Lia memilih perpustakaan sebagai tempat untuk menunggu kelas berikutnya yang mulai dua jam lagi. Biasanya Lia akan memilih untuk pulang ke apartemen, namun karena malas dia tidak melakukan hal tersebut. Sembari menunggu, Lia menyempatkan untuk mengerjakan laporan selagi ada di perpustakaan.
Sebuah earphone menyumbat kedua telinganya, memperdengarkan lagu yang menemani aktifitas Lia mengerjakan. Memang Lia terbiasa mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik. Biar tidak cepat bosan saja. Untuk beberapa lama, Lia tenggelam dalam dunianya sendiri. Entah sudah berapa lama dia duduk seraya menekuni laptop di depannya. Musik bernada tenang berjudul Baby Powder masih mengalun lembut kala mendadak, suara Jeneive tergantikan oleh suara dering telepon.
Sejenak, Lia menghentikan semua aktivitasnya untuk mengangkat telepon yang ternyata berasal dari Nadila.
"Halo, kenapa Nad?"
"Lo ngilang kemana aja? Bentar lagi kelas ini."
"Hah sumpah?" Lia kontan melihat jam tangan, lalu mendesah lega ketika masih ada 15 menit waktu tersisa sebelum kelas dimulai. Itu berarti Lia sudah satu jam lebih mengerjakan laporan. "Sori, gue lagi di perpustakaan sambil ngerjain laporan. Lo dimana?"
Mengapit ponselnya dengan sebelah pundak dan pipi, Lia segera membereskan barang-barangnya.
"Kebetulan gue bentar lagi jalan ngelewatin perpus. Gue tunggu di depan ya."
"Oke."
Usai panggilan dari Nadila berakhir, Lia bergegas keluar sesudah memastikan semua barang-barangnya dia masukkan dalam tas dan tidak ada yang tertinggal. Lia mematri langkah keluar, memilih duduk di kursi yang tersedia di depan perpustakaan seraya menunggu Nadila. Tidak perlu menunggu lama, perempuan yang dia tunggu kedatangannya datang juga.
Lia lantas berdiri, lalu menghampiri Nadila.
"Kita mampir ke jembatan Tekum dulu ya, gue mau ketemu sama Arin dulu soalnya." Nadila berujar sembari berjalan. Menyebutkan sebuah jembatan penghubung Teknik dan Hukum yang biasa disingkat Tekum. "Mumpung di sana ada Arga juga."
Bola mata Lia sontak melebar. "Beneran?"
"Beneran lah." Nadila memutar bola mata. "Makanya gue ajak. Seneng kan lo?"
Lia tertawa jenaka.
Mereka lanjut berjalan dan ketika sampai, Lia dapat melihat empat orang berdiri menjulang di pinggir jembatan. Dua orang di antara mereka yang mana Arga dan Arwin, jelas Lia kenal. Tapi sisanya lagi, Lia tidak tau.
Ketika jarak kian dekat, Nadila berteriak untuk memanggil mereka berempat. Layaknya dimode otomatis, ke empat orang tersebut memutar kepala secara bersamaan. Arwin dan Nadila sendiri sudah heboh duluan, langsung berlari menuju satu sama lain seperti tidak tau malu. Mengingatkan Lia dengan adegan yang sering ada di film-film India. Sementara Lia berjalan mendekat ke arah Arga. Lelaki itu sempat terkejut sebentar, sebelum tidak lama kemudian tersenyum manis.
"Hai." Arga menyapa terlebih dahulu. "Tumben kesini."
"Nadila yang ajak sekalian ketemuan sama Arwin." Lia mengedikkan dagunya ke arah Nadila yang sudah sibuk sendiri dengan Arwin. Lia saja di lupakan. Dasar bulol teriak bulol. "Kamu nggak ada kelas?"
"Ada. Tinggal satu lagi."
"Ih, sama." Lia berubah antusias. "Pulang nanti keluar yuk?"
"Eh, maaf. Kayaknya aku nggak bisa deh." Raut wajah Arga berubah, sorot bersalah terpancar jelas di netranya. "Pulang nanti aku langsung pergi lagi, ada urusan di luar. Sekali lagi, maaf. Aku janji deh kalau ada waktu senggang kita jalan, oke?"
Lia menarik senyum tipis. "Iya. Emang kamu ada urusan apa?"
"Mending aku jelasin di chat aja. Males aku ada nih tiga bocah." Arga menunjuk tiga temannya yang lain dengan daguㅡtermasuk Arwinㅡyang langsung mengundang berbagai jenis protesan. Arga mendelik tajam, memberi kode untuk diam lalu berbalik kembali. "Oh iya, ini temen-temen aku. Kamu pasti belum tau kan? Sini, aku kenalin."
Lia mengangguk mengiyakan, beralih menatap kedua teman Arga yang dua di antaranya belum Lia kenal sama sekali. Ralat, kini berubah menjadi satu karena setelah Lia amati satu persath, ternyata Lia sudah mengenal salah satunya. Tanpa sadar, Lia menahan napas. Tatapannya terarah lurus pada lelaki berkemeja putih yang juga balik menatapnya lekat. Tau alasan dibalik tubuhnya yang sejenak membeku, lelaki tersebut sempat mengangkat sebelah alis seakan sebagai tanda sapaan.
Damn it.
Lia tau teman Arga banyak, relasi dimana-mana, namun tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa Arga akan memperkenalkannya dengan temannya yang sudah pernah Lia peluk secara tidak sengaja sebelumnya secepat ini.
Fakta bahwa Arga masih bersikap biasa saja memperkenalkannya pada teman-temannya adalah pertanda bahwa dia, that damn guy, kemungkinan besar tidak pernah menceritakan apa yang terjadi pada mereka berdua di parkiran Teknik beberapa hari yang lalu. Sontak Lia bernapas lega. Meski demikian, disaat bersamaan dia mengerang samar kala harus bersalaman seraya memasang senyum penuh pura-pura.
"Lia, kenalin ini temen aku. Ini Azkaㅡ" Juluran tangan Arga berpindah ke satu orang lainnya. "Ini Mahen."
Diam-diam Lia ber-oh ria waktu mengetahui nama lelaki itu. Menyimpan dalam ruang kecil di otaknya untuk sebisa mungkin, menghindar dan meminimalisir kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja mempertemukan mereka berdua lagi. Demi apapun, Lia masih kesal sekaligus malu.
"Hai, gue Lia."
Lia tersenyum tipis sembari menjabat tangan mereka masing-masing. Dalam hati dia bersyukur lelaki itu tidak memotong lagi dengan kalimat 'udah tau'. Lia bisa mendidih kapan saja jika mengingat kejadian tersebut.
"Lia, balik yuk."
Lia menoleh cepat. "Yuk!"
Nadila sampai menatapnya heran. Baru kali ini ajakan sepele Nadila membuatnya bahagia. Sekaligus menyelamatkan Lia dari situasi canggung yang ada.
"Set dah, buru-buru amat." Mahen ikut berkomentar.
"Iya, bentar lagi ada kelas." Lia tersenyum paksa.
"Ooh..."
"Woy, gue balik dulu ya." Lia berpamitan tidak santai, khusus pada Arwin sambil menendang pelan kaki pemuda tersebut membuat Nadila kontan melotot tak Terima. Lia tertawa singkat sebelum beralih pada yang lain. "Arga, aku pergi dulu ya. Azka, Mahen, gue duluan."
Azka hanya mengangguk singkat, sedangkan Mahen tersenyum. "Yoi. Hati-hati."
"See you tomorrow, Babe."
"See you, Ar."
Setelah memberi anggukan kecil, Lia menyeret Nadila untuk pergi sesegera mungkin dari sana.
***
"Kayaknya cewek lo takut sama kita deh, Ar." Mahen membuka suara setelah memastikan Lia dan Nadila sudah pergi. Hilang ditelan belokan."Takut sama lo kali." Azka di samping Mahen menyahut santai. "Lo sok akrab sih. Mana wajah lo nyeremin gitu."
"Ini nih, yang kayak gini halal untuk di jadiin tumbal proyek." Mahen merangkul leher Azka kuat, membuat temannya itu mengaduh minta di lepaskan. Mahen terkekeh, beralih pada Arga yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. "Iya nggak sih, Ar?"
Arga kontan tergagap. "Hah, apa?"
"Lo daritadi dengerin nggak sih?" Mahen berdecak.
"Dengerin kok dengerin." Arga menjawab. "Takut gimana sih? Perasaan tadi Lia biasa aja."
"Iya. Aneh gimana sih? Orang santai-santai aja anaknya." Arwin ikut menimpali. "Lia dari dulu ya gitu-gitu aja."
"Lo ngomong gitu seakan udah sering ketemu Lia aja, nyet." Mahen mendengus.
"Lah, emang iya." Arwin menjawab tidak mau kalah. "Gue tiap ketemuan sama Nadila pasti di sana juga ada Lia. Sampai bosen gue liat wajah Lia. Tuh orang berdua kan udah sepaket kayak sempak sama beha. Tidak terpisahkan. Kemana-mana selalu berdua."
"Mulut lo nggak bisa lebih frontal lagi ya?" tanya Azka sarkastik.
"Dikira kalau ada sempak pasti ada beha apa?" balas Mahen.
"Emang bener kali."
"Gue tanya sekarang." Mahen berkata dengan nada sewot. Menggulung kemeja lengan panjangnya sampai ke siku dengan gerakan dramatis. "Lo sekarang pakai sempak nggak?"
"Pakai lah!" Arwin nge-gas.
"Pakai beha juga?"
"Ya iya lah!" Arwin menjawab masih sama nge-gas-nya sebelum kemudian tersadar dengan kata-katanya barusan. Sontak lelaki itu memukul bibirnya berkali-kali. "Astaghfirullah! Enggak Ya Allah. Astghfirullah, astaghfirullah."
"Nyebut Win, nyebut." Mahen geleng-geleng kepala seraya menepuk bahu Arwin beberapa kali. "Lo nggak berniat pindah gender kan?"
"Lo, ah! Dibilang salah ngomong juga."
"Makanya kalau ngomong tuh dipikir dulu. Jangan asal nyerocos kayak manusia nggak disekolahin aja." Azka memberi ultimatum. Di antara mereka ber-empat, Azka adalah orang yang tidak terlalu banyak berbicara namun tidak bisa dibilang pendiam juga. Hanya saja, Azka bisa dengan mudah membuat lawannya tak berkutik hanya dengan kata-kata.
Arga yang melihat Arwin dan Mahen malah sibuk baku hantam sendiri pun dengan cepat melerai. Bahkan beberapa orang menoleh ke arah mereka ikut menonton disertai wajah penasaran. Arga yang malu pun menoyor satu-persatu dahi mereka berdua dengan telunjuk. Membuat Mahen dan Arwin terhuyung ke belakang. Sebuah cara efektif untuk membuat keduanya berhenti seketika.
"Udah woy, udah! Lo kenapa malah jadi gelut sendiri sih. Omongan jadi bercabang ke mana-mana lagi. Tadi perasaan bahas pacar gue deh, kenapa nyambungnya jadi ke sempak-beha sih, dongo?"
"Ya dia, anjir! Gue udah serius ngomong tentang Lia, eh, nih anak setan malah nyambung ke sempak-beha. Kan goblok."
"Ya elu ngapa nyaut aja?!"
"Lo kenapa sih daritadi sensi mulu ke gue? Mau ribut?"
"Ya ayo aja gue mah. Masalahnya lo berani nggak?"
"Wah, nantangin." Mahen justru meladeni. "MAJU LO CUPU!"
"YA AYO SINI!"
Melihat Arwin dan Mahen yang mendekat bersiap untuk tarung kembali bikin Arga menghembuskan napas berat. Sementara Azka diam-diam menepi, bersikap seolah-olah tidak mengenali dua orang tersebut. Arga memberi kode pada Azka yang hanya di balas dengan ketikan bahu. Arga memberi raut tidak setuju. Dia bukan Azka yang bisa bersikap tidak peduli ketika di depan matanya, temannya sedang berkelahi. Jelas bukan perkelahian yang sebenarnya, tentu saja. Mereka berdua hanya saling menyikut dengan mengunci leher satu sama lain. Tapi tetap saja, Arga yang melihatnya jadi risih sendiri.
Akhirnya setelah menarik napas panjang Arga berteriak pada keduanya dengan mengumpulkan sepenuh emosi.
"LO BERDUA DIEM ATAU GUE BERETIN MOTOR LO SATU-SATU?!"
***Di sebuah kamar dengan empat orang di dalamnya, gaduh memenuhi ruangan. Teriakan dan umpatan tidak sungkan di keluarkan. Tas diletakkan asal-asalan, berbagai macam snack dan minuman tersebar berantakan. Di depan televisi, dua orang tengah sibuk dengan jari yang bergerak lincah pada stik PS dan mata yang terpatri lekat menatap layar 42 inci di hadapan mereka. Sedangkan dua sisanya berbaring di kasur. Azka dan Arwin lebih memilih bermain ponsel dengan suara ricuh Arga dan Mahen sebagai ganti iringan musik.Mata Arga terpaku lurus pada televisi di depan, kakinya tertekuk dengan badan menegak. Menggerakkan konsol untuk memberi mengoper bola pada pemain lain. Di sebelah, Mahen menyandarkan badan pada kasur dan kaki yang di selonjorkan.
"Woi, Ar, lo kalau main jangan suka rebut semaunya dong. Yang adil."
Mahen menggerutu sebal kala bola yang tadinya berada dalam kendalinya tiba-tiba direbut oleh lawan.
"Permainan gue masih dianggap adil selagi gue nggak main curang. Lagian rebut bola dari lawan itu emang udah seharusnya. Lo aja yang gampang kecolongan." Arga menjawab tenang.
Mahen mendesis kesal. Berusaha lebih fokus pada permainan, Mahen berusaha lebih keras pula. Namun ketika sedang seru-serunya, fokus Mahen terpecah saat ponsel Arga berdering berkali-kali tanpa berusaha lelaki itu angkat. Berdecak, Mahen memilih untuk menjeda permainan.
"Ponsel lo bunyi terus daritadi. Angkat dulu sana, ganggu aja." Mahen berucap sinis, agak kesal.
Menuruti perkataan Mahen, Arga mengambil ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berada. Kala tau siapa yang memborbardirnya dengan telepon sedari tadi, Arga kontan mendesah berat.
"Gue keluar bentar."
Mahen melirik singkat. "Yo."
Dalam hitungan detik, Arga sudah keluar kamar milik Arwin ini.
Cukup lama menunggu dan belum ada tanda-tanda Arga akan kembali juga, Mahen berangsur naik ke kasur menyusul Arwin dan Azka dengan wajah cemberut. Hal yang kontan mengundang perhatian dari keduanya. Azka melirik sekilas. "Napa lu? Udah selesai mainnya?"
"Belum. Pending dulu gara-gara Arga lagi telfonan."
"Siapa yang nelfon?"
"Mana gue tau. Orang dia keluar."
"Lia kali." Arwin menambahkan.
Mahen mendikkan bahu. "Bisa jadi."
"Tapi kalau Lia doang kenapa pakai keluar segala?" tanya Arwin mengundang kernyitan bingung dari teman-temannya, seolah dia menanyakan hal yang tidak wajar. "Maksud gue, kalau Lia yang telfon kenapa harus diem-diem gitu? Biasanya kan juga nggak pernah tuh Arga begitu. Sok misterius."
"Lo berdua harus tau sih. Gue kan sempat ngelirik dikit tuh, waktu Arga mau angkat telfonnya. Beh, wajahnya keruh bray. Kayak orang stres."
"Stres tugas, iya."
Mahen berdecak. "Itu mah stresnya kita semua, bukan Arga aja. Yang gue maksud tuh ekrpresinya waktu liat siapa yang telfon. Langsung berubah gitu."
"Hm..." Arwin bergumam panjang, seolah tengah membuat alalisis di otaknya. "Arga emang kelihatan kayak ada masalah sih akhir-akhir ini. Apa mungkin dia dililit utang ya. Terus yang telfon dia tadi tuh rentenir, makanya dia jawabnya diem-diem karena malu. Wow, interesting."
"Si anjir." Mahen spontan memukul Arwin dengan guling. "Spekulasi lo nggak ada yang masuk akal dikit apa?"
"Itu masuk akalㅡ"
"Udah-udah. Kenapa malah jadi ngomongin Arga sih? Biarin aja lah. Nggak semua hal harus dia ceritain ke kita kan? Arga juga berhak punya privasi." Azka memotong tenang. Yang bisa dengan mudah membuat kedua temannya itu bungkam seketika. "Nggak baik ngomongin orang apalagi teman sendiri. Tuh, orangnya udah balik."
Azka menunjuk pintu dengan dagunya. Membuat Mahen segera kembali ke tempatnya sambil berdeham pelan. Situasi tadi benar-benar membuat baik Mahen maupun Arwin merasa sedikit salah tingkah.
"Kenapa pada diem semua?"
Kan, bukan hanya Mahen yang merasa situasi berubah. Tensi ruangan sedikit menegang. Bahkan Arga bisa merasakan.
"Ya kan dari tadi emang gini?" Melihat Mahen dan Arwin tidak berniat menjawab, Azka jadi yang pertama bersuara. "Dah, sana lanjut mainnya. Mahen udah nungguin dari tadi tuh."
Menghela napas, Arga duduk dan melanjutkan permainan. Tapi lagi-lagi, getar dari ponselnya membuatnya tidak fokus bermain. Tanda adanya pesan beruntut yang dikirimkan hingga membuat ponselnya tidak kunjung berhenti bergetar. Tanpa peduli dengan jalannya permainan lagi, Arga meletakkan stik PS untuk memeriksa pesan. Kepalanya pening mendadak kala melihat pesan-pesan yang beruntung masuk.
Arga meraih jaket dan kunci mobilnya terburu-buru. "Gue cabut dulu."
"Ah, padahal gue mau menang nih!" Mahen tak bisa menyembunyikan ekspresi kesalnya lagi. Dia membanting stik PS-4 milik Arwin, yang membuat pemiliknya berteriak histeris. "Mendadak banget sih? Ada urusan?"
"Hm."
"Apaan?"
Arga terdiam sebentar. "Lia."
"Hah! Pacar mulu. Sana lo jadi bulol sekalian."
Tidak memerdulikan kritikan Mahen, Arga beranjak. Menoleh pada Arwin dan Azka. "Gue duluan."
"Hati-hati." Azka mengangguk.
"Win, sini lo gantiin Arga." Mahen berucap langsung setelah Arga keluar dari ruangan. Mengetahui Arwin tidak merespon apapun, Mahen menoleh dengan ekspresi memohon. "Ayo lah, Win. Sekali doang please."
"Enteng bener ya lo nyuruh-nyuruh habis banting PS gue."
Mahen terkekeh. "Berkat karpet bulu lo yang super mahal, dijamin nggak bakal rusak. Gue bantingnya kan pelan, nggak langsung di lantai tapi di karpet yang harganya berjuta-juta."
"Lebay, anjing."
Karena tidak tega melihat wajah melas Mahen yang sudah mirip pengamen di perempatan lampu merah, Arwin ujung-ujungnya beranjak turun dari kasur. Bergabung dengan Mahen untuk menggantikan permainan yang sempat terhenti barusan.
"Nah gitu dong. Itu baru kawanku."
"Bacot."
Mereka bermain dengan serius, dan Arwin hampir kalah saat lawan dengan lincah mengambil bola dari kuasanya sebelum tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring. Bikin Arwin menjeda permainan secara sepihak kala mengetahui yang melepon adalah pacarnya. Arwin tersenyum miring, menaik-naikkan alisnya seraya menunjukkan layar ponselnya pada Mahen. Jika wajah Mahen diibaratkan origami, maka wajah Mahen tertekuk menjadi empat sekarang.
"Pacar gue vidcall." Arwin berucap semangat.
"Padahal Ronaldo gue mau nge-gol, sialannnn!" Mahen beriak frustasi. "Nggak lo nggak Arga sama aja!"
"Mau gue gantiin?" Azka menawarkan bantuan.
"Nggak butuh. Pasti ujung-ujungnya ada aja halangannya. Emang sial mulu hidup gue."
Arwing terbahak keras. "Yang sabar, brader."
"DIEM LU DIEM!"
Azka dan Arwin meledak bersamaan dalam tawa.
***
Setelah keluar dan duduk di sofa ruang keluarga, Arwin segera mengangkat panggilan. Wajah Nadila kontan memenuhi layar. Arwin mengernyit ketika tau pacarnya itu sedang berada di luar, kemungkinan besar keluar dari bioskop. Masalahnya, Nadila sama belum cerita apa-apa padanya. Bukannya Arwin terlalu protektif, namun dia wajar heran sebab Nadila termasuk tipe pacar yang selalu memberitahu hampir semua aktifitasnya. Mulai dari hal tidak penting sekalipun."Halooo!" Nadila menyapa semangat.
"Hai!" Arwin menjawab dengan senyum merekah lebar. "Kamu lagi dimana? Di mall ya?"
"Hehe, iya." Nadila terkekeh. "Ini habis nonton."
"Terus kenapa malah vidcall aku? Nggak keluar dulu?"
"Ini kan udah keluar. Karena bosen, aku telfon kamu aja. Aku lagi nunggu Lia ke kamar mandi ini. Lama banget, sumpah."
Arwin mempertajam pendengaran, memastikan dia tidak salah dengar. "Lia?"
"Iya. Ini mendadak banget sih, makanya aku nggak sempet kasih tau kamu. Niatnya kan Lia pengen nonton sama Arga, tapi katanya Arga lagi ada urusan. Karena ini hari terakhir filmya tayang, jadiㅡ"
Mulai detik Nadila menyebut nama Arga, pikiran Arwin tidak bisa lagi tenang. Pikirannya bercabang kemana-mana. Memikirkan jawaban mengapa Arga membohongi mereka. Lia jelas bersama Nadila sekarang. Lalu, jika bukan Lia, siapa orang yang Arga temui?
"Arwin? Arwin! Kamu dengerin aku nggak sih?"
Arwin tersadar. Dia tersenyum. "Eh, iya-iya sori. Lanjutin bicaranya, I'm all ears."
Bohong.
Nyatanya, bukannya mendengarkan Nadila, Arwin malah memikirkan Arga. Tanpa bisa dicegah, ucapan Mahen tadi kembali berputar. Satu kemungkinan dengan cepat hinggap di benaknya. Namun secepat itu pula Arwin tepis jauh-jauh. Terlalu cepat menyimpulkan dengan minimnya bukti bisa menimbulkan kesalah pahaman. Namun, tidak, Arwin punya cukup banyak alasan untuk mendukung dugaannya. Di punya banyak hal tentang Arㅡah, lebih baik Arwin tidak perlu memikirkannya sekarang.
Maka dari itu, setelah dia dan Nadila selesai berteleponan, dengan cepat Arwin mencari satu kontak.
@arwin
[lo besok ada waktu senggang nggak? kalau nggak, gue mau bicara berdua]
[penting]
Setelah selesai dari kamar mandiㅡyang sumpah, antrinya sampai mengular hingga depan pintuㅡLia segera keluar untuk menyusul Nadila yang sedari tadi menunggunya.Mungkin, ada 10 menit dia mengantri. Bisa dipastikan, Nadila akan mengomel setelah ini. Nadila berkata bahwa akan menunggu di sofa di samping teater 3 tempat mereka menonton tadi. Jadi saat melihat perempuan itu duduk sembari bermain ponsel, Lia berangsur mendekat. Tanpa berniat duduk terlebih dahulu, dia menyenggol kaki Nadila pelan karena sepertinya Nadila tengah serius dengan ponselnya sampai tidak menyadari keberadaan Lia."Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan."Dan untuk yang kedua kalinya, Lagi-lagi Lia salah orang. Kalau orang yang dia pikir Nadila mendongakkan kepala dengan raut wajah wajah sebal. Bola mata Lia membesar seketika, berkali-kali dia membungkuk sebagai permintaan maaf."Maaf, maaf. Saya salah orang."Perempuan tersebut akhirnya m
Sesuai kesepakatan, Lia dan Arwin bertemu di cafe depan kampus mereka. Sejujurnya, Lia sedikit heran. Sepanjang dia mengenal Arwin, dia dan Arwin tidak pernah berbicara serius seperti ini. Bahkan, Lia dan Arwin tidak pernah bertemu hanya berdua saja. Mereka memang sering bertemu, tapi yang Lia maksud disini adalah berkumpul bersama Arga, bersama Nadila. Bukan privat seperti ini. Hal tersebut semakin membuat Lia yakin, bahwa apa yang Arwin katakan nanti merupakan hal yang serius. She has no clue. Sungguh. Lia tidak bisa menebak, hal apa yang akan Arwin bicarakan. Dia maupun Arwin tidak punya banyak hal yang perlu diceritakan satu sama lain, jadi Lia hanya berharap, apapun yang Arwin katakan nanti, bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu memasuki cafe, netra Lia langsung bisa menangkap keberadaan Arwin yang tak jauh darinya. Lelaki dengan jaket jeans hitam dan kaos putih sebagai dalaman itu terlihat lebih santai, berbeda dengan Lia yang berdebar
"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!""Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!""Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi.""Elo ya kebisaan!""Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh."Itu mah enak di elo." Lia berdecak."Nanti gue beliin teh anget deh.""Bener ya?""Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak."Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali
Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar."Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
"Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala
Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k
Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag
Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has