"Lia!"
Nadipa berseru kesal, sementara yang dipanggil hanya berdeham singkat.
“Hm?” jawab Lia tanpa menoleh, masih sambil mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Sedetik setelahnya dia bisa mendengar decakan yang sudah pasti dari Nadila.
“Kalau jalan jangan main ponsel, ah! Kebiasaan.”
“Bentar, Arga barusan chat.”
“Bucinnya bisa ditunda dulu kali,” ejek Nadila.
“Bentar, Arga barusan chat,” ucap Lia.
Lia berhenti sejenak menuruti perintah Nadila. Lalu menjulurkan lidah. “Biarin.”
Sementara di sampingnya Nadila mendengus sebal, Lia justru tertawa lepas. Seusai mengetikkan balasan dan mengirim pesan untuk Arga, Lia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Melangkah cepat menyusul Nadila yang sudah jauh di depannya.
Lia berlari kecil di koridor kampus yang sudah cukup sepi sebab ini jam terakhir kelas.
“Tungguin, woy!”
Nadila menoleh malas. “Cepet!”
Melihat raut Nadila yang sudah kusut kentara ingin cepat pulang, gelak tawa Lia mengudara lagi. Lia sendiri menyadari, bahwa hari ini dia cukup sering tertawa. Karena memang, dia punya banyak alasan untuk membuat tawa itu datang. Wajah lelah Nadila yang sekarang berjalan gontai seakan jiwa semangatnya hilang di telan kuis waktu kelas terakhir tadi adalah salah satu penyebabnya. Hal sepele yang bisa Lia temui tiap harinya.
Namun Arga mengajaknya untuk keluar hari ini, saat ini, tepat setelah kelasnya berakhir adalah hal yang tidak bisa dengan mudah Lia dapatkan semudah melihat wajah malas Nadila. Penyebab hormon serotoninnya meningkat pesat. Penyebab dari senyumnya yang sedari tadi tidak kunjung luntur dari bibirnya. Penyebab terbesar mengapa Lia sesemangat ini berjalan keluar menuju parkiran Teknik.
Berbicara tentang Arga, lelaki dengan nama lengkap Arga Winata Putra itu merupakan orang yang menyandang predikat sebagai pacarnya selama setahun. Hubungan mereka agak senggang satu bulan belakangan ini. Menilik dari mereka yang sama-sama memasuki semester 6, dan jadwal Arga yang cukup padat membuat mereka tidak bisa bertemu seintens dulu. Namun meskipun jarang bertemu, baik Lia maupun Arga tetap berusaha menjaga komunikasi sebaik-baiknya.
“Lia, please, nggak usah ingkrak-jingkrak juga. Lo nggak ketemu Arga seminggu aja udah kayak tante girang mau ketemu korbannya, tau? Malu-maluin aja.”
Mendadak, bayangan kencannya buyar digantikan omelan Nadila. Spontan, Lia berhenti berjalan. Telunjuknya terangkat menunjuk dirinya sendiri. “Gue?"
“Bukan,” jawab Nadila datar. “Tuh Komo barusan lewat.”
“Nggak lucu.”
“Nggak lucu tapi ketawa, Maemunah.”
Lia menahan senyum. “Abis gimana ya, kan gue kangen.”
“Bucin amat, najis.” Nadila bergidik.
“Lo coba ngaca deh, Nad. Kalau udah sama Bara nggak sadar ya di banding gue, level kebucinan lo tuh udah tingkat dewa.” Lia membalas santai. “Mana kalau mau ditinggal ngerengek lagi. Arwin, Arwin. Geli gue dengernya.”
Nadila menyipitkan mata, memandang jengah. “Kok anda main buka kartu, ya?”
Lia tertawa singkat sebelum mendorong badan Nadila menjauh. Memberi gestur mengusir. “Dah, sana duluan.Gue ke parkiran Teknik dulu nyusul Arga.”
“Lo beneran ke Teknik?”
“Iya, dong!" jawab Lia semangat.
“Beneran bucin sampe dibela-belain nyusulin. Dikira FISIP ke Teknik itu deket apa.”
Lia terbahak.
Seusai mendengarkan ceramah mendadak Nadila hingga kuping Lia panas, akhirnya temannya yang super bawel itu berhasil Lia usir juga. Tanpa membuang waktu, Lia segera menapakkan langkah ke arah parkiran Teknik. Cukup jauh memang jika ditempuh dengan berjalan. Tapi jika untuk Arga, maka Lia pikir sepadan.
***
Lia memicingkan mata kalau melihat lelaki yang berada tepat di belakang mobil milik hitam pacarnya yang sudah Lia hapal diluar kepala. Menilik dari postur tubuh plus jas lab di tangan, Lia tau betul kalau lelaki tersebut adalah pacarnya. Bukannya segera menghampiri Arga, Lia justru melihat jam tangannya. Arga bilang bahwa dia selesai kelas 15 menit lagi maka dari itu Lia yang menyusul duluan kemari. Rupanya kelas Arga mungkin dibubarkan lebih cepat.
Berniat memberi kejutan, Lia berjalan diam-diam berusaha tidak menimbulkan suara. Langkahnya tertuju lurus pada Arga yang masih tidak bergerak dari tempatnya semula. Arga menunduk sedangkan tangannya memainkan ponselnya dan beberapa kali terlihat seperti menelpon seseorang. Lia tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena letaknya berdiri Arga yang membelakanginya. Ketika dirasa cukup dekat, Lia memangkas jarak dengan melangkah lebar.
Hal selanjutnya terjadi begitu sajaㅡdia memeluk Arga dari belakang.
“Hai.” Lia membenamkan wajahnya dalam-dalam dipundak Arga, menghirup parfum yang selalu menjadi harum favoritnya. Lia menahan tawa at dirasa tubuh Arga sedikit menegang. “Kaget ya?"
Arga berusaha melepaskan tangannya yang melingkar di perut pemuda itu, namun dengan cepat langsung Lia tahan.
“Jangan di lepas dulu, ini namanya charging, tau.” Tawanya tidak bisa ditahan lagi kala helaan napas berat Arga terdengar. Walau sedikit tidak ikhlas, Lia akhirnya melepas pelukannya. “By the way, Ar, kamu ganti parfum ya? Tapi nggak papa sih. Aku suka.”
“Suka apa?”
“Suka baunya lahㅡASTAGA!"
Lia kontan meloncat mundur. Sejak kapan pacarnya beganti rupa?!
Lia baru sadar ketika lelaki di depannya ini berbalik badan dan bukannya Arga yang di temuinya, melainkan orang lain yang tidak Lia kenal. Untuk beberapa saat, otak Lia benar-benar kosong. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Nyawanya masih belum terkumpul sempurna saat Lia menyadari bahwa ternyata dia salah orang.
‘Bukan Cuma salah orang, lo juga salah meluk orang! Kurang tolol apa gue coba?!’
Lia tidak bisa berhenti merutuk dalam hati. Semua sumpah serapah ingin Lia keluarkan, tapi berujung hanya tertahan di tenggorokan. Jangankan berbicara, menatap lawan bicaranya saja Lia tidak kuasa. Bukannya apa-apa, tapi dia bersumpah demi apapun, malunya luar biasa.
Lia mencoba menetralkan degup jantungnya yang menggila, berusaha bersikap biasa saja meskipun tau betul loncatan dan teriakan hebohnya tadi sudah cukup menjelaskan semuanya. Perempuan itu membenarkan tali tas sebelum tersenyum kaku pada lelaki entah siapa namanya ini. Yang mana dari tadi memperhatikan semua sikapnya dengan raut super datar.
“Sori, gue salah orang.” Lia meringis. Tanpa sadar, pandangannya meneliti lelaki asing ini dari atas sampai bawah. Lalu netranya jatuh pada jas lab dengan label nama ‘Arga Winata P.’ Yang masih di pegang pemuda tersebut. “Sori, kalau gue nanya-nanya. By the way lo siapa ya? Kok jas lab Arga bisa ada di lo?
“Lo sendiri siapa?” Lelaki itu justru balik bertanya.
“Gue? Ah, gue pacarㅡ”
“Udah tau.” Potongnya cepat. Lia mengernyit bingung. “Gue udah tau lo. Tadi Cuma basa-basi aja.”
“Oke...”
Lia manggut-mangut seperti orang bodoh. Demi apapun, dia bingung harus merespon bagaimana. Karena dilihat dari jawabannya, kok baru kenal udah songong aja ya?
“Gue temennya Arga,” terang lelaki itu, tanpa Lia minta.
“Temennya yang manㅡ” Menyadari bahwa jumlah teman Arga tidak terhingga, Lia segera mengubah kalimatnya. “Oh, tau-tau. Gue juga tau lo kok, temen deketnya Arga kan?"
“Emang lo kenal gue?”
“Kenal,” Lia mengedikkan bahunya tak acuh. “Tapi sekadar nama aja sih.”
“Kalau gitu nama gue siapa?"
‘Shit. Shit. Shit.’
Padahal Lia tadi hanya mengarang jawaban karena ingin membalas ucapannya songong lelaki itu. Ujung-ujungnya dia yang mati kutu di skakmat begini. Temen deket siapa, Lia, siapa? Selain Arwinㅡpacar Nadila yang juga teman dekat pacarnyaㅡLia tidak tau lagi teman Arga yang lainnya. Akibat sikap sok songongnya, sekarang dia sendiri yang harus memutar otak untuk mencari jawaban.
‘Oke, tenang Lia. Alihin pembicaraan aja.’
“Tau lah, ya kali nggak tau.” Lia tersenyum paksa, memilih jawaban paling aman. “Eh, lo mau pulang kan? Jas lab Arga mending titipin gue aja. Gue habis ini mau keluar sama dia soalnya.”
Untungnya, lelaki asing itu tidak berusaha memperpanjang pembicaraan mereka. Tanpa banyak bicara, dia mengulurkan jas lab Arga yang langsung Lia ambil cepat. “Bilangin cowok lo jangan suka ninggal barang di rumah gue. Nyusahin aja.”
“Siap, nanti gue sampaiin. Makasih ya.” Lia membalas, sudah lebih santai. “Dan maaf juga buat yang tadi, I guess?"
“Yang tadi yang mana?"
“Harus banget di perjelas?” decaknya, heran.
Alisnya naik sebelah, terkesan menyebalkan. “Yang lo meluk gue?”
“Y-ya... ya itulah!” Lia mengibaskan tangannya jengkel. “Jangan bilang-bilang Arga.”
“Kenapa? Takut cowok lo cemburu?”
Beberapa lama, Lia terdiam. Sebelum akhirnya helaan napas beratnya terdengar.
“Nggak."
Bohong.
Lelaki itu benar. Lia takut Arga cemburu. Dia akui Arga memang cukup posesif. Salah satu sifat Arga yang tidak dia suka. Beberapa bulan lalu, Arga pernah marah karena Lia ketahuan nebeng pulang teman cowoknya. Lia tidak mau kejadian tersebut terulang lagi. Apalagi kasusnya disini Lia malah memeluk seseorang yang mana teman Arga sendiri. Walaupun semua di dasari ketidaksengajaan, Lia tidak bisa menjamin Arga tidak akan marah jika hal ini sampai terungkap.
“Yakin?” tanyanya, memicingkan mata.
“Iya lah. Ngapain juga Arga cemburu coba? Kita bukan lagi anak ABG yang dikit-dikit cemburu, dikit-dikit marahan, paham?”
“Oke. Gue bilang ke Arga.”
“Lo apa-apaan sih?” Lia yang sudah kepalang kesal, tanpa sadar meninggikan suara. “Terserah lo lah! Capek gue. Lakuin apa yang pengen lo lakuin. Gue nggak peduli.”
Lia rasa dia tidak bisa lagi meladeni lelaki tidak jelas ini yang makin lama-makin menyebalkan. Dia berniat meninggalkan lelaki itu, tapi Lia menyempatkan melirik sebentar hanya untuk mendapatkan raut wajah datarnya yang dari awal tidak pernah berubah. Lia mendengus sinis, secepatnya beranjak menjauh. Tangannya cekatan mengambil ponsel, lalu menekan dial untuk menelpon Arga. Kekesalannya bertambah parah ketika Arga tidak kunjung menjawab panggilannya.
“Kamu dimana sih aku telfon aja susah? Masih di lab?” Serentetan kalimat langsung Lia keluarkan begitu Arga menjawab panggilannya yang ke 3.
“Hei, calm down. Maaf, aku barusan selesai.” Arga terdengar khawatir. “What’s wrong, Lia? Is there something bad happened?"
“Aku lagi kesel aja.”
“Kesel sama aku?”
“Bukan.”
“Terus, kesel sama siapa?"
“Nothing important.” Lia menyempatkan menghela napas panjang. “Sori, aku jadi bentak-bentak kamu.”
“It’s okay. Kamu tau kamu bisa cerita ke aku, kan?”
“Hm-mm.”
“Tunggu bentar lagi, ya. Kamu nunggu di lobi, right?
“Aku udah di parkiran.”
“What? Kamu ngapain jauh-jauh ke Teknik, Lia? Aku bisa jemput kamu.” Terdengar desahan samar Arga. “Okay, nevermind. Kamu tunggu di sana, aku bentar lagi ke parkiran.”
“Iya.”
Lalu sambungan telepon dimatikan.
***
Setibanya di PIM, mereka memutuskan untuk membeli es krim terlebih dahulu. Tanpa repot-repot bertanya, Arga tau betul jika Lia sedang berada di suasana hati yang buruk, maka es krim adalah pilihan paling tepat untuk membuat mood gadis itu jadi lebih baik. Setahun lebih berpacaran membuat Arga bisa tau hal-hal tentang pacarnya tersebut mulai dari hal terkecil sekalipun.
Arga menyendok es krimnya sebelum di masukkan ke mulut. “How was your day?”
Lia mengerutkan kening sebal. “Setelah nyogok es krim kamu berani straightforward ya?”
“Itu salah satunya.” Arga terkekeh ringan. Senyuman yang tidak pernah gagal membuat Lia tertular. Lia merasakan tangan melingkar di pundaknya, untuk kemudian menariknya lebih dekat. “Alasan lainnya, mood kamu jelas jauh lebih bagus sehabis makan. Bener, kan?”
Lia tertawa. “Iya juga ya.”
“So tell me. Apa yang buat kamu lepas kendali sampai bentak aku di telpon tadi?”
“First of all, aku minta maaf.”
“Kan udah tadi.”
“Tapi di telpon.”
“Sama aja.”
“Beda.”
Arga berdecak. "Apa yang beda coba?”
“Yang tadi lewat telfon.” Lia menjelaskan. “Aku jadi nggak bisa lihat wajah kamu.”
“Iya deh.” Arga mengacak puncak kepalanya pelan, sebelum tiba-tiba mendekatkan wajah. “Nih, sekarang udah bisa liat kan?”
Lia mendelik. Segera mendorong wajah Arga menjauh sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Syukurnya, sepertinya tidak ada yang memperhatikan mereka berdua. Semua orang tampak asyik dengan dunianya sendiri. “Arga ih! Ini mall loh. Kayak nggak tau tempat aja.”
“Gimana ya, kalau sama kamu jadi sering lupa sekitar soalnya.”
“Kayak buaya lupa daratan, ya?”
“Bisa aja ngelesnya.” Arga menghabiskan es krimnya yang tinggal sedikit sebelum membuang wadahnya ke tempat sampah terdekat. “Permintaan maafnya di terima. So, you can continue your story.”
Lia mengulum bibir. “Aku... nggak bisa cerita.”
“Nggak bisa apa nggak mau?”
Lia terdiam sesaat.
“Dua-duanya.”
Arga berhenti berjalan sejenak yang membuat Lia yang disebelahnya ikut berhenti juga. Arga menarik napas panjang lalu dia hembuskan berat. Tangannya yang merangkul pundak Lia diturunkan perlahan. Sontak Lia membuka mulut, siap ingin melemparkan tanya dengan perubahan sikap Arga yang tiba-tiba. Namun belum sempat satu kata terucap, Arga sudah mendahului dengan ganti memegang kedua pundak Lia. Memandang netra Lia lekat.
Sementara Lia menggigit bibir dalamnya, takut jika kalau-kalau Arga marah. Merasa tidak nyaman ditatap dengan tatapan seperti itu, Lia menepis pelan tangan Arga yang berada di kedua bahunya.
“Arga, aku lagi nggak mau beranㅡ”
“You okay?”
Lia termenung sejenak. “Maksud kamu?”
“Just answer me, Lia.” Arga bersikeras. Memilih menurut saja, Lia memberi anggukan sebagai jawaban. Sedangkan Arga bernapas lega, sudut bibirnya tertarik begitu saja membentuk sebuah senyuman indah. “If you don’t want to tell me, then it’s okay. I want to respect your privacy. You don’t have to tell me everything that may make you feel uncomfortable. I want to comfort you. I want to make sure you’re happy. Even in every step that you take.”
Untuk sejenak, Lia kehilangan kata-kata. Seolah dia terhipnotis hanya dengan tatapan dan kata-kata. Lia baru kembali sadar setelah terdiam beberapa lama disertai senyuman lebar. “I love you too.”
“Suddendly?” Arga bertanya heran.
“Kalau ditarik satu kesimpulan, dari panjangnya kalimat kamu barusan jawabannya Cuma satuㅡI love you.”
Arga tersenyum mengejek. “Dih, pede banget.”
“Jangan sok Tsundere. Nggak cocok.”
“Terus cocoknya apa dong?”
“Yandere.”
“Ngaco!"
Lia terbahak keras mendapati ekspresi Arga berubah serius. “Ya jadi Arga. Be yourself aja aku udah suka. Makanya, jangan sok Tsundere depan aku. Nggak mempan.”
“Yaudah aku straightforward aja.” Arga mendekat lagi, lalu dengan cepat menanamkan kecupan ringan di samping kepalanya. Letaknya di dekat telinga, salah satu spot yang bisa membuat Lia merasa geli bahkan jika hanya di usap. Tapi seolah sengaja, Arga memberi kecupan berkali-kali sebanyak kata-kata yang lelaki itu ucap. “Love you, love, love you, loveㅡ”
“Arga ih jorok! Habis makan es krim masa mulutnya di lap ke rambut aku?!
“My lip is clean," gerakan Arga terpaksa berhenti. Alisnya menukik tanda tidak setuju dengan ucapan Lia.
“Mana ada!”
“Mau bukti?”
“Bukti apaan sihㅡ”
Arga secepat kilat mengecup bibirnya. “Tuh, bersih kan?”
Lia tidak bisa untuk mendelik. “Kamu bener-bener mirip buaya lupa daratan ya!”
“Biarin.” Selanjutnya, Arga kembali mengulangi hal yang tadi sempat terhenti. “Love you, love you, love youㅡ”
“Arga, geli! Aku tendang ya kamu lama-lama?!”
“Hahaha, liat wajah kamu merah!”
“ARGAAAA!”
“HAHAHAHAHAH!”
“AAAA SENENG BANGET GUE ASLI!"Nadila segera melayangkan bantal ke arah temannya yang tengah memasuki fase gila karena cinta. “Berisik anjing!”“Nad, Nad lo harus liat nih!” Tidak mengacuhkan kata-kata Nadila, Lia tetap lanjut heboh sendiri tak henti-henti. Di tangannya memarkan sebuah foto hasil photobox denganㅡsiapa lagi kalau bukanㅡArga. “Liat, lucu banget kannnn?! Setelah setahun pacaran, ini first time loh Arga mau di ajak photobox pakai aksesoris aneh gini. Gila, pencapaian banget gue bisa bujuk orang yang nggak suka foto kayak Arga jadi mau di foto.”“Mana sih? Coba liat.” Nadila bertanya penasaran. Lia dengan semangat menyerahkan foto tersebut. Sejenak, Nadila diam mengamati. Keningnya berkerut heran sebelum akhirnya terbahak keras. “Sumpah lo kayak anak SMP baru pacaran. Kalau gue jadi Arga juga ogah kali disuruh pakai properti aneh gitu.”“Sengaja, buat kenang-kenangan.&rdqu
Lia memilih perpustakaan sebagai tempat untuk menunggu kelas berikutnya yang mulai dua jam lagi. Biasanya Lia akan memilih untuk pulang ke apartemen, namun karena malas dia tidak melakukan hal tersebut. Sembari menunggu, Lia menyempatkan untuk mengerjakan laporan selagi ada di perpustakaan.Sebuah earphone menyumbat kedua telinganya, memperdengarkan lagu yang menemani aktifitas Lia mengerjakan. Memang Lia terbiasa mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik. Biar tidak cepat bosan saja. Untuk beberapa lama, Lia tenggelam dalam dunianya sendiri. Entah sudah berapa lama dia duduk seraya menekuni laptop di depannya. Musik bernada tenang berjudul Baby Powder masih mengalun lembut kala mendadak, suara Jeneive tergantikan oleh suara dering telepon.Sejenak, Lia menghentikan semua aktivitasnya untuk mengangkat telepon yang ternyata berasal dari Nadila."Halo, kenapa Nad?""Lo ngilang kemana aja? Bentar lagi kelas ini.""Hah sumpah?" Lia
Setelah selesai dari kamar mandiㅡyang sumpah, antrinya sampai mengular hingga depan pintuㅡLia segera keluar untuk menyusul Nadila yang sedari tadi menunggunya.Mungkin, ada 10 menit dia mengantri. Bisa dipastikan, Nadila akan mengomel setelah ini. Nadila berkata bahwa akan menunggu di sofa di samping teater 3 tempat mereka menonton tadi. Jadi saat melihat perempuan itu duduk sembari bermain ponsel, Lia berangsur mendekat. Tanpa berniat duduk terlebih dahulu, dia menyenggol kaki Nadila pelan karena sepertinya Nadila tengah serius dengan ponselnya sampai tidak menyadari keberadaan Lia."Ayo monyetku, kita langsung cus cari makan. Aku tau kamu pasti kelaparan."Dan untuk yang kedua kalinya, Lagi-lagi Lia salah orang. Kalau orang yang dia pikir Nadila mendongakkan kepala dengan raut wajah wajah sebal. Bola mata Lia membesar seketika, berkali-kali dia membungkuk sebagai permintaan maaf."Maaf, maaf. Saya salah orang."Perempuan tersebut akhirnya m
Sesuai kesepakatan, Lia dan Arwin bertemu di cafe depan kampus mereka. Sejujurnya, Lia sedikit heran. Sepanjang dia mengenal Arwin, dia dan Arwin tidak pernah berbicara serius seperti ini. Bahkan, Lia dan Arwin tidak pernah bertemu hanya berdua saja. Mereka memang sering bertemu, tapi yang Lia maksud disini adalah berkumpul bersama Arga, bersama Nadila. Bukan privat seperti ini. Hal tersebut semakin membuat Lia yakin, bahwa apa yang Arwin katakan nanti merupakan hal yang serius. She has no clue. Sungguh. Lia tidak bisa menebak, hal apa yang akan Arwin bicarakan. Dia maupun Arwin tidak punya banyak hal yang perlu diceritakan satu sama lain, jadi Lia hanya berharap, apapun yang Arwin katakan nanti, bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu memasuki cafe, netra Lia langsung bisa menangkap keberadaan Arwin yang tak jauh darinya. Lelaki dengan jaket jeans hitam dan kaos putih sebagai dalaman itu terlihat lebih santai, berbeda dengan Lia yang berdebar
"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!""Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!""Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi.""Elo ya kebisaan!""Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh."Itu mah enak di elo." Lia berdecak."Nanti gue beliin teh anget deh.""Bener ya?""Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak."Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali
Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar."Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k
Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag
Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has