"Mau kemana?" tanya Alda sembari mengikuti gerak-gerik tubuh gadis di depannya.
Pertanyaan itu terdengar saat Aurora barusaja kembali ke dalam kelas. Kelas juga masih ramai, bell baru saja berbunyi dan guru belum ada yang masuk.
Mungkin sedang dalam perjalanan, jadi Aurora harus cepat-cepat.
Benar. Setelah menempuh pemikiran panjang, Aurora akhirnya memutuskan apa yang akan ia lakukan.
Gadis manis berponi depan itu menjawab tanpa menoleh pada sahabatnya.
"Mau ngelabrak Cassy. Dasar bocah bego! Idiot! Ngumpetin begituan aja kaga bisa. Hih! Udah sukur gue pinjemin!" selak Aurora bersama emosinya yang belum stabil.
Asmeralda menganggukan kepala. Ia mengerti. Aurora memang bukan orang dermawan, dia tidak memaafkan secara cuma-cuma bahkan untuk hal kecil sekalipun. Hal serupa ini sudah pernah terjadi, dan yang pasti nanti Aurora dan Cassy akan bertengkar, setelah bertengkar mereka bertiga akan kembali bermain bersama lagi.
Sudah biasa.
"Terus ngapain beres-beres tas?" tanya Alda lagi, sembari terus menscrol ponsel di tangannya.
Untuk hal yang satu ini tidak bisa dia mengerti, kenapa ngelabrak harus pakai beres-beres buku dan membawa tas?
Aurora menyeleting tas hitamnya dan memakai tas itu di punggung.
"Habis ngelabrak langsung minggat lah, Onty Jeje kesayangan Lo itu mau dateng kemari, Alda! Gue nggak mau mati diblender sama mamih!" sahut Aurora ngeri.
Membuat teman-temannya tau kalau ia adalah anak Janela Sarasvati merupakan hal terakhir yang Aurora inginkan.
Aurora bahkan jarang bertemu Mama saat di rumah, kalau sampai pertemuan pertama mereka setelah beberapa hari adalah di ruang BK, ow Aurora tidak bisa membayangkan betapa ironinya.
Aurora mengerti, sebagai anak yang dua orang tuanya sibuk berbisnis, ia tidak berharap banyak, rumah bukanlah tempat indah baginya, bisa berkumpul saat Natal saja sudah cukup.
Aurora tak lagi membutuhkan kasih sayang sebanyak itu, ia juga tidak akan menciptakan drama layaknya anak broken home kebanyakan, Aurora telah melewati masa remaja, berkat bantuan Asmeralda, Cassy dan teman-teman lainnya, masa muda Aurora menjadi lebih berwarna. Dan soal keluarga, Aurora punya, jadi ya sudah sebatas itu saja.
Alda mendecak keras mendengar ucapan sahabatnya. Dia mengalihkan pandangan mata saking tak terima dengan apa yang Aurora katakan.
"Onty Jeje nggak galak kok, lo paniknya kayak mau ketemu tukang tembak dari Nusa kambangan," balas Alda. "Kalo Lo bolos, justru dia bakal marah beneran nantinya."
Aurora menghela napas. "Jadi menurut Lo Mama gue baik?"
"Ya emang baik," sahut Alda.
"Iya baik sama lo! Sama gue kaya Tukang Ospek!" selak Aurora sebal. Aurora mengangkat kaki ke atas kursi, mengencangkan tali sepatu yang terlihat kendur.
Mau panjat tembok belakang sekolah, pastinya harus banyak persiapan.
"Ya Lo tingkahnya ada mulu sih!" Alda membalas tak kalah sebal. Teman Aurora sejak bayi itu mendecak lagi. "Jangan minggat deh percaya sama gue,"
Aurora mengabaikannya. Dia bergegas mengencangkan tali sepatu di kaki yang lainnya.
"Lagian kalo Lo minggat, mau kemana?"
Sekarang Alda jadi takut, karena Aurora terlihat bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Aurora tidak pernah bolos sebelum ini, dia memang susah diatur, namun Alda yakin Aurora tak punya keberanian sebesar itu untuk lari dari sekolah saat jam pelajaran masih berlangsung.
Namun melihat Aurora lagi, Alda jadi semakin ragu. Mungkin waktu sudah membuat keberanian Aurora jadi lebih tinggi.
Alda ikut berdiri, membiarkan badan tingginya terlihat menjulang, bahkan ponselnya sudah lepas dari tangan.
Dia betulan mau bolos! Bocah gendeng!
"Ke rumah eyang?" tanya Alda lagi, dia terus bertanya. "Atau ke rumah Tante Lili? Mau ke mana? Nanti pasti Mama Lo tanya ke gue, Rora."
Aurora menoleh tak percaya. "Rumah eyang lebih parah! Mana ada gue kabur dari Mama tapi lari ke Eyang."
"Terus mau ke mana?"
Aurora tidak membalas. Dia malah sibuk mengeluarkan cermin kecil dari saku seragamnya, membetulkan poni anti badai dan ikat rambut yang sedikit berantakan.
Alda makin was-was kalau begini.
Mata Asmeralda membola. Gadis bule itu punya tebakan dalam kepalanya.
"Jangan bilang..." bisik Alda pelan, matanya horror menatap Aurora. Berharap kalau apa yang dipikirkannya salah.
Sementara Aurora bersenandung kecil, dia sudah memastikan penampilannya baik, memasukan kembali cermin miliknya ke dalam saku.
Lalu Aurora tersenyum lebar, sampai gusinya terlihat, manis sekali.
"Tidak ada yang lebih aman di dunia ini daripada mansion Foster Bagaskara," ujar Aurora.
Setelah mengatakan itu Aurora melangkah menjauh. Bersama dengan satu lambaian tangan dan kecup melalui udara. Pertanyaan teman sekelas tak dihiraukan. Aurora hanya menjawab dengan kiss bye yang dramatis.
"Rora!" teriak Alda tak habis pikir. "Mommy bilang rumah gue overboden kalo dilewatin elo! Jangan bolos ke rumah gue, bangke!"
Alda sudah merahasiakan ini dari Aurora. Demi ketentraman hidup dan suasana rumahnya. Namun sepertinya akan terbongkar.
Beberapa hari yang lalu kakak laki-laki Alda pulang dari Australia setelah beberapa semester menetap di sana.
Dan bukan lagi rahasia kalau Aurora Jasmeen tergila-gila dengan kakak Asmeralda. Antares Bagaskara.
--
Aurora tidak jadi melabrak Cassy. Bocah sialan itu pura-pura tuli saat Aurora memanggilnya dari luar kelas, padahal jelas-jelas Cassy melihat Aurora, ia juga tidak bisa sembarangan masuk berhubung kelas Cassy sudah ada guru yang mengajar, Aurora jadi tidak biasa berbuat banyak. Ia akan menyimpan dendam ini dalam hati dan akan membalaskannya esok hari. Sekarang. Eksekusi rencana ke dua. Minggat. Kalian tau, akan selalu ada pertama untuk semua hal. Begitu juga dengan kenakalan. Ini merupakan kali pertama Aurora melakukan rencana bolos, biasanya cuma di bibir saja karena terlalu takut ketahuan dan takut terkena karma. Tapi sekarang? Apa pentingnya karma. Saat menghindar dari Mama Janela merupakan prioritas utama. Aurora sampai rela menyerah pada Cassy hanya untuk rencana minggatnya kali ini. Jantung Aurora sampai berdebar, ia suka dengan hal yang menantang begini. Sehabis dari kelas Cassy, Aurora tak menunda langkah untuk pergi ke belakang sekolah. Dengan langkah yang dibuat sena
Dulu sekali waktu masih duduk di bangku SD, Aurora pernah melakukan hal yang melakukan hal yang lebih nekat daripada yang dilakukannya sekarang. Mungkin, daripada nekat, hal yang dilakukan Aurora ini lebih mengarah pada kekurang ajaran.Terberkatilah Mama dan Papa, entah apa yang dilakukan mereka saat masih muda. Yang jelas mereka bertanggung jawab kenapa Aurora bisa mempunyai watak seminus ini.Membuat contekan saat ujian akhir semester agaknya bukan hal yang perlu dibesar-besarkan, tentu, kalau kamu sudah sedikit lebih dewasa dari anak-anak, tetapi waktu itu Aurora masih kelas lima. Dia membawa masuk lima baris jawaban kisi-kisi dari murid paling pintar di kelasnya- A.K.A Asmeralda, katanya kemungkinan besar soal-soal yang Alda tunjuk akan keluar dalam ulangan yang akan datang itu.Tentu saja Aurora tak mau rugi. Menghafal? Tidak mungkin, belajar dan mempelajarinya? Apa lagi itu. Jadi satu-satunya jalan agar kisi-kisi dari Alda tidak mubazir adalah dengan membuat contekan.Aurora me
-- Hidup memang kadang susah. Namun, bukankah Aurora masih terlalu muda untuk memikirkan hidup? Baru tujuh belas. Bisakah pikiran tentang tetek bengek kehidupan itu datang nanti saja saat Aurora sudah dewasa? Sekarang ini, Aurora cuma ingin main-main saja. Ia tidak mau bersedih-sedih putus cinta apa lagi kalau sampai berakhir dengan berpikir soal keadilan yang diberikan dunia. Kenapa sih gue harus punya otak thinkerbell begini, nyusahin aja! Setiap hal yang dilakukan tentu punya resiko, dan Aurora tidak buta, ia tau resiko menyukai seseorang, sejak awal pun ia tau Ares sedikit banyak keberatan dengan fakta bahwa Aurora menyukainya. Jadi bisa dibilang, Aurora sudah membayangkan hal ini sebelumnya. Sakit? Tentu. Aurora tidak mungkin tidak merasa sakit saat Ares yang notabenenya laki-laki paling ia suka dan ia percayai mengatakan kalimat sekasar itu padanya. Namun, seperti biasa, kesedihan Aurora akan disimpan dalam diam, ia tidak bisa menyalahkan siapapun. Dan kembali mencari ke
"Janela yang kemarin datang itu beneran nyokap lo, Ra?"Tuh, kan.Seperti yang sudah Aurora perkirakan sebelumnya. Teman-teman sekelas akan menggila saat tau kalau Janela yang itu adalah ibu kandungnya.Bukan cuma sekedar firasat percuma, Aurora sudah pernah menjalani hari-hari seperti ini saat masih SMP. Menjadi putri dari Janela Sarasvati yang namanya wara-wiri muncul di TV sedikit banyak memang merepotkan.Aurora yang sedari tadi sibuk melukis kuku jemarinya menggunakan kutek mengkilap berwarna biru laut juga kuning itu cuma melanjutkan kegiatannya dengan tenang.Menyapu kuas ke atas kuku dengan rapih, tidak melewati garis kuku atau mencoret kulit jemari. Setelah selesai Aurora meniup kuku-kukunya dengan angin yang pelan, matanya berbinar memandang jemari manis yang baru dibumbui warna beken semester baru itu."Mama kandung, Ra? Serius?" tanya Bian- teman satu kelas Aurora lagi. Seakan tidak menyangka Aurora yang Badung dan lenjeh ini adalah putri kandung Janela yang terkenal ramah
-- Setelah cuma diam setelah menerima perlakuan tidak mengenakan yang diterimanya beberapa detik lalu, Dante Andromeda masih harus melawan keterkejutannya sendiri saat tanpa aba-aba Aurora Jasmeen menarik dasi abu-abu yang ia pakai. Menarik. Secara harfiah. Ditarik sambil dibawa bergerak jalan. Percayalah. Dante tidak pernah diperlakukan demikian. Membayangkannya saja tidak sekalipun. Serius? Diseret-seret sepanjang koridor sekolah. Dante melepas jemari lentik berkutek biru milik Aurora yang dari tadi berhasrat sekali mencengkram dasinya. Wajah cowok berkacamata itu super duper datar. Dia bercanda atau memang sebal saja? Tetapi Dante pikir sepertinya mereka tidak sedekat itu untuk bercanda dan tidak semusuh itu untuk beraksi terlampau memalukan seperti ini. Gadis manis berseragam putih itu sontak berhenti melangkah, yang cantik bermata kucing khas itu sekilas menyirit tak suka. Berbalik menatap laki-laki tinggi yang berdiri di belakangnya dengan muka dingin. "Jangan tarik-tarik
"Kali ini lu mau polah apa lagi, Orora?"Selak frustasi terdengar menggelegar dari mulut cewek blasteran yang masih berdiri di ambang pintu kamar Aurora bersama dua gelas air es di tangan.Aurora terperanjat saking kagetnya. Gadis cantik yang sedang sibuk mencari posisi aman untuk menjemur sapu tangan itu menoleh dengan mata membola, Aurora buru-buru menyelampirkan sapu tangan basah itu ke punggung kursi dan setelah itu ia langsung berpindah dari teras kamarnya menuju ranjang.Aurora bersumpah ia tidak pernah keberatan Alda atau Cassy berteriak sembarangan di rumahnya yang tidak ada orang ini. Tetapi baiknya pakai aba-aba dulu, dong! Kalau Aurora mati jantungan dia mau kuburkan?"Lo kalo teriak lagi gue usir ya!" ancam Aurora kosong.Sebagai tuan rumah yang baik, Aurora menyuruh Alda serta Cassy mengambil minum dan cemilan sendiri di dapur. Dan seperti yang diduga Cassy muncul dari belakang tubuh tinggi Alda membawa satu keranjang besar cemilan ringan.Alda mendekat dengan wajah gemas
-"Dante?" tanya Cassy balik, matanya menyipit sementara bibir penuhnya bergerak seakan siap mencibir. "Maksudnya Andante, kakel yang fakboy itu?"Sejujurnya Aurora sangsi, apakah bercerita mengenai Dante pada teman-temannya merupakan hal yang benar atau tidak.Sepertinya dunia belum tau, tapi Cassy itu alergi dengan cowok cupu. Cowok yang terlalu benar dan tidak tertarik untuk berbuat nakal, dan cowok yang suka mematuhi peraturan, itu arti cupu dalam kamus hidup Cassy. Dan agaknya Dante masuk ke dalam kategori cowok cupu yang dibenci oleh Cassy tersebut.Maka tidak heran, saat Aurora menyebutkan nama Dante, Cassy lebih dulu memikirkan Dante yang lain."Simulasi sih simulasi, tapi jangan pake pro juga. Bisa langsung mobrak-mabrik kalo sama dia, Rora," lanjut Cassy lagi dengan nada suara menggurui. "Gak ketulungan, ntar Lo susah dipuasin kalo perawan diambil suhu—"Aurora mengangkat tangan, matanya memejam."Cassy," potong Aurora.Aurora bahkan tidak tau kalau ada manusia lain yang ber
Setelah PROLOG--"Ditolak."Sayup suara burung gagak terdengar di telinga.Setelah mengatakan satu kata buruk tersebut laki-laki berkacamata yang tengah duduk di bangku taman itu dengan santainya membuka kembali buku yang tadi sedang ia baca, telunjuknya yang panjang terangkat sekilas untuk menaikan bingkai kacamata sebelum kemudian turun kembali, membaca dengan begitu tenang.Sesantai itu. Wajahnya juga seperti manusia yang tidak punya dosa. Seolah menolak perasaan anak gadis orang bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.Aurora berhasil dibuat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya perempuan cantik itu menaikan satu alisnya tinggi-tinggi. "Ha?"Angin menerbangkan dedaunan kering, menemani hening dan rasa tak percaya seorang gadis tentang sesuatu yang baru didengarnya dua detik lalu.Ini merupakan kali pertama Aurora meminta seseorang untuk menjadi pacarnya.Dan orang itu adalah Dante Andromeda.Ares? Oh, Aurora selalu mengajak Ares menikah, bukan untuk jadi pacar, jadi jika dibilan
-Kaki berbalut sepatu bertali itu menginjak rem dengan hati-hati, sementara cowok berkacamata itu melirik ke samping, lalu saat polisi tidur itu terlewati dia menekan gas dengan sangat pelan pula.Sementara Aurora sibuk meneliti riasan wajahnya di pantulan cermin, memeriksa bahwa dandanan yang dia pakai tidak berlebihan untuk menyapa bunda Wilona, semula dia menggunakan riasan viral ala si seksi Madison Beer— baru membuat video tutorial untuk di upload karena kemarin video make up tutorial Adriana Lima lumayan ramai. Tapi berhubung Dante tiba-tiba mendatanginya dan berniat membawanya bertemu bunda, Aurora berpikir kalau dandanan yang minim akan meninggalkan kesan pertama yang lebih mantap.Jadi dia menghapus riasannya dan memulai melukis wajahnya dari awal.“Ini pipinya kemerahan enggak?”Dante menoleh, menatap pipi gembul Aurora di antara wajah ayu yang tenteram itu.Dia berkedip beberapa kali, mengulum bibir sendiri dan akhirnya menggeleng.“Enggak.”Dia sama sekali tidak
“Alda, kok kayaknya gue agresif banget ya ke Dante.” Alda melirik sekilas. “Lah, baru sadar?” “Ish!” selak Aurora kesal. Dia cemberut, menempelkan dagunya ke tangan yang terlipat di atas meja kafe. “Padahal yang gue lakuin wajar tahu, kita cuma terlalu beda sifat aja. Kalo misal cowok lain punya pacar kayak gue— bukan maen hoki dia, lah Dante malah takut sama gue.” “Emang Lo ngapain aja?” tanya Alda kemudian, masih agak ogah menatap Aurora, sibuk scroll ponsel yang sudah pasti isinya oppa-oppa. “Gue sering touch-touch dia, hampir nggak pernah lepas, gandengan tangan, ngelendot, kadang juga peluk kalo berdua.” “Kemarin gue lihat Lo peluk dia di depan umum,” sahut Alda tak terima, ada apa dengan imbuhan berdua itu? Di depan umum juga dia tidak rikuh peluk-pelukan. Aurora mengibaskan tangan tak peduli. “Ya pokoknya gitu doang, kok. Nih ya. Dia tub— enggak pernah cemburu sama gue, jadi gue ngerasa kayak cinta sendirian.” Suara Aurora terdengar sedih, merasa kalau curhatan cewek temb
-Setelah mereka selesai makan siang, Aurora benar-benar langsung mengeluarkan kamera dan menata rambutnya untuk membuat video unboxing seperti yang dia rencanakan sebelumnya.Dia bahkan mengganti pakaian santainya jadi dress putih bunga-bunga dengan gaya off shoulder.Niat sekali. Cantik sekali.Dante hanya melihatnya dari jarak di mana kamera tidak akan menangkap keberadaannya, tanpa mengeluarkan suara sama sekali, membaca buku di sofa sambil sesekali melirik ke arah Aurora yang sudah beralih membuat video tutorial make up.Mengikuti tipe kit make up yang Diatala cosmetics keluarkan kali ini, sepertinya dia membuat look make up kebarat-baratan.“Cantik, kan?” tanya Aurora setelah beberapa saat.Dante mendongak, mengalihkan pandangannya dari buku. Lalu mengangguk setuju.Dia tidak tahu menahu apa pun tentang make up atau dunia perempuan, namun dia setuju kalau Aurora sangat cantik.Aurora nyengir puas melihat anggukan kepala Dante.“Berhasil ya? Mirip Adriana Lima nggak?” ta
Pacaran itu menyenangkan.Setidaknya Aurora sudah bisa pamer tentang hal itu sekarang. Dijemput pacar ganteng dengan senyum dan pelukan, dipanggil sayang dengan suara lembut, dimanja-manja sampai burung-burung pun iri padanya. Anjay.Lihat saja muka ngeri Cassy dan Alda. Mereka ngiri dan cuma bisa mupeng.Tidak sia-sia usaha Aurora untuk meruntuhkan dinding pertahanan Dante yang kokoh, dia tidak menyesal bisa jadi pacar Dante pakai jalur menggoda ugal-ugalan layaknya cabe-cabean.Setelah dijemput, Dante bertanya apakah Aurora sudah makan siang dan Aurora menjawab kalau dia belum makan; beberapa potong cake dan minuman manis tidak bisa dihitung sebagai makan siang— baginya, kenyang sih, tapi pokoknya Aurora masih ingin dan harus makan siang bersama Dante.Karena Aurora tidak ingin makan di luar, akhirnya Dante membawa Aurora ke apartemen, dia bisa memasak menu sederhana.Cowok kalau sudah pintar, tampan, tinggi, sexy, dan jago masak, memangnya masih bisa dikategorikan sebagai
Satu hal baru yang Aurora tahu dari pacarnya, Dante Andromeda bukan cowok yang suka berbalas pesan singkat, setiap kali Aurora mengirim chat Dante tidak membalas dan malah akan langsung meneleponnya.Padahal kemarin Aurora hanya ingin berterima kasih soal boneka-boneka yang Dante kirim, lalu besoknya Aurora PAP foto saat dia date dengan Papa, dan Dante juga merespons dengan telepon.Aurora menyukainya, tentu saja, meski dari satu jam sambungan telepon itu didominasi oleh celotehnya sendiri tapi mendengar suara Dante secara singkat juga terasa menyenangkan.Hari ini lagi, Aurora mengirim pesan singkat pada Dante, mengatakan kalau dia sedang nongki di cafe bersama Alda dan Cassy. Seperti biasa, Dante tidak langsung membalas, karena dia memang bukan tipe orang yang selalu membawa ponsel ke mana-mana, biasanya butuh waktu sekitar 30 menit atau beberapa jam kemudian baru dia akan menelepon Aurora.Setelah mengirim pesan pada Dante, Aurora menyimpan ponselnya. Dia mengambil smoothies di gel
Aurora berjalan memasuki rumah dengan ponsel di tangannya, melihat-lihat foto paling bagus yang dia ambil beberapa saat lalu, niatnya yang akan dia upload ke sosial media, bagaimana pun dia tidak bisa membiarkan hari ini berlalu jadi hari yang menyebalkan hanya karena kencannya diganggu Ares. Kebetulan Aurora sempat memotret, ralat— dia memotret banyak hal, termasuk dirinya dan Dante. Foto berdua. Dante tidak begitu suka difoto, namun dia tersenyum cukup tulus saat Aurora tanpa izin memotretnya. Tampan. Akhirnya Aurora memutuskan untuk menempatkan foto berdua itu di slide paling akhir. Saat langkah kaki Aurora baru melewatkan pintu besar paling depan rumahnya, dia mendongak karena keributan kecil yang terdengar, ada beberapa orang asing di sana, tampak sibuk karena sedang instalasi sesuatu di pojok langit-langit. “Paman Ali,” panggil Aurora riang, dia berjingkat dan berlari memeluk sekretaris ayahnya itu. “Long time no see, how are you, Paman!” “Baik-baik,” jawab paman A
Aurora ingat Alda pernah mengatakan kalau Ares sedang didisiplinkan dengan cara memaksanya bekerja. Ares bahkan harus batal berangkat ke Australia hanya karena ini. Hanya saja Aurora tak tahu kalau ternyata Ares bekerja di perusahaan Talaila.Sumpah?Pasti tidak mudah bekerja dengan orang ini, mendengar keluhan sebal Tala beberapa saat lalu tentang sekretarisnya yang dia panggil ‘Nepo baby’.Tapi... Kenapa bisa sangat kebetulan?Dan lagi, kenapa Aurora harus bertemu dengannya di sini sih!Dengan sifatnya, Aurora yakin Ares akan menciptakan banyak drama seperti saat di swalayan waktu itu.Belum apa-apa perkataannya pada Dante sudah keterlaluan.“Bang Ares,” panggil Aurora pelan, dia melirik ke arah Tala. Bagaimana pun, dia harus menjaga sikap karena di sini ada Tante Tala. “Mama udah tahu kalo aku jalan sama Dante hari ini, jangan ngomong sembarangan!”Tapi sungguh perkataan Ares sudah sangat keterlaluan!Apa tadi katanya?Bajingan? Dia mengatai Dante bajingan? For real, dia
“Adiknya Samuel?”“Tante ingat Samuel?”“Temanmu cuma sebiji aneh kalo Tante lupa!”Juteknya.Aurora sedari tadi tak habis-habisnya menunduk salah tingkah, tangannya dingin, sementara ekor matanya melirik Dante mendekati Tala dan memberi pelukan rindu, hingga menurut saja di dikecup di pipi kanan dan kirinya, lalu dipeluk lagi erat dan lama sekali. Padahal wajah Dante tampak enggan tapi dia tidak menolak diperlakukan sedemikian manja oleh Tala.Benar. Sekali lagi Aurora ingatkan, mereka baru saja ‘real’ pacaran dan baru sempat berbagi hal manis berdua belum lama ini, Dante tidak pernah cerita tentang keluarganya dan Aurora hanya sekadar tahu hal-hal kecil saja.Aurora tidak tahu seberapa dekat Dante dengan keluarganya, dia juga tidak tahu bagaimana hubungan Dante dengan keluarga ibunya, tapi sepertinya ini bukan hubungan yang buruk, setidaknya tidak seburuk hubungan Dante dengan ayahnya.“Udah ah!” eluh Dante ketika Tala masih gemas memeluknya. Mereka memang sudah lama tidak
“Sebenarnya enakan malem-malem, cuma karena aku nggak mungkin bawa kamu ke sini malem-malem jadi siang aja.”Otak oh otak.Bisakah jangan ngeres sebentar saja?Sepertinya kali ini Aurora boleh menyalahkan Cassy gara-gara segala teori adult yang dia ajarkan pada Aurora.Jelas Dante bukan cowok yang seperti itu, dia jauh dari jenis cowok yang gemar membayangkan kasur kalau sudah berduaan dengan lawan jenis. Aurora seperti tidak mengenalnya saja, dia Dante, mau bergandengan tangan saja sudah syukur, buat apa negatif thinking yang tidak mungkin.Malu banget anjing!“Ob-observatorium?” Aurora gagap, matanya mengedip berkali-kali saat Dante menggandeng tangannya masuk ke ruang teratas paviliun di belakang bangunan hotel itu. Melihat dengan nyata alat raksasa serta teleskop-teleskop besar yang mengarah pada langit-langit bundar berlapis kaca. Ruang melihat bintang, ruang yang biasanya digunakan untuk mengintip sebagian kecil dari angkasa.Tempat kesukaan Dante.“Ini Observatorium