"Janela yang kemarin datang itu beneran nyokap lo, Ra?"
Tuh, kan.Seperti yang sudah Aurora perkirakan sebelumnya. Teman-teman sekelas akan menggila saat tau kalau Janela yang itu adalah ibu kandungnya.Bukan cuma sekedar firasat percuma, Aurora sudah pernah menjalani hari-hari seperti ini saat masih SMP. Menjadi putri dari Janela Sarasvati yang namanya wara-wiri muncul di TV sedikit banyak memang merepotkan.Aurora yang sedari tadi sibuk melukis kuku jemarinya menggunakan kutek mengkilap berwarna biru laut juga kuning itu cuma melanjutkan kegiatannya dengan tenang.Menyapu kuas ke atas kuku dengan rapih, tidak melewati garis kuku atau mencoret kulit jemari. Setelah selesai Aurora meniup kuku-kukunya dengan angin yang pelan, matanya berbinar memandang jemari manis yang baru dibumbui warna beken semester baru itu."Mama kandung, Ra? Serius?" tanya Bian- teman satu kelas Aurora lagi. Seakan tidak menyangka Aurora yang Badung dan lenjeh ini adalah putri kandung Janela yang terkenal ramah juga anggun.For your information, sekarang ini meja Aurora sudah dikelilingi para bandot baru gede.Aurora mengangkat pandangan matanya. Ia melirik malas sebelum kemudian menarik napas, meletakan tangan di atas meja dengan gerakan lambat sembari menatap satu persatu teman laki-laki yang datang padanya sepagian.Mama sudah tua tapi fansnya bujang semua, ya?"Janela yang ikut Master Chef gara-gara gabut itu, kan?" celetuk teman Aurora yang lainnya.Aurora mengedip sembari menganggukkan kepala santai, gadis manis dengan poni depan itu juga sempat melirik Asmeralda yang dari tadi diam saja, cuma melirik sesekali sembari bermain ponsel."Yang mantan pramugari? Yang ikutannya iseng tapi malah menang?"Satu kali lagi Aurora mengangguk dalam.Ya, benar yang itu. Yang ikut kompetisi memasak nasional dengan alasan seabsurd itu memang cuma Mama Janela."Iya dia emak gue, kenapa?" balas Aurora kemudian, mata dengan bulu lentik itu mengedip. "Mau tanda tangan?"Seketika pekik antusias terdengar dari kerumunan itu. Teman-teman Aurora berganti ekspresi menjadi sumringah dalam satu detik."Boleh?" tanya Bian memastikan.Aurora mengangguk tanpa ragu. Dia bahkan tersenyum manis sambil menyatukan tangan jadi satu."Boleh dong," balasnya. "Dua ratus aja, nggak mahal.""Dua ratus ribu doang—""Juta."Putus Aurora sembari lanjut menatap kuku-kukunya lagi. Sepertinya, dua ratus juta merupakan angka yang terlalu besar untuk diucapkan dengan nada santai tapi terdengar tak bercanda, apalagi yang mengucapkan adalah anak SMA.Aurora memang tidak bercanda. Budgetnya memang segitu."Eh, mahal amat!" protes Bian, sepertinya Bian ini berperan sebagai pemimpin fanclub.Aurora langsung melirik menghakimi. Ia juga mencebik sebal, dasar bujangan ngefans tapi tidak mau modal."Ih, mihil imit," mimik Aurora. Dia membuang napas sebelum kemudian mengibas rambut. "Mama gue itu bisnis women. Tanda tangannya emang mahal."Tanpa pelu repot-repot melewati proses nego alot para Janela Lovers pun menyerah dengan cepat."Tapi diliat dari deket, Janela cantik banget ya," ujar Bian lagi, dengan senyuman bodoh, lalu begitu kalimat pentolan fanclub itu terucap para pasukan mengiyakan tanpa tunggu lama.Oke. Mereka menyerah mengenai tanda tangan, tapi sepertinya belum menyerah membuat Aurora marah.Kenapa nggak balik ke meja masing-masing dan malah ngumpul di sini, sih!"Agak beda sama Rora," ucap Bian lagi, laki-laki tinggi yang merupakan anggota futsal itu pun menscan wajah Aurora tanpa tau malu.Mulai dari rambut lurus panjang yang berponi depan, mata imut berbinar-binar, pipi tembam bulat yang makin terlihat apalagi saat rambutnya dikuncir seperti sekarang, sampai bibir kecil yang dibubuhi liptint cery.Tanpa rikuh atau ragu sedikitpun Aurora merauk muka Bian dan mendorong wajah itu agar mundur, tidak sopan ya membanding-bandingkan wajah perempuan dengan perempuan lain, mau itu ibunya sekalipun."Kali ini gue kasih ampun, lain kali awas kalo lo banding-bandingin lagi," ancam Aurora dengan mata memicing, raut wajah marah yang masih saja terlihat lucu. "Lagian gue itu lebih mirip bokap.""Gitu aja marah, orang ngomong belum selesai," cebik Bian pelan, ia bingung harus tertawa melihat wajah Aurora atau marah karena aset masa depannya dirauk tanpa dosa. "Ya lo beda sama Janela, orang cantikan lo, maksud gue gitu."Tidak mempan.Si kardus akan selamanya jadi kardus."Tapi Janela emang auranya nggak ketulungan, bersinar banget, diem aja keliatan ramahnya, anggun pula, mana lirikannya seksi mampus," ujar Bian lagi. Mendengar kalimat yang terdengar tidak enak di telinga itu Aurora pun terusik, kali ini tidak main-main, dia melirik dan menatap serius pada Bian, apa lagi setelah cowok itu melanjutkan. "Pantesan bokap lo berpaling dari mantan buat—""Oi!" potong Aurora dengan nada suara yang pelan. Mata gadis yang biasanya berbinar imut itu menatap dengan keseriusan tajam, mengintimidasi dengan betul sebagai tanda kalau ucapan mereka telah melewati batas. Amat berbeda dengan Aurora yang biasa.Alda pun terdiam, dia sudah tidak memperhatikan berita baru yang disajikan ponselnya dan beralih mengangkat pandangan untuk melihat apa yang terjadi secara nyata.Melihat raut wajah Aurora yang kecut, Alda pun menarik napas panjang.Hening. Tidak ada satupun yang bersuara.Bian pun tak urung menutup mulut, sepertinya teman satu kelas Aurora itu juga sudah menyadari apa yang salah dari ucapannya setelah tatapan Aurora menusuknya beberapa detik.Aurora meraih tangan Bian di meja, menyentuh satu persatu jemari dan kukunya, sementara mata gadis itu masih menatap dengan tatapan yang seintens semula. "Lo ada mulut tuh dipake yang bener, nggak usah ngomong sembarangan. Mau gue kutekin kuku lo biar kita bisa rumpi bareng-bareng?"Nada bicara yang Aurora keluarkan tidaklah tinggi, hanya nada suara biasa dengan kalimat yang sedikit kasar guna menyadarkan orang yang menyinggungnya, lebih-lebih gadis itu tidak pernah meninggikan suara pada siapapun, bahkan saat marah, dia hanya akan diam lalu berkata seadaanya.Bian pun tersentak. Dia terlihat menelan ludah sebelum kemudian menarik jemarinya dari tangan Aurora."R-rora judes banget hari ini," ujar Bian dengan satu cengiran canggung. "Jangan judes-judes dong, Ra. Nanti gelar manusia paling kiyowo sejagad raya direbut orang lho!""Ya lo kalo ngomong yang bener. Tau batas, kan?" Aurora membuang napas. "Gue lagi pms, nggak usah deket-deket!"Bian terlihat hendak menimpali kalimat Aurora namun Alda lebih dulu berbicara."Udah-udah, bentar lagi Pak Heru masuk," lerai Alda. "Balik ke meja masing-masing."Tidak mendebat, para gerombolan tadi pun menuruti apa yang dikatakan Alda. Mereka bubar dan menuju meja masing-masing karena jam belajar akan segera dimulai.Sejak TK mereka selalu bersama, jadi daripada kalimat, diam pun Alda mengerti bahwa ada yang mengganjal di batin Aurora. Ia juga tau betapa topik pembicaraan mengenai skandal aunty Janela dan uncle Theo di masa mudanya mengganggu ketentraman mental Aurora.Hal ini sudah pernah terjadi waktu SMP. Bahkan lebih parah.Dan karena itu juga, Aurora tidak ingin teman-temannya tau kalau Janela Sarasvati adalah ibunya."Panggilan kepada siswi 11-MIPA3, Aurora Jasmeen, untuk segera datang ke ruang BK, terima kasih."Aurora mendelik. Dia menatap Alda dengan setengah terkejut."Anjir, kuku gue belom kering," dongkolnya. "Bisa nanti aja nggak sih setrapnya! Kan sayang kuku baru disuruh siram kembang satu halaman."Alda mendecak, kepalanya juga digeleng-geleng seperti orang yang tak habis pikir."Kalo nggak mau disuruh siram kembang satu halaman ya lo nggak usah buat kerusuhan.""Bu Lasmi kangen berat sama gue kayaknya," celetuk Aurora, gadis itu menepuk pundak Alda. "Saya pergi dulu ya, tolong jaga kawasan."Aurora hanya mendecak sekilas. Ia pun langsung berdiri dari kursi dan berjalan keluar dari kelas menuju BK. Hukuman harus dilaksanakan. Di sekolah yang mirip dengan pangkalan militer ini apa-apa memang disandingkan dengan hukuman.Sepertinya Bu Lasmi memang sayang sekali dengan Aurora. Setelah sampai di ruang BK Aurora hanya diberi wejangan panjang, mengagumkan sekali, bahkan sampai akhir kalimat dan pengusiran Aurora agar kembali ke kelas Bu Lasmi tidak mengatakan hukuman apa yang harus dilakukan Aurora hari ini.Ini tanda-tanda empat puluh hari sebelum mati apa gimana?Sumpah deh! Aurora cuma diancam untuk tidak bolos lagi dan diperintahkan kembali ke kelas.Aurora memiringkan kepala saking herannya, dia kebingungan setengah mati, tentu dengan senang hati Aurora akan kembali ke kelas namun setelah mengingat sesuatu yang harus diambil gadis itu mengurungkan langkah, dia kembali ke dalam ruang BK, berdiri di depan meja Bu Lasmi."Tas saya mana, Bu?" tanya Aurora.Bu Lasmi yang semula sedang menyusun berkas pun menyirit, terlihat bingung."Tas?" tanya Bu Lasmi balik. "Tas apa?""Tas sekolah," jawab Aurora."Emang ibu ada pinjam tas sama kamu?""Enggak—""Ya udah, silakan kembali ke kelas dan jangan bolos lagi."Lah?Kemarin tas Aurora tidak dibawa lho! Si ketua OSIS yang menyita. Iya! Si Dante! Dan Aurora yakin ketua OSIS menyerahkan tasnya ke BK. Tapi kenapa Bu Lasmi malah bilang tidak ada? Dan terlihat tidak tau mengenai tas Aurora sama sekali.Tas itu nggak boleh hilang! Tas cantik kesayangan Aurora!Masa sih, tas Aurora disita oleh Dante pribadi? Dia tidak menyerahkan itu ke BK? Tapi kenapa?Setelah mendapat pengusiran untuk yang kesekian kalinya Aurora pun akhirnya keluar dari ruang BK. Dengan langkah gamang dia berjalan menuju kelas.Memikirkan banyak kemungkinan.Tiba-tiba langkah Aurora berhenti. Pikiran yang serupa dengan mimpi buruk tiba-tiba hadir di kepalanya.Apa jangan-jangan tas Aurora dibuang? Dante marah karena kemarin Aurora memberinya jari tengah?Atau...Dante tak terima Aurora bodohi dan tas kesayangan Aurora dimutilasi?Mata Aurora membelalak. Dia menutup mulut dengan tangan.Jangan sampai! Jangan sampai! Amit-amit! Ya ampun. Awas saja kalau tas Aurora benar-benar dibuang, akan Aurora sumpahi agar Dante mencret tujuh hari tujuh malam.Puncak dicintai ulam pun tiba.Saat Aurora baru mengangkat kepala sosok laki-laki yang sedang menjadi topik perdebatan di kepalanya tiba-tiba muncul entah dari mana. Berjalan dengan langkah lebar, membawa dua paket buku di tangan, Dante sempat melirik Aurora sekilas sebelum mengalihkan pandangan seraya menaikan frame kacamata.Tak perlu berasmumsi yang tidak-tidak, tanyakan saja langsung.Aurora bersidakep. Dia menanti agar laki-laki itu sampai di tempatnya berdiri sekarang.Saat sudah dekat, dan Aurora membuka mulut hendak menyapa, betapa mengejutkan karena Dante tak menghiraukan kehadiran Aurora, dia cuma berjalan, melewati Aurora seakan tidak pernah melihat Aurora sebelum ini. Seakan tidak ada permasalahan yang perlu mereka bicarakan.Aurora tercengang.Dia membalikan badan. Meneriaki punggung Dante."Oi Ketos!" panggilnya setengah berteriak.Dan laki-laki tinggi yang menenteng buku paket di tangan itu tidak bereaksi. Dia lanjut berjalan, menganggap panggilan Aurora sekedar angin lalu.Aurora lebih tercengang.Bajigur!"Dante!" panggil Aurora lagi.Dan kali ini Dante tampak berhenti. Lelaki itu menghentikan laju kakinya, namun tidak membalik badan menghadap orang yang memanggil. Cuma diam tak bergerak.Aurora mendengkus kasar sebelum melangkah. Kelihatannya Dante tidak ada niatan mendekati Aurora, jadi Aurora harus melangkah mendekat pada cowok itu agar bisa bicara dengan leluasa.Dasar tembok raksasa, rutuk Aurora saat melihat punggung lebar Dante di depan mata.Aurora mengetuk dua kali punggung itu menggunakan jari telunjuk.Dan beberapa detik kemudian Dante pun menoleh, dia membalikan badan hingga berhasil berhadapan dengan Aurora langsung.Tak mengatakan apapun. Dante lebih terlihat menunggu Aurora hendak bicara apa. Yah, Aurora yang memanggil, sudah sepantasnya ia juga yang memulai pembicaraan.Aurora tertawa paksa."Lo nggak liat gue?" tanya Aurora."Liat," jawab Dante singkat."Lo nggak denger gue manggil?" tanya Aurora lagi."Denger.""Terus kenapa sok cool kayak jamet karbitan?"Aurora ini manusia teman-teman, wanita, cantik, kiyowo, imut-imut, bukan laler yang bisa diabaikan begitu saja!Aurora menarik napas, mencoba menahan sabar, gadis yang rambutmya dikuncir tinggi itu mendongak lebih tinggi. Jemari panjang berhias warna biru dan kuning itu menunjuk dirinya sendiri."Gue ini ada perlu ya. Kalo nggak ada perlu juga ogah gue manggil-manggil Lo," ujar Aurora.Dante tak menghiraukan. Dia justru lebih tertarik untuk menarik tangan Aurora, menyentuh jemari Aurora satu persatu.Aurora terkesiap sekilas sebum terdiam.Untuk pertama kali jemarinya digenggam oleh orang yang bukan ayah, kakak atau Ares.Pandangan mata Dante yang semula berpusat pada jemari Aurora kini berpindah, Dante membalas pandangan mata Aurora tanpa ragu."Di sekolah nggak boleh pake kutek. Hapus—""Pertama mepet gue ke tembok, ke dua ambil liptint di saku dada gue, ke tiga pegang tangan gue tanpa ijin. Habis ini apa lagi?"Aurora menarik tangannya dari genggaman Dante.Sampai pegang-pegang padahal cuma mau menyuruh Aurora menghapus kutek? Dia ini bercanda atau apa?Dante membuang napas, dia mengalihkan pandangan sekilas sebelum kembali menatap Aurora."Ada perlu apa?" tanya Dante.Jadi rumornya benar? Dante hanya ngobrol dengan orang lain kalau ada perlu saja? Tidak senang basa-basi dan lebih suka bicara langsung ke inti?What a sosiopath.Oke. Kalau begitu, Aurora juga tidak boleh basa-basi."Tas gue mana?" tanya Aurora."Tas apa?""Tas unyu yang waktu itu Lo begal.""Nggak ada sama gue.""Nggak ada juga di Bu Lasmi."Dante tak langsung membalas."Yang terakhir pegang itu Lo," ujar Aurora lagi. Dia tidak tertarik untuk membuat relasi buruk dengan orang lain, jadi sebisa mungkin Aurora bertanya dengan sebaik-baiknya. "Jadi tas gue di mana, Dante?"Dante melengos. "Di tempat yang sama lo ninggalin tas itu kemarin."Aurora melotot."Dari kemarin?" tanyanya tak percaya.Dante mengangguk singkat, cowok itu juga melirik jam tangannya, kode, supaya Aurora tidak enak dan menyuruhnya pergi.Enggak! Enak aja mau pergi setelah menelantarkan Coco!Memikirkan Coco Chanel yang sudah ia modif sendiri tergeletak begitu saja di atas tanah membuat bulu kuduk Aurora merinding."Di tanah?" tanya Aurora lagi. "Di halaman belakang?!"Dante mendecak. "Iya, kenapa sih. Gue buru-buru—""Dante!" selak Aurora, tanpa sadar ia maju dan menarik dasi abu-abu yang terselampir indah di kerah baju seragam Dante. Membuat si empunya dasi terdiam penuh keterkejutan.Yang beberapa saat lalu protes karena Dante terlalu banyak melakukan skinship siapa sebenarnya?Aurora melotot. "Lo tau nggak sih tas gue tuh limited edition, Coco lebih mahal dari dua biji ginjal lo!"-- Setelah cuma diam setelah menerima perlakuan tidak mengenakan yang diterimanya beberapa detik lalu, Dante Andromeda masih harus melawan keterkejutannya sendiri saat tanpa aba-aba Aurora Jasmeen menarik dasi abu-abu yang ia pakai. Menarik. Secara harfiah. Ditarik sambil dibawa bergerak jalan. Percayalah. Dante tidak pernah diperlakukan demikian. Membayangkannya saja tidak sekalipun. Serius? Diseret-seret sepanjang koridor sekolah. Dante melepas jemari lentik berkutek biru milik Aurora yang dari tadi berhasrat sekali mencengkram dasinya. Wajah cowok berkacamata itu super duper datar. Dia bercanda atau memang sebal saja? Tetapi Dante pikir sepertinya mereka tidak sedekat itu untuk bercanda dan tidak semusuh itu untuk beraksi terlampau memalukan seperti ini. Gadis manis berseragam putih itu sontak berhenti melangkah, yang cantik bermata kucing khas itu sekilas menyirit tak suka. Berbalik menatap laki-laki tinggi yang berdiri di belakangnya dengan muka dingin. "Jangan tarik-tarik
"Kali ini lu mau polah apa lagi, Orora?"Selak frustasi terdengar menggelegar dari mulut cewek blasteran yang masih berdiri di ambang pintu kamar Aurora bersama dua gelas air es di tangan.Aurora terperanjat saking kagetnya. Gadis cantik yang sedang sibuk mencari posisi aman untuk menjemur sapu tangan itu menoleh dengan mata membola, Aurora buru-buru menyelampirkan sapu tangan basah itu ke punggung kursi dan setelah itu ia langsung berpindah dari teras kamarnya menuju ranjang.Aurora bersumpah ia tidak pernah keberatan Alda atau Cassy berteriak sembarangan di rumahnya yang tidak ada orang ini. Tetapi baiknya pakai aba-aba dulu, dong! Kalau Aurora mati jantungan dia mau kuburkan?"Lo kalo teriak lagi gue usir ya!" ancam Aurora kosong.Sebagai tuan rumah yang baik, Aurora menyuruh Alda serta Cassy mengambil minum dan cemilan sendiri di dapur. Dan seperti yang diduga Cassy muncul dari belakang tubuh tinggi Alda membawa satu keranjang besar cemilan ringan.Alda mendekat dengan wajah gemas
-"Dante?" tanya Cassy balik, matanya menyipit sementara bibir penuhnya bergerak seakan siap mencibir. "Maksudnya Andante, kakel yang fakboy itu?"Sejujurnya Aurora sangsi, apakah bercerita mengenai Dante pada teman-temannya merupakan hal yang benar atau tidak.Sepertinya dunia belum tau, tapi Cassy itu alergi dengan cowok cupu. Cowok yang terlalu benar dan tidak tertarik untuk berbuat nakal, dan cowok yang suka mematuhi peraturan, itu arti cupu dalam kamus hidup Cassy. Dan agaknya Dante masuk ke dalam kategori cowok cupu yang dibenci oleh Cassy tersebut.Maka tidak heran, saat Aurora menyebutkan nama Dante, Cassy lebih dulu memikirkan Dante yang lain."Simulasi sih simulasi, tapi jangan pake pro juga. Bisa langsung mobrak-mabrik kalo sama dia, Rora," lanjut Cassy lagi dengan nada suara menggurui. "Gak ketulungan, ntar Lo susah dipuasin kalo perawan diambil suhu—"Aurora mengangkat tangan, matanya memejam."Cassy," potong Aurora.Aurora bahkan tidak tau kalau ada manusia lain yang ber
Setelah PROLOG--"Ditolak."Sayup suara burung gagak terdengar di telinga.Setelah mengatakan satu kata buruk tersebut laki-laki berkacamata yang tengah duduk di bangku taman itu dengan santainya membuka kembali buku yang tadi sedang ia baca, telunjuknya yang panjang terangkat sekilas untuk menaikan bingkai kacamata sebelum kemudian turun kembali, membaca dengan begitu tenang.Sesantai itu. Wajahnya juga seperti manusia yang tidak punya dosa. Seolah menolak perasaan anak gadis orang bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.Aurora berhasil dibuat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya perempuan cantik itu menaikan satu alisnya tinggi-tinggi. "Ha?"Angin menerbangkan dedaunan kering, menemani hening dan rasa tak percaya seorang gadis tentang sesuatu yang baru didengarnya dua detik lalu.Ini merupakan kali pertama Aurora meminta seseorang untuk menjadi pacarnya.Dan orang itu adalah Dante Andromeda.Ares? Oh, Aurora selalu mengajak Ares menikah, bukan untuk jadi pacar, jadi jika dibilan
--Aurora diledek habis-habisan!Sampai ingin pindah ke Pluto saking malunya.Aurora lupa memberitahumu ini tetapi kemarin waktu ia melakukan proses pengakuan pada Dante, Alda dan juga Cassy memantau dari kejauhan, di tempat yang cukup jauh untuk dilihat tetapi dari jarak itu mereka juga masih mampu mendengar suara percakapan yang Aurora dan Dante ciptakan.Mulai dari Bandung Bondowoso sampai Raden Wijaya. Karena hal itu pula Aurora yang dipanggil Rora Jonggrang oleh kedua teman laknatnya.Sayang sekali Cassy dan Alda pergi saat semua belum selesai, mereka melewatkan adegan di mana Dante ditembak kaum pelangi dan berlanjut mencubit pipi Aurora dengan kedua tangan. Padahal itu best part-nya. Dan saat Aurora menceritakannya, tidak ada yang percaya, mereka hanya percaya bahwa Aurora sudah ditolak, dan dengan cara yang tidak terhormat pula.Cassy mengingatkan satu kali lagi bahwa Dante mengatakan dengan sadis; Aurora bukanlah tipenya.Tetapi coba pikirkan. Kalau cowok itu tidak berpikir b
--Aurora tidak gila.Barangkali ada beberapa dari kalian yang ingin mengatakan hal itu pada Aurora setelah melihat beberapa bukti nyata betapa kendurnya saraf otak gadis itu.Berkunjung ke rumah Alda setelah menciptakan masalah bukanlah hal besar, kan?Ya masa cuma karena Aurora yang ditolak terang-terangan dan menyebabkan kekesalan Ares, hubungan Aurora dengan keluarga Onty Maria ikut karam. Aurora tidak menginginkan hal itu, karena berpikiran terbuka merupakan salah satu hal yang ada dalam proses pendewasaan diri, Aurora pun hanya pasrah saat Alda menyeretnya untuk bermain ke rumah. Tidak seorang diri, Cassy juga ikut. Lagipula sudah lama.Lebih-lebih... Alda bilang kalau Ares akan segera kembali ke Australia. Tidak lebih lama dari dua hari lelaki itu di rumah, dia bahkan belum bertemu Samuel dan sudah mau pergi lagi. Teman masa kecil memang bukan prioritas, dengan hal itu Aurora mengerti betapa kesibukan dan hidup amatlah berubah setelah orang beranjak dewasa. Namun daripada menye
"Minggu depan ulangan akhir semester, Dante."Siang itu bel tanda istirahat pertama di sekolah baru saja berbunyi. Di ruang guru yang memiliki personil lengkap pada tiap kubikelnya itu, seorang guru perempuan duduk sembari memberi pengertian pada siswa berkacamata yang berdiri mendengarkan kalimatnya. Sebagaimana percakapan dan diskusi yang sudah guru itu bicarakan dengan wali murid, hingga sebuah keputusan telah didapatkan.Dante sendiri hanya diam mendengarkan, menyangkal pun tidak bisa, percuma juga, permohonan pindah yang ia buat satu bulan yang lalu itu agaknya masih saja didiskusikan. Padahal Dante sudah sangat ingin pergi, dengan keinginannya sendiri, tapi agaknya dunia masih ingin Dante menjadi bagian dari tanah yang ia pijak sekarang.Guru perempuan berambut pendek itu terdengar menarik napas. "Ibu sudah bicara dengan Ayah kamu dan beliau juga setuju kepindahan ditunda sampai kamu resmi kelas tiga.""Kamu boleh hubungi ayahmu dulu, diskusikan kembali," lanjut wali kelas Dante
Aurora tidak bohong saat ia bilang kalau dirinya bersedia lahir dan batin menjadi parasit bagi Dante sampai cowok itu menerima permintaan pendekataan darinya.Aurora dikenal baik sebagai pribadi yang tidak mau mengalah. Dan oleh karena itu saat ada proses 'Lo jual gue beli, lo jual lagi gue beli lagi' Aurora tidak keberatan untuk menuruti, sekalipun ia enggan dan kesal tetapi ego Aurora tidak membiarkan dirinya kalah.Saat Dante berkata bahwa dia memperbolehkan Aurora menempel padanya, Aurora tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia pikir Aurora tidak berani? Dia pikir Aurora cuma ngomong doang?Enak saja! Lihat nanti, Aurora akan buat Dante menyesal karena tidak menerima tawaran PDKT darinya sejak awal.Memang untuk beberapa jam pertama Dante tidak terlihat keberatan Aurora mengikutinya melangkah, mengikuti ke perpustakaan, duduk sambil mengamati Dante membaca buku, mengikuti Dante saat cowok itu berkeliling rak untuk mencari bacaan, menunggu Dante keluar dari toilet pria dan bahkan
-Kaki berbalut sepatu bertali itu menginjak rem dengan hati-hati, sementara cowok berkacamata itu melirik ke samping, lalu saat polisi tidur itu terlewati dia menekan gas dengan sangat pelan pula.Sementara Aurora sibuk meneliti riasan wajahnya di pantulan cermin, memeriksa bahwa dandanan yang dia pakai tidak berlebihan untuk menyapa bunda Wilona, semula dia menggunakan riasan viral ala si seksi Madison Beer— baru membuat video tutorial untuk di upload karena kemarin video make up tutorial Adriana Lima lumayan ramai. Tapi berhubung Dante tiba-tiba mendatanginya dan berniat membawanya bertemu bunda, Aurora berpikir kalau dandanan yang minim akan meninggalkan kesan pertama yang lebih mantap.Jadi dia menghapus riasannya dan memulai melukis wajahnya dari awal.“Ini pipinya kemerahan enggak?”Dante menoleh, menatap pipi gembul Aurora di antara wajah ayu yang tenteram itu.Dia berkedip beberapa kali, mengulum bibir sendiri dan akhirnya menggeleng.“Enggak.”Dia sama sekali tidak
“Alda, kok kayaknya gue agresif banget ya ke Dante.” Alda melirik sekilas. “Lah, baru sadar?” “Ish!” selak Aurora kesal. Dia cemberut, menempelkan dagunya ke tangan yang terlipat di atas meja kafe. “Padahal yang gue lakuin wajar tahu, kita cuma terlalu beda sifat aja. Kalo misal cowok lain punya pacar kayak gue— bukan maen hoki dia, lah Dante malah takut sama gue.” “Emang Lo ngapain aja?” tanya Alda kemudian, masih agak ogah menatap Aurora, sibuk scroll ponsel yang sudah pasti isinya oppa-oppa. “Gue sering touch-touch dia, hampir nggak pernah lepas, gandengan tangan, ngelendot, kadang juga peluk kalo berdua.” “Kemarin gue lihat Lo peluk dia di depan umum,” sahut Alda tak terima, ada apa dengan imbuhan berdua itu? Di depan umum juga dia tidak rikuh peluk-pelukan. Aurora mengibaskan tangan tak peduli. “Ya pokoknya gitu doang, kok. Nih ya. Dia tub— enggak pernah cemburu sama gue, jadi gue ngerasa kayak cinta sendirian.” Suara Aurora terdengar sedih, merasa kalau curhatan cewek temb
-Setelah mereka selesai makan siang, Aurora benar-benar langsung mengeluarkan kamera dan menata rambutnya untuk membuat video unboxing seperti yang dia rencanakan sebelumnya.Dia bahkan mengganti pakaian santainya jadi dress putih bunga-bunga dengan gaya off shoulder.Niat sekali. Cantik sekali.Dante hanya melihatnya dari jarak di mana kamera tidak akan menangkap keberadaannya, tanpa mengeluarkan suara sama sekali, membaca buku di sofa sambil sesekali melirik ke arah Aurora yang sudah beralih membuat video tutorial make up.Mengikuti tipe kit make up yang Diatala cosmetics keluarkan kali ini, sepertinya dia membuat look make up kebarat-baratan.“Cantik, kan?” tanya Aurora setelah beberapa saat.Dante mendongak, mengalihkan pandangannya dari buku. Lalu mengangguk setuju.Dia tidak tahu menahu apa pun tentang make up atau dunia perempuan, namun dia setuju kalau Aurora sangat cantik.Aurora nyengir puas melihat anggukan kepala Dante.“Berhasil ya? Mirip Adriana Lima nggak?” ta
Pacaran itu menyenangkan.Setidaknya Aurora sudah bisa pamer tentang hal itu sekarang. Dijemput pacar ganteng dengan senyum dan pelukan, dipanggil sayang dengan suara lembut, dimanja-manja sampai burung-burung pun iri padanya. Anjay.Lihat saja muka ngeri Cassy dan Alda. Mereka ngiri dan cuma bisa mupeng.Tidak sia-sia usaha Aurora untuk meruntuhkan dinding pertahanan Dante yang kokoh, dia tidak menyesal bisa jadi pacar Dante pakai jalur menggoda ugal-ugalan layaknya cabe-cabean.Setelah dijemput, Dante bertanya apakah Aurora sudah makan siang dan Aurora menjawab kalau dia belum makan; beberapa potong cake dan minuman manis tidak bisa dihitung sebagai makan siang— baginya, kenyang sih, tapi pokoknya Aurora masih ingin dan harus makan siang bersama Dante.Karena Aurora tidak ingin makan di luar, akhirnya Dante membawa Aurora ke apartemen, dia bisa memasak menu sederhana.Cowok kalau sudah pintar, tampan, tinggi, sexy, dan jago masak, memangnya masih bisa dikategorikan sebagai
Satu hal baru yang Aurora tahu dari pacarnya, Dante Andromeda bukan cowok yang suka berbalas pesan singkat, setiap kali Aurora mengirim chat Dante tidak membalas dan malah akan langsung meneleponnya.Padahal kemarin Aurora hanya ingin berterima kasih soal boneka-boneka yang Dante kirim, lalu besoknya Aurora PAP foto saat dia date dengan Papa, dan Dante juga merespons dengan telepon.Aurora menyukainya, tentu saja, meski dari satu jam sambungan telepon itu didominasi oleh celotehnya sendiri tapi mendengar suara Dante secara singkat juga terasa menyenangkan.Hari ini lagi, Aurora mengirim pesan singkat pada Dante, mengatakan kalau dia sedang nongki di cafe bersama Alda dan Cassy. Seperti biasa, Dante tidak langsung membalas, karena dia memang bukan tipe orang yang selalu membawa ponsel ke mana-mana, biasanya butuh waktu sekitar 30 menit atau beberapa jam kemudian baru dia akan menelepon Aurora.Setelah mengirim pesan pada Dante, Aurora menyimpan ponselnya. Dia mengambil smoothies di gel
Aurora berjalan memasuki rumah dengan ponsel di tangannya, melihat-lihat foto paling bagus yang dia ambil beberapa saat lalu, niatnya yang akan dia upload ke sosial media, bagaimana pun dia tidak bisa membiarkan hari ini berlalu jadi hari yang menyebalkan hanya karena kencannya diganggu Ares. Kebetulan Aurora sempat memotret, ralat— dia memotret banyak hal, termasuk dirinya dan Dante. Foto berdua. Dante tidak begitu suka difoto, namun dia tersenyum cukup tulus saat Aurora tanpa izin memotretnya. Tampan. Akhirnya Aurora memutuskan untuk menempatkan foto berdua itu di slide paling akhir. Saat langkah kaki Aurora baru melewatkan pintu besar paling depan rumahnya, dia mendongak karena keributan kecil yang terdengar, ada beberapa orang asing di sana, tampak sibuk karena sedang instalasi sesuatu di pojok langit-langit. “Paman Ali,” panggil Aurora riang, dia berjingkat dan berlari memeluk sekretaris ayahnya itu. “Long time no see, how are you, Paman!” “Baik-baik,” jawab paman A
Aurora ingat Alda pernah mengatakan kalau Ares sedang didisiplinkan dengan cara memaksanya bekerja. Ares bahkan harus batal berangkat ke Australia hanya karena ini. Hanya saja Aurora tak tahu kalau ternyata Ares bekerja di perusahaan Talaila.Sumpah?Pasti tidak mudah bekerja dengan orang ini, mendengar keluhan sebal Tala beberapa saat lalu tentang sekretarisnya yang dia panggil ‘Nepo baby’.Tapi... Kenapa bisa sangat kebetulan?Dan lagi, kenapa Aurora harus bertemu dengannya di sini sih!Dengan sifatnya, Aurora yakin Ares akan menciptakan banyak drama seperti saat di swalayan waktu itu.Belum apa-apa perkataannya pada Dante sudah keterlaluan.“Bang Ares,” panggil Aurora pelan, dia melirik ke arah Tala. Bagaimana pun, dia harus menjaga sikap karena di sini ada Tante Tala. “Mama udah tahu kalo aku jalan sama Dante hari ini, jangan ngomong sembarangan!”Tapi sungguh perkataan Ares sudah sangat keterlaluan!Apa tadi katanya?Bajingan? Dia mengatai Dante bajingan? For real, dia
“Adiknya Samuel?”“Tante ingat Samuel?”“Temanmu cuma sebiji aneh kalo Tante lupa!”Juteknya.Aurora sedari tadi tak habis-habisnya menunduk salah tingkah, tangannya dingin, sementara ekor matanya melirik Dante mendekati Tala dan memberi pelukan rindu, hingga menurut saja di dikecup di pipi kanan dan kirinya, lalu dipeluk lagi erat dan lama sekali. Padahal wajah Dante tampak enggan tapi dia tidak menolak diperlakukan sedemikian manja oleh Tala.Benar. Sekali lagi Aurora ingatkan, mereka baru saja ‘real’ pacaran dan baru sempat berbagi hal manis berdua belum lama ini, Dante tidak pernah cerita tentang keluarganya dan Aurora hanya sekadar tahu hal-hal kecil saja.Aurora tidak tahu seberapa dekat Dante dengan keluarganya, dia juga tidak tahu bagaimana hubungan Dante dengan keluarga ibunya, tapi sepertinya ini bukan hubungan yang buruk, setidaknya tidak seburuk hubungan Dante dengan ayahnya.“Udah ah!” eluh Dante ketika Tala masih gemas memeluknya. Mereka memang sudah lama tidak
“Sebenarnya enakan malem-malem, cuma karena aku nggak mungkin bawa kamu ke sini malem-malem jadi siang aja.”Otak oh otak.Bisakah jangan ngeres sebentar saja?Sepertinya kali ini Aurora boleh menyalahkan Cassy gara-gara segala teori adult yang dia ajarkan pada Aurora.Jelas Dante bukan cowok yang seperti itu, dia jauh dari jenis cowok yang gemar membayangkan kasur kalau sudah berduaan dengan lawan jenis. Aurora seperti tidak mengenalnya saja, dia Dante, mau bergandengan tangan saja sudah syukur, buat apa negatif thinking yang tidak mungkin.Malu banget anjing!“Ob-observatorium?” Aurora gagap, matanya mengedip berkali-kali saat Dante menggandeng tangannya masuk ke ruang teratas paviliun di belakang bangunan hotel itu. Melihat dengan nyata alat raksasa serta teleskop-teleskop besar yang mengarah pada langit-langit bundar berlapis kaca. Ruang melihat bintang, ruang yang biasanya digunakan untuk mengintip sebagian kecil dari angkasa.Tempat kesukaan Dante.“Ini Observatorium