“AAAA SENENG BANGET GUE ASLI!"
Nadila segera melayangkan bantal ke arah temannya yang tengah memasuki fase gila karena cinta. “Berisik anjing!”
“Nad, Nad lo harus liat nih!” Tidak mengacuhkan kata-kata Nadila, Lia tetap lanjut heboh sendiri tak henti-henti. Di tangannya memarkan sebuah foto hasil photobox denganㅡsiapa lagi kalau bukanㅡArga. “Liat, lucu banget kannnn?! Setelah setahun pacaran, ini first time loh Arga mau di ajak photobox pakai aksesoris aneh gini. Gila, pencapaian banget gue bisa bujuk orang yang nggak suka foto kayak Arga jadi mau di foto.”
“Mana sih? Coba liat.” Nadila bertanya penasaran. Lia dengan semangat menyerahkan foto tersebut. Sejenak, Nadila diam mengamati. Keningnya berkerut heran sebelum akhirnya terbahak keras. “Sumpah lo kayak anak SMP baru pacaran. Kalau gue jadi Arga juga ogah kali disuruh pakai properti aneh gitu.”
“Sengaja, buat kenang-kenangan.”
Lia ikut tertawa. Apalagi membayangkan raut protes yang Arga layangkan keras saat Lia menarik paksa lelaki tersebut untuk masuk ke dalam studio foto. Jika bukan Arga yang mengalah karena malu di perhatikan orang-orang yang melihat mereka berdua tarik-tarikan, niscaya rencana photobox yang Lia rencanakan dari awal tidak akan berhasil.
Arga memang tidak suka di foto. Namun jika hanya sekedar foto berdua, lelaki itu masih mauㅡyang penting bukan foto sendiri. Itu juga Lia yang selalu inisiatif mengajak duluan. Arga mana pernah mengajak berfoto kalau bukan Lia yang menyuruh.
“Ada ya orang nggak suka foto kayak Arga?”
Gumaman Nadila barusan mewakili pertanyaan Lia selama ini.
Lia menumpukkan dagu di tangan, mengangguk sembari menatap fotonya dengan Arga lekat-lekat. “Ada. Arga contohnya.”
Nadila sontak berhenti mengetik. “Lo pernah tanya nggak kenapa dia nggak suka foto?”
“I did. Katanya, ya nggak suka aja.”
“Padahal Arga tuh boyfriend material banget. Sayang wajahnya di sia-siain gitu aja. Lumayan kan kalo sering post foto, followersnya naik terus jadi selebgram. Terus bisa buka endorse deh!”
Lia berdecak. “Ngaco.”
Nadila hanya tertawa seakan tak berdosa.
Merebahkan tubuhnya ke kasur, Lia menghela napas panjang. Matanya menerawang ke dinding atas kamar Nadila yang di penuhi berbagai stiker planet dan bintang yang bisa menyala dalam keadaan gelap. Kepalanya tertoleh ke samping, tempat Nadila menyandar di headbord kasur dengan laptop di pangkuan.
Dikarenakan besok hari Minggu, Lia memilih menginap di rumah Nadila. Sebab rumah Nadila ramai orang, berbeda dengan Lia yang tinggal di apartemen seorang diri. Karena Lia akui disaat-saat tertentu, ada kalanya dia merasa kesepian.
Lia berniat memutar musik ketika di saat yang bersamaan chat dari Arga masuk. Lia tidak bisa tidak tersenyum kala membalas.
@arga
[krim dong]
@adhisnatalia
[kirim apa?]
@arga
[kirim duit]
Lia tergelak. Keinginannya untuk mengerjai Arga tiba-tiba muncul.
@adhisnatalia
[oh, kirain]
[iya bentar lagi aku transfer sebut aja nominalnya berapa]
Pesannya sudah terbaca, namun tidak kunjung mendapat balasan. Lia mengernyit heran, hampir menutup aplikasi chatting tersebut jika di detik selanjutnya, panggilan dari Arga tidak datang. Senyumnya terulas tipis, tanpa berpikir dua kali langsung menjawab.
“KIRIM FOTO YANG TADI PHOTOBOX LIA ASTAGA!” tanpa pembukaan, suara Arga menyambar cepat. Terdengar kesal. “Aku sampe ngelus dada loh.”
“Bilang yang jelas dong. Nge-chat setengah-setengah!” Lia yang tadi ikut kager, serta nyaris terjengkang, ikut sewot. Meski tak ayal sudut bibirnya tertarik lebar membentuk senyuman. Lia jadi terdorong untuk menggoda Arga. “Gengsi yaaa tadi sok-sok an gak mau foto ujung-ujungnya minta juga.”
“Aku gak jadi minta aja deh ya.”
Lia tau betul, di seberang sana Arga pasti memasang senyum sarkastik.
“Ngambekan najis.” Lia mendengus. Tanpa mengakhiri telepon. Di bukanya lagi room chat dengan Arga untuk kemudian dia kirim foto hasil photobox tadi seperti yang Arga minta. “Tuh udah kan?”
Arga tidak langsung menjawab. Lia paham Arga tengah melihat hasil foto yang dia kirim barusan.
“Beneran itu fotonya?” suara protes Arga terdengar. “DIH KOK WAJAHKU JADI ANEH GITU SIH?”
“Aneh gimana sih?"
“Ada barang-barang nggak jelas gitu.”
“Ya kan emang ada propertinya, Bapak Arga yang terhormat. Aneh darimananya? Lucu tau.”
“TETEP AJA!” Arga bersungut sebal. “Gak mau lagi pokoknya, kapok!"
“Idih, aneh banget. Selera kamu gimana sih, lucu gitu padahal.”
“Iya, lucu di kamu jelek di aku.”
“Oh, ya jelas!” tawanya meledak, setengah mengejek Arga Memang, waktu tadi phptobox, Lia memaksa Arga untuk memakai berbagai properti aneh agar ramai dan tampak lucu. Untuk ukuran orang yang rela menerima paksaannya padahal sendirinya sangat anti di foto, rotes yang Arga layangkan saat ini bisa Lia maklumi. “Nggak papa lah, sekali-sekali. Buat kenang-kenangan.”
Arga menggeram. “Awas ya kamu, Li, besok aku—“
“Hah gimana-gimana?” Lia berlagak tidak mendengar. “Kamu bilang apa? Suara kamu putus-putus. Sinyalnya lagi jelek kayaknya. Udah ya aku tutup dulu!”
“LIA—“
“DADAH!”
Tanpa nerniat mendengar omelan panjang kali lebar dari Arga, Lia buru-buru mengakhiri sambungan. Tidak beberapa lama, pesan beruntung datang dari Arga. Lia sudah menduga hal ini. Arga masih mengomel perihal tadi. Sudut bibirnya berdenyut menahan tawa sembari membalas pesan tersebut.
“Kesambet ya lo senyum-senyum sendiri?"
Lia mengerjap kaget. Menoleh pada Nadila. “Hah, emang iya?”
“Makanya, lain kalau chat-chatan sama Arga sekalian ngaca ya.” Nadila memutar bola mata malas. “Kesambet setan kasmaran beneran di kamar gue kan nggak lucu.”
“Idih, lo ngintip-ngintip room chat gue ya?!”
“Nggak ngintip, cuma kelihatan.”
“Halah ngeles aja lo, kambing.”
Nadila memutar bola mata. “Dasar bulol.”
“Lo ngomong kayak gitu sekali lagi gue tampol loh, Nad.” Lia tersenyum sarkastik seraya berancang-anang siap melempar bantal.
“Dasar buㅡ”
Nada dering ponsel Nadila berbunyi, membuat perempuan berambut pendek itu urung menyelesaikan ucapannya. Tanpa berpikir Nadila langsung menjawab panggilan tersebut ketika tau yang menelepon adalah Arwin.
Lia mendengus, batal melempar bantal. “Kali ini lo selamat.”
“Ssstt! Diem.” Nadila menempelkan telunjuk di bibir, berucap tanpa suara. “Arwin telfon.”
“Yaudah sih, telfon sono.” Lia ikut-ikutan mouthing.
Nadila berdeham, lanjut bertelepon dengan pacarnya tersebut. Lia tidak tau percakapan mereka secara lengkap dan hanya bisa mendengar balasan Nadila saja. Yah, lagipula dia juga tidak berniat tau. Lia memilih tak acuh dan bermain ponsel.
“Halo? Ada apa, Ar?"
“...”
“Oh, kamu udah di depan?"
“...”
“Ya udah, aku turun kebawah sekarang. Tunggu bentar.”
“...”
“Bye.”
“Kenapa?” Lia langsung bertanya kala panggilan selesai.
Nadila mengibaskan tangannya santai. “Ya biasalah tuh orangㅡMAMPIR SEMAUNYA SENDIRI SETAN! KENAPA SUKA NGGAK KABARIN DULU SIH?!”
Lia ikut berjengit kaget saat Nadila yang awalnya biasa saja tau-tau berlari ke meja riasnya mengobrak-abrik hingga hampir semua barangnya jatuh berceceran. Lia mengernyit heran. “Ya emang kenapa sih? Tinggal turun aja apa susahnya?”
“Masalahnya gue bare face pucat begini nanti bisa-bisa Arwin ngira gue mayat berjalan!”
Lia hanya bisa melongo menyaksikan Nadila memakai liptint dan menyisir rambutnya secepat kilat. Hubungan Nadila dan Arwin memang bisa terbilang masih hangat, baru jalan 2 bulan. Tapi kenapa temannya itu bisa seheboh ini sih? Lia tanpa sadar terus menganga dan lagi-lagi jantungnya hampir lepas dari tempatnya ketika Nadila menutup pintu dengan brutal. Menyebabkan bunyi bedebam ke seluruh rumahan.
Lia menarik napas sebelum berteriak sepenuh tenaga. “DASAR BULOL!”
***
Welcome Sunday.
Yang mana artinya selamat kembali ke dunia perkuliahan yang begitu-begitu saja alias membosankan, siap diberi seabrek tugas, dan waktunya Lia siaran.
Iya, Lia adalah bagian dari Radio Kampus. Jika dilihat dari Lia yang berasal dari fakultas FISIP jurusan Ilmu Komunikasi, pasti orang-orang tidak terkejut kenapa Lia memilih Radio Kampus sebagai UKM-nya.
Ketika Lia membuka pintu, sudah ada Dimas di sana. Partner siarannya hari ini.
“Eh, gue nggak telat kan?”
Dimas menjeda aktifitas makannya untuk menoleh pada Lia kemudian melirik jam. “Nggak, santai. Kita siaran jam 3, masih ada 40 menit lagi. Gue aja masih makan. Nih, mau?”
“Mau lah gila masa rejeki ditolak.”
“Yeu, dasar.”
Lia hanya nyengir kuda menanggapi cibiran Dimas. Tanpa membuang waktu, Lia mendekat dan duduk sofa tepat di sebelah lelaki jangkung tersebut. Di sebelahnya, Dimas dengan santai menggeser tempat makannya yang di dalamnya terdapat sebuah sandwich berbentuk kotak yang sudah di belah hingga berubah bentuk menjadi segitiga. Digigitnya roti berisi sayur, saos, dan daging tersebut.
Sedangkan Lia sibuk mengunyah, Dimas sibuk dengan ponselnya.
“Lo kenyang nggak sih, Dim?”
Dimas menoleh bingung. “Kenapa?"
“Soalnya gue nggak kenyang makan roti doang, asli.” Lia meneguk air putihㅡyang juga punya Dimasㅡdan menutup kotak bekal untuk kembali di serahkan ke pemiliknya. “Roti 2 biji Cuma bisa buat ganjel perut. Bentar lagi pasti gue laper lagi.”
“Itu mah lo aja yang perut karet.”
“Sialan.” Lia mengumpat sebal. “Emang lo udah kenyang?
“Kenyang baㅡ”
“Kalau gue beliin mau?"
"Masih laper, ding.”
“Setan.”
“Ya kalau di beliin siapa juga yang nggak mau. Anak kos kayak gue mana bisa nolak, Lia.” Dimas tertawa.
“Dasar.” Lia.memutar bola mata malas walau tak ayal di kembali berdiri. Mengambil uang seperlunya dari dompet dan memasukkan ponsel dalam saku celana. “Mumpung masih ada setengah jam lagi gue ke kantin deh. Gue mau beli ayam geprek, lo apa?
“Samain aja.”
“Oke.”
***
Setelah memesan, Lia berbalik untuk mencari tempat duduk. Memang sedang sial atau kebetulan, hampir semua bangku sudah terisi. Tapi mengingat waktu sudah memasuki sore dan jam bubaran kelas, tidak heran jika kantin adalah tempat yang paling diserbu setelah parkiran dan gerbang.
Lia mengedarkan pandangan, matanya meneliti memastikan kalau-kalau masih ada bangku kosong yang tersisa. Namun sepertinya anak FISIP punya perut karet semua. Sejauh mata memandang, tetap tidak ada celah. Banyak bangku yang bisa muat sampai 4 orang hanya hanya diisi 2 orang saja, namun sebagai anak introvert jelas berbicara dengan orang asing bukanlah keahlian Lia. Bahkan Lia sangat anti berbicara dengan orang tidak dikenal jika bukan karena kepepet maupun ada perlu.
Lia berasa di ambang kebingungan luar biasa ketika seseorang memanggilnya. Dia tersentak terkejut, mencari siapa pemilik suara tersebut dan menemukan di pojok dinding tidak jauh dari tempatnya berdiri, Salsa melambai padanya.
“Lia, sini!”
Mata Lia kontan berbinar sebelum menghampiri Salsa lalu duduk di sebelah gadis tersebut. “Kebetulan banget, Sal.”
“Gue liat lo daritadi bengong nggak kebagian tempat duduk ya, makanya gue panggil aja.” Salsa menjelaskan tak lupa diselipi tawa ringan. Salsa merupakan salah satu teman sejurusannya dan berada di dua kelas yang sama.
“Iya! Heran gue kursi udah full semua. Anak FISIP pada Sumo semua kali ya.”
“Hahah, nggak Sumo juga elah!”
“Ya gimana ya, kesel gue. Laper banget gue Cuma makan sandwich barusan mana bentar lagi mau siaran.”
“Oh, lo masih aktif di Radio ya?”
“Masih. Masih banyak yang aktif juga kok.”
“Kalau gitu gue boleh request lagu nggak sih, Li?”
“Boleh lah. Tapi biasanya harus e-mail dulu. Terus nggak semua request diterima, masih harus di seleksi juga. Kan nggak lucu kalau requestnya lagu nggak bener.” Lia membalas. Melihat raut Salsa berubah, Lia buru-buru menambahkan. “Eh, tapi lo pengecualian deh. Hitung-hitung balasan karena lo udah ngasih gue duduk.”
“Elah, bisa aja temen gue satu ini.” Salsa menepuk bahunya gemas. “Happier-nya Olivia Rodrigo ya.”
Lia terdiam sebentar lalu menyerngit. Dia jelas tau lagu itu. “Buat siapa nih?”
“Bilang aja buat Karel Teknik Sipil. Mantan gue tuh, biar gue sindir lewat kata-katanya Olivia ‘I hope you’re happy but don’t be happier’. Kan mantap tuh.”
“Belum move on pasti lo?”
“Keep it secret.”
Lia tidak bisa untuk tidak tertawa begitupun juga Lia. Saking terhanyut dengan obrolan, mereka berdua melupakan kehadiran orang lain yang juga duduk di sana. Melongo menyaksikan keduanya yang asik berbincang sendiri seakan lupa sekitar.
“Eh, Sal gue minta minum loㅡeh, ya ampun ternyata ada orang!” Lia memekik tertahan saat baru menyadari adanya orang lain selain mereka berdua di meja tersebut. “Sori ya gue nggak sadar.”
“Ya ampun sori sori Sar, ya Allah gara-gara lo gue sampai lupa sama temen sendiri.” Salsa asal berbicara yang mengundang delikan protes dari Lia. Salsa mengedikkan dagu memperkenalkan satu sama lain. “Lia ini Sarah, temen satu kementrian BEM sama gue. Sarah ini Lia, anak Ilkom juga.”
“Bentar, ini Sarah anak HI bukan?"
“Iya, gue anak HI kok.” Sarah menjawab.
“Pantes!” Lia berujar heboh. Pantas saat melihat Sarah, wajahnya terasa familier. Apalagi ketika perempuan itu tersenyum. “Kita temenan waktu ospek dulu inget nggak?!”
“Adhisㅡadhisliㅡ”
“Adhisnata Lia.” Lia mengoreksi. “Inget nggak?"
“Ah, iya iya! Baru inget gue!”
“Yaelah, kenapa malah temu kangen dadakan begini.” Salsa mengeluh.
Lia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Bagaimana semesta mempertemukan mereka kembali setelah hampir tiga tahun putus kontak. Padahal mereka satu fakultas, namun mungkin karena sudah lama tidak bertemu, mereka perlahan jadi melupakan satu sama lain. Mungkin Lia dan Sarah juga beberapa kali secara tidak sengaja berpapasan di koridor, namun mereka saja yang tidak sadar.
“Bisalah kapan-kapan makan bareng.” Sarah berujar sembari tersenyum lebar.
“Gampang itu mah. Eh, nomer lo berapa sini gue simpen.” Sarah mengucapkan sebaris angka yang langsung Lia simpan di kontaknya. “Nanti gue test chat ya.”
“Sip.”
Setelah bertukar kontak, mereka berduaㅡkini ditambah Sarah, lanjut berbincang. Bertukar kabar dan bercerita tentang kehidupan tiga tahun kuliah disini. Sesaat, Lia dibuat lupa waktu jika ponselmya tidak berdering mendapat telepon. Kemungkinan besar Dimas, namun ternyata tebakannya salah. Bukan Dimas yang menelepon, melainkan Arga.
Lia memberi kode pada kedua temannya untuk diam sebelum menjawab.
“Halo, Ar. Ada apa?”
“Kamu selesai siaran jam berapa?” tanya Arga langsung.
“Jam 4. Kenapa emang?”
“Pulang bareng mau nggak?”
Lia terdiam, sebentar. Menimbang-nimbang sebelum akhirnya mengangguk walau dia tau Arga tidak akan melihatnya. “Mau. Tumben jam segitu udah selesai. Nggak praktikum?”
“Praktikumnya ganti hari, jadi aku nanti bisa pulang cepet. Kalau gitu nanti tunggu aja di Fakultas kamu ya, biar aku yang kesana. Jangan kayak waktu itu kamu nyusulin aku. Kan jauh, nggak capek apa habis kelas langsung jalan ke Teknik?”
“Iya, bawel.”
Arga tertawa renyah. “See you when I see you!”
“See you.”
“Siapa?” Salsa langsung menodong.
“Belum aja gue selesai telfon.” Lia berdecak lalu mengakhiri panggilannya dengan Arga. “Pacar gue.”
“Yang mana?” tanya Salsa.
“Lo nanya seakan-akan pacar gue banyak ya Sal.” Lia mendengus. “Masih sama yang dulu.”
Salsa terperangah. “Buset, masih sama Arga?”
“Iya,” angguknya.
“Arga siapa?” Sarah ikut bertanya.
“Arga temen kita BEM.” Salsa menjawab. “Gue kira udah pegat aja. Mana Arga kalau di BEM nggak pernah cerita masalah begituan. Kan gue ngiranya kalian udah selesai. Langgeng ya.”
Lia tersenyum. “Aminin aja deh.”
Untuk kedua kalinya, teleponnya kembali berbunyi.
“Ya Allah, telfon lagi tuh pacar lu.”
“Bacot, Sal.”
Lia menjawab tanpa melihat nama si penelepon. Tindakan yang salah karena setelah ini bisa dipastikan kupingnya akan pengang seketika. “LO MINGGAT BELI GEPREK NGESOT YA?! INI BENTAR LAGI KITA SIARAN LIA ANJIRUNNN! GUE BETOT JUGA PALAㅡ”
Lia cepat-cepat menutup panggilan
Lia memilih perpustakaan sebagai tempat untuk menunggu kelas berikutnya yang mulai dua jam lagi. Biasanya Lia akan memilih untuk pulang ke apartemen, namun karena malas dia tidak melakukan hal tersebut. Sembari menunggu, Lia menyempatkan untuk mengerjakan laporan selagi ada di perpustakaan.Sebuah earphone menyumbat kedua telinganya, memperdengarkan lagu yang menemani aktifitas Lia mengerjakan. Memang Lia terbiasa mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik. Biar tidak cepat bosan saja. Untuk beberapa lama, Lia tenggelam dalam dunianya sendiri. Entah sudah berapa lama dia duduk seraya menekuni laptop di depannya. Musik bernada tenang berjudul Baby Powder masih mengalun lembut kala mendadak, suara Jeneive tergantikan oleh suara dering telepon.Sejenak, Lia menghentikan semua aktivitasnya untuk mengangkat telepon yang ternyata berasal dari Nadila."Halo, kenapa Nad?""Lo ngilang kemana aja? Bentar lagi kelas ini.""Hah sumpah?" Lia
Setelah selesai dari kamar mandiㅡyang sumpah, antrinya sampai mengular hingga depan pintuㅡLia segera keluar untuk menyusul Nadila yang sedari tadi menunggunya.Mungkin, ada 10 menit dia mengantri. Bisa dipastikan, Nadila akan mengomel setelah ini. Nadila berkata bahwa akan menunggu di sofa di samping teater 3 tempat mereka menonton tadi. Jadi saat melihat perempuan itu duduk sembari bermain ponsel, Lia berangsur mendekat. Tanpa berniat duduk terlebih dahulu, dia menyenggol kaki Nadila pelan karena sepertinya Nadila tengah serius dengan ponselnya sampai tidak menyadari keberadaan Lia."Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan."Dan untuk yang kedua kalinya, Lagi-lagi Lia salah orang. Kalau orang yang dia pikir Nadila mendongakkan kepala dengan raut wajah wajah sebal. Bola mata Lia membesar seketika, berkali-kali dia membungkuk sebagai permintaan maaf."Maaf, maaf. Saya salah orang."Perempuan tersebut akhirnya m
Sesuai kesepakatan, Lia dan Arwin bertemu di cafe depan kampus mereka. Sejujurnya, Lia sedikit heran. Sepanjang dia mengenal Arwin, dia dan Arwin tidak pernah berbicara serius seperti ini. Bahkan, Lia dan Arwin tidak pernah bertemu hanya berdua saja. Mereka memang sering bertemu, tapi yang Lia maksud disini adalah berkumpul bersama Arga, bersama Nadila. Bukan privat seperti ini. Hal tersebut semakin membuat Lia yakin, bahwa apa yang Arwin katakan nanti merupakan hal yang serius. She has no clue. Sungguh. Lia tidak bisa menebak, hal apa yang akan Arwin bicarakan. Dia maupun Arwin tidak punya banyak hal yang perlu diceritakan satu sama lain, jadi Lia hanya berharap, apapun yang Arwin katakan nanti, bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu memasuki cafe, netra Lia langsung bisa menangkap keberadaan Arwin yang tak jauh darinya. Lelaki dengan jaket jeans hitam dan kaos putih sebagai dalaman itu terlihat lebih santai, berbeda dengan Lia yang berdebar
"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!""Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!""Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi.""Elo ya kebisaan!""Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh."Itu mah enak di elo." Lia berdecak."Nanti gue beliin teh anget deh.""Bener ya?""Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak."Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali
Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar."Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k
Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag
Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has