menjadi target sorotan matanya terus.Berpikir dalam kondisi yang sempit, Askara berujung banyak melamun. Dia berusaha mengingat kembali bagaimana cara mengalahkan cindaku macan tut
Byuur! Rakit yang ditumpangi Sanggapati dan Askara jungkir balik, membuat keduanya berputar-putar di dalam air. Askara lebih dulu berhasil menyembulkan kepala ke permukaan air. Dilanjut meneriaki Sanggapati yang hilang dan tak kunjung menampakkan diri. "Sangga! Sangga!" Beberapa kali Askara mengedarkan pandangan di tengah derasnya aliran sungai. Namun nihil, rekannya itu tak menyahut sama sekali seruannya. Kedalaman sungai yang kini dirasa tak dangkal lagi, membuat Askara sedikit was-was. Bisa dikatakan ukurannya mulai setinggi lehernya. Itupun dalam keadaan terseret-seret. Entah setinggi apa jika dia memasuki kawasan hilir nanti. Berusaha mempertahankan kepalanya supaya tetap menyembul, Askara mencoba mengeluarkan teknik andalannya yakni Napak banyu. Sayang, dalam kondisi badan terseret arus seperti ini, sangat sukar untuk bisa menapakkan kaki di permukaan. Askara bera
"Tiga ... Dua ... Satu!"Askara dan Sanggapati meluncur dari ketinggian air terjun. Diterka puluhan meter. Pendaratan mereka pun diiringi suara dentuman yang kencang. Badan mereka seakan tercambuk air yang menggenang di bawahnya.Aliran air dirasa cukup tenang sekarang. Namun kepala mereka masih seakan terasa berputar-putar. Jatuh dari air terjun setinggi puluhan meter memang berhasil mengguncangkan mereka hingga pusing sampai mabuk.Begitu Sanggapati menemukan batu sungai, lantas dia sergap berpegangan erat. Berakhir melenggorkan tubuhnya di atas sana, lalu mengatur deru napas yang keluar tak beraturan.Beberapa saat kemudian dia bangkit lalu menduduki batunya. "Aska!" serunya lagi."Aku di sini," jawab Askara lesu. Pemuda itu juga terlihat berpegang pada salah satu batu sungai yang berada tak jauh darinya."Fiyuuh ... Kau tidak apa-apa kan?"
Askara berhasil membawa Sanggapati ke tepian sungai, memapah pemuda itu supaya ikut lari bersamanya di di pinggir sungai. Namun usaha itu sempat terhambat karena Sanggapati mulai kelelahan, tenaganya banyak terkuras akibat membendung serangan demi serangan dari cindaku."Bertahanlah, Sangga ..." Askara cepat-cepat melingkarkan tangan temannya itu ke bahunya, lalu pergilah mereka lari tergesa-gesa. Menyeret Sanggapati yang kala itu tengah pincang.Sebenarnya Askara bisa saja meninggalkan Sanggapati demi menyelamatkan diri sendiri. Hanya saja dia berpegang teguh pada peraturan yang dikatakan oleh sepuhnya. Mengingat kunci lulus dari latihan gabungan sekaligus ujian bertahan hidup ini adalah 'kerja sama tim'.Suara auman kembali terdengar. Bersamaan dengan itu, cindaku melompat keluar dari dalam air sungai. Menapaki daratan dan hendak mengejar dua pemuda yang melarikan diri itu.Kondisi Sanggapati yang kala itu pincang ternyata menghambat. Keduanya berhasil
Pupil mata si monster seketika mengecil, yang bermula mengerikan kini berubah seolah kucing biasa.Si monster terlihat celingukan, mengangkat kedua tangan dan berdalih menatap telapaknya yang kotor dengan darah.Cindaku sedikit jinak sekarang, terdiam menatapi Askara dan Sanggapati yang tergeletak tak sadarkan diri di depannya. Kedua pemuda itu terluka cukup parah, dengan berbagai luka menyebar di sekujur tubuh mereka.Seharusnya saat inilah waktunya cindaku memangsa dua laki-laki itu untuk makan malam. Namun anehnya, si monster seakan menyia-nyiakan kesempatan itu.Karena pertarungan demi pertarungan yang terjadi begitu panjang, tak terasa rembulan sudah tenggelam di salah satu ufuk. Digantikan dengan kilat kuning mentari yang perlahan muncul, merambat dari ufuk timur.Sinar kuning itu berjalan di pijakan bumi, perlahan menyinari cindaku yang diam tak berkutik. Dengan cahaya itu
Baduga menarik tali busurnya, membidik si monster yang kala itu mendadak diam tak berkutik. Sepuh itu memang tidak memiliki anak panah. Ajaibnya, seiring tali busurnya dia tarik, munculah bentangan cahaya membentuk anak panah. Berkelip-kelip dan mengalirkan percikan listrik. "Konsentrasi ..." gumam pria itu sebelum melesatkan anak panah hasil dari pelepas energinya itu. Batang berlistrik itu pun berhasil dilesatkan, melaju cepat ke arah cindaku macan tutul yang tengah termenung. Dwara sadar akan serangan Baduga. Benar saja. Pasca ia menoleh, panah energi hendak mendarat di leher si monster. Tentu saja Dwara tahu bagaimana akibatnya. Rivalnya itu diketahui mampu memenggal kepala cindaku hanya menggunakan energi yang dihasilkan dari angin kosong. Nampaknya Dwara punya pandangan lain. Pria itu terlihat berlari dan berhenti di tengah-tengah sasaran anak panah Baduga. Tidak