"Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya."
"Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?"
"Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?"
"Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan.
"Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo denger lagu ini lo beneran peka, ya. Jangan isu politik mulut yang lo perduliin, nih perasaan crush lo juga jangan kalah di perhatiin. Kasian cowoknya, kayaknya udah hopeless banget sampai titip salam di Radio Kampus apalagi Falling For You-nya The 1975."
Lia tidak bisa menahan tawa lagi. Sementara Dimas mengecilkan volume mike mereka dan mulai memutar lagu sesuai permintaan sang penitip salam.
Baik Dimas maupun Lia, sama-sama diam setelahnya. Mereka diam mendengarkan lagu yang terputar sambil sesekali ikut bergumam. Salah satu yang Lia suka dari partner siarannya ini adalah, mereka punya selera musik yang sama.
Setelah lagu titipan salam pertama selesai, mereka tidak langsung beranjak ke titipan salam yang kedua. Membiarkan lagu dari playlist yang sudah mereka berdua buat untuk memutar musik yang sudah di tentukan jumlahnya dan ketika usai, baru berganti ke penitip salam selanjutnya.
"Nih Li, karena gue udah bacain salam yang pertama, jadi yang kedua giliran lo."
Dimas menyerahkan laptop yang sudah terpampang e-mail Radio Kampus. Kemudian dia mulai membaca titipan salam yang kedua.
"Oke, yang kedua masih lagunya The 1975." Lia mulai berbicara. Matanya membaca pesan yang tertera seraya berucap. "Ada titipan salam buat anak Teknik Kimia angkatan 17ㅡ" Entah kenapa Lia mulai merasa ada yang tidak beres. Spontan, mulutnya berhenti bergerak kala membaca isi e-mail tersebut sampai habis. Dugaannya benar. Lia sempat terdiam beberapa detik, yang langsung Dimas sadari dengan menyenggol kakinya pelan. Mendesah berat, Lia memutuskan untuk melanjutkan. "Teknik Kimia angkatan 17, ada Somebody Else buat Arga."
Tanpa melihat username e-mail sang pengirim pun, Lia tau itu dari Sarah.
Sebagai pendengar setia lagu The 1975, Lia jelas tau lagu yang Sarah titipkan untuk Arga. Dan Lia yakin, Somebody Else yang Sarah maksud disini tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri.
Sepertinya, Dimas menyadari gelagatnya yang mendadak berubah. Setelah Lia berucap dan tampak tidak berniat untuk memperpanjang dengan memberi tambahan kalimat nyeleneh seperti yang biasa mereka lakukan, Dimas hanya menambah beberapa kata singkat sebelum memutar lagu titipan Sarah. Usai memastikan Dimas menurunkan suara mike mereka yang kali ini sampai volume terendah, Dimas langsung menatapnya penuh penasaran.
"Ada yang titip salam buat cowok lo, tuh. Nggak papa?"
Dimas hanya tau hubungannya dengan Arga masih baik-baik saja. Siarannya itu belum tau bahwa sudah dari beberapa hari lalu, hubungannya dengan Arga selesai. Dan Lia tidak berniat mengumbarnya.
"Nggak papa, santai." Lia tersenyum palsu. "Kita kan juga harus professional."
"Duh, salah banget gue nggak ngecek lagi e-mail yang kepilih." Dimas merutuk, merasa bersalah. "Sori ya, Li. Gue tau lo nggak mungkin cemburu, tapi gue cuma merasa harus minta maaf aja."
"Ngapain minta maaf sih? Aneh lo."
"Ya nggak papa, biar rasa bersalah gue ilang aja."
Lia menanggapi dengan tawa singkat. Mereka jelas tidak tau untuk siapa salam dititipkan karena bagian untuk menyeleksi e-mail bukan bagian mereka. Mereka hanya tau lagu apa yang akan di putar agar bisa mencocokkan dengan playlist yang akan diputar. Jadi tentu saja itu bukan salah Dimas.
Jika Lia pikir, tolakan telak yang dia berikan untuk Arga beberapa hari lalu cukup untuk membuat lelaki itu menyerah, Lia ternyata salah besar. Arga tidak berhenti untuk mencoba mengiriminya pesan lewat social media lainnya. Tidak juga putus asa ketika Lia memakinya karena berkali-kali memaksanya memberi kesempatan kedua. Bahkan, Nadila sampai jengah sendiri dan hampir menyeret Arga pergi tempo hari. Walau jelas, lelaki berkepala batu itu tidak akan mudah menyerah untuk mengajaknya balikan berkali-kali, hampir setiap hari. Yang tidak bosan Lia tolak sama banyaknya juga.
Lia paham betul Sarah masih punya dendam tersendiri padanya, yang mana Lia sama sekali tidak paham ketika seharusnya, yang dendam disini seharusnya adalah dia. Pihak yang di bohongi, pihak yang di khianati.
Meski tersenyum, Lia diam-diam mengepalkan tangannya. Lia pikir, gertakan Sarah di kamar mandi beberapa hari lalu hanyalah ancaman palsu belaka. Namun, sepertinya Sarah tidak main-main ketika berjanji tidak akan membiarkan Arga hidup tenang.
***
"Ar, nanti abis kelas main ke rumahnya Arwin dulu ya."
"Ngapain?" Arga mengerutkan kening, menatap Azka heran. "Bukannya tuh anak masih kesel sama gue?"
"Ya itu, sekalian ngobrol."
Meskipun awalnya masih ragu, tak ayal Arga memilih mengangguk mengiyakan. Selanjutnya, mereka kembali terdiam. Kembali ke kesibukan masing-masing. Di tengah ramainya kantin Teknik, di depannya Azka sibuk berkutat dengan laptonya. Sedangkan Arga sendiri bermain ponsel sambil menunggu Azka menyelesaikan revisi desain maketnya.
Semenjak kejadian di parkiran minggu lalu, baik Arga maupun Arwin sama-sama menjaga jarak. Mereka jarang bertemu, sekalinya bertemu saling diam. Seharusnya di umur mereka yang sudah menginjak kepala dua, Arga tau sikap saling diam dan menghindari masalah termasuk childish. Namun dia hanya mengikuti Arwin. Arga beberapa kali berusaha mengajak Arwin bicara, tapi Arwin hanya merespon seadanya dan terkesan irit bicara. Tau diacuhkan, Arga memilih untuk ikut diam.
"Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?"
Lamunan Arga terpecah. Sejenak, tubuhnya terdiam kala suara orang yang dia rindukan terdengar dari speaker yang dipasang di seluruh penjuru kampus. Tidak lama kemudian, senyumnya perlahan tertarik.
Arga berdeheham. "Ka, ini Radio Kampus siaran daritadi apa barusan?"
Azka mendongak, menghentikkan gerakan telunjukknya di mouse lalu bersandar pada tembok dibelakangnya. "Udah dari tadi. Kenapa emang? Yang siaran Lia ya?"
"Iya."
"Kangen lo?"
"Banget." Arga mengangguk mantap. Sebab di hadapan Azka, dia bisa berbicara tanpa memperdulikan gengsi apalagi malu.
"Sukurin," balas Azka puas. "Kalau tau bakal kesiksa begini, nggak bakal kan lo pakai selingkuh-selingkuh segala?"
"Iya, iya. Gue salah."
"Ya emang salah." Azka mencibir. "Makan noh Sarah."
"Sialan."
Arga mengumpat pelan yang dibalas Azka dengan dengusan. Ini yang Arga suka dari Azka. Temannya itu tidak pernah menghakiminya sekali pun dia berbuat salah. Arga bisa dengan mudah bercerita tanpa takut di maki, tanpa takut di salahkanㅡwalau jelas, dalam hal ini Arga memang patut disalahkan. Namun setidaknya, Azka mendengarkan, kemudian memberinya nasihat tanpa emosi. Arga lebih suka di ejek begini daripada harus berdebat sengit seperti apa yang dia dan Arwin lakukan.
Arga berniat pergi dari kantin setelah Lia selesai siaran, bermaksud ingin mendengar suara perempuan itu lebih lama. Konyol memang, padahal Arga tau selagi dia masih di area kampus, siaran masih akan tetap terdengar.
"Oke, yang kedua masih lagunya The 1975. Ada titipan salam buat anak Teknik Kimia angkatan 17."
"Eh, angkatan kita itu kan?" Azka spontan menyenggol kakinya.
Arga mengangguk. Masih mendengar lanjutan kalimat Lia yang berhenti. Atau lebih tepatnya, mendadak terhenti. Arga jelas tau dari nadanya yang menggantung di akhir kalimat. Dia masih menunggu Lia kembali bersuara dengan penuh harap ketika kalimat selanjutnya, bukannya tersenyum bodoh hanya karena suara Lia, raut wajahnya spontan mengendur. Senyumnya luntur, ganti rahangnya yang mengeras.
"Teknik Kimia angkatan 17, ada Somebody Else buat Arga."
Arga masih diam, sedangkan Azka langsung berdecak keras. "Tuh cewek ngapain berulah lagi sih? Lo beneran selesai nggak sih Ar sama dia?"
Lagi, kata Azka.
Arga tertawa sumbang. Setelah menyumpahinya untuk tidak akan pernah bahagia, Sarah menyalonkan diri untuk jadi salah satu penyebabnya. Mungkin, Sarah tidak tau arti dari kata 'selesai' yang Arga maksud karena bukannya kembali bersikap layaknya dulu waktu mereka masih jadi teman, Sarah justru bersikap seolah semuanya tidak pernah terjadi. Malahan, Sarah kian semangat mengganggunya. Menempelinya ke segala tempat, memaksa untuk ikut main dan pulang bersama merupakan sedikit dari banyaknya hal ekstrem yang Sarah lakukan.
Arga belum sempat menjawab gerutuan Azka ketika ponselnya bergetar, dan nama Sarah langsung tertera.
@sarah
[gimana hadiah gue tadi? yang bacain mantan kesayangan lo langsung loh, sengaja biar makin seru]
[suka nggak? pasti suka lah ya]
[anyway, happy monday darl! ;)]
***
Selepas menerima pesan Sarah, mood Arga langsung turun drastis. Tepat setelah siaran berakhir, Arga mengajak Azka guna mencari suasana baru untuk mengerjakan tugas agar lebih fokus. Mereka sepakat untuk memilih cafe depan kampus sebagai pengganti tempat mengerjakan. Di samping itu, Arga juga meminimalisir kemungkinan Sarah akan menghampirinya seperti kejadian sebelum-sebelumnya.
Mereka baru berjalan ketika di depan gedung rektorat, orang yang menjadi alasannya berpindah tempat berjalan dari lawan arah. Arga mengehela napas panjang, refleks membuang muka. Di sebelahnya, Azka memutar bola mata malas sambil berdecak.
"Beneran jodoh kali lo. Buktinya udah berusaha menghindar tetep diketemuin juga sama semesta," celetuk Azka.
"Mulut lo gue lakban juga lama-lama."
"Puter balik, puter balik!"
"Ngapain?" Arga mengerutkan keningnya kala melihat Azka berbalik sambil mengendap layaknya maling. "Lo kayak maling sumpah. Ngapain sih pakai menghindar segala? Sarah orang bukan setan."
Azka mengurungkan niatnya untuk sembunyi. "Sarah emang bukan setan, tapi dia siluman ular."
"Lo kalauㅡ"
"Kenapa melotot? Omongan gue salah?"
"Ya nggak juga sih!"
Lantas, keduanya sibuk tertawa terbahak-bahak. Seperti bukan Azka sekali menjelekkan orang terang-terangan begini. Namun, untuk Sarah pengecualian. Azka betulan heran dengan tingkah perempuan itu yang berubah-ubah. Arga bercerita, Sarah mengumpati dan mendoakan hidup Arga tak pernah bahagia. Di sisi lain, justru perempuan itu sendiri yang berbalik arah guna kian mendekatkan diri. Di pikiran Azka saat itu hanyalah beruntut tanda tanya besar yang jawabannya sendiri masih dia cari.
Untuk beberapa saat, mereka melupakan kehadiran Sarah yang hanya berjarak beberapa langkah ketika seruan nyaring terpaksa menarik kesadaran keduanya. Itu Sarah, berjalan mendekat disertai senyum super lebar.
"Arga!" Sarah menyapa. Maniknya beralih pada Azka. "Ka, gue pinjem Arga sebentar boleh nggak?"
"Lama juga boleh." Azka menjawab yang langsung dihadiahi pendelikan protes dari Arga. "Ya udah gue duluan ke cafe ya. Ntar lo nyusul aja. Sar, gue duluan ya."
Sarah mengangguk singkat. Lenguhan berat lolos dari satu-satunya lelaki yang ada di depan gedung rektorat sekarang. Usai memastikan Azka beranjak cukup jauh dan tidak bisa mendengar percakapan mereka, baru Arga membuka suara.
"Lo mau apa?" tanya Arga langsung, malas basa-basi.
"Gimana tadi lagunya, suka nggak?"
"Don't trigger me," tangan Arga terkepal hingga menampakkan urat yang menyembul keluar. "Gue udah nggak berniat meladeni ataupun ngurusin hidup lo. Terserah lo mau usik hidup gue, ganggu gue, apapun. Tapi jangan pernah sekali pun libatin Lia."
"So sweet." Sarah tersenyum mengejek. "I'll take that as permission. Lo tau, larangan ada untuk dilanggar."
"Gue peringatin sekali lagi. Jangan berulah lebih dari ini. Lo tau sikap lo tadi udah kelewatan?" tanya Arga serius."Lo yang bilang sendiri gue brengsek, lo yang menyumpahi gue supaya gue nggak bahagia. Kita udah selesai. Jadi kenapaㅡ"
"Kenapa gue berbanding arah dan justru nempelin lo?"
Arga menghembuskan napas berat. "Gue nggak paham sama jalan pikiran lo."
"Otak lo yang terlalu dangkal, Ar." Sarah kemabali menguntai senyum manis khasnya. Kakinya mengambil satu langkah lebar, membuat badannya dan Arga nyaris menempel sempurna. Masih dengan senyum yang masih belum pudar, Sarah mendongak. Tangannya menepuk bagian depan pundak Arga seolah ada kotoran disana lalu berbisik lirik. "Gue belum narik omongan gue. Gue masih berdoa supaya sepanjang hidup, orang brengsek kayak lo nggak dikasih kebahagiaan. Oh, ralat, nggak pantes dikasih kebahagiaan."
Arga membisu, tapi kepalan tangannya jelas menyiratkan berbagai emosi yang berusaha di tahan.
"Kalau lo pikir gue balik ke lo karena mau deket lagi, lo salah besar." Sarah tertawa sarkastik. "Lo muak sama gue kan? Gue begini karena gue sendiri yang bakal mastiin hidup lo nggak pernah tenang. Karena sejak hari itu, gue memplokamirkan diri sebagai bentuk dari mimpi buruk itu sendiri. Now, I'm your nightmare."
Arga menahan tangan Sarah yang akan memegang pundaknya. Di dorongnya tangan tersebut hingga sangat pemilik ikut mundur, terbentur tembok di belakang. Sarah meringis pelan saat punggungnya berbenturan cukup keras dengan tembok. Tapi Arga tidak peduli. Kerasnya cengkramannya dan bagaimana auranya yang menggelap mengukung Sarah menjelaskan betapa emosinya Arga sekarang.
Arga siap membalas kala dari arah belakangnya, suara slippers beradu dengan lantai terdengar. Kemudian tidak lama setelahnya, ketukan tersebut tidak terdengar lagi tanda sang pemilik berhenti berjalan. Awalnya, Arga tidak memperdulikan hal tersebut jika dia tidak melihat raut Sarah yang berubah. Perempuan itu tampak terintimidasi tadi, dan senyumnya justru merekah lebar kini. Mata Sarah terarah lurus ke belakangnya, netra hitam gelapnya menatap lekat. Arga mengurungkan niatnya, ikut menoleh karena penasaran dan berakhir mengumpat saat itu juga.
Cekalannya kontan terlepas, juga mengambil langkah kebelakang setelah menyadari posisinya dengan Sarah barusan bisa terlihat ambigu.
"Liaㅡ"
"Lanjutin," respon Lia datar. "Gue cuma kebetulan lewat. Apapun yang mau lo lakuin tadiㅡterserah. Sori gue ganggu kegiatan kalian."
"Ganggu banget, kalau boleh jujur."
"Shut your mouth. No one wants to hear your opinion here." Arga membalas ketus.
Arga tidak menghiraukan Sarah yang berlagak mengunci mulutnya dengan gestur mengejek. Dia ingin mengejar Lia, tapi perempuan itu membuang muka. Tanpa sepatah kata, Lia menjauh pergi. Ekspresinya dingin, berhasil membuatnya serasa dijatuhi bongkahan es bertubi-tubi.
***
Arga memarkirkan mobilnya dengan gerakan malas di pekarangan rumah Arwin yang luas. Setelah memarkirkan mobil, Arga turun. Disusul dengan kedatangan Azka di belakangnya. Mereka berdua berjalan ke samping rumah dimana kolam renang berada. Arga sempat mengernyit heran, tapi Azka tidak berniat memberitahunya apa-apa dan hari ini Arga terlalu lelah untuk berbicara. Jadi ketika mereka sampai di kolam renang dan mendapati Mahen dan Arwin tengah duduk-duduk di kursi seraya mengemil, Arga hanya tersenyum tipis.
"Nih." Arwin datang ke arahnya sembari memberi secangkir kopi hangat lalu duduk di sebelahnya. Mahen dan Azka sendiri ke belakang untuk mengambil minuman dingin. Meski sedikit heran, tangan Arga terulur menerima.
"Thanks," ucapnya sembari menyesap kopi tersebut. Ujung bibirnya tertarik membentuk seringai. "Jadi udah nggak marah lagi nih?"
"Bangke. Di ingetin lagi." Arwin tertawa.
"Santai kali. Gue udah lupa."
"Kalau di inget-inget gue childish banget waktu itu." Arwin berucap, tampak bersalah. "To be honest, seeing you remind me of my father. That's why gue jadi marah-marah nggak jelas ke lo. Sori."
"Gue juga minta maaf."
"For what?"
"I know you hate cheater the most. Sorry for being the new one."
Arwin mendengus geli. "Itu sih harusnya lo minta maaf ke Lia."
"Iya sih. Tapi nggak tau di maafin apa nggak."
"Gue doain nggak biar lo sengsara seumur hidup." Arwin menyahut julid, namun dengan nada santai membuat Arga geram dan memiting leher Arwin dengan lengan. Arwin berteriak minta dilepaskan seraya menepuk-nepuk lengannya, tapi Arga pura-pura tidak mendengar.
"Cieee udah baikan nih ceritanya?"
Di belakangnya, Mahen berteriak heboh. Azka menyusul, di tangannya terdapat selang air. Anak Arsi tersebut tersenyum penuh makna sebelum mencolokkan selang pada keran air di pojok kolam. Arga tidak sempat berpikir untuk bertanya karena seruan Mahen membuyarkan segalanya. Kotak kado yang diletakkan Mahen di meja di depannya membuat Arga meleaskan pitingannya. Arga mengerutkan keningnya tidak paham.
"Apaan tuh?"
"Kado ulang tahun. Happy belated birthday brader!" ucap Mahen semangat.
"Lo yang niat dong anjir masa baru ngucapin sekarang? Ultah gue udah lewat 10 hari!"
"Sengaja." Mahen terkekeh.
Pemuda yang baru saja memberinya kado itu mendadak berbalik arah ke tempat Azka, mengambil alih keran dan mengarahkan ke arah Arga setelah memberi aba-aba pada Azka untuk memutar selang. Arwin yang sudah diberi tahu lebih dulu langsung menghindar. Sedangkan Arga tidak punya cukup waktu untuk berpikir sebab setelahnya, semburan air menyerangnya. Arga kelabakan, sontak melindungi wajahnya dengan tangan meskipun sia-sia. Bagian depan badannya terlanjur basah. Dari pinggir kolam, Arwin turut ikut menyiramnya dengan melempar percikan air dengan gerakan cepat.
Azka terbahak keras melihat Arga yang kebingungan total tapi tetap mencoba menghindar. "Happy birthday, Ar!"
"Woy gue nggak bawa ganti kambing!"
"Tenang. Gue ngado sempak sama kolor. Nanti lo bisa pakai." Mahen menyahut di tengah kegiatannya menyiram Arga.
Arga mendelik. "Gue bisa masuk angin! Matiin nggak?"
"Halah, perayaan setaun sekali. Lagian, cupu amat lo siram dikit langsung sakit. Bodo amat pokoknya lo harus pakai kado Mahen sampe pulang nggak boleh minjem baju gue!" Arwin ikut membalas sambil cekikikan.
"PLOROTIN PLOROTIN!" Mahen memberi ide.
"JANGAN DONG!" Bahkan, Azka yang biasanya kalem saja bisa berubah jadi heboh begini. Tawanya menguar keras, terbahak-bahak. "CEMPLUNGIN AJA WIN CEMPLUNGIN!"
"NANGGUNG LAH ANJIR! MENDINGAN PLOROTIN HABIS ITU CEMPLUNGIN!"
"ARWIN BANGSATTT!"
Kala Arga diarak paksa ke kolam oleh Mahen dengan Arwin yang berusaha menurunkan celananya, Azka tertawa terpingkal hingga mengeluarkan air mata. Di tangannya siap sedia kamera guna mengabadikan momen langka tersebut.
[.]
a/n:
One step closer, guys.
Makasih udah bertahan sejauh ini. Aku paham alurnya emang agak lambat, but i swear itu emang diperluin biar pembaca nggak bingung. Aku juga nggak suka langsung ngasih konflik tapi sebabnya kurang jelas hahah. Sooo yah, in the next chapter you will know the conflict that I mean is.
Bukan konflik besar kok. Konflik besarnya disimpen buat akhir-akhir dulu lol. Konfliknya ringan, karena cuma buat penghubung aja hahah.
See you on the next chapter<3
'PLOROTIN PLOROTIN!' 'JANGAN DONG! CEMPLUNGIN AJA WIN CEMPLUNGIN!' 'NANGGUNG LAH ANJIR! MENDING PLOROTIN HABIS ITU CEMPLUNGIN!' 'ARWIN BANGSATTT!' "AHAHAHAHAHAH GOBLOK!" Lia tersentak kaget, refleks menjauhkan badannya dari Nadila yang tertawa keras. Kupingnya sampai pengang. Untung saja kelas masih sepi, jadi pekikan nyaring Nadila barusan tidak mengundang perhatian banyak orang. Tapi tetap saja, Lia yang harus menanggung malu. Berkali-kali meringis sambil mengucapkan maaf pada tiap orang yang menoleh dengan pandangan terganggu. Nadila tidak sadar. Perempuan itu justru malah asyik melihat ponselnya sambil terus cekikan.Jengkel, Lia mengambil satu helai kertas dari bindernya, ia remat jadi gumpalan, lalu dijejalkannya ke mulut Nadila yang mangap lebar serupa gawang bola. "AnjㅡHOEK!" Nadila langsung memuntahkan gumpalan kertas tersebut dengan raut ji
Perasaan yang Lia rasakan pertama kali usai Azka berucap adalah, tentu saja tertegun.Lia sempat panik, tapi dia berusaha memberi sugesti pada diri sendiri untuk tetap berpikir tenang. Pandangannya beralih pada kamera milik Azka yang tergeletak di lantai. Salah satu temannya juga menggilai dunia photograpy, punya banyak kamera dengan ukuran besar, dan Lia pernah iseng bertanya mengenai harga. Temannya menjawab ada dikisaran harga 5 juta lebih, namun tidak sampai menyentuh angka 10 juta.Kamera Azka tergolong kecil, bentuknya persegi panjang dan hanya seukuran telapak tangannya. Mungkin lebih besar sedikit. Lia tidak tau harga pasaran kamera, namun jika kamera temannya yang berukuran besar saja direntang harga sekian, apalagi kamera kecil layaknya punya Azka?Lia tau dia tidak boleh meremehkan kamera hanya dari bentuknya. Dia hanya berusaha tetap waras sekalipun keadaan memaksanya untuk tid
Lia berjalan dengan gerakan lunglai kala tiba-tiba, seseorang sengaja menyenggol bahunya membuat Lia mengerjap. Tersadar dari lamunan dan waktu dia menoleh, Arwin sudah ada di sebelahnya dengan senyum miring terpampang jelas di wajah."Apaan sih lo," ujar Lia tak bersemangat."Lo ada buat masalah apa lagi?"Lia sontak menghentikan langkah, matanya membulat sepenuhnya bikin Arwin tertawa kencang. Tangannya melayang memukul lengan Arwin, memberi kode agar lelaki itu mengecilkan volume suaranya sebab orang-orang mulai menoleh dengan pandangan terganggu pada mereka berdua."Kok lo tau sih?" tanya Lia sengit.Arwin masih tertawa. "Pacar lo bocor."Lia memukul mulut Arwin dengan tangannya, tersenyum sarkastik. "Mantan.""Iya lupa. Galak amat bu." Arwin memutar bola matanya malas. "Kok lo tolol sih bisa-bisanya gelut sama
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k
Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag
Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has