Love is not cruel
We cruel
Love is not a game
We have made a game
Out of love
ㅡ Rupi Kaur
***
Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua.
"Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini."
"Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau."
"Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!"
"Iya iya maaf, aku salah."
"Ya emang kamu salah!"
"Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila."
"Tapi aku sakit hati tau!"
"Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai. Dia lelah dengan masalahnya sendiri, dan tidak ingin di tambah perselisihan penuh drama dari Arwin dan Nadila. Lia menangkupkan dagu di tangan, memandang malas keduanya. "Gue kasian sama Arwin. Dari tadi jadi samsak lo mulu."
"Iya sih." Nadila nyengir kuda. "Gue tadi cuma pura-pura marah."
Arwin mengelus dada. Terpikir ide untuk menjual Nadila ke tukang loak jika saja Arwin tidak sadar, bahwa hanya ada satu Nadila Kumalasari dunia ini.
Lelaki itu tadinya berpikir Nadila betulan marah padanya, nyatanya semata-mata hanya untuk menghibur Lia. Lia mungkin tidak sadar, tapi Arwin jelas paham. Pasti ada rasa kesal pada Lia walaupun sepercik, namun Nadila tau tidak mungkin menyalahkan Lia dan terus memojokkannya di saat kondisinya penuh kekacauan. Pacarnya itu hanya ingin membuat Lia tertawa dan berusaha menahan emosi yang sedari tadi bergejolak minta dikeluarkan. Arwin bisa melihat dari kepalan tangannya sewaktu Lia bercerita sambil menangis tersedu-sedan barusan.
"Ya udah sekarang kita party dulu, yeayyy!" Nadila mengeluarkan semua makanan yang dibelinya di minimarket. Tangannya mengepal memberi gestur semangat. "Ayo kawanku, jangan jadikan patah hati sebagai penghambat. Nanti gue bantu cariin yang baru deh. Yang pasti jauh-jauh-jauh lebih wow daripada Arga. Arga mah dibanding pacar gue juga nggak ada apa-apa nya."
Arwin terbahak keras.
"Kalau gitu, demi sahabat lo yang baru putus ini, gimana kalau Arwin oper buat gue aja?"
Nadila sontak melemparnya dengan chiki yang belum terbuka. "Nggak bisa. Soalnya nyari yang bentukannya kayak Arwin tuh susah. Kalau kata pepatah sih, seperti mencari jarum di tumpukan jerami."
"Lebaynya kumat lagi deh." Lia memutar bola mata malas.
Nadila hanya mengunyah Chitatonya sambil tertawa, sementara Arwin yang duduk di setelahnya mengusap puncak rambutnya gemas. Sepertinya hanya Nadila yang menjenguk teman sakit tidak dibawakan buah, melainkan jajanan minimarket sarat micin.
Nadila tersenyum tipis, hatinya menghangat melihat Lia bisa tertawa kembali. Jika waktu diputar ke setengah jam lalu, dimana Lia menangis nyaris setengah gila karena Arga, rasanya mustahil melihat Lia bisa tersenyum selebar ini. Di hadapan Lia, dia mungkin terlihat biasa saja. Selayaknya Nadila yang penuh pecicilan seperti biasanya. Namun, di otak mungilnya, Nadila berencana akan melabrak Arga dan selingkuhannya yang bernama Sarah itu habis-habisan.
Mereka bertiga lanjut mengobrol seru seraya memakan chiki saat pembicaraan mereka terpaksa terinterupsi oleh bunyi bel yang berasal dari pintu depan.
Arwin jadi yang pertama berdiri. "Gue cek dulu."
Arwin mengecek lewat interkom video, kemudian kembali dengan raut wajah berubah tidak lama kemudian.
Lia mengangkat alis. "Siapa?"
Arwin diam.
"Arwin, gue ngomong sama lo." Lia mengulang kala Arwin tetap membisu. "Siapa?"
Arwin masih diam. Melirik Lia dan Nadila secara bergantian. Arwin mengehela napas berat. "The cheater." Jawabnya kemudian.
"Oke."
Tanpa membuang waktu, Lia segera beranjak. Tapi Nadila dengan gesit menahan jalannya. Sama seperti Arwin, ekspresinya berubah 180 derajat. Tidak ada lagi Nadila si tukang rusuh. Yang ada hanyalah Nadila yang penuh keseriusan. Yang bisa melakukan hal yang bahkan Arwin dan Lia tidak pernah terpikirkan.
Perlahan, tensi di antara mereka menegang.
"Lo diem di sini. Biar gue yang temuin bajingan itu."
"Ini urusan gue sama Arga, Nad."
"Jangan sekarang Lia. Kondisi lo baru aja stabil." Nadila mati-matian menahan agar nada suaranya tidak meledak. Nadila tidak ingin bertengkar dengan Lia yang ujungnya hanya akan memperparah keadaannya. Nadila tau kondisi Lia masih rentan. "Sekali ini aja, please, nurut sama gue. Lo hanya akan berakhir lebih buruk dari ini kalau lo ribut sama Arga sekarang."
Lia menurunkan tangan Lia yang menahan pundaknya. Menggeleng tegas. "Gue lebih baik selesaiin semuanya disini, sekarang, saat ini juga meskipun harus hancur berkeping-keping. Gue mau semuanya selesai secepatnya, Nad."
Mereka berdua saling tatap, sedangkan bel diluar masih terus dibunyikan.
"Nadila, udah ya." Arwin akhirnya turun tangan. "Lia bener. Mending mereka selesaiin sekarang. Ini bukan hal baik Nadila, nggak sepantesnya ditunda-tunda."
"Tapi kondisi Lia jauh lebih penting, Ar! Kamu paham nggak sih?"
"Guys, you don't have arguing each other just because of me." Lia menengahi seraya tersenyum. "Gue janji, ini bakal jadi tangis terakhir gue buat Arga. Everything will be okay. We'll be okay."
Lalu begitu saja, mereka membiarkan Lia melangkah keluar. Bersama semua luka yang siap menerjang di belakangnya.
***
"Tada!"
Kala Lia membuka pintu, di hadapannya Arga datang dengan menenteng satu plastik besar berisi berbagai macam buah dan vitamin. Lia tersenyum tipis, perlahan menutup pintu di belakangnya agar Arwin dan Nadila tidak bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Kok ditutup?" Arga mengernyit.
"Aku mau bicara." Lia menjawab tenang. Kernyitan Arwin terlihat kian dalam. "Di dalem ada Arwin sama Nadila. Takutnya mereka denger. Jadi di sini aja ya?"
"Kenapa nggak di dalem? Kamu lagi sakit, Lia."
'Satu-satunya orang yang bikin aku sakit, itu kamu Arga.'
Lia tersenyum miris, mengabaikan luka yang Arga gores dalam di hatinya. Pedihnya masih terasa hingga sekarang. Lia mendongak, menatap Arga lekat-lekat. Merekam rahangnya yang tajam, alisnya yang tebal, matanya yang sedikit sipitㅡsemuanya. Wajah yang selalu Lia rindukan dan dambakan selama satu tahun belakangan. Karena Lia tau, setelahnya dia tidak akan bisa melihat Arga sesering dulu lagi.
Lia menghela napas berat. Vokalnya nyaris pecah ketika berkata. "Kita udahan aja ya."
Senyap.
Arga sontak membeku. Senyumnya luntur, garis wajahnya menurun, namun genggamannya pada plastik tidak kunjung melonggar, melainkan kian menguat. Binar di matanya hilang. Ekspresi dingin Arga yang tidak pernah ditujukan padanya, kini terlihat. Arga termasuk orang yang ramah pada semua orang. Jadi melihat Arga menunjukkan sisi lain dari dirinya, yang bahkan jarang lelaki itu tunjukkan pada orang-orang, nyatanya Arga berikan padanya, berhasil membuat sesuatu dalam dada Lia mencelos.
"Kenapa?"
Mata Lia memanas.
"Kenapa, Lia?"
Air matanya kembali menggenang di pelupuk mata.
"Apa ini karena masalah waktu itu? Waktu kamu ketemu aku di kantin FISIP?" Arga membalas dingin. Tidak ada lagi senyum di wajahnya. Binar di matanya seakan meredup. Yang ada hanya gumpalan emosi yang lelaki itu tahan. "Lia, kita udah baikan lusa. Kalau aku ada salah, bilang. Bukan diem aja dan mutusin hubungan sepihak begini. Bilang Lia, biar aku tau letak salah aku dimana. Biar aku bisa perbaiki."
"Kesalahan kamu fatal, Arga."
"Kalau gitu, bilang." Arga tetap bersikeras. "Aku nggak bisa baca pikiran kamu. Aku nggak bakal tau kalau kamu nggak ngasih tau."
"Sekarang aku tanya. Kamu merasa buat salah nggak?"
"Aku udah bilang, aku nggak tau kalauㅡ"
"Kalau gitu kamu yang nggak tau diri." Lia membalas penuh penekanan. Sekejap, Arga balik terdiam. Tangannya masih mengepal, bahkan mungkin lebih kencang. Rahangnya mengeras. Lia tau Arga sedang menahan emosi. Tapi Lia sudah terlanjur muak untuk menahan lebih lama lagi. "Kamu pikir kesalahan kamu sendiri sampai kamu tau letak kesalahan kamu dimana. Aku udah nggak bisa sama kamu lagi. Kita udahan aja sampai disini."
Lia berbalik, siap kembali masuk ke dalam jika tawa sarkastik Arga tidak menghentikannya.
"Dari tadi, aku nahan karena kamu lagi sakit. Tapi lihat kamu baik-baik aja bahkan setelah mutusin aku, aku rasa aku nggak perlu nahan lagi."
Bajingan, umpat Lia dalam hati.
Jika Arga menyaksikan seluruh akibat yang lelaki itu buat kemarin, melihatnya menangis histeris nyaris gila seakan kewarasannya di bil paksa karena melihat pacarnya mendua, Lia yakin Arga tidak akan semudah itu mengucapkan kalimat bahwa dia baik-baik saja. Untuk yang satu itu, Lia masih memaklumi. Sebab, Arga tidak tau kejadian sebenarnya kemarin. Arga sama sekali tidak tahu menahu mengenai Lia dan Arwin yang memergokinya berselingkuh di PIM kemarin.
Karena seperti yang Lia bilang, lelaki itu tidak cukup tau diri untuk tau letak kesalahannya sendiri.
Lia bertanya-tanya, apa Arga sama sekali tidak memikirkan perasaannya ketika memilih mengkhianatinya?
Mungkin, Arga memang tidak pernah memikirkan akibat dari perbuatannya. Mungkin, Arga memang tidak pernah barang sedikitpun memikirkan perasaannya. Mungkin, Arga memang tidak peduli sekalipun Lia betulan gila.
"Kemarin, aku dapet kiriman foto dari anonim." Arga menyambung. "Foto kamu sama seseorang. Tau apa yang lebih menarik? Di foto itu, kamu pelukan sama Azka."
Lia tidak berbalik, namun tetap menjawab.
"It was happened by accidentally."
"Nggak ada yang namanya meluk nggak sengaja."
"Aku salah orang."
"Let's be honest, Li."
"Kamu bisa tanya Azka sendiri. Terserah kamu nggak percaya. Aku nggak peduli sama pandangan kamu ke aku lagi."
"Kalau aku ketemu Azka sekarang, aku cuma berakhir nonjok dia."
"Jangan gila, Arga." Akhirnya, Lia berbalik, menggeram marah. "Itu cuma foto, kamu nggak bisa asal nyimpulin dari satu foto aja."
"Kalau kamu sekarang lagi bercanda, kamu berhasil. Lucu. Kamu tiba-tiba minta putus, nggak jelas alasannya kenapa. Sekarang aku tau. Kamu ada main belakang sama Azka kan? Bela Azka aja terus. Aku nggak pernah percaya salah orang sampai meluk segala kalau bukan karena ada apa-apa. Jadi, Azka? Dia alasan kamu minta putus dari aku?"
Lia terhenyak. Tangannya nyaris melayang menghampiri wajah Arga. Memberi peringatan agar mulutnya tidak asal menyimpulkan semaunya sendiri. Agar lelaki itu lebih baik menginstropeksi dirinya lebih dulu sebelum menuduhnya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Satu foto, dan Arga bisa jadi semarah ini. Mungkin, seharusnya Lia harus betulan main belakang seperti apa yang Azka tuduhkan padanya agar Arga bisa sama hancur sepertinya.
"Aku bilang kamu nggak bisa asal nyimpulin dari sekedar foto, Arga!" Lia mengepalkan tangan guna menahan diri kalau-kalau tangannya kelepasan menampar Arga sungguhan.
"Jelas-jelas di foto itu kamu meluk Azka! Mau nyangkal apa lagi?"
"Bukan kamu yang liat kan? Bukan kamu juga yang foto kan? Kalau kamu nggak tau kejadian sebenarnya, lebih baik diam!"
"Memang. Tapi dari satu foto aku bisaㅡ"
Tamparan yang tadi Lia tahan, akhirnya melayang juga.
"Aku liat pakai mata kepala aku sendiri. Bukan dari orang lain, apalagi foto asal jepretan orang." Tangan yang Lia pakai untuk menampar Arga gemetar. Lia bisa melihat pipi Arga perlahan dirambati kemerahan. Lia tidak tau seberapa keras tamparannya tadi, Lia terbakar emosi dan tanpa berpikir langsung melayangkan tangannya melayang begitu saja. Tapi wajah Arga yang sampai tertoleh ke samping, juga warna pipinya yang berubah merah dalam sekejab cukup menjadi bukti bahwa tamparan Lia tidak main-main. "Kamu mau tau apa kesalahan kamu? You betrayed me, Arga! You are cheated with my own friend!"
Arga terperangah. Rautnya berubah, matanya membola. Arga berusaha menggapai tangannya yang langsung Lia sentak keras.
"Kamu liat aku pelukan sama Azka lewat foto kan? Fine. Tapi aku liat kamu pelukan sama Sarah secara langsung!"
"Lia, aku sama Sarahㅡ" Arga tampak tidak bisa melanjutkan ucapannya. Lia berani bertaruh, dia tidak pernah melihat Arga setakut ini. Namun, Lia tidak peduli. Mau Arga gila maupun kembali ke pelukan selingkihannya pun terserah. Perasaannya untuk Arga terlanjur mati rasa. "Aku nggak akan cari pembenaranㅡ"
"Ya karena kamu emang salah!" Lia menyentak keras. Telunjuknya mendorong pundak Arga hingga lelaki itu terhuyung ke belakang. Arga terlihat tidak berdaya, juga tidak berusaha menahan pergerakannya. "Satu foto. Satu foto, Arga. Karena satu foto yang nggak jelas asal-usulnya darimana, nggak pasti kebenarannya, kamu bisa seenaknya nuduh-nuduh aku. Kamu udah kelewatan. Setahun ini kita ngapain Arga? Selama setahun sama aku, kesimpulan yang kaki dapet cuma aku perempuan murahan yang bisa main belakang sama temen kamu sendiri, iya?"
"Lia, jangan bilang gitu..."
"Kenapa?" Lia justru menantang. "Kamu sendiri kan yang bilang? Kamu sendiri kan yang nuduh aku ada main belakang padahal kamu sendiri yang selingkuh!"
"Aku salah." Suara Arga bergetar, menggeleng lemah dengan pandangan putus asa. Jika saja Lia tidak terlanjut kecewa, Lia bisa dengan mudah memaafkan Arga seperti sebelum-sebelumnya. Tapi kali ini tidak, Lia tidak akan masuk dalam lubang yang sama. "Kamu bener, kesalahan aku fatal. Kamu bisa hukum aja apa aja. Apapun. Tapi, jangan minta putus Lia. Aku janji bakal perbaiki semuanya, kita bisa balik kayak dulu lagi. Tapi, please, jangan minta pisah."
"Kamu tau kamu jadi manusia paling brengsek waktu kamu dengan nggak tau dirinya minta kita buat nggak pisah?"
"Aku tau. But, I swear, I stillㅡ"
"Basi, Ar." Lia tertawa hambar. Kakinya mundur perlahan. "Sampai kapanpun, aku nggak akan sudi balik sama tukang selingkuh. Mau kamu mohon-mohon sekalipun, keputusan aku tetap nggak berubah. Kita selesai."
Lia menutup pintu. Mengacuhkan Arga yang berdiri tak berdaya di depan unit apartemennya seorang diri.
***
@arga
[midnight paradise, anyone?]
Arga melemparkan ponselnya ke sofa kosong di sebelahnya usai mengirim pesan tersebut ke grup chat yang hanya diisi oleh empat orang. Arga menuang Tequilanya yang belum tersentuh ke gelas, lalu menandaskannya dalam sekali tegukan. Rasa pahit dan panas kontan memenuhi kerongkongan. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan perasaannya saat ini. Arga... benar-benar berantakan.
Setelah Lia secara tidak langsung mengusirnya, Arga seakan kehilangan tujuan. Midnight paradise jadi satu-satunya tempat yang terpikirkan.
Arga tidak paham bagaimana Lia bisa bersikap setenang itu setelah mengetahui sikap busuknya selama ini. Lia masih bisa tersenyum menyambut kedatangannya, berbicara tanpa emosi, juga meminta putus dengan nada tenang bak riak air di sungai.
Kalau bukan karena Arga sendiri yang kelewat batas menuduhnya, Lia tidak mungkin semarah itu. Bahkan menurutnya, Lia terlalu baik jika hanya menghadiahinya hanya dengan satu tamparan di wajah. Jika saja mengorbankan tubuhnya semata-mata untuk Lia habisi, Arga rela. Sebab setelah melihat sorot matanya yang hancur lebur, Arga sadar dia sudah menyakiti Lia terlampau jauh.
Ting!
Ringtone notifikasi membuat Arga kembali mengecek ponselnya.
@arwin
[gue nggak bisa]
Arga tertawa getir. "Nggak bisa atau nggak mau, Win?"
@mahen
[mabuy aja nih orang kayak nggak tau hari aja]
[besok ada kelas pagi gila]
[gue libur bikin maksiat dulu]
Arga kembali menutup ponselnya.
Pandangannya jatuh pada keadaan di depannya. Dimana orang-orang bisa bersenang-senang seolah tidak ada beban yang harus ditanggung di kedua pundaknya, bisa dengan mudah melupakan seluruh masalah barang hanya sejenak.
Andaikan Arga bisa semudah itu melupakan. Andaikan dia tidak butuh alkohol untuk kabur sebentar dari realita. Andaikan Arga bisa bersikap lebih brengsek lagi dengan mengacuhkan Lia dan menerima keputusan untuk berpisah. Andaikan dia bisa sepenuhnya menjadi brengsek dengan kembali melanjutkan hubungan dengan Sarah. Sayangnya, Arga tidak bisa memungkiri fakta bahwa meskipun Arga tidak bisa lebih egois dari ini, perasaannya pada Lia masih sedalam itu. Masih senyata itu.
Perasannya porak poranda. Bingung dengan langkah apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Sebagai gantinya, Arga kembali meneguk minumnya rakus. Gelas demi gelas. Botol demi botol. Dia sudah hanyut dalam alkohol ketika ponselnya meraung terus-terusan, menampilkan nama Azka yang sama sekali tidak berniat Arga angkat.
Arga diujung kesadarannya ketika sayup-sayup dia mendengar suara Azka.
"Arga? Bisa denger gue?"
Tepukan di pundaknya mengencang. Arga mengangguk sambil tertawa sarkastik. "Gue pikir nggak ada lagi yang peduli sama gue."
Azka menghela napas. Bukannya mengangkat Arga keluar, dia malah menjatuhkan diri di sebelah Arga. Ikut menenggak minuman.
"Udah sadar kalau lo brengsek?" Azka bertanya, nadanya tetap tenang.
"Gue bahkan lebih brengsek karena bisa-bisanya ngajak dia balikan." Arga berucap begitu saja. Azka paham temannya itu sudah sepenuhnya dalam pengaruh alkohol. Botol-botol yang isinya sudah tandas di atas meja cukup untuk menjadi bukti. "Gue salah, Az. Gue salah. Tapi gue masih sesayang itu sama Lia. Gue nggak tau lagi harus apa kalau kita beneran pisah."
"Balik sama selingkuhan lo lah. Itu kan gunanya lo selingkuh?" Azka menjawab enteng.
"Lo bisa maki gue sepuasnya. Gue akui gue emang tolol." Arga menjambak rambutnya kasar. Perlahan, isaknya pecah. "Gue nggak mau pisah, Az. Gue beneran sayang sama Lia..."
Azka tau temannya itu tidak berbohong ketika mengatakan hal tersebut. Seperti kata yang dikatakannya pada Lia kemarin, drunken minds sober thoughts. Azka membiarkannya menangis sepuasnya, menyesali perbuatan tolol yang Arga perbuat. Sementara Azka menyesap kembali minumannya, pandangannya terpaku pada Arga yang masih terisak. Arga berucap lirih di tengah hiruk-pikuk suara musik yang memekakkan teling. Meskipun pelan, Azka tau Arga masih bisa mendengar.
"Kalau lo beneran sayang sama Lia, lo nggak akan nyelingkuhin dia, Ar."
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
"Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala
"Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya." "Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?" "Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?" "Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan. "Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo de
'PLOROTIN PLOROTIN!' 'JANGAN DONG! CEMPLUNGIN AJA WIN CEMPLUNGIN!' 'NANGGUNG LAH ANJIR! MENDING PLOROTIN HABIS ITU CEMPLUNGIN!' 'ARWIN BANGSATTT!' "AHAHAHAHAHAH GOBLOK!" Lia tersentak kaget, refleks menjauhkan badannya dari Nadila yang tertawa keras. Kupingnya sampai pengang. Untung saja kelas masih sepi, jadi pekikan nyaring Nadila barusan tidak mengundang perhatian banyak orang. Tapi tetap saja, Lia yang harus menanggung malu. Berkali-kali meringis sambil mengucapkan maaf pada tiap orang yang menoleh dengan pandangan terganggu. Nadila tidak sadar. Perempuan itu justru malah asyik melihat ponselnya sambil terus cekikan.Jengkel, Lia mengambil satu helai kertas dari bindernya, ia remat jadi gumpalan, lalu dijejalkannya ke mulut Nadila yang mangap lebar serupa gawang bola. "AnjㅡHOEK!" Nadila langsung memuntahkan gumpalan kertas tersebut dengan raut ji
Perasaan yang Lia rasakan pertama kali usai Azka berucap adalah, tentu saja tertegun.Lia sempat panik, tapi dia berusaha memberi sugesti pada diri sendiri untuk tetap berpikir tenang. Pandangannya beralih pada kamera milik Azka yang tergeletak di lantai. Salah satu temannya juga menggilai dunia photograpy, punya banyak kamera dengan ukuran besar, dan Lia pernah iseng bertanya mengenai harga. Temannya menjawab ada dikisaran harga 5 juta lebih, namun tidak sampai menyentuh angka 10 juta.Kamera Azka tergolong kecil, bentuknya persegi panjang dan hanya seukuran telapak tangannya. Mungkin lebih besar sedikit. Lia tidak tau harga pasaran kamera, namun jika kamera temannya yang berukuran besar saja direntang harga sekian, apalagi kamera kecil layaknya punya Azka?Lia tau dia tidak boleh meremehkan kamera hanya dari bentuknya. Dia hanya berusaha tetap waras sekalipun keadaan memaksanya untuk tid
Lia berjalan dengan gerakan lunglai kala tiba-tiba, seseorang sengaja menyenggol bahunya membuat Lia mengerjap. Tersadar dari lamunan dan waktu dia menoleh, Arwin sudah ada di sebelahnya dengan senyum miring terpampang jelas di wajah."Apaan sih lo," ujar Lia tak bersemangat."Lo ada buat masalah apa lagi?"Lia sontak menghentikan langkah, matanya membulat sepenuhnya bikin Arwin tertawa kencang. Tangannya melayang memukul lengan Arwin, memberi kode agar lelaki itu mengecilkan volume suaranya sebab orang-orang mulai menoleh dengan pandangan terganggu pada mereka berdua."Kok lo tau sih?" tanya Lia sengit.Arwin masih tertawa. "Pacar lo bocor."Lia memukul mulut Arwin dengan tangannya, tersenyum sarkastik. "Mantan.""Iya lupa. Galak amat bu." Arwin memutar bola matanya malas. "Kok lo tolol sih bisa-bisanya gelut sama
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k
Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag
Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has