Sanggapati terjun dari ketinggian, bersama dengan cindaku yang ikut meluncur dengannya. Pemuda itu berusaha tidak berteriak, memutuskan untuk menyilangkan tangan guna berjaga-jaga dari apapun yang bisa melukai wajahnya. Seketika ia lupa akan tongkat kayunya.
Sanggapati jatuh menembus hamparan kabut yang membentang di tengah-tengah ketinggian tebing. Embusan angin kini terasa menjadi cambuk saking cepatnya ia meluncur. Sanggapati membulatkan mata, kala mendapati bentangan sungai memanjang di bawahnya.
"Konsentrasi ..."
"Konsentrasi ..."
Pemuda itu dengan cepat memutar tubuh di udara, menjadikan kaki sebagai organ pertama yang mendarat. Lantas sibuk mengumpulkan beban untuk diubah jadi pelepasan energi. Maka pada saat kakinya mulai terasa ringan, ia siap menapak di atas air menggunakan teknik napak banyu.
Sanggapati berhasil mendarat menggunakan Napak banyu. Namun efek penggunaannya itu menimbulkan dentuman yang nyaring. Air sungai meluap ke pinggir,
Sanggapati dikejutkan dengan terkaman cindaku yang terbilang sangat tiba-tiba. Padahal jelas jika si monster ikut hanyut dalam aliran air yang meluap deras ke pinggir. Namun nyatanya sekarang ia lengah dan berakhir dalam terkaman kuku makhluk itu."Lepaskan!" erang Sanggapati saat kuku cindaku perlahan menancap dan malukai dua sisi bahunya. Ia tertindih bobot berat makhluk itu, tepat berada di atasnya yang tengah terlentang.Sanggapati mengelak saat si monster hendak menggigit lehernya. Segera ia meronta sekuat mungkin supaya tangannya berhasil lepas dari belenggu kuku. Maka saat tangan mulai bisa bergerak, dengan cepat ia menjewer daun telinga cindaku. Menariknya hingga kepala si monster juga ikut tertarik."Arrgh!" Sanggapati saat itu sudah menyiapkan jidat lebarnya untuk melawan, lantas ia benturkan pada kepala cindaku yang ia tarik. Dua jidat pun bertumbuk lumayan kencang sampai menciptakan suara retakan tulang.Keduanya pun oleng seketika, baik kenin
"Sangga!" seru Askara dari atas tebing. Suaranya terpantul-pantul di antara dua dinding tebing. Pertama yang sekarang ini dipijak Askara, juga tebing lain yang berdiri jauh di depan sana. Menyisakan lembah yang dalam menjadi pembatas antara dua tanah tinggi itu."SANGGA!" teriaknya lagi lebih kencang.Suara itu sampai ke dasar lembah. Meskipun berbentuk gema yang sedikit terdengar bising, Sanggapati mampu mendengarnya. Segera ia bangkit dan menyeru balik rekannya itu."ASKA?""AKU DI SINI! TURUNLAH!""ASKA!""ASKAAA!"Seruan balik itu memantul dari dinding ke dinding tebing. Karena Askara tak cukup mendengar lebih jelas apa yang diteriakkan Sanggapati, ia mendadak panik setelahnya. Askara berulang-ulang kali berusaha menyeru lagi ke bawah. Karena menimbulkan suara yang amat berisik, Sanggapati abai dan malah berakhir mengedikkan bahu."Telingaku sepertinya salah dengar."Seruan Sanggapati kali ini tak terdengar jel
Askara dan Sanggapati berhasil membuat rakit dari batang pepohonan yang tumbang. Tidak terlalu bagus, karena keduanya hanya mengandalkan lima batang pohon tumbang yang entah apa namanya. Keduanya sama sekali belum pernah melihat pohon itu. Sekilas mirip batang pisang dengan bentuk daun yang berbeda, mungkin sejenis pohon rawa.Untuk membuat rakit supaya bisa ditumpangi, Askara memanfaatkan tanaman rambat yang tumbuh di pinggir sungai. Meskipun terbilang mudah putus, lain lagi ceritanya jika tanaman itu dirangkap hingga menjadi satu tali yang tebal. Lalu, tali panjang super tebal itu digunakan untuk merekatkan lima batang sampai merangkap.Setelah memerlukan waktu beberapa saat, jadilah sebuah rakit sepanjang dua meter yang siap ditumpangi."Kau yakin ini akan berhasil?" tanya Sanggapati."Setidaknya kita tidak perlu lelah berjalan. Tinggal ikuti arus sungai aja," jawab Askara yang sudah menempatkan p
"Cindaku siluman?" Sanggapati terkesiap, pasalnya ini adalah kali pertama dia melihat wujud cindaku dengan postur sesempurna itu.Kekar bahkan berotot, enam kotak tercetak rapi di sekitar perut. Berdiri gagah seakan badan manusia dengan wajah harimau mamalia. Sungguh bentuk monster yang terbilang perkasa. Sanggapati malah berdalih dulu sejenak ke perutnya. Hanya ada gumpalan lemak di sana, bisa-bisanya dia merasa kalah postur dari sesosok monster di depannya ini."Gawat!" Askara mempercepat dayungannya."Waw ... Cindaku itu berotot. Sekuat apa dia?" tanya Sanggapati"Kau gila?! Jangan pernah meremehkan kemampuan cindaku macan tutul itu!" peringat Askara tanpa menoleh ke belakang. Ia sibuk melesatkan rakit agar melaju sekencang mungkin.Sanggapati masih memantau si monster berkulit kuning kecoklatan itu. Rakit yang ditumpangi mereka mengambil jalur tengah-tengah sungai, dila
Askara dan Sanggapati masih terkesima. Melihat cindaku macan tutul menancapkan kuku tajamnya di tebing yang berdiri tegak. Mirip sekali dengan cecak atau monster laba-laba. Dengan mudahnya ia merayap di kecuraman tebing yang membentang vertikal. Seolah-olah gravitasi bumi kesulitan menariknya ke bawah."Celaka! Dayung lebih cepat Sangga!" pekik Askara. Sontak keduanya kembali memacu dayung supaya rakit kembali melesat.Di pinggir mereka, tepatnya di kecuraman tebing yang tegak. Cindaku siluman itu tak melepaskan penglihatannya. Manik matanya terus menatap buas dua pemuda yang sibuk mendayung itu. Askara beberapa kali menelan ludah, ia khawatir jika cindaku itu mampu mengingat dirinya.Namun sepertinya si macan tutul memang mengenali Askara. Lihatlah, bahkan sekarang pemuda itu menjadi target sorotan matanya terus.Berpikir dalam kondisi yang sempit, Askara berujung banyak melamun. Dia berusaha mengingat kembali bagaimana cara mengalahkan cindaku macan tut
Byuur! Rakit yang ditumpangi Sanggapati dan Askara jungkir balik, membuat keduanya berputar-putar di dalam air. Askara lebih dulu berhasil menyembulkan kepala ke permukaan air. Dilanjut meneriaki Sanggapati yang hilang dan tak kunjung menampakkan diri. "Sangga! Sangga!" Beberapa kali Askara mengedarkan pandangan di tengah derasnya aliran sungai. Namun nihil, rekannya itu tak menyahut sama sekali seruannya. Kedalaman sungai yang kini dirasa tak dangkal lagi, membuat Askara sedikit was-was. Bisa dikatakan ukurannya mulai setinggi lehernya. Itupun dalam keadaan terseret-seret. Entah setinggi apa jika dia memasuki kawasan hilir nanti. Berusaha mempertahankan kepalanya supaya tetap menyembul, Askara mencoba mengeluarkan teknik andalannya yakni Napak banyu. Sayang, dalam kondisi badan terseret arus seperti ini, sangat sukar untuk bisa menapakkan kaki di permukaan. Askara bera
"Tiga ... Dua ... Satu!"Askara dan Sanggapati meluncur dari ketinggian air terjun. Diterka puluhan meter. Pendaratan mereka pun diiringi suara dentuman yang kencang. Badan mereka seakan tercambuk air yang menggenang di bawahnya.Aliran air dirasa cukup tenang sekarang. Namun kepala mereka masih seakan terasa berputar-putar. Jatuh dari air terjun setinggi puluhan meter memang berhasil mengguncangkan mereka hingga pusing sampai mabuk.Begitu Sanggapati menemukan batu sungai, lantas dia sergap berpegangan erat. Berakhir melenggorkan tubuhnya di atas sana, lalu mengatur deru napas yang keluar tak beraturan.Beberapa saat kemudian dia bangkit lalu menduduki batunya. "Aska!" serunya lagi."Aku di sini," jawab Askara lesu. Pemuda itu juga terlihat berpegang pada salah satu batu sungai yang berada tak jauh darinya."Fiyuuh ... Kau tidak apa-apa kan?"
Askara berhasil membawa Sanggapati ke tepian sungai, memapah pemuda itu supaya ikut lari bersamanya di di pinggir sungai. Namun usaha itu sempat terhambat karena Sanggapati mulai kelelahan, tenaganya banyak terkuras akibat membendung serangan demi serangan dari cindaku."Bertahanlah, Sangga ..." Askara cepat-cepat melingkarkan tangan temannya itu ke bahunya, lalu pergilah mereka lari tergesa-gesa. Menyeret Sanggapati yang kala itu tengah pincang.Sebenarnya Askara bisa saja meninggalkan Sanggapati demi menyelamatkan diri sendiri. Hanya saja dia berpegang teguh pada peraturan yang dikatakan oleh sepuhnya. Mengingat kunci lulus dari latihan gabungan sekaligus ujian bertahan hidup ini adalah 'kerja sama tim'.Suara auman kembali terdengar. Bersamaan dengan itu, cindaku melompat keluar dari dalam air sungai. Menapaki daratan dan hendak mengejar dua pemuda yang melarikan diri itu.Kondisi Sanggapati yang kala itu pincang ternyata menghambat. Keduanya berhasil
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam