Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club?
Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya.
"You seems drunk."
Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar.
Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur.
"I'm totally sober." Lia menukas tajam.
"Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi Lia yang memerah tanda dia mulai mabuk. "Udah abis berapa gelas?"
Lia melirik tidak suka. Tiga puluh menit lebih Lia disini, dia harus rela ketentramannya direnggut paksa. Lia punya impresi buruk pada Azka di hari pertama mereka bertemu. Dan bertemu Azka di hari Lia patah hati adalah bencana lainnya yang Lia dapatkan hari ini. Lia ingin menikmati hari terakhirnya sebagai pacar Arga dengan tenang. Bukan dengan ocehan tidak penting Azka.
Lia menenggak minumannya kasar. Lia mendesah berat, menoleh pada Azka yang dengan tenang meminum minuman berwarna biru bening yang Lia tidak tau namanya. "Can you just leave me alone? It fucking sucks know that you be here."
Azka mengangkat alis. "Lo ngusir?"
"Lo nggak ada alasan buat kesini."
"Alasan konyol." Azka tertawa renyah, yang di telinga Lia justru terdengar menyebalkan. "Hampir setiap weekend gue di sini dan gue nggak pernah melihat lo. And now you want me, one of the biggest royal Midnight Paradise's customer ever had, to go away just that way? That's not your control anymore. Am I right, Van?"
Di depan mereka, bartender bernama Evan yang sedari tadi diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka, hanya tersenyum kaku.
Lia menyernyit heran, memandang keduanya yang saling melemparkan pandangan penuh tanda tanya. Di saat bersamaan, dia sedikit kaget mengetahui ternyata Azka adalah orang yang cukup rajin ke night club. Apalagi katanya tadi, salah satu pelanggan teroyal yang Midnight Paradise punya? Lia tidak salah dengar kan. Seberapa sering lelaki itu kemari hingga pantas diberi gelar begitu?
"It's not weekend." Lia menyangkal.
"Gue nggak bilang gue cuma kesini waktu weekend."
"Still. Lo nggak punya alasan buat ke sini."
"Nggak semua orang harus punya alasan ketika mereka mau ke night club."
Lagi-lagi, dengan lihai Azka memutar balikkan kata-kata. Lia curiga mulut Azka dibuat hanya untuk membuat orang kesal.
"Semua orang di sini punya."
"What about yours?"
"I'm in a heart broken phase." Lia tidak tau apa yang membuatnya secara gamblang memberitahu Azka. Namun satu yang pasti, alkohol adalah salah satu penyebabnya. Lia tidak menghitung, berapa gelas yang sudah dia teguk malam ini. Berapa botol Wine yang sudah dia habiskan. Pikirannya seakan melayang membawanya ke tempat paling tenang. "Arga selingkuh."
Azka menarik senyum tipis. "Ternyata bener ya, drunken minds speak sober thoughts."
Kening Lia berkerut. Heran Azka sama sekali tidak terkejut dengan ucapannya. "Lo udah tau Arga selingkuh ya?"
Azka sontak terdiam. Lama. Hingga di detik kesabaran Lia nyaris habis, Azka tetap tidak terlihat seperti ingin menjelaskan. Azka tetap diam, namun netranya menyorot dengan pandangan yang sulit Lia artikan. Lia tertawa getir. Hatinya serasa dicabik berulang kali. Setelah mati-matian Lia tahan dari tadi, matanya memanas kembali. Setetes air mata jatuh membasahi pipi, sebelum kemudian deras tanpa bisa di cegah.
Wine memang salah satu hal favorit Lia. Tapi Wine juga bisa membuat Lia berubah bodoh hanya dalam beberapan gelas. Lia sadar, hal yang akan dia sesali ketika bangun tidur nanti adalah iniㅡmenangisi Arga di depan temannya sendiri. Di depan Azka. Orang terakhir yang Lia harapkan kehadirannya. Tekanan yang dari tadi Lia tahan memaksa mendobrak keluar. Hadir dalam bentuk air mata yang mengalir tiada henti, seakan enggan berhenti meski sudah Lia tahan mati-matian.
"Brengsek." Lia berusaha keras untuk berbicara. Tenggorokannya tercekat, ludahnya terasa pahit. "Lo berdua brengsek."
"Lia, bukan gitu." Suara Azka berubah, terdengar cemas. Suara yang tadinya penuh intimidasi lenyap, diganti oleh nada terhalus yang pernah Azka ucap. "Gue nggak berhak untuk mencampuri hubungan lo dan Arga."
"Lo berdua orang terbrengsek yang pernah gue kenal. Lo nggak jauh beda sama Arㅡhoekㅡ"
"Eh eh, mau muntah tuh!" Evan, bartender tadi, spontan bereaksi. Panik sendiri. Lia segera melempar tatapan tajam buat bartender tersebut membisu seketika. Siapapun orang berakal juga tau dia akan muntah.
Lia sontak menutupi mulutnya menggunakan punggung tangan. Merasa sesuatu bergerak naik hingga kerongkongan. Menahan apapun cairan menjijikkan yang berusaha melengsak keluar. Lia bisa merasakan perutnya mual. Tidak disini. Jika Lia ingin muntah, tidak disini. Tidak di depan Azka. Itu sama saja dengan ajang mempermalukan diri sendiri.
Belum sempat dia berdiri, Azka dengan sigap mengambil alih. Azka mendekat, tangannya merengkuh kedua lengannya sebelum kemudian menuntunnya untuk keluar. Membawanya ke got kering di pinggir taman tak terawat yang letaknya bersebalahan dengan Midnight Paradise.
Tanpa membuang waktu, Lia membungkuk. Kedua tangannya bertumpu pada lutut. Sementara tepat di sebelahnya, Azka dengan telaten mengurut pelan pangkal lehernya. Tangannya yang lain digunakan untuk menjadi tali sementara rambutnya, menghindari kemungkinan rambut panjang Lia akan terkena muntahan.
"Udah?" Azka bertanya di sela kegiatan memalukannya dengan penuh kesabaran. Tidak ada tuntutan dalam suaranya.
Lia mengangguk pasrah. "Hm-mm."
Setelah itu, Azka menggiringnya agar duduk di kursi besi yang tampak berkarat. Letaknya masih di taman tersebut. Tanpa berkata apapun, Azka kembali masuk ke dalam club entah apa alasannya. Lia juga tidak peduli jika Azka meninggalkannya. Kejadian barusan sudah cukup mempermalukan harga diri Lia. Alih-alih kesal, anehnya air matanya tetap tidak berhenti mengalir. Bukannya mereda justru semakin deras. Lia memukul dadanya sendiri yang terasa sakit. Lia ingin berhenti menangis konyol karena Arga, namun tidak bisa. Semua keluar begitu saja tanpa bisa Lia cegah.
Genggaman di tangannya membuat Lia berhenti memukuli dadanya sejenak. Lia mendongak, menemukan Azka di depannya sudah siap dengan tisu basah di tangan. Tanpa aba-aba, Azka mengelap bibirnya serta pipinya yang mungkin saja terkena bekas muntahan. Untuk beberapa saat, Lia diam membeku. Bahkan untuk berkata saja dia tidak bisa.
Azka berjongkok di depannya, tangannya ditaruh kursi yang Lia duduki. Masing-masing berada di sisinya. Kedua netranya menatap Lia lekat. Lia bisa melihat sepercik kekhawatiran disana.
"Feel better?" tanya Azka cemas.
Bukannya menjawab, lagi-lagi Lia meledak dalam tangisan.
"Hey it's okay. I'm here." Azka menyematkan rambut Lia yang menghalangi sisi wajah ke belakang telinga, juga helai halus yang menempel di muka karena air mata. Dari sini, Azka bisa melihat dengan jelas mata Lia yang memerah. Lia tetap menunduk, masih enggan menatap. Tangan Azka tergerak untuk meraih wajah Lia untuk perlahan dia arahkan ke matanya. "Adhisㅡnah, Liandra, look at me."
Jika bukan dalam pengaruh alkohol, yang akan Lia tanyakan pertama adalah mengapa Azka bisa tau nama lengkapnya. Tapi untuk sekarang, berpikir jernih saja Lia tidak bisa.
"Liandraㅡ"
"Sakit." Lia memukul dadanya sendiri berkali-kali. Berharap itu akan mengurangi barang sedikit rasa sakit yang hinggap di sana. "Di sini sakit, Azka. Gue nggak tau apa salah gue, gue nggak tau kenapa Arga bisa segampang itu buat memilih selingkuhㅡ" Lia kesusahan melanjutkan kalimatnya. Tenggorokannya sakit, dadanya sesak, napasnya tersenggal. Lia memegang erat jaket Azka, berusaha menyalurkan rasa sakitnya. "Gue udah berusaha jadi yang terbaik buat dia. Kalau usaha gue masih kurang, bilang. Bukan begini caranya."
"That's not your fault, Lia." Azka berkata tenang. "Gue nggak bilang gue jauh lebih baik daripada Arga, tapi Arga selingkuh karena memang dia brengsek. Bukan karena lo gagal jadi pacar yang baik."
Lia menggeleng lemah. Tangisnya masih enggan berhenti, jatuh membasahi kaos Azka. "Tiga hari lalu, kita berantem kecil. Kemarin kita baru baikan. Dan hari ini gue liat diaㅡ"
Kalimat Lia terganti dengan erangan pilu. Azka dengan cepat berdiri, tangannya mendorong punggung Lia agar perempuan itu bisa bersandar bersandar di perutnya. Tangis Lia masih sekencang tadi, tangannya mencengkeram erat jaketnya di masing-masing sisi layaknya anak kecil yang takut ditinggal ibunya pergi. Perlahan, tangan Azka terangkat guna membelai rambut halus Lia, membiarkan kaos bagian depannya basah karena air mata.
Hampir satu jam Azka berdiri. Menemani Lia menangis sepuasnya dalam kukungan lengannya. Meski harus menahan kakinya yang dirambati kram. Kala Azka tidak lagi mendengar suara Lia, Azka menemukan perempuan itu sudah tertidur pulas dengan tubuh kelelahan. Meski sudah tertidur dengan perutnya yang Lia jadikan bantal, genggaman Lia sama sekali tidak melonggar. Seakan takut ditinggalkan.
Azka mendengus geli. Memanfaatkan hal itu untuk memandangi wajah Lia. Azka menarik sudut bibirnya. Kali ini bukan senyum miring atau senyum mengejek, melainkan senyum tertulus yang pernah Azka berikan.
"Gue nggak pengen liat lo nangis lagi. Jadi Liandra, setelah semua iniㅡplease, be happy."
***
Lia bangun di hadiahi pusing yang luar biasa yang mendera kepala.
Lia meringis, mengurut keningnya pelan. Merubah posisi tidur menjadi duduk, Lia bersandar lemah di headboard kasur. Tangannya meraba laci di sebelah tempat tidur, mencari ponsel yang biasa Lia letakkan di sana. Sewaktu melihat tidak ada apapun di atas laci selain jam digital, Lia baru menyadari bahwa dia tidak pernah mempunyai jam digital berbentuk persegi panjang seperti itu. Lia melarikan pandangan ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa kamar yang didominasi warna beige dengan lantai kayu ini tentu saja bukan kamarnya.
Lia hampir menjerit histeris, yang untungnya akal Lia masih berfungsi untuk dia gunakan berpikir terlebih dahulu. Berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.
Lia hanya mengingat dia minum wine di Midnight Paradise, bertemu Azka, muntah, dan... hanya itu. Lia tidak bisa mengingat yang terjadi selanjutnya.
Jadi... ini kamar siapa?"
Awalnya Lia berniat kabur diam-diam jika saja ketukan di pintu tidak menahannya. Lia menahan napas kala pintu terbuka, dan baru bisa bernapas lega waktu yang datang adalah Arwin sembari membawa nampan di tangan.
Arwin berangsur mendekat, meletakkan nampan yang di atasnya sudah ada semangkuk nasi, sayur sop hangat yang asapnya masih mengepul, lengkap dengan ikan. Tidak lupa segelas teh hangat disertai susu beruang. Lia meneguk ludah, mendadak perutnya keroncongan. Namun Lia berusaha abai. Ada hal lebih penting yang ingin dia tanyakan pada Arwin sekarang.
"Kok... gue ada di rumah lo?" Lia bertanya takut-takut. Bukan takut karena Arwin akan berbuat macam-macam, Lia tau Arwin tidak akan melakukan hal demikian. Lia lebih takut setelah ini dia kena sembur Arwin habis-habisan. "Perasaan gue kemarin samaㅡ"
"Azka." Arwin memotong. Tangannya di tekuk di dada, seolah siap menghakimi Lia kapan saja. "Azka called me at freakin 12 AM. Asked me to picked you up because he didn't know your adress. Royal Residence sekarang ganti nama jadi Midnight Paradise ya?"
Lia meringis. "Sori..."
"Hari ini mending lo nggak ngampus dulu. Badan lo juga anget. Nanti gue sampaiin Nadila lo ijin sakit."
"Emang dia nggak curiga?"
"Curiga kenapa?"
"Karena lo tau keadaan gue sedangkan dia nggak."
"Gampang. Itu urusan belakangan. Biar gue mikir alasannya nanti." Arwin mengibaskan tangan. "Sekarang lo makan. Baru sehari, dan lo udah sekacau ini. Gue nggak mau lo beneran tumbang cuma karena Arga."
Lia mengehela napas panjang. Lihat, semua orang yang tau juga berkata bahwa dia tidak pantas menangisi Arga.
Pandangan Lia tidak sengaja mengelilingi kamar. Menilik seluruh penjuru dengan mata menyipit. "Ini kamar lo?"
"Hm?" Arwin mengerjap. "Oh, bukan. Ini kamar kakak gue. Dia kampusnya jauh, jadi milih sewa apartemen deket sana. Pulang cuma weekend aja."
"Kakak lo yang mana?"
"Ya yang itu."
"Ya yang mana setan?" Lia memutar bola mata malas mendengar respon Arwin yang ogah-ogahan. Seingatnya, Arwin punya dua kakak, laki-laki dan perempuan. Dilihat dari warna kamar yang di dominasi warna pastel juga perabotan yang ada Lia bisa langsung menyimpulkan. "Yang cewek?"
"Bukan, yang cowek."
Lia melempar bantal ke arah Arwin dengan kasar. Seakan sudah memprediksi pergerakannya, Arwin dengan mudah menangkap, mengembalikan bantal ke tempat semula disertai cengiran lebar. Lia mendengus, mulai makan. Waktu Arwin akan menutup pintu, Lia buru-buru berucap. Kata-kata yang seharusnya dia katakan dari tadi.
"Arwin, makasih."
Dari balik pintu, Arwin tersenyum tipis. "My pleasure, Li."
***
"Kok Lia sakit malah ngabarin kamu? Yang temennya itu kamu apa aku?"
"Kan aku juga temennya, Nad..."
"Masih jawab aja?"
Arwin merapatkan bibir, tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran dengan niat menjenguk Lia. Nadila di sebelahnya sibuk sendiri berkutat dengan ponsel, menerror Lia dengan puluhan telepon yang ujung-ujungnya selalu berakhir ke kotak suara. Arwin tau, Lia memang sengaja tidak menjawab.
"Kok nggak di jawab sih?" Nadila sebal maksimal.
"Kok marahnya ke aku sih?" Arwin cemberut.
Nadila sontak melemparkan tatapan tajam, kode untuk Arwin lebih baik menutup mulutnya. Arwin diam lagi entah untuk yang keberapa kalinya hari ini.
Dia harus diam agar tidak terkena amukan pacarnya yang sedang dalam masa periode hari pertama. Arwin juga lebih banyak diam ketika berkumpul dengan teman-temannya. Apalagi... Arga. Setelah semua yang terjadi kemarin, Arwin tidak bisa berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak ketika Arwin melihat dengan mata kepalanya sendiri, waktu Arwin menjemput tengah malam di Midnight paradise, Lia dalam keadaan kacau dan mata membengkak sebab terlalu banyak menangis.
Mereka berdua sampai di parkiran. Arwin baru saja memencet remote mobil agar kunci terbuka ketika dari arah berlawanan, tiga temannya yang lain datang bersamaan. Arwin berdeham, refleks membuang muka.
"Heh, lo mau kemana?" Nadila bertanya gamblang pada Arga. "Lo masih ada kelas?"
Arga mengernyit sejenak. "Nggak. Kenapa?"
"Gue mau ke apartemen Lia. Lo ikut nggak?"
"Ngapain?"
"Ngapain?" Suara Nadila naik satu oktaf. Memandang tidak percaya. "Gue sama Arwin mau jenguk Lia. Pacar lo lagi sakit dan lo bisa-bisanya nggak tau?"
"Lia sakit?" Arga tampak terkejut. "Sakit apa?"
"Sakit hati." Nadila menjawab asal.
Arwin sontak terbatuk. Nadila meliriknya singkat dengan pandangan heran, lalu beralih pada Arga lagi.
"Ya mana gue tau. Makanya ini gue mau jenguk. Lo gimana sih, pacar lo sakit lo sama sekali nggak tau. Lo pacarnya bukan?"
'Lo pacarnya bukan?'
Arwin tertawa miris dalam hati. Baik Arwin maupun Azka tau, dalam kurun waktu dekat, status mereka tidak akan sama lagi.
"Lia nggak bilang gue." Arga yang tidak terima di pojokkan begini, menyangkal tajam.
"Tolong ya, teknologi itu ada untuk digunakan. Ya lo inisiatif lah chat Lia duluan." Nadila memandang penuh selidik. "Oh, atau lo dari pagi sampai sekarang belum chat sama sekali ya?"
Arga membisu. Bahkan semuanya terdiam. Arwin melirik Azka dan Mahen yang kebingungan, saling melempar pandangan.
Karena kejadian Lia mabuk parah di club kemarin, akhirnya Azka menceritakan semuanya padanya. Termasuk fakta bahwa Azka sudah lebih dulu tau mengenai tentang Arga yang berselingkuh, namun lebih memilih menutup mulut karena Azka merasa tidak berhak untuk ikut campur. Saat ini pun begitu, yang Azka lakukan hanya diam. Tampak tidak berniat ikut ke dalam pembicaraan maupun membela Arga seperti yang Azka lakukan biasanya.
"Bodo amat lah." Nadila menukas kesal. Masuk ke dalam mobil, dan sebelum menutup pintu, Nadila menyempatkan untuk melirik Arga sinis. "Terserah lo, Ar. Nggak paham gue sama jalan pikiran lo."
Selanjutnya, bunyi pintu yang dibanting terdengar keras.
Arwin mendesah berat, berjalan ke arah Arga untuk menepuk bahunya dua kali sebelum masuk ke mobil. "Nadila lagi PMS. Sori ya, dia jadi marah-marah gini."
Bahkan sampai mobil Arwin keluar dari parkiran, Arga masih membeku di tempatnya berdiri.
***
Lia terpaksa terbangun dari tidurnya saat mendengar bel apartemennya dibunyikan berkali-kali. Lia bangun dari kasur, matanya mengerjap mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Dia tidak tau jam berapa sekarang. Selepas pulang diantar Arwin, Lia tertidur setelah bergelung dalam tangis.
Tangannya mengambil ponselnya yang dia sengaja matikan dan melihat jam. Ternyata sudah jam 4 sore. Puluhan missed call dari Nadila, juga teman-temannya tidak berniat Lia jawab. Pandangannya tidak sengaja menangkap pesan dari Arga, yang baru dikirim beberapa menit lalu.
@argaa
[aku denger dari nadila katanya kamu sakit? ]
[kenapa nggak kabarin aku?]
[oke, itu nggak penting]
[lebih baik kamu lanjut istirahat, satu jam lagi aku ke apart kamu. rest well, lia]
Lia membanting ponselnya ke kasur tanpa berniat membalas.
Mendengar bunyi bel yang dibunyikan beruntut tanda dari tamunya yang tidak sabaran, Lia buru-buru turun dari kasur. Menatap pantulan tubuhnya di cermin. Definisi kondisi Lia hanya satu kata, kacau. Rambut berantakan, mata yang masih sembab dan memerah, wajahnya pucat seakan kurang asupan.
Lia menghela napas. Secepat kilat merapikan rambutnya. Mengoleskan lipbalm dan blush on di pipi agar wajahnya terlihat lebih segar. Agar wajahnya terlihat layaknya manusia sehat pada umumnya. Bukan zombie berjalan seperti ini. Tapi untuk matanya, jelas tidak bisa dibohongi. Nadila akan semakin menganggapnya aneh dan kian mendesaknya untuk bercerita jika Lia memaksa memakai kacamata hitam padahal dia berada di dalam ruangan.
Lia akan bercerita, itu pasti. Tapi Lia akan berusaha menunjukkan bahwa tanpa Arga sekalipun, Lia tetap baik-baik saja.
Lia melihat lewat intercom video monitor, menampakkan kehadiran Nadila dan Arwin yang sudah menunggunya. Kala Lia akhirnya membuka pintu, serentetan kalimat langsung menyambutnya.
"Lia lo kenapa sakit nggak bilang-bilang sih? Bukannya kasih tau gue malah kasih tau Arwin! Yang temen lo itu gue apa dia? Gue jadi merasa nggak dianggap gini! Ah, emang gue temen tiri ya! Ngeselin banget loㅡ" Nadila berhenti mengomel. Rautnya berbanding terbalik setelah menatap Lia tepat di mata. Ekspresi Nadila menurun, alisnya menukik serius. Lia mungkin bisa membohongi Nadila dengan ilusi make up. Tapi matanya yang sembab, juga binarnya yang meredup, Nadila jelas tau bahwa ada yang salah dengan temannya itu. "Lia? Lo habis nangis ya? Jujur sama gue. Bilang, bilang siapa yang udah bikin lo nangis? Gue samperin sekarang. Bilang Liㅡ"
Kata-kata Nadila tertahan karena Lia memeluknya. Lalu, raungannya terdengar menyakitkan di telinga Nadila. Isakannya keras, memenuhi seluruh penjuru ruangan.
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
"Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala
"Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya." "Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?" "Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?" "Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan. "Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo de
'PLOROTIN PLOROTIN!' 'JANGAN DONG! CEMPLUNGIN AJA WIN CEMPLUNGIN!' 'NANGGUNG LAH ANJIR! MENDING PLOROTIN HABIS ITU CEMPLUNGIN!' 'ARWIN BANGSATTT!' "AHAHAHAHAHAH GOBLOK!" Lia tersentak kaget, refleks menjauhkan badannya dari Nadila yang tertawa keras. Kupingnya sampai pengang. Untung saja kelas masih sepi, jadi pekikan nyaring Nadila barusan tidak mengundang perhatian banyak orang. Tapi tetap saja, Lia yang harus menanggung malu. Berkali-kali meringis sambil mengucapkan maaf pada tiap orang yang menoleh dengan pandangan terganggu. Nadila tidak sadar. Perempuan itu justru malah asyik melihat ponselnya sambil terus cekikan.Jengkel, Lia mengambil satu helai kertas dari bindernya, ia remat jadi gumpalan, lalu dijejalkannya ke mulut Nadila yang mangap lebar serupa gawang bola. "AnjㅡHOEK!" Nadila langsung memuntahkan gumpalan kertas tersebut dengan raut ji
Perasaan yang Lia rasakan pertama kali usai Azka berucap adalah, tentu saja tertegun.Lia sempat panik, tapi dia berusaha memberi sugesti pada diri sendiri untuk tetap berpikir tenang. Pandangannya beralih pada kamera milik Azka yang tergeletak di lantai. Salah satu temannya juga menggilai dunia photograpy, punya banyak kamera dengan ukuran besar, dan Lia pernah iseng bertanya mengenai harga. Temannya menjawab ada dikisaran harga 5 juta lebih, namun tidak sampai menyentuh angka 10 juta.Kamera Azka tergolong kecil, bentuknya persegi panjang dan hanya seukuran telapak tangannya. Mungkin lebih besar sedikit. Lia tidak tau harga pasaran kamera, namun jika kamera temannya yang berukuran besar saja direntang harga sekian, apalagi kamera kecil layaknya punya Azka?Lia tau dia tidak boleh meremehkan kamera hanya dari bentuknya. Dia hanya berusaha tetap waras sekalipun keadaan memaksanya untuk tid
Lia berjalan dengan gerakan lunglai kala tiba-tiba, seseorang sengaja menyenggol bahunya membuat Lia mengerjap. Tersadar dari lamunan dan waktu dia menoleh, Arwin sudah ada di sebelahnya dengan senyum miring terpampang jelas di wajah."Apaan sih lo," ujar Lia tak bersemangat."Lo ada buat masalah apa lagi?"Lia sontak menghentikan langkah, matanya membulat sepenuhnya bikin Arwin tertawa kencang. Tangannya melayang memukul lengan Arwin, memberi kode agar lelaki itu mengecilkan volume suaranya sebab orang-orang mulai menoleh dengan pandangan terganggu pada mereka berdua."Kok lo tau sih?" tanya Lia sengit.Arwin masih tertawa. "Pacar lo bocor."Lia memukul mulut Arwin dengan tangannya, tersenyum sarkastik. "Mantan.""Iya lupa. Galak amat bu." Arwin memutar bola matanya malas. "Kok lo tolol sih bisa-bisanya gelut sama
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has
Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k
Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag
Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has