Beberapa bulan sebelumnya...
--
"Panggilan kepada siswi 11-MIPA3, Aurora Jasmeen, untuk segera datang ke ruang BK."
Siang itu harusnya menjadi siang yang indah.
Harusnya...
Kalau saja suara itu tidak terdengar, kalau saja suara dari pengeras yang ada di tiap kelas itu tak berbunyi dan menyebut nama sang protagonis, pasti dunia akan lebih damai.
Kalau saj—
Wait wait wait!
Protagonis?
Who?
Suasana kelas yang sepi karena ada pada masa istirahat seketika kian jadi sepi.
Seorang gadis yang tengah menenggelamkan muka ke atas meja itu sontak mendongak. Rambutnya sedikit berantakan, wajah imut lengkap dengan poni depan itu terlihat datar sekali.
Barusaja bangun tidur.
Apa dunia ini tidak punya simpati? Kenapa langsung mengirim petaka pada anak gadis yang baru bersua mimpi?
"Yang namanya Orora Melati mana orangnya?"
Aurora melirik sedikit ke arah kanan, tepatnya pada siswi berseragam yang mempunyai wajah kebarat-baratan. Asmeralda sudah sejak orok menyandang gelar sebagai sahabat Aurora. Tapi apa pentingnya, setelah remaja dia cuma peduli dengan dunia fangirling yang diagungkan. Mendengar sahabatnya dipanggil orang Bimbingan konseling saja dia acuh bukan main.
Aurora menggaruk pelan puncak kepalanya.
"Gua?" beo Aurora.
Alda pun segera mengangkat wajah, gadis blasteran itu memutar mata jengah lengkap dengan desah kecil keluar dari mulutnya.
"Iya, di sekolah ini cuma lo yang punya nama gabungan dua princess Disney," balas Alda. Menolerir loading lambat karena tau kalau nyawa Aurora belum terkumpul sepenuhnya.
Aurora mengedip lambat. Ia kemudian menguap sebebasnya, lengkap dengan tangan terangkat melakukan peregangan.
"Iya ya, gue doang ya," celetuk Aurora lagi.
Sedangkan Alda menggelengkan kepala, kembali menunduk untuk bermain dengan ponselnya. Mungkin sedang streaming music video atau apalah itu, sudah Aurora bilang kan, dia tidak lebih penting dari manusia gepeng di ponsel itu.
"BK?" beo Aurora lagi.
Asmeralda mendesah. "Gue bawa penyedot conge deh kayaknya."
Sejatinya Aurora sudah sadar, ia pun tidak benar-benar tidur tadi. Hanya saja, Aurora enggan percaya, masa sih, BK lagi?
"Iya elo, Rora!" geram Alda kemudian.
Aurora mendecak malas. "Kok gue dipanggil lagi, sih! Bosen banget ke sana mulu."
"Kalo nggak mau dipanggil ya jangan berulah!" selak Alda. "Emang kali ini apalagi sih, Ra? Sampe bosen gue dengar pengumuman tapi yang keluar nama Lo bae."
Mata kucing Aurora melebar, Alda berkata 'kali ini apalagi' seolah-olah Aurora memang biang kerok di sekolah.
Padahal mah... Iya.
Eh tidak tidak.
Maksudnya, tidak hari ini.
Aurora menggeleng dengan bibir mengerucut. Poni depan yang ia punya ikut bergerak seiring bergeraknya kepala gadis itu.
Orang tidak akan percaya biang kerok sekolah punya tampilan seimut dan serapih ini.
Lihat saja, rok abu-abu yang digunakan Aurora tidak pernah lebih tinggi daripada lutut, seragamnya pas sesuai ukuran, dasi tidak pernah tidak tersemat di lehernya.
Wajahnya yang lugu dan lucu merupakan sebuah kamuflase paling gila di abad ini.
"Gue hari ini punya konsep jadi Goodgirl, sumpah, nggak ngapa-ngapain. For real, gue diem aja dari pagi," bantah Aurora tak terima.
"Mungkin ini soal kejahatan Lo kemarin-kemarin yang baru terungkap hari ini," cetus Alda. Si bule kemudian mendecak. "Sana cepetan!"
Mau tak mau Aurora pun bergerak dari kursinya.
"Ilernya hapus dulu ilernya," celetuk Alda geli, ia tau Aurora sebal sekali kalau hari damainya diganggu, padahal baginya mempunyai satu hari damai saja sudah sulit.
Aurora mengambil cermin kecil dari saku seragamnya.
Berkaca. Eh, mana iler? Gak ada iler tuh. Yang ada cuma kecantikan hakiki.
Merasa ada yang kurang Aurora pun mengeluarkan liptint, memakainya tipis, lalu ia juga merapihkan rambut. Setelah selesai Aurora menyimpan kembali cermin dan liptint itu ke dalam saku.
Ke BK juga harus all out, Bestie.
"Aurora Jasmeen here," sapa Aurora saat baru menginjakan kaki di ambang pintu ruang BK.
Tak terdengar ada yang membalas, Aurora pun celingukan, kepalanya menyortir isi di ruang disiplin tersebut.
"Masuk, Rora. Kayak baru pertama kali aja," ucap seseorang dari arah belakang.
Seorang wanita berkerudung melintasi pintu sembari berkata, dia melintas tanpa melirik Aurora sama sekali, terlampau santai, menggunakan pantofel hitamnya ke meja kebesaran.
Aurora pun memejamkan mata. Dia melipat bibir ke dalam mulut, lalu mendesah melas.
Sumpah deh, Aurora tidak merasa kalau dia berbuat dosa hari ini, jadi memang clueless betul.
Aurora pun mengikuti langkah wanita berkerudung tadi. Berdiri di depan meja dengan mata mengedip polos, seakan memang menunggu vonisnya keluar.
Namun Bu Lasmi tidak mengatakan apapun, cuma menatap Aurora, seperti sedang menunggu Aurora mengatakan sesuatu, atau mungkin sedang merenungi diri betapa bosan ia melihat bocah ini kembali.
Membuat Aurora mengedip lagi, ia seketika menciptakan senyum manis.
"Ada perlu apa, ya Bu Lasmi yang cantik," kata Aurora dengan senyumnya. "Baru kemarin kita ketemu sekarang udah kangen lagi?"
Tanpa ba-bi-bu Bu Lasmi menghempaskan sebuah bacaan ke atas meja.
Dan saat itu, senyum di wajah Aurora otomatis memudar.
Mati.
"Punya kamu?" tanya Bu Lasmi lagi, berbanding terbalik dengan suaranya yang ramah, Aurora paling tau kalau guru BK ini tidak ada ramah-ramahnya saat memberi hukuman.
Aurora mengerling ragu.
Bukan Bu, itu punya mama saya.
Bu Lasmi tentu tak akan mengatakan apapun lagi kalau Aurora belum memberikan jawaban atas pertanyaannya.
Maka tak ada pilihan lain.
"W-wih!" pekik Auora antusias. Gadis yang aktingnya punya skor bintang tujuh itu meraih majalah fashion milik ibunya. "Vogue edisi terbatas kan ini! Wah ibu tau dari mana saya lagi pengen majalah ini? Kado buat saya ya Bu? So sweet, makasih ya Bu Lasmi yang cantik. Saya permisi dul—"
"Jadi beneran punya kamu, Rora?" potong wanita berkerudung itu, jengah. "Lagi?"
Bayang-bayang dirinya menggosok lantai kamar mandi perempuan membuat Aurora bergidik.
Ogah!
Aurora menggeleng. "Bu-bukan, bukan punya saya."
Bu Lasmi membalas lagi. "Tapi Cassy bilang kalo ini punya kamu,"
Cassy bego!
Aurora hampir lupa kalau ia memang meminjamkan majalah ini ke Cassandra—anak kelas sebelah beberapa hari lalu, dan jelas-jelas mereka saling pinjam item begini di luar sekolah. Kenapa dia bawa ke sekolah, sih!
"Dan seperti biasa, Dante yang kasih ini ke ibu."
Dante anj—
Eh tidak kenal, jadi Aurora tidak bisa mengumpatinya.
"Yang punya dan berani bawa hal-hal fancy begini ke sekolah sejauh yang ibu tau ya cuma kamu."
Aurora terdiam.
"Tapi kalo bukan punya kamu ya sudah. Itu berarti majalah ini bukan milik siapa-siapa... "
Aurora mengedip... tumben sekali ini orang. Meski sedikit mencurigakan tapi kalimat bu Lasmi tadi agak membuat petir di batin Aurora berkurang.
Aurora menarik napas, dan menghembuskannya lega.
"... jadi kalau nanti disobek-sobek, dibakar, dibuang, dijadiin bungkusan tempe nggak akan ada yang kehilangan."
Aurora tidak jadi lega.
Kan. Sudah ketebak. Pasti begini deh. Tidak mungkin penghuni BK tiba-tiba baik hati begini.
"Kamu boleh pergi," ujar Bu Lasmi kemudian merampas majalah yang semula ada di tangan Aurora.
Aurora mendelik.
Mati gue! Mati!
"Tapi Bu—"
"Ada lagi Aurora?" tanya Bu Lasmi.
Let's berpura-pura Aurora.
"Bu—" Aurora menetralkan wajah, dia tidak boleh terlihat panik. Menekan kepanikan Aurora pun tersenyum kian manis. "Daripada dibakar kan sayang nih, boleh saya beli aja?"
Bu Lasmi balas tersenyum. "Kamu tau kan saya nggak menjual barang sitaan?"
"Ibu juga tau kan saya demen beginian?" Aurora pun mencondongkan badan, mendekat, berniat membuat kesepakatan. "Jual ke saya aja ya Bu, nggak akan kasih tau siapa-siapa kok. Berapa aja harganya gak papa. Saya kaya, bisa jaga rahasia juga. No sell and tell."
Karena Aurora bersumpah. Daripada hukuman menggosok lantai toilet, bayang-bayang wajah Mama yang mengamuk karena sadar koleksi majalah kesayangannya hilang satu lebih membuat Aurora ingin terjun ke palung paling dalam.
"Ibu juga kenal orang yang demen hal begini," balas Bu Lasmi, dia tersenyum, juga menekan kata 'demen' yang sebelumnya diucapkan Aurora. "Lebih rich dari kamu. Jelas dia mau bayar lebih mahal daripada harga yang kamu tawarkan."
Alda tidak suka hal sejenis ini. Dan menangnya ada siswi yang lebih kaya dari Aurora selain Alda?
Lalu penghuni BK itu menaikan tangan yang menggenggam ponsel ke telinga.
"Selamat siang ibu Janela,"
Cepu!
Aurora kehilangan kata-kata.
Tapi bruh. Ini bukan saat yang tepat untuk marah. Maka Aurora menampilkan wajah memelas. Kini tak lagi mau berpura-pura, dia menggelengkan kepala memohon agar Bu Lasmi tidak mengatakan apapun.
Tapi seperti dugaan, Bu Lasmi mengabaikan.
"Aurora membawa majalah dan berbagai tabloid ke sekolah, ini sudah yang ke... maaf saya lupa, sudah kesekian kali, dan saya yakin ibu tau kalau hal ini merupakan sebuah pelanggaran," kata Bu Lasmi lagi.
Pelanggaran my ass! Dulu waktu kelas satu juga tidak apa-apa! Sejak ketua OSIS ganti saja semua hal serba dilarang.
Dasar Dante anjing!
Masa bodoh! Tidak kenal tapi kehadiran dan cupunya bikin kesal setengah mati maka dia patut disumpahi.
"Vogue Australia edisi summer kiss 2015, saya percaya kalau majalah ini milik ibu. Benar? Oh, Tidak apa-apa Bu, anak-anak biasa bertingkah seperti ini, larangan sama dengan perintah, jadi saya menunggu kehadiran ibu di sekolah siang ini ya Bu. Terimakasih."
Bu Lasmi menurunkan ponselnya.
"Kamu boleh kembali ke kelas," pungkasnya pada Aurora.
Aurora tidak menangkap apapun dari percakapan panjang antar guru dan ibunya tadi. Yang jelas, ia menangkap satu hal. Mama akan datang ke sekolah beberapa saat lagi.
Aurora yakin kalau hal itu tidak akan baik untuknya. Kehadiran Mama sama dengan petaka!
Segera Aurora keluar dari ruang BK setelah menunduk sopan pada Bu Lasmi. Wajah masam gadis manis itu terpampang nyata.
Jadi apa bulan ini uang jajan akan dipotong lagi?
"Rora, tadi dicariin Cassy," celetuk seorang siswi yang sedang melintas, Aurora memang mengenal banyak orang, bisa dibilang ia mempunyai relasi bagus dalam pertemanan di sekolah.
"Di mana?" tanya Aurora balik.
"Di taman belakang, nggak tau sekarang masih di sana atau enggak."
Aurora pun membuat satu senyum. "Oke, thank you, Dea!"
Langkah berbalut converse hitam milik Aurora melaju cepat, ingin segera berlabuh di rerumputan taman belakang, setidaknya mungkin setelah menonyor kepala Cassy suasana hati Aurora bisa jadi lebih baik.
Namun belum juga Aurora sampai, saat langkah kaki gadis berponi depan itu baru sampai di ujung koridor kehadiran seseorang mencuri perhatiannya.
Murid laki-laki, dia tinggi, badannya juga terlihat fit, menggunakan kacamata dengan frame tipis khas dirinya, berjalan santai dengan garis bibir lurus, dan Dante bukanlah Dante Andromeda kalau tidak ada buku di tangannya.
Orang yang selalu Aurora dengar namanya.
Mereka teman satu angkatan. Pernah satu kelas waktu kelas satu, tetapi berbicara pun tak pernah, apalagi saling sapa. Tidak pernah sama sekali.
Aurora sampai heran kenapa Dante harus melaporkan dirinya ke BK berulang kali. Seingat Aurora ia tidak pernah membuat masalah dengan Nerd satu itu, jadi kenapa dia menyulitkan hidup Aurora?
Dante tampak berhenti melangkah saat seorang siswi tiba-tiba berdiri di depan tubuhnya, menyodorkan satu buah kotak berpita dengan warna merah muda.
Aurora melihat tontonan itu dalam diam, tangannya bersidakep. Dari jarak ini ia tidak mendengar banyak, tapi tanpa mendengar pun Aurora bisa tau sebuah pengakuan perasaan sedang berlangsung di tanah sana.
"Jumlah semua bilangan ganjil antara lima puluh dan seratus?"
Aurora mengedip, otaknya tiba-tiba saja jadi berpikir atas pertanyaan Dante tersebut kendati jelas ia tidak akan tau jawaban yang benar.
Eh sebentar. Kok jadi kuis tanya jawab?
Lalu si siswi berambut pendek sebahu itu terlihat berpikir, kelihatan sekali dia gugup.
Setelah beberapa detik berpikir Aurora pun menyirit saat dirinya menyadari sesuatu. Aurora menganga. "Dia tanya itu seriusan? Kuis dadakan dulu baru bisa jadi pacarnya?"
Siswi yang tadi mengutarakan perasaan pada Dante terlihat kian menunduk, sementara kotak berpita merah muda yang dibawanya digenggam erat-erat. Dante tak menerimanya.
Lalu dengan kelewat santai Dante melanjutkan langkah. Seakan tidak ada hal yang terjadi.
"Ih najis mending jomblo seumur hidup, daripada pacaran tapi begitu sistemnya," desis Aurora dengan suara lirih yang cuma bisa didengarnya sendiri.
Mata bulat dengan sudut runcing milik Aurora kian menyipit. Apalagi ketika lelaki yang terang-terangan dipandangnya kian dekat.
Dante melihat Aurora. Mereka sempat saling pandang beberapa detik. Sebelum kemudian mata tajam cowok itu melengos tak peduli.
Dan ketika punggung Dante menjauh, Aurora tak urung menatap punggung itu.
Sudah jelas Dante tau siapa Aurora. Tapi dia berlagak tidak tau. Mereka hanya tau nama masing-masing, menjadi musuh bahkan tanpa pernah mendengar suara satu sama lain.
Dan tiba-tiba bel masuk berbunyi.
Aurora mendesah. Ia sampai terlupa niat untuk bertemu Cassy dan malah hanya berdiri di koridor ini.
Nyatanya hari damai bagi Aurora memang tidak ada.
"Mau kemana?" tanya Alda sembari mengikuti gerak-gerik tubuh gadis di depannya. Pertanyaan itu terdengar saat Aurora barusaja kembali ke dalam kelas. Kelas juga masih ramai, bell baru saja berbunyi dan guru belum ada yang masuk. Mungkin sedang dalam perjalanan, jadi Aurora harus cepat-cepat. Benar. Setelah menempuh pemikiran panjang, Aurora akhirnya memutuskan apa yang akan ia lakukan. Gadis manis berponi depan itu menjawab tanpa menoleh pada sahabatnya. "Mau ngelabrak Cassy. Dasar bocah bego! Idiot! Ngumpetin begituan aja kaga bisa. Hih! Udah sukur gue pinjemin!" selak Aurora bersama emosinya yang belum stabil. Asmeralda menganggukan kepala. Ia mengerti. Aurora memang bukan orang dermawan, dia tidak memaafkan secara cuma-cuma bahkan untuk hal kecil sekalipun. Hal serupa ini sudah pernah terjadi, dan yang pasti nanti Aurora dan Cassy akan bertengkar, setelah bertengkar mereka bertiga akan kembali bermain bersama lagi. Sudah biasa. "Terus ngapain beres-beres tas?" tanya Alda la
Aurora tidak jadi melabrak Cassy. Bocah sialan itu pura-pura tuli saat Aurora memanggilnya dari luar kelas, padahal jelas-jelas Cassy melihat Aurora, ia juga tidak bisa sembarangan masuk berhubung kelas Cassy sudah ada guru yang mengajar, Aurora jadi tidak biasa berbuat banyak. Ia akan menyimpan dendam ini dalam hati dan akan membalaskannya esok hari. Sekarang. Eksekusi rencana ke dua. Minggat. Kalian tau, akan selalu ada pertama untuk semua hal. Begitu juga dengan kenakalan. Ini merupakan kali pertama Aurora melakukan rencana bolos, biasanya cuma di bibir saja karena terlalu takut ketahuan dan takut terkena karma. Tapi sekarang? Apa pentingnya karma. Saat menghindar dari Mama Janela merupakan prioritas utama. Aurora sampai rela menyerah pada Cassy hanya untuk rencana minggatnya kali ini. Jantung Aurora sampai berdebar, ia suka dengan hal yang menantang begini. Sehabis dari kelas Cassy, Aurora tak menunda langkah untuk pergi ke belakang sekolah. Dengan langkah yang dibuat sena
Dulu sekali waktu masih duduk di bangku SD, Aurora pernah melakukan hal yang melakukan hal yang lebih nekat daripada yang dilakukannya sekarang. Mungkin, daripada nekat, hal yang dilakukan Aurora ini lebih mengarah pada kekurang ajaran.Terberkatilah Mama dan Papa, entah apa yang dilakukan mereka saat masih muda. Yang jelas mereka bertanggung jawab kenapa Aurora bisa mempunyai watak seminus ini.Membuat contekan saat ujian akhir semester agaknya bukan hal yang perlu dibesar-besarkan, tentu, kalau kamu sudah sedikit lebih dewasa dari anak-anak, tetapi waktu itu Aurora masih kelas lima. Dia membawa masuk lima baris jawaban kisi-kisi dari murid paling pintar di kelasnya- A.K.A Asmeralda, katanya kemungkinan besar soal-soal yang Alda tunjuk akan keluar dalam ulangan yang akan datang itu.Tentu saja Aurora tak mau rugi. Menghafal? Tidak mungkin, belajar dan mempelajarinya? Apa lagi itu. Jadi satu-satunya jalan agar kisi-kisi dari Alda tidak mubazir adalah dengan membuat contekan.Aurora me
-- Hidup memang kadang susah. Namun, bukankah Aurora masih terlalu muda untuk memikirkan hidup? Baru tujuh belas. Bisakah pikiran tentang tetek bengek kehidupan itu datang nanti saja saat Aurora sudah dewasa? Sekarang ini, Aurora cuma ingin main-main saja. Ia tidak mau bersedih-sedih putus cinta apa lagi kalau sampai berakhir dengan berpikir soal keadilan yang diberikan dunia. Kenapa sih gue harus punya otak thinkerbell begini, nyusahin aja! Setiap hal yang dilakukan tentu punya resiko, dan Aurora tidak buta, ia tau resiko menyukai seseorang, sejak awal pun ia tau Ares sedikit banyak keberatan dengan fakta bahwa Aurora menyukainya. Jadi bisa dibilang, Aurora sudah membayangkan hal ini sebelumnya. Sakit? Tentu. Aurora tidak mungkin tidak merasa sakit saat Ares yang notabenenya laki-laki paling ia suka dan ia percayai mengatakan kalimat sekasar itu padanya. Namun, seperti biasa, kesedihan Aurora akan disimpan dalam diam, ia tidak bisa menyalahkan siapapun. Dan kembali mencari ke
"Janela yang kemarin datang itu beneran nyokap lo, Ra?"Tuh, kan.Seperti yang sudah Aurora perkirakan sebelumnya. Teman-teman sekelas akan menggila saat tau kalau Janela yang itu adalah ibu kandungnya.Bukan cuma sekedar firasat percuma, Aurora sudah pernah menjalani hari-hari seperti ini saat masih SMP. Menjadi putri dari Janela Sarasvati yang namanya wara-wiri muncul di TV sedikit banyak memang merepotkan.Aurora yang sedari tadi sibuk melukis kuku jemarinya menggunakan kutek mengkilap berwarna biru laut juga kuning itu cuma melanjutkan kegiatannya dengan tenang.Menyapu kuas ke atas kuku dengan rapih, tidak melewati garis kuku atau mencoret kulit jemari. Setelah selesai Aurora meniup kuku-kukunya dengan angin yang pelan, matanya berbinar memandang jemari manis yang baru dibumbui warna beken semester baru itu."Mama kandung, Ra? Serius?" tanya Bian- teman satu kelas Aurora lagi. Seakan tidak menyangka Aurora yang Badung dan lenjeh ini adalah putri kandung Janela yang terkenal ramah
-- Setelah cuma diam setelah menerima perlakuan tidak mengenakan yang diterimanya beberapa detik lalu, Dante Andromeda masih harus melawan keterkejutannya sendiri saat tanpa aba-aba Aurora Jasmeen menarik dasi abu-abu yang ia pakai. Menarik. Secara harfiah. Ditarik sambil dibawa bergerak jalan. Percayalah. Dante tidak pernah diperlakukan demikian. Membayangkannya saja tidak sekalipun. Serius? Diseret-seret sepanjang koridor sekolah. Dante melepas jemari lentik berkutek biru milik Aurora yang dari tadi berhasrat sekali mencengkram dasinya. Wajah cowok berkacamata itu super duper datar. Dia bercanda atau memang sebal saja? Tetapi Dante pikir sepertinya mereka tidak sedekat itu untuk bercanda dan tidak semusuh itu untuk beraksi terlampau memalukan seperti ini. Gadis manis berseragam putih itu sontak berhenti melangkah, yang cantik bermata kucing khas itu sekilas menyirit tak suka. Berbalik menatap laki-laki tinggi yang berdiri di belakangnya dengan muka dingin. "Jangan tarik-tarik
"Kali ini lu mau polah apa lagi, Orora?"Selak frustasi terdengar menggelegar dari mulut cewek blasteran yang masih berdiri di ambang pintu kamar Aurora bersama dua gelas air es di tangan.Aurora terperanjat saking kagetnya. Gadis cantik yang sedang sibuk mencari posisi aman untuk menjemur sapu tangan itu menoleh dengan mata membola, Aurora buru-buru menyelampirkan sapu tangan basah itu ke punggung kursi dan setelah itu ia langsung berpindah dari teras kamarnya menuju ranjang.Aurora bersumpah ia tidak pernah keberatan Alda atau Cassy berteriak sembarangan di rumahnya yang tidak ada orang ini. Tetapi baiknya pakai aba-aba dulu, dong! Kalau Aurora mati jantungan dia mau kuburkan?"Lo kalo teriak lagi gue usir ya!" ancam Aurora kosong.Sebagai tuan rumah yang baik, Aurora menyuruh Alda serta Cassy mengambil minum dan cemilan sendiri di dapur. Dan seperti yang diduga Cassy muncul dari belakang tubuh tinggi Alda membawa satu keranjang besar cemilan ringan.Alda mendekat dengan wajah gemas
-"Dante?" tanya Cassy balik, matanya menyipit sementara bibir penuhnya bergerak seakan siap mencibir. "Maksudnya Andante, kakel yang fakboy itu?"Sejujurnya Aurora sangsi, apakah bercerita mengenai Dante pada teman-temannya merupakan hal yang benar atau tidak.Sepertinya dunia belum tau, tapi Cassy itu alergi dengan cowok cupu. Cowok yang terlalu benar dan tidak tertarik untuk berbuat nakal, dan cowok yang suka mematuhi peraturan, itu arti cupu dalam kamus hidup Cassy. Dan agaknya Dante masuk ke dalam kategori cowok cupu yang dibenci oleh Cassy tersebut.Maka tidak heran, saat Aurora menyebutkan nama Dante, Cassy lebih dulu memikirkan Dante yang lain."Simulasi sih simulasi, tapi jangan pake pro juga. Bisa langsung mobrak-mabrik kalo sama dia, Rora," lanjut Cassy lagi dengan nada suara menggurui. "Gak ketulungan, ntar Lo susah dipuasin kalo perawan diambil suhu—"Aurora mengangkat tangan, matanya memejam."Cassy," potong Aurora.Aurora bahkan tidak tau kalau ada manusia lain yang ber
“Jelek.” Cewek berkaos hitam yang semula cemberut menatap pot bunga sembari bersidakep tanpa berniat menggubris cowok tinggi yang ada di depannya itu langsung mendongak. Dia memicing dan membuat kelopak matanya yang bengkak terasa sakit, tetapi dia tidak peduli. Satu-satunya yang dia pedulikan adalah fakta bahwa cowok ini dengan tidak tahu dirinya mengomentari penampilannya yang sedang tidak baik-baik saja saat ini. Memangnya salah siapa Aurora jadi berantakan begini? Salah Dante lah! Siapa pun orang di dunia ini, hanya Dante seorang yang tidak boleh mengomentari Aurora tentang penampilannya. “Mau ke mana?” tanya Dante sembari mencekal pergelangan tangan Aurora saat cewek itu berniat masuk kembali ke dalam rumah dengan langkah yang sengaja dihentakkan. Lekas-lekas Aurora melepaskan cekalan tangan Dante darinya, mendesis risih. “Ya ngapain Lo mau ngomong sama cewek jelek! Pergi sana yang jauh gak usah balik, sialan!” umpatnya kesal. “Ra,” panggil Dante lembut. “Bercand
“Stop!!!” Napasnya tersengal. Dia yang habis berlari menuruni tangga dengan dua kaki yang tidak pernah digunakan untuk olahraga itu merentangkan tangannya selebar mungkin, berusaha menyembunyikan si cowok gede tinggi yang sedang diinterogasi oleh seluruh member keluarganya. Aurora mengerjapkan matanya cepat-cepat, dia menelan ludah alot ketika menyadari bahwa sikapnya yang bagai wonder woman kesiangan ini akan sangat merugikan dirinya sendiri. “Ngapain kamu?” ujar Samuel dengan kernyit kesal. “Minggir!” “Jangan anarkis, Abang!” jerit Aurora kencang. Dia mendorong dada Samuel dan kemudian memeluknya erat-erat. “Dante gak salah apa-apa kok, ini semuanya kejadian karena aku yang paksa.” Sementara itu, di samping Mama Janela, Ares yang dari tadi slengean pun menyeringai tengil. “Kebanyakan drama! Udah onty gak usah gubris Rora, bawa itu cowok ke kentor polisi aja!” Kompor telah dinyalakan, dan agaknya, panci berisi air panas yang tadinya masih hangat dan masih cukup tenang se
“Terus elo pulang gitu aja waktu Dante selesai jelasin?” pertanyaan itu terdengar, Aurora yang semula sibuk membenamkan wajah ke bantal pun mengangkat wajahnya.Memperlihatkan muka pucat berpadu rona merah di sekitar mata, hidung dan bibirnya, habis menangis meraung-raung seperti anak kecil.Sesi curhat dengan teman-temannya dilakukan, penggilan grup berisi tiga orang itu terdengar berisik karena Alda dan Cassy bicara saling menyahut menanggapi kisah pilu percintaan Rora Jonggrang yang ogah ditinggal merantau.“Gue punya manner kali,” sahut Aurora sengau, dia menangis sampai hidungnya mampet. “Gue tetep di sana buat ngehargain bunda Wilo, tapi gua enggak ngomong sama sekali ke si kampret mata empat, kesel banget!”“Cinta emang serem ya, enggak bisa ditebak. Padahal kemarin elo masih excited banget waktu lihat Dante, sekarang ngatain kampret.”Alda menyindir Aurora.“Ntar Alda, tungguin aja, kalo sampe nanti elo jatuh cinta dan patah hati, Lo juga bakal tahu rasanya.”“Takut,” balas Al
-Kaki berbalut sepatu bertali itu menginjak rem dengan hati-hati, sementara cowok berkacamata itu melirik ke samping, lalu saat polisi tidur itu terlewati dia menekan gas dengan sangat pelan pula.Sementara Aurora sibuk meneliti riasan wajahnya di pantulan cermin, memeriksa bahwa dandanan yang dia pakai tidak berlebihan untuk menyapa bunda Wilona, semula dia menggunakan riasan viral ala si seksi Madison Beer— baru membuat video tutorial untuk di upload karena kemarin video make up tutorial Adriana Lima lumayan ramai. Tapi berhubung Dante tiba-tiba mendatanginya dan berniat membawanya bertemu bunda, Aurora berpikir kalau dandanan yang minim akan meninggalkan kesan pertama yang lebih mantap.Jadi dia menghapus riasannya dan memulai melukis wajahnya dari awal.“Ini pipinya kemerahan enggak?”Dante menoleh, menatap pipi gembul Aurora di antara wajah ayu yang tenteram itu.Dia berkedip beberapa kali, mengulum bibir sendiri dan akhirnya menggeleng.“Enggak.”Dia sama sekali tidak
“Alda, kok kayaknya gue agresif banget ya ke Dante.” Alda melirik sekilas. “Lah, baru sadar?” “Ish!” selak Aurora kesal. Dia cemberut, menempelkan dagunya ke tangan yang terlipat di atas meja kafe. “Padahal yang gue lakuin wajar tahu, kita cuma terlalu beda sifat aja. Kalo misal cowok lain punya pacar kayak gue— bukan maen hoki dia, lah Dante malah takut sama gue.” “Emang Lo ngapain aja?” tanya Alda kemudian, masih agak ogah menatap Aurora, sibuk scroll ponsel yang sudah pasti isinya oppa-oppa. “Gue sering touch-touch dia, hampir nggak pernah lepas, gandengan tangan, ngelendot, kadang juga peluk kalo berdua.” “Kemarin gue lihat Lo peluk dia di depan umum,” sahut Alda tak terima, ada apa dengan imbuhan berdua itu? Di depan umum juga dia tidak rikuh peluk-pelukan. Aurora mengibaskan tangan tak peduli. “Ya pokoknya gitu doang, kok. Nih ya. Dia tub— enggak pernah cemburu sama gue, jadi gue ngerasa kayak cinta sendirian.” Suara Aurora terdengar sedih, merasa kalau curhatan cewek temb
-Setelah mereka selesai makan siang, Aurora benar-benar langsung mengeluarkan kamera dan menata rambutnya untuk membuat video unboxing seperti yang dia rencanakan sebelumnya.Dia bahkan mengganti pakaian santainya jadi dress putih bunga-bunga dengan gaya off shoulder.Niat sekali. Cantik sekali.Dante hanya melihatnya dari jarak di mana kamera tidak akan menangkap keberadaannya, tanpa mengeluarkan suara sama sekali, membaca buku di sofa sambil sesekali melirik ke arah Aurora yang sudah beralih membuat video tutorial make up.Mengikuti tipe kit make up yang Diatala cosmetics keluarkan kali ini, sepertinya dia membuat look make up kebarat-baratan.“Cantik, kan?” tanya Aurora setelah beberapa saat.Dante mendongak, mengalihkan pandangannya dari buku. Lalu mengangguk setuju.Dia tidak tahu menahu apa pun tentang make up atau dunia perempuan, namun dia setuju kalau Aurora sangat cantik.Aurora nyengir puas melihat anggukan kepala Dante.“Berhasil ya? Mirip Adriana Lima nggak?” ta
Pacaran itu menyenangkan.Setidaknya Aurora sudah bisa pamer tentang hal itu sekarang. Dijemput pacar ganteng dengan senyum dan pelukan, dipanggil sayang dengan suara lembut, dimanja-manja sampai burung-burung pun iri padanya. Anjay.Lihat saja muka ngeri Cassy dan Alda. Mereka ngiri dan cuma bisa mupeng.Tidak sia-sia usaha Aurora untuk meruntuhkan dinding pertahanan Dante yang kokoh, dia tidak menyesal bisa jadi pacar Dante pakai jalur menggoda ugal-ugalan layaknya cabe-cabean.Setelah dijemput, Dante bertanya apakah Aurora sudah makan siang dan Aurora menjawab kalau dia belum makan; beberapa potong cake dan minuman manis tidak bisa dihitung sebagai makan siang— baginya, kenyang sih, tapi pokoknya Aurora masih ingin dan harus makan siang bersama Dante.Karena Aurora tidak ingin makan di luar, akhirnya Dante membawa Aurora ke apartemen, dia bisa memasak menu sederhana.Cowok kalau sudah pintar, tampan, tinggi, sexy, dan jago masak, memangnya masih bisa dikategorikan sebagai
Satu hal baru yang Aurora tahu dari pacarnya, Dante Andromeda bukan cowok yang suka berbalas pesan singkat, setiap kali Aurora mengirim chat Dante tidak membalas dan malah akan langsung meneleponnya.Padahal kemarin Aurora hanya ingin berterima kasih soal boneka-boneka yang Dante kirim, lalu besoknya Aurora PAP foto saat dia date dengan Papa, dan Dante juga merespons dengan telepon.Aurora menyukainya, tentu saja, meski dari satu jam sambungan telepon itu didominasi oleh celotehnya sendiri tapi mendengar suara Dante secara singkat juga terasa menyenangkan.Hari ini lagi, Aurora mengirim pesan singkat pada Dante, mengatakan kalau dia sedang nongki di cafe bersama Alda dan Cassy. Seperti biasa, Dante tidak langsung membalas, karena dia memang bukan tipe orang yang selalu membawa ponsel ke mana-mana, biasanya butuh waktu sekitar 30 menit atau beberapa jam kemudian baru dia akan menelepon Aurora.Setelah mengirim pesan pada Dante, Aurora menyimpan ponselnya. Dia mengambil smoothies di gel
Aurora berjalan memasuki rumah dengan ponsel di tangannya, melihat-lihat foto paling bagus yang dia ambil beberapa saat lalu, niatnya yang akan dia upload ke sosial media, bagaimana pun dia tidak bisa membiarkan hari ini berlalu jadi hari yang menyebalkan hanya karena kencannya diganggu Ares. Kebetulan Aurora sempat memotret, ralat— dia memotret banyak hal, termasuk dirinya dan Dante. Foto berdua. Dante tidak begitu suka difoto, namun dia tersenyum cukup tulus saat Aurora tanpa izin memotretnya. Tampan. Akhirnya Aurora memutuskan untuk menempatkan foto berdua itu di slide paling akhir. Saat langkah kaki Aurora baru melewatkan pintu besar paling depan rumahnya, dia mendongak karena keributan kecil yang terdengar, ada beberapa orang asing di sana, tampak sibuk karena sedang instalasi sesuatu di pojok langit-langit. “Paman Ali,” panggil Aurora riang, dia berjingkat dan berlari memeluk sekretaris ayahnya itu. “Long time no see, how are you, Paman!” “Baik-baik,” jawab paman A