Setelah selesai dari kamar mandiㅡyang sumpah, antrinya sampai mengular hingga depan pintuㅡLia segera keluar untuk menyusul Nadila yang sedari tadi menunggunya.
Mungkin, ada 10 menit dia mengantri. Bisa dipastikan, Nadila akan mengomel setelah ini. Nadila berkata bahwa akan menunggu di sofa di samping teater 3 tempat mereka menonton tadi. Jadi saat melihat perempuan itu duduk sembari bermain ponsel, Lia berangsur mendekat. Tanpa berniat duduk terlebih dahulu, dia menyenggol kaki Nadila pelan karena sepertinya Nadila tengah serius dengan ponselnya sampai tidak menyadari keberadaan Lia.
"Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan."
Dan untuk yang kedua kalinya, Lagi-lagi Lia salah orang. Kalau orang yang dia pikir Nadila mendongakkan kepala dengan raut wajah wajah sebal. Bola mata Lia membesar seketika, berkali-kali dia membungkuk sebagai permintaan maaf.
"Maaf, maaf. Saya salah orang."
Perempuan tersebut akhirnya mengangguk singkat sebagai jawaban. Ekspresinya masih terlihat sangat kesal. Untuk yang satu ini Lia paham betul. Manusia mana yang tidak kesal dipanggil dengan sebutan binatang apalagi dengan orang yang tidak dikenal. Dalam hati Lia merutuki dirinya sendiri. Saking malunya, Lia langsung keluar dari area bioskop tanpa mencari Nadila dulu. Lia menunggu di depan pintu lalu menelepon Nadila untuk memberitahu keberadaannya.
Dalam hitungan detik, Nadila datang dengan raut jengkel. "Lo tuh ya, dibilang gue tunggu di sebelah teater malah ditinggal!"
"Gue salah orang tadi, sumpah! Keburu malu makanya gue langsung minggat."
"Kok bisa?"
"Ya bisa lah, pinter." Lia menjawab sarkastik. "Namanya salah orang ya semua orang pasti bisa. Mana tadi gue nyapanya songong banget lagi sambil gue tendang aja kakinya. Gue bilangnya, 'Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan' gitu, anjir! Mukanya auto sepet tuh orang, Nad."
"Geblek!" Nadila menoyor keningnya pelan walau tak ayal tertawa juga. Sembari mengobrol, mereka melanjutkan langkah menuju food court. "Lo perasaan sering banget salah orang."
"Masa sih? Gue ingetnya cuma 2 kali."
"Pikun."
"Emang berapa kali?"
"Berkali-kali."
"Serius, Nad!"
"Ya gue juga serius." Nadila membalas tak kalah ngototnya. "Lo aja yang pelupa. Faktor umur kali ya. Eh, lo bilang kan ingetnya cuma 2 kali, terus yang pertama salah orang sama siapa?"
"Mending lo nggak usah tau. Ini bahkan lebih-lebih parah dari yang tadi."
"Siapa sih?" Semakin dilarang, Nadila justru semakin penasaran. "Emang seberapa memalukan? Dari skala 1-10 ada di nomer berapa?"
"15."
"Bener-bener ya lo." Nadila geleng-geleng kepala. Di otaknya sudah terbayang betapa memalukan kejadian salah orang tadi. Salah orang barusan yang mau Lia ceritakan saja sudah cukup memalukan, apalagi yang tidak ingin Lia bagikan. Tapi jelas saja, Nadila tidak akan semudah itu untuk menyerah. Jadi, dia akan mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat Lia cerita. "Ayo dong, jangan buat gue penasaran. Siapa sih? Orangnya gue kenal nggak?"
Lia berdecak, kemudian berpikir sebentar. "Hm... kenal sih."
"Kok pakai 'sih'."
"Ya gue nggak yakin lo kenal orangnya apa nggak." Lia membalas. "Eh gini nggak, lo kenal sama semua temen Arwin yang waktu itu kita ketemuan di jembatan Tekum nggak?"
"Kenal."
"Oh, yaudah. Berarti kenal."
"OOHHH, JADI ORANGNYA ADA DI ANTARA MEREKA?" Nadila memekik heboh. "Kalau Arwin sama Arga nggak mungkin. Berarti antara Mahen atau Azka ya? Ngaku!"
Sementara Lia mengernyit, mencoba mencerna perkataan Nadila. Kan Lia tidak memberi tau siapa orangnya, tapi Nadila kenapa bisa tau?
"Kok lo tau sih?"
"Sumpah, otak lo itu ada fungsinya apa nggak sih? Kan tadi lo nggak yakin gue kenal orangnya apa enggak, terus lo tanya gue kenal sama semua temennya Arwin yang secara nggak langsung lo ngasih tau gue kalau orangnya itu ada di antara mereka!" Nadila menjelaskan secara menggebu-gebu. Lia mendesah berat. Bodoh juga ternyata dia. "Hayo hayo siapa hayo?"
"Berisik."
"Ih, ngaku nggak?"
Nadila menyerang dengan menusuk perutnya membuat Lia bergerak tak menentu agar terhindar dari serangan Nadila. "Nad! Geli tau!"
"Ya makanya kasih tau!"
"Oke fine!" Lia berkata final. Tusukan Nadila di perutnya pun seketika terhenti. "Tapi gue nggak akan sebut nama. Lo tebak aja sendiri."
"Ya, oke. Sekarang cepat cerita."
"Inget waktu gue seneng banget mau ketemu sama Arga sampai nyusulin dia ke Teknik kan? Nah, waktu diparkiran, gue lihat orang berdiri di belakang mobil Arga. Mana dia bawa jas lab juga, gue makin yakin kalau emang Arga. Niatnya pengen gue kagetin, gue jalan diem-diem, terus gue peluk. Waktu dia balik dan tau ternyata salah orang, rasanya seluruh bumi ini ingin ku tenggelamkan."
"Tolol sumpah tolol, Li!" Nadila terbahak keras. "Tapi sumpah, lo bener-bener tolol. Bisa-bisanya salah peluk orang? Parah dah."
"Ya bisa lah, buktinya gue kejadian. Kan sebelum ketemu di jembatan itu gue nggak kenal. Maksud gue, gue tau kalau dia temen Arga soalnya dia waktu itu juga mau ngembaliin jas lab Arga yang ketinggalan. Gue tau sebatas itu, itupun dia yang bilang. Dia temen Arga yang mana gue mana tau. Lo tau sendiri temennya Arga kayak biji kuaci saking banyaknya. Nggak bisa dihitung. Nah, waktu di jembatan itu gue baru tau namanya abis dikenalin Arga. Sumpah sih, gue pengen kabur tapi nggak bisa."
"Pantesan ya lo semangat banget waktu gue ajak balik." Nadila memutar bola mata. "Tapi lo keterlaluan kalau nggak tau Azka sama Mahen, sumpah."
"Emang kenapa?"
"Ya mereka kan temen deketnya Arga, dongo! Gimana lo bisa nggak tau sih? Peka dikit dong sama sekitar, Lia."
"Nad, lo tau sendiri kalau Arga social butterfly. Kenalannya dimana-mana. Dia sekalinya nongkrong rame banget saking banyaknya orang. Gue beberapa kali di ajak main sama temennya aja nggak pernah betah karena sumpah, kalau udah ngumpul berisiknya minta ampun. Mana gue kalo di ajak nongkrong sama komplotannya, herannya orangnya itu ganti-ganti." Lia menjelaskan seraya mengurut keningnya, ikut pusing sendiri. "Ya lo mikir aja lah. Gue jarang ikut kumpul sama tongkrongannya, sekalinya ngumpul orangnya udah beda. Otak gue mana bisa ingat."
"Tapi, yang gue maksud ini pacar lo sendiri loh, bukan orang lain. Lo wajar kalau nggak tau circle pertemanan orang lain, tapi lo sama Arga udah berapa bulan sih? Setahun lebih kan? Dan lo nggak tau temen deketnya siapa aja? Wah, parah sih lo. Lo setahun ngapain aja coba sama Arga."
"Mon maaf, dikira otak gue sejenius Albert Einstein apa."
"Duh, gue jadi kasihan deh sama otak lo. Beneran karatan kayaknya. Ingat nama sama wajah orang aja nggak bisa. Buruan periksa gih."
"Sialan! Nyesel gue cerita."
Nadila terkekeh. Menyeretnya cepat untuk masuk ke dalam food court. "Mari kita makan!"
Saat sedang mengantri, Lia menempatkan mengecek ponsel yang dari tadi belum dia buka. Berjaga-jaga kalau saja Arga mengirimkan pesan. Namun, satu pun tidak ada pesan masuk dari Arga. Lia menghela napas, mungkin benar lelaki itu sedang sibuk. Lia beralih menjawab pesan-pesan yang lain, dan agak terkejut saat mengetahui Arwin mengiriminya pesan baru beberapa menit yang lalu.
Lia segera membalas.
@lia
[bisa]
[dimana?"
Balasan Arwin datang tidak lama kemudian.
@arwin
[cafe depan kampus gimana? Jam 5]
@lia
[oke]
Sesuai kesepakatan, Lia dan Arwin bertemu di cafe depan kampus mereka. Sejujurnya, Lia sedikit heran. Sepanjang dia mengenal Arwin, dia dan Arwin tidak pernah berbicara serius seperti ini. Bahkan, Lia dan Arwin tidak pernah bertemu hanya berdua saja. Mereka memang sering bertemu, tapi yang Lia maksud disini adalah berkumpul bersama Arga, bersama Nadila. Bukan privat seperti ini. Hal tersebut semakin membuat Lia yakin, bahwa apa yang Arwin katakan nanti merupakan hal yang serius. She has no clue. Sungguh. Lia tidak bisa menebak, hal apa yang akan Arwin bicarakan. Dia maupun Arwin tidak punya banyak hal yang perlu diceritakan satu sama lain, jadi Lia hanya berharap, apapun yang Arwin katakan nanti, bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu memasuki cafe, netra Lia langsung bisa menangkap keberadaan Arwin yang tak jauh darinya. Lelaki dengan jaket jeans hitam dan kaos putih sebagai dalaman itu terlihat lebih santai, berbeda dengan Lia yang berdebar
"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!""Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!""Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi.""Elo ya kebisaan!""Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh."Itu mah enak di elo." Lia berdecak."Nanti gue beliin teh anget deh.""Bener ya?""Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak."Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali
Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar."Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
"Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala
"Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya." "Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?" "Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?" "Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan. "Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo de
Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k
Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag
Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has