Home / Romansa / Chasing After You / 10. Life Must Goes On

Share

10. Life Must Goes On

Author: Derose
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

@arga

[lia, aku benar-benar nyesel]

[please... forgive me?]

"Hah! Apa-apaan nih?" 

Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya. 

Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus. 

"Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa. 

"Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjelaskan dengan nada menggebu-gebu sambil mencomot salah satu roti bakarnya. "Kok masih lo simpen aja sih nomernya? Block aja kali Li, sekalian kalau bisa block dari kehidupan juga."

Lia tertawa pelan. Memakan roti bakarnya seraya melihat pesan Arga sekilas. "Nanti lah, gampang."

"Lo tau nggak Arga kemana kemaren habis berantem sama lo?"

"Mana gue tau lah. Emang gue pacarnya?"

"Oh iya lupa, dah jadi mantan." Nadila merubah posisi duduk mejadi menghadap Lia. Ekspresinya serius kali ini. "Gue dikasih tau Arwin. Katanya kemaren Arga ngajakin ke club, tapi Arwin nggak bisa. Eh, nggak mau ding. Masih males katanya. Mahen juga nggak bisa soalnya besoknya ada kelas pagi. Kalau Azka nggak tau tuh soalnya nggak ada jawab apa-apa. Gue yakin pasti nyusulin Arga kesana. Dia kan sohibnya Arga banget."

Lia teridam sejenak. Lalu menghela napas panjang. "Gue nggak peduli lagi, Nad. Mau mabuk sampai mampus juga bodo amat."

"Nah, bagus! Harus gitu emang Li. Life must goes on. Lupain Arga, ngapain nangisin cowok bejat macam dia. Buang-buang tenaga aja."

Lia hanya mengangguk mengiyakan sembari tersenyum tipis. Andai semudah itu. Realitanya, kala mendengar fakta bahwa Arga mabuk semalaman, tidak bisa dipungkiri perasaan khawatir masih bersarang di lubuk hatinya. Lia tidak bisa melupakan Arga hanya dalam waktu satu malam. Setahun bukanlah waktu yang sebentar. Terlepas dari masalah perselingkuhannya, meski begitu Arga pernah mejadi salah satu sumber kebahagiaan Lia. Banyak momen yang mereka bagi bersama, banyak waktu yang mereka habiskan berdua.

Lia hanya harus bersikap baik-baik saja, seolah dia bisa dengan mudah melupakan Arga. Lia yakin dia bisa. Seiring waktu berjalan, lama-kelamaan Lia pasti akan terbiasa dengan ketidak hadiran Arga. Sebab Nadila benar, ada atau tidaknya Arga, hidup harus terus berjalan. 

"Lia, gue udah nih. Berangkat sekarang yok!"

"Eh, iya iya." Lia mengerjap saat menyadari Nadila berdiri. Segera merapikan piring dan gelas untuk ditaruh di wastafle. Membiarkannya tergeletak kotor tanpa berusaha Lia cuci. Jam setengah delapan, yang berarti kelasnya akan dimulai setengah jam lagi. "Bentar! Gue masukkin barang dulu."

"Gue tunggu di basement aja ya?"

"Oke."

Mereka memang berangkat bersama hari ini. Nadila yang mengusulkan, biar Lia tidak perlu menyetir katanya. Lia tau itu hanya akal-akalan Nadila saja karena temannya itu masih khawatir akan kondisinya. Nadila bahkan sampai repot-repot menyusulnya kemari, padahal rumah Nadila dengan apartemennya tidak searah. Nadila banyak membantunya, tapi sampai sekarang Lia belum sempat mengucap terima kasih. 

Lia menatap Nadila yang hilang di balik pintu dengan ekspresi sukar diartikan. Menghela napas, Lia segera memasukkan buku-bukunya, laptop, charger, note book, dan make up. Kala Lia mengambil ponselnya yang akan Lia masukkan ke tas juga, mendadak Lia bergeming. Menatap lekat layar ponsel yang masih menunjukkan notifikasi pesan dari Arga yang masih belum dia buka. Ragu-ragu, jarinya menggeser layar. Membuka room chat percakapannya dengan Arga yang sudah mati sejak dua hari lalu. Kebanyakan pesan dari Arga, yang satupun tidak Lia balas dan hanya berakhir dia baca. 

Lia memejamkan mata, mengeyahkan seluruh keragauan yang masih tersisa. Setelah menghembuskan napas panjang, jarinya membuka profil Arga. Menggulir layar kemudian memencet salah satu opsi di bawah. 

Block Arga Winata? Block contact will no longer be able to call you or send you a message.

Lia menarik napas dalam, meyakinkan diri sendiri bahwa keputusannya sudah benar.

Block?

Lia menekan opsi tanpa ragu. 

Yes.

Blocked.

***

"Nanti main di rumah lo lagi yuk?" 

Arwin tersentak. Menoleh pada Azka yang entah dari kapan berada di sebelahnya, merangkul sebelah pundaknya. Arwin menarik napas berat, tau Azka sedang membujuknya. Jelas terlihat dari Azka yang mendadak muncul di gedung jurusannya sementara Azka sendiri adalah anak Arsi. 

"Sori, gue sibuk." Arwin menjawab tak acuh.

"Alah, sibuk apaan sih lo?" Azka mengejek. 

"Sibuk selingkuh."

Azka sontak terdiam. Langkahnya terhenti membuat rangkulannya di pundak Arwin jatuh begitu saja. Merasa Azka tidak lagi di sampingnya, Arwin ikut berhenti juga. Berbalik badan dan menemukan Azka yang terdiri berdiri beberapa langkah di belakangnya. Arwin mengangkat alis tinggi, bingung pada sikap Azka yang tiba-tiba berubah. Rautnya tidak terbaca, ekspresinya minim emosi. 

Tiga tahun lebih mengenal Azka, Arwin tidak pernah bisa menebak pikiran sahabatnya satu itu. Azka benar-benar tenang, ekspresinya sulit dibaca, gelagatnya sukar di tebak. Sama halnya dengan Azka yang ternyata diam-diam sudah tau mengenai Arga yang selingkuh, dan bisa-bisanya menutup-nutupi hal tersebut bahkan Azka masih sempat membela Arga. Kalau tidak ingat Azka adalah sahabat baiknya, Arwin hampir kalap menojok Azka saat lelaki itu baru mau bercerita usai semua terbongkar. 

"Win, dengerin gue." Azka membuka suara. Nadanya berat, cengirannya tidak lagi terlihat. Yang ada hanyalah Azka yang Arwin benci. Benci karena Arwin sama sekali tidak bisa menebak pikiran Azka sama sekali. "Gue tau lo masih kecewa sama Arga. Gue paham. Tapi Arga masih temen kita. Jangan karena satu kesalahan, lo jadi nutup mata sama semua kebaikan Arga."

"Nggak, Ka. Lo nggak tau apa-apa." Arwin tertawa getir. "Kalau lo tau, lo pasti paham kenapa gue masih kesel sama tuh orang. Lo pikir gue masih bisa bersikap seolah nggak ada apa-apa ketika gue sendiri liat Lia semenderita apa malam itu?"

"Gue paham. Sama kayak lo, gue juga jadi saksi seberapa kacaunya Lia waktu itu."

"Tapi lo nggak ngerasain apa yang gue rasain, Ka. Lia temen gue dari SMA!" Arwin menyentak Azka telak. Hal yang tidak pernah Arwin lakukan pada Azka sebelumnya. "Alasan lainnya, gue paling benci sama tukang selingkuh. Lo udah lupa ya, apa yang buat keluarga gue berantakan?"

Tiga tahun lalu, orang tuanya bercerai. Papanya ketahuan berselingkuh. 

Seumur hidupnya, Arwin akan selalu mengingat hal tersebut. Salah satu titik terendah di hidupnya. Di tengah kekacauan yang luar biasa, Arwin harus tertatih-tatih bangun sendiri. Mati-matian belajar agar bisa lolos ujian SNMPTN. Meringkuk di kursi dengan buku berceceran di meja tiap kali mendengar Papa dan Mama bertengkar. Membekap mulutnya sendiri agar tangisnya tidak pecah saat mendengar bunyi barang yang dibanting ditambah teriakan yang saling bersahutan. 

Sekarang, melihat Arga mengingatkannya pada Papa. Membangkitkan memori-memori buruk yang susah payah Arwin kubur dalam-dalam.

"Gue pernah bilang sama Arga kalau gue benar-benar benci sama tukang selingkuh. Dan sekarang dia milih sendiri buat jadi salah satu orang yang gue benci." Arwin meyambung. Netranya menyorot Azka tajam. "Kalau lo nggak tau apa-apa, nggak usah sok tau, Ka. Gue cuma butuh waktu."

Tanpa menunggu respon Azka, Arwin berbalik cepat. Melangkah pergi meninggalkan Azka yang meraup wajahnya frustasi. 

***

Lia tengah duduk-duduk di koridor gedung fakultasnya sembari menunggu Nadila yang masih di bantai dosennya. Salah Nadila sendiri sih. Perempuan itu nekat bermain ponsel saat kelas tengah berlangsung. Kalau tidak ketahuan, Lia juga tidak peduli. Namun, sepertinya hari ini Nadila tengah dilanda apes. Dosennya memergoki Nadila, berakhir merampas ponsel dan menyuruh menghadap beliau selepas kelas. 

Lia duduk sendiri. Sibuk memainkan ponselnya kala tiba-tiba dia menangkap radar bahaya. Lia tau ini konyol, tapi dia masih sepeka itu dengan kehadiran Arga. Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai menggema di koridor yang nyaris tidak ada orang. Lia menoleh ke sumber suara, matanya kontan melebar kala menemukan Arga berjalan ke arahnya dengan raut wajah tak enak. Lia langsung berdiri, berbalik arah untuk menghindari Arga jika saja pergelangannya tidak dicengkeram lelaki itu. 

Lia berusaha menyentak tangannya, namun usahanya jelas tidak seberapa di banding Arga. Apalagi melihat emosi yang membayang di kedua matanya, usaha Lia hanya berakhir tidak berguna. 

"Lepas." Lia memutar-mutar pergelangan tangannya yang Arga genggam, tetap berusaha meloloskan diri. Lia sudah berusaha sepenuh tenaga, tapi Arga sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Seakan upaya Lia bukanlah apa-apa. "Aku bilang lepas! Tangan aku sakit, Arga!"

Arga menurut. Meskipun lelaki itu masih tidak melepaskan tangannya. Hanya melonggarkan genggamannya agar tangan Lia tidak kesakitan. 

"Aku bakal lepas kalau kamu janji nggak bakal kabur." Arga akhirnya berucap.

"Apa lagi sih? Kamu mau apa lagi?!" Lia berteriak jengah. Untungnya, di Koridor hanya adankereka berdua jadi Lia tidak perlu menahan teriakan karena demi apapun, emosinya spontan naik kala melihat Arga. "Kita udah selesai Arga! Kamu bener-bener nggak tau diri ya? Harus aku jelasin berapa kali lagi? Jangan buat aku lebih marah dari ini ya."

"Aku cuma mau bicara, Lia." 

"Nggak ada yang perlu dibicarain lagi."

"Kenapa kamu block aku?" Arga mengacuhkan Lia. "Aku udah bilang, kamu bebas hukum aku sepuasnya. Tapi jangan gini, Lia. Kamu menghindar, block aku dari semua social media, bahkan kamu nggak mau bicara sama aku."

"Hukum kamu?" Lia tertawa miris. "Yang ada aku malah pengen hukum diri sendiri karena bisa-bisanya udah percaya sama kamu."

"Lia, aku minta maaf. Aku bener-bener minta maaf." Tatapan Arga berubah sendu. Ucapannya terdengar tulus. Lia berusaha keras menahan agar hatinya tidak luluh. "Give me a second chance. Aku tau kamu nggak akan langsung percaya, tapi seenggaknya kasih aku kesempatan buat berubah. Kasih aku kesempatan buat buktiin ke kamu, ya?"

"Sekali enggak tetap enggak, Arga."

"Kenapa?" Arga memelas. 

"Kenapa?" Lia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Arga. "Ya lo mikir lah! Lo pikir cewek mana yang mau di ajak balikan abis selingkuhin? Otak lo semenjak selingkuh emang jadi nggak ada isinya gini ya?"

Persetan dengan Arga. Sabar punya waktu. Dan kesabaran Lia sudah habis semenjak Arga dengan bodohnya bertanya kenapa Lia tidak akan mengubah jawabannya. Arga kontan lemas, garis wajahnya turun. Secara tidak langsung berpengaruh dengan genggamannya yang tanpa sadar melemah. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Lia menarik tangannya yang langsung lolos dalam satu tarikan. 

Lia mundur selangkah. Syukurnya, sepertinya Arga betulan terluka dengan ucapannya hingga tak kuasa lagi menahannya. Arga hanya mematung dengan sorot yang masih menatapnya, tapi kali ini tubuhnya seakan tidak berdaya bahkan hanya untuk menggapai Lia. 

"Arga, denger perkataan gue baik-baik." Lia menakan ucapannya lamat-lamat. "Sekalipun lo ngemis-ngemis minta balikan, jawaban gue tetep sama. Gue bisa aja maafin lo. Tapi maaf, gue nggak bakal bisa lupa dan menganggap seakan keadaan nggak pernah berubah."

Lia pergi. Sementara seseorang yang tidak sengaja mendengar percakapan sedari awal, mengepalkan tangannya menahan amarah. 

Di balik dinding koridor, Sarah mendengar semua percakapan mereka.

***

Sarah mengatur napasnya yang memburu. Pikirannya kalut kala mendengar perdebatan sengit antara Lia dan Arga. Yang Sarah lakukan berikutnya adalah keluar dari tempat persembunyiannya, segera berlari mengejar Arga yang sudah jauh keluar entah kemana. Melihat Arga masih sesayang itu pada Lia, tidak dipungkiri sesuatu dalam dadanya mencelos begitu saja. Ada sesak yang terpendam di sana. 

Dengan perasaan campur aduk, Sarah nekat menyusul Arga ke Teknik. Keadaannya cukup kacau ketika akhirnya sampai di parkiran. Napasnya tersenggal, rambutnya acak-acakan, peluh tak henti mengalir didahinya akibat Sarah yang nekat berlari di bawah sinar terik matahari siang hari begini. Netranya berpendar mencari beberadaan Arga. Dan waktu Sarah menemukan lelaki tersebut sedang berjalan ke arah mobilnya dengan langkai gotai, tanpa membuang waktu dia langsung menghampiri Arga. 

Arga tampak terkejut ketika Sarah menarik keras lengannya dengan raut marah. Matanya membulat seakan baru saja melihat sesuatu yang mengejutkan. Tapi Sarah tidak perlu heran dengan respon Arga yang berlebihan. Keberadaan Sarah yang bahkan tidak pernah mau menginjakkan kakinya ke Teknik sudah cukup bisa membuat Arga terperangah. 

"Gue mau ngomong." Sarah berucap tegas. 

"Ya udah sih, ngomong tinggal ngomong." Arga menyentak cekalannya hingga terlepas. Nadanya terdengar kesal. "Gue capek, pengen pulang cepet-cepet istirahat. Kalau lo mau bicara silahkan, tapi waktu lo nggak banyak."

"Lo kenapa sih?" Sarah bertanya sinis. "Lo kalau marah jangan lampiasin ke gue, Ar!"

Arga menghela napas panjang. Dia tidak marah, dia hanya sedikit lelah. Lelah sudah berdebat dengan Lia yang ujung-unungnya percuma. Kali ini, dia harus berhadapan dengan Sarah lagi. Masalah satu persatu mendatanginya, seolah enggan membiarkannya beristirahat. 

"Siapa yang marah, Sarah?" Arga menjawab, berusaha tenang. "Gue cuma lagi capek aja." 

"Lo capek apa stres mikirin Lia?"

Tangan Arga kontan terkepal. 

"Jangan bawa-bawa Lia."

"Kenapa?" Sarah justru kenaikkan dagunya, menantang. "Lo baru nyesel sekarang? Setelah jadiin gue orang ketiga dan sadar kalau dibandingin Lia, gue nggak ada apa-apa nya?"

"Lo mau bicara kan?" Arga hampir hilang kesabaran. Tangannya menarik pergelangan Sarah dan menyeretnya keluar parkiran. Tidak memperdulikan padangan orang-orang yang menatap keduanya penuh heran. "Kita bicara sekarang. Gue mau hari ini semuanya selesai." 

Arga berniat membawa Sarah ke gedung samping yang tergolong sepi untuk bisa berbicara empat mata tanpa terganggu di lihat orang lain ketika dari arah berlawananㅡMahen, Azka, Arwin beserta pacarnya datang. Mahen, yang mana belum tau apa-apa memandang mereka berdua dengan sorot penasaran. Arwin dan Nadila kompak memutar bola mata. Sedangkan Azka hanya diam, tidak memberi respon berarti. 

Arga yang berniat mengacuhkan mereka berempat, sontak memberhentikan langkahnya yang akan keluar dari area parkiran ketika Mahen mendadak menghadang jalan. 

"Eh, eh! Mau kemana nih gandeng-gandeng segala. Udah lupa sama Lia lo?" Mahen nyerocos begitu saja. 

Arga mendesah. "Minggir."

"Gue aduin Lia loh yaaaa?" 

Mahen justru terdorong untuk menggoda. Arga berdecak panjang, ekspresinya benar-benar keruh kali ini. 

"Nggak usah bawa-bawa Lia."

"Ya mang napa sih?"

"Ya udah lah, Hen. Udah putus juga masih di bawa-bawa. Kasian Lia-nya." Arwin menyahut enteng seraya menyedot minumannya. Spontan mengundang delikan tidak suka dari Arga. Namun Arwin tidak peduli. Emosinya perlahan naik ketika melihat Arga dengan selingkuhannya. Arwin tau Arga dan Lia memang sudah selesai, tapi melihat Arga memang masih membuatnya sekesal itu. Apalagi kali ini di tambah kehadiran pacar barunya. 

Eh, benar kan? 

Atau Arwin salah? Sebab setaunya, setelah ketahuan selingkuh, kebanyakan laki-laki lebih memilih bersama selingkuhannya. Selayaknya Papa. 

"Kalau lo ada masalah sama gue, mending bilang langsung Win. Jangan sindir-sindiran pakai acara menghindar segala. Basi tau nggak?" Arga berkata, melirik Arwin singkat. 

"Gampang." Arwin menyahut santai. Sama sekali tidak terpengaruh oleh makian Arga. Kendati membalas ucapan Arga, lelaki itu justru mengedikkan bahunya ke arah Sarah. "Mending lo urus dulu itu pacar lo. Kasian tuh, diem mulu nggak berani ngomong. Ngumpet di belakang. Takut soalnya disini banyak musuhnya ya?"

"Win." Arga menggeram. "Watch your mouth."

"Bukannya disini seharusnya lo yang harus jaga sikap?"

Mahen kelimpungan. Memandang Arga dan Arwin bergantian. Terlihat benar-benar clueless. Tak sedikit juga orang yang turut mencuri dengar pembicaraan mereka sebelum di sebar menjadi gosip. 

"Ini ada apaan sih?" Mahen menukas. 

"Itu urusan gue sama Lia. Siapa lo berani ikut campur? Mau sok-sok-an jadi pahlawan kesiangan?" Arga tidak memperdulikan Mahen. Tatapannya terarah lurus-lurus pada Arwin. "Ini emang murni kesalahan gue, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya menghakimi gue. Seakan-akan hidup lo maha benar dan gue yang paling buruk disini. Jangan karena kesalahan gue, lo bebas maki-maki gue dan lupa sama kesalahan lo sendiri. Lo lupa siapa yang buat kakak lo pergi dari rumah?"

Nadila segera menahan Arwin yang melangkah maju ke arah Arga. Perempuan itu mendesah berat. "Ar, jangan bawa-bawa keluarga." 

"Kalau cowok lo nggak mulai, gue juga nggak akan bahas sejauh ini, Nad."

"Gue nggak pernah bawa-bawa masalah keluarga ya, anjing!"

"Lo seharusnya juga sadar diri buat nggak jangan mancing emosi gue!"

"Ya karena lo emang pantes disalahin, brengsek!"

"Oh, seakan-akan hidup loㅡ"

"Arga udah." Sadar situasi semakin memburuk, Azka akhirnya menengahi. Jika terus dibiarkan, besar kemungkinan mereka akan berakhir dalam adegan baku hantam. "Mending sekarang lo pergi. Kasian Sarah udah nunggu dari tadi."

Arga memandang Arwin dengan pandangan murka. Meskipun masih kesal dan tidak rela meninggalkan Arwin begitu saja, Arga memilih mengalah demi Sarah. Lelaki itu tau Sarah tidak nyaman disini sebab sedari tadi Arwin tidak henti menghujam mereka berdua dengan berbagai sindiran. Mulai dari yang halus sampai frontal. Arga menarik Sarah, kemudian membawanya pergi secepat mungkin. 

Selepas Arga pergi, Nadila segera berbalik. Memelototi setiap pasang mata yang menonton perselisihan sengit barusan. Kelihatannya mereka asik dengan dunianya sendiri, ada yang membaca, mengeluarkan motor tapi 10 menit sendiri, mencari barang yang hilang, dan berbagai sikap pura-pura lainnya. Nadila tau betul, dibalik semua kegiatan yang terkesan dibuat-buat, telinga mereka dipasang dalam kondisi paling maksimal agar bisa menangkap informasi sebanyak mungkin. 

"BUBAR BUBAR!" Nadila berteriak, mengusir mereka secara paksa. Putaran bola mata sampai seruan kecewa yang dilayangkan terang-terangan adalah hadiah yang Nadila dapat setelahnya. "Lo pada bubar nggak setan?! Ini bukan sinetron yang bisa lo tonton gratis tanpa dipungut biaya. Kalau mau nguping, bayar!" 

Nadila belum puas mengusir mereka saat suara Mahen menginterupsinya. Ketika Nadila menoleh, dia menemukan Arwin dan Azka yang mengaduh kesakitan kala Mahen menggeplak kepala mereka satu-persatu dengan buku di tangan. 

"JELASIN INI SEBENERNYA KENAPA SIALANNNN! JANGAN MINGKEM AJA LO BERDUA!"

Nadila mengurut dada lelah. 

Related chapters

  • Chasing After You   11. The Antagonist One

    "Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala

  • Chasing After You   12. Belated Birthday

    "Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya." "Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?" "Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?" "Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan. "Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo de

  • Chasing After You   13. Ashiettt

    'PLOROTIN PLOROTIN!' 'JANGAN DONG! CEMPLUNGIN AJA WIN CEMPLUNGIN!' 'NANGGUNG LAH ANJIR! MENDING PLOROTIN HABIS ITU CEMPLUNGIN!' 'ARWIN BANGSATTT!' "AHAHAHAHAHAH GOBLOK!" Lia tersentak kaget, refleks menjauhkan badannya dari Nadila yang tertawa keras. Kupingnya sampai pengang. Untung saja kelas masih sepi, jadi pekikan nyaring Nadila barusan tidak mengundang perhatian banyak orang. Tapi tetap saja, Lia yang harus menanggung malu. Berkali-kali meringis sambil mengucapkan maaf pada tiap orang yang menoleh dengan pandangan terganggu. Nadila tidak sadar. Perempuan itu justru malah asyik melihat ponselnya sambil terus cekikan.Jengkel, Lia mengambil satu helai kertas dari bindernya, ia remat jadi gumpalan, lalu dijejalkannya ke mulut Nadila yang mangap lebar serupa gawang bola. "AnjㅡHOEK!" Nadila langsung memuntahkan gumpalan kertas tersebut dengan raut ji

  • Chasing After You   14. Stress

    Perasaan yang Lia rasakan pertama kali usai Azka berucap adalah, tentu saja tertegun.Lia sempat panik, tapi dia berusaha memberi sugesti pada diri sendiri untuk tetap berpikir tenang. Pandangannya beralih pada kamera milik Azka yang tergeletak di lantai. Salah satu temannya juga menggilai dunia photograpy, punya banyak kamera dengan ukuran besar, dan Lia pernah iseng bertanya mengenai harga. Temannya menjawab ada dikisaran harga 5 juta lebih, namun tidak sampai menyentuh angka 10 juta.Kamera Azka tergolong kecil, bentuknya persegi panjang dan hanya seukuran telapak tangannya. Mungkin lebih besar sedikit. Lia tidak tau harga pasaran kamera, namun jika kamera temannya yang berukuran besar saja direntang harga sekian, apalagi kamera kecil layaknya punya Azka?Lia tau dia tidak boleh meremehkan kamera hanya dari bentuknya. Dia hanya berusaha tetap waras sekalipun keadaan memaksanya untuk tid

  • Chasing After You   15. Make The Deal

    Lia berjalan dengan gerakan lunglai kala tiba-tiba, seseorang sengaja menyenggol bahunya membuat Lia mengerjap. Tersadar dari lamunan dan waktu dia menoleh, Arwin sudah ada di sebelahnya dengan senyum miring terpampang jelas di wajah."Apaan sih lo," ujar Lia tak bersemangat."Lo ada buat masalah apa lagi?"Lia sontak menghentikan langkah, matanya membulat sepenuhnya bikin Arwin tertawa kencang. Tangannya melayang memukul lengan Arwin, memberi kode agar lelaki itu mengecilkan volume suaranya sebab orang-orang mulai menoleh dengan pandangan terganggu pada mereka berdua."Kok lo tau sih?" tanya Lia sengit.Arwin masih tertawa. "Pacar lo bocor."Lia memukul mulut Arwin dengan tangannya, tersenyum sarkastik. "Mantan.""Iya lupa. Galak amat bu." Arwin memutar bola matanya malas. "Kok lo tolol sih bisa-bisanya gelut sama

  • Chasing After You   16. Home

    Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has

  • Chasing After You   17. Uh-Oh

    Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu

  • Chasing After You   18. New Hello

    'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera

Latest chapter

  • Chasing After You   24. Long Night

    Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe

  • Chasing After You   23. Friend Who doesn't Invite

    "HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k

  • Chasing After You   22. Unbelievable, isn't?

    Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag

  • Chasing After You   21. Hair Tie 0.2

    Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan

  • Chasing After You   20. Hair Tie 0.1

    Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har

  • Chasing After You   19. A Little bit Lie

    Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye

  • Chasing After You   18. New Hello

    'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera

  • Chasing After You   17. Uh-Oh

    Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu

  • Chasing After You   16. Home

    Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has

DMCA.com Protection Status