"Apa-apaan ini, Bu?" Aku lirik wanita di sebelahku. Namun dia justru memintaku diam."Mari masuk, Bu," ucap ibu ramah. Pak Aziz menyalami kedua orang tuaku dengan ramah, tak lupa mencium punggung tangan mereka dengan takzim. Aku melongo saat memperhatikan tingkah mereka. Di sini aku seperti penonton, tak tahu cerita yang tengah dipertontonkan. Kali ini bukan hanya Pak Aziz dan Bu Saida. Ada pula dua orang wanita yang datang membawa buah tangan. Dari raut wajah, mereka berdua masih remaja, mungkin sekitar tujuh belas dan dua puluhan. Namun aku tak tahu siapa mereka. Kami duduk saling berhadapan. Entah kenapa perasaanku tak enak. Ini seperti acara lamaran, bukan bertamu pada umumnya. "Perkenalkan ini Sahkila dan Salwa," ucapnya seraya menunjuk dua gadis yang duduk di sebelah kanan dan kirinyaGadis yang berumur dua puluhan itu bernama Sahkila, dan yang satunya bernama Salwa. Keduanya adalah adik kandung Pak Aziz. Baru kali ini aku tahu, karena memang kami tak saling kenal sebelumnya
Aku mundur ketika wajahnya kian mendekat. Hingga tubuh menempel di pintu mobil. Namun lelaki itu terus saja mendekat. "Mas Aziz jangan macam-macam, ya! Ingat kita belum halal!"Lelaki justru tersenyum sambil mendekatkan tubuhnya. Awas saja kalau dia menyentuhku. Akan kutendang pusaka miliknya. "Kalau makan, nasi dimasukkan. Jangan dibiarkan menempel di pipi," ucapnya seraya mengambil sebutir nasi yang tertinggal di pipiku. Seketika aku menundukkan kepala, malu. Bahkan aku ingin menenggelamkan tubuhku ke dasar bumi. Aku tak sanggup beradu pandang dengan dia. Astaga, kenapa kepala traveling ke mana-mana? "Sepertinya kamu ingin segera dihalalkan, ya, Ra?"Aku mendongakkan kepala, menatap tajam lelaki yang kini menertawakan diriku. Dia pikir aku komedian yang pantas diapresiasi dengan sebuah tawa dan senyuman. Ah, menyebalkan. Tak tahukan jika aku menahan malu saat menatap wajahnya. Malu atas kecerobohanku sendiri. "Ra, kita menikah minggu depan, ya," ucap Pak Aziz seraya menatap ke
Pov AzizSegera kulangkahkan kaki menuju ruangan. Sesekali menatap kiri dan kanan, mencari keberadaan Zahra yang terlebih dahulu masuk ruangan. Namun tak nampak batang hidungnya. Dia pasti sudah berada di depan meja kerja, menatap layar komputer dengan seksama. Fatimah Zahra, gadis biasa yang mampu membuatku jatuh cinta. Entah karena apa, aku sendiri tidak mengetahui alasannya. Aku hanya selalu ingin menatap wajah dan senyum manis yang terukir di sana. Cinta memeng membutakan mata dan logika. Itu yang aku rasakan kini. Pintu ruangan kubuka perlahan. Seketika mata membola melihat seorang wanita duduk manis di sofa. Dia menatap lekat netra ini. Tatapan yang membuatku merasa tak nyaman, tatapan mengintimidasi. "Dari mana saja kamu, Mas?" "Dari makan siang."Aku terus melangkah dan duduk di kursi. Tak kupedulikan kehadiran Trisha di sini. Kembali kukerjakan laporan yang ada di atas meja. Memeriksa setiap angkat yang tertera di sana. Apakah telah sesuai atau ada perbedaan. "Aku lagi
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Menyesuaikan cahaya yang tertangkap retina. Sebuah ruangan dengan warna putih dan bau obat-obatan menyengat di hidung. "Aku di mana?" lirihku. "Kamu udah siuman, Ra?" tanya dua orang lelaki yang berdiri di hadapanku. Aku pijit kepala yang terasa berdenyut. Gerakan tubuhku terhenti saat kepala semakin berputar-putar. "Kamu kenapa bisa terkunci di kamar mandi, Ra?" tanya Rio. Kembali kupaksakan kepala untuk berpikir. Ya, aku sempat terkunci di kamar mandi. Kemudian terpeleset karena tak hati-hati melangkah. "Gak tahu, tau-tau pintunya gak bisa dibuka. Mungkin rusak.""Atau mungkin ada orang yang iseng ngerjain kamu, Ra."Aku mengernyitkan dahi, sedikit bingung dengan ucapannya. Siapa juga yang iseng denganku? Aku saja tidak memiliki musuh di sini. Setelah diperiksa dan diberi vitamin, aku pun diantar pulang oleh Pak Aziz. Sementara Rio dan Hani pulang kembali ke kantor terlebih dahulu. Hening, sepanjang jalan tak ada kata yang keluar dari mulu
Beberapa hari aku menjaga jarak dengan Mas Aziz. Sengaja memang, aku ingin meyakinkan diri. Apa aku pantas bersanding dengan lelaki seperti dia. Dia terlalu sempurna untuk aku yang biasa saja. Aku terdiam sesaat, mengatur dada yang kini terasa sesak. Bohong jika ucapan Sahkila tak sampai ke hati. Bohong jika aku tak kenapa-kenapa. Mana bisa aku bersikap biasa jika dalam hati berkecamuk lara? Aku kembali menatap langit, bintang dan bulan datang menyapa. Mereka tersenyum meski di tengah gelapnya malam. Sayang, aku tak bisa seperti mereka. Tertawa di saat luka itu ada. "Malam minggu kok ngelamun, Fat? Nak Aziz gak kemari?" tanya ibu seraya menjatuhkan bobot di sampingku. "Lagi sibuk mungkin, Bu. Namanya juga atasan," jawabku sekenanya. Sebenarnya dia ingin mengajakku keluar malam ini. Menikmati indahnya kota di malam hari. Namun aku menolaknya, pura-pura sibuk. Meski nyatanya hanya diam menatap langit bertabur bintang malam ini. "Kok mungkin? Kalian tidak bertengkar, kan?" Ibu men
Melangkah gontai meninggalkan ruangan direktur utama. Sesaat aku terdiam, tubuh menempel di dinding. Aku atur napas yang terasa sesak. Kembali angan berkelana, mengingat kesalahan saat awal bekerja hingga detik ini. Namun tetap tak bisa aku temukan. Pekerjaanku hampir seluruhnya sesuai, kesalahan sepele bukankah hal yang biasa? Namun kenapa aku bisa dipecat? Setelah tenang, aku kembali melangkahkan kaki menuju ruangan. "Ada masalah apa, Ra?" tanya Rio seolah mampu membaca pikiranku. Aku menghela napas, membiarkan rasa sesak itu menghilang. Namun melihat tatapan mereka membuatku tak kuasa menahan air mata. Tetes demi tetes cairan bening jatuh membasahi pipi. Aku menangis, bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga sahabat. Mbak Mimi, Hani dan Rio adalah orang-orang yang berhati baik. Mereka sudah seperti keluarga baru di sini. Itu yang membuatku berat meninggalkan mereka. Hani dan Mbak Mimi mendekat, mereka menatap heran karena aku diam dan terisak. "Kamu kenapa, Fat?" Mbak Mim
Aku ambil satu persatu foto yang ada di atas meja. Tak henti-hentinya aku menggelengkan kepala. Kenapa ada fotoku dan Rio? "Ada yang bisa kamu jelaskan, Ra?" tanyanya seraya menatapku tajam. Aku mengatur napas, menghilangkan rasa kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Ucapan Mas Aziz tak ubahnya tuduhan untukku. Apa aku semurahan itu karena berstatus janda? "Kamu menuduhku main belakang dengan Rio, begitu?" "Aku hanya minta kamu jelaskan ini, bukan menuduh.""Aku terjatuh saat menuruni anak tangga karena pusing. Kejadian spontan yang siapa saja bisa mengalaminya, termasuk Mas Aziz." Aku letakkan fotoku dan Rio yang ada di tangga tadi."Ini!" Mas Aziz memberikan sebuah foto saat aku menemani Rio makan. "Kamu pergi dengan dia kemarin, sementara ponsel kamu sulit aku hubungi, kan?"Terdiam, tak satu pun kata yang keluar dari mulutku. Entah mengapa aku merasa muak, ucapan-ucapan Mas Aziz seakan memojokkan diriku. Tak tahukan dia aku tengah pusing karena di PHK?"Kamu diam, berati b
"Mari ikut kami, Bu," ucap lelaki itu. Aku menoleh ke arah ibu. Ada keraguan yang tiba-tiba hadir dan menelusup. Bukan hanya diriku, tapi juga ibu. Bagaimana bisa aku ikut dengan orang yang tidak aku kenal? Di saat maraknya penculikan anak-anak. Eh, aku bukan lagi anak-anak. "Mau ke mana, Pak?""Ke rumah sakit, Mbak. Ada wanita paruh baya meninggal karena kecelakaan. Korban tidak membawa identitas, Mbak.""Lalu apa hubungannya denganku, Pak?""Korban menanyakan alamat rumah Mbak Fatimah sebelum akhirnya tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi."Mendadak rasa penasaran itu hadir, siapa wanita yang polisi itu maksud? Kenapa harus mencari alamatku? "Mari, Mbak. Kami butuh Mbak Fatimah untuk mengidentifikasi korban."Dengan rasa penasaran aku pun mengikuti langkah dua polisi tersebut. Mobil polisi pun melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan aku hanya diam, pikiran menerka wanita yang polisi maksud tersebut. Lalu lintas tak begitu ramai. Kendaraan melaju dengan lancar. Tanpa h