Sesuai kesepakatan, Lia dan Arwin bertemu di cafe depan kampus mereka.
Sejujurnya, Lia sedikit heran. Sepanjang dia mengenal Arwin, dia dan Arwin tidak pernah berbicara serius seperti ini. Bahkan, Lia dan Arwin tidak pernah bertemu hanya berdua saja. Mereka memang sering bertemu, tapi yang Lia maksud disini adalah berkumpul bersama Arga, bersama Nadila. Bukan privat seperti ini. Hal tersebut semakin membuat Lia yakin, bahwa apa yang Arwin katakan nanti merupakan hal yang serius.
She has no clue. Sungguh.
Lia tidak bisa menebak, hal apa yang akan Arwin bicarakan. Dia maupun Arwin tidak punya banyak hal yang perlu diceritakan satu sama lain, jadi Lia hanya berharap, apapun yang Arwin katakan nanti, bukanlah sesuatu yang buruk.
Begitu memasuki cafe, netra Lia langsung bisa menangkap keberadaan Arwin yang tak jauh darinya. Lelaki dengan jaket jeans hitam dan kaos putih sebagai dalaman itu terlihat lebih santai, berbeda dengan Lia yang berdebar-debar. Dilihat dari tidak adanya tas yang menyertai, besar kemungkinan Arwin sudah selesai kelas dari tadi. Tanpa berlama-lama, Lia segera berjalan menghampiri dan menarik kursi tepat di depan lelaki itu.
"Hai." Lia menyapa. "Udah nunggu lama?"
Mengetahui Lia datang, ponsel di genggaman langsung Arwin letakkan. "Nggak kok. Gue juga barusan dateng."
"Jadi lo mau ngomong apa?" Tanpa basa-basi, Lia langsung menembak. "Just make it fast."
"Nggak bisa." Arwin menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia menarik napas dalam sebelum dihembuskan berat. "Nggak bisa, Lia. Ini bahkan nggak semudah itu."
"Win, lo jangan buat gue takut ya."
Melihat ekspresi Arwin yang berubah keruh, Lia tidak bisa menahan degup jantungnya untuk tidak berdegup kencang. Jantungnya terpompa cepat dengan alasan yang Lia sendiri belum temukan jawabannya. Lia hanya berharap, apa yang dia harapkan tadi terkabulkan. Semoga Arwin disini tidak membawa berita buruk untuknya. Tapi baru saja Lia berpikir begitu, harapannya harus pupus disaat Arwin membuka suara.
"Ini tentang temen gue." Arwin berkata tegas. Tidak ada keraguan dalam nadanya. Namun, nadanya memelan di kalimat kedua. "Ini tentang pacar lo."
Tenggorokan Lia tercekat. "Maksud lo... Arga?"
Arwin tidak menjawab, melainkan mengangguk.
"Kenapa?" Lia bertanya, nadanya sedikit menuntut. "Arga kenapa?"
"Lo mau jawaban jujur atau bohong?"
"Jangan main-main, Arwin."
"Gue curiga Arga selingkuh."
"Loㅡ" Lia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Kepalanya pening seketika. Ucapan Arwin barusan berdampak terlalu besar. Rasanya, Lia ingin memaki Arwin saat ini juga. Mendongak, Lia menatap Arwin tajam. "Dengan alasan apa lo nuduh cowok gue selingkuh?"
"Lia, listen. Gue paham lo shock. Tapi Lia, lo harus dengerin gue baik-baik karena gue yakin lo nggak akan sanggup kalau gue ceritain lagi." Arwin menatap Lia sendu. "Gue bisa mulai kan?
Perlahan, meski tidak yakin, Lia mengangguk.
Lia ersenyum pahit, berusaha tersenyum seakan dia baik-baik saja walau nyatanya tidak.
Tidak ada perempuan yang baik-baik saja mendengar kata 'selingkuh' dari hubungan mereka kecuali mereka memang sudah tidak saling cinta. Demi apapun, hal seperti ini adalah hal yang paling sebisa mungkin dihindari dalam sebuah hubungan. Sesuatu yang dianggap mengerikan oleh sebagian orang. Tapi kita juga tidak boleh terlena dan beranggapan bahwa hal semacam perselingkuhan tidak akan terjadi dalam hubungan kita sendiri. Karena hal itu jelas salah. Salah besar. Akan selalu ada celah, seharmonis apapun hubungan kalian.
"Tapi sebelum itu, gue mau mastiin sesuatu dulu." Arwin memulai. "Gue mau nanya, apa menurut lo, Arwin aneh akhir-akhir ini?"
Tanpa berpikir, Lia menjawab tegas. "Nggak."
"Oke. Lo tau kan kalau Arga sibuk belakangan ini?"
"Pertanyaan lo konyol." Lia tertawa sarkastik. "Sebagai pacarnya, jelas gue tau Arwin. Dia sibuk di lab, sibuk nugas, sibuk organisasi. Nggak jarang dia pulang kesorean, bahkan kemaleman."
"Oke. Arga pernah bohong ke lo?"
"Nggak."
"Sekalipun?"
"Ever."
"Tapi Arga pernah bohong ke gueㅡke teman-temannya."
"Gue nggak peduli."
"I swear you're gonna change your mind after this." Arwin mengetuk meja dengan tempo pelan, seakan tengah memikirkan ucapannya matang-matang. "Gue tau lo nonton sama Nadila kemarin."
Lia diam, menunggu Arwin meneruskan.
"Gue tau sebenarnya lo pengen nonton sama Arga, bukan Nadila."
"Arga nggak bisa."
"Oh. Why he can't?"
Nada Arwin terdengar meremehkan. Dan Lia benci menghadapi Arwin yang seperti ini. "Arga ada acara keluarga."
"Kedengeran kayak anak SD yang lagi cari alasan buat mau bolos ya."
"Arwin, you don't have toㅡ"
"Acara keluarganya di rumah gue?"
"Maksud lo?"
"Arga, Mahen, Azka di rumah gue kemarin. Dan lo tau apa? Main PS." Arwin bisa melihat sepercik kilatan marah di netra Lia, yang berusaha perempuan itu tahan mati-matian agar tidak terlihat. Arwin menghela napas, mendekat pada Lia dan menelungkupkan tangan di meja. Arwin berujar serius. "Dia kemarin pulang duluan, buru-buru. Sebelum itu, dia sempat telfonan sama seseorang. Tau jawaban Arga setelah ditanya kenapa pulang? Lia."
Kini, ganti Arwin yang tertawa sarkastik.
"Girl, gue juga bakal terus dibohongi kalau beberapa menit setelahnya, Nadila nggak telfon gue. Bilang kalau dia lagi sama lo."
Lia tanpa sadar mengepalkan tangannya erat di atas meja. Sebagai bentuk penahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Satu fakta. Satu kebohongan. Dan bisa membuat Lia jadi sekacau ini.
"Lia, Arga memang temen gue. Tapi lo juga temen gue." Arwin meraih tangan Lia untuk dia buka, lalu Arwin tepuk perlahan. "Gue nggak akan ngebela Arga kalau dia emang salah, sekalipun dia temen gue. Gue masih waras, Li."
"Tapiㅡ"
"Tapi bukannya terlalu cepat buat menyimpulkan Arga selingkuhan hanya dari satu kebohongan?"
Kata-kata yang ingin Lia ucap dibabat habis oleh Arwin.
Arwin tersenyum miring. "Nggak. Gue mikirin ini semaleman, dan tuduhan gue bukan tanpa alasan. Lo tauㅡkita tau, kalau Arga sibuk belakangan ini. Of course, salah satu alasannya karena tugas. Tapi, apa kita tau alasan lainnya?"
Lia membisu.
"Gue nggak tau dia begini ke lo apa nggak, tapi Arga lebih sering ngecek hape. Dia sering banget telat waktu kita berempat janjian. Ketika gue, Mahen, Azka lagi ngobrol, Arga sibuk sama ponselnya sendiri. Waktu kita lagi main, dia sering banget diteror telfon dan juga di spam pesan. Gue tau itu bukan lo, kan?"
Lia menarik napas dalam, tidak ingin menatap Arwin. "Siapa aja yang tau?"
"Cuma kita berdua."
"Mahen, Azka, Nadila?"
"Lia, gue masih orang. Bukan ban bocor." Arwin memutar bola mata malas. Hal tersebut bisa membuat Lia tertawa, meskipun singkat. "Nadila, she know nothing. Mahen sempet curiga waktu kemaren Arga pulang buru-buru. Tapi kayaknya dia nggak kepikiran sampai sana. Kalau Azka, jujur, gue nggak tau. Azka ada di tim netral. Dia nggak kelihatan mihak siapapun. Gue juga nggak bisa nebak jalan pikirannya bakal kemana."
"Kalau lo?"
"Gue?" Arwin menarik seringai tipis. "I'm surely right behind your back."
Lia akhirnya tersenyum. Senyum yang terlihat benar-benar tulus. "Arwin, makasih. I really be thankful for having a friend like you."
"You can count on me, Li. Always."
Ketika Lia mengatakan dia benar-benar bersyukur bisa mempunyai teman layaknya Arwin, she really mean it. Tidak ada yang bisa menggambarkan seberapa kacaunya perasaannya sekarang, namun di saat bersamaan, Lia lega. Mempunyai seseorang yang dipercaya dan bisa diandalkan, definisi tersebut menurut Lia adalah Arwin. Lia rasa, Nadila benar-benar beruntung bisa menemukan laki-laki seperti Arwin. Bagi Lia, keduanya sama-sama berharganya.
Lia hampir menangis. Semata-mata bukan hanya karena sikap tulus Arwin padanya, tapi mengetahui fakta mengerikan tentang Arga, ternyata juga sesakit itu.
Lia menatap Arwin lekat, tangisnya ia samarkan dalam senyuman. "Win, gue boleh meluk lo nggak sih?"
"Eits, jangan dong." Arwin memasang tampang jahil. Sikap penuh keseriusannya tadi hilang dalam sekejab, kembali ke Arwin yang cengengesan seperti biasanya. "Gini juga gue masih inget Nadila."
Lia melemparnya dengan gumpalan tisu. "Sialan lo."
Pukul setengah 6 sore, saat matahari kembali ke peraduan, dalam sebuah cafe, mereka tertawa bersama.
***
Jujur, semenjak pembicaraannya dengan Arwin dua hari lalu, harus Lia akui pandangannya terhadap Arga perlahan berubah. Perlahan, rasa kepercayaan Lia pada lelaki tersebut terkikis sedikit demi sedikit. Meskipun begitu, Lia sebisa mungkin tetap menunjukkan sikap seperti biasanya. Seolah tidak ada yang berubah di antara mereka. Seolah Lia seperti tidak diberi fakta besar bahwa kekasihnya dicurigai sedang mendua. Tapi untuk Lia, hal itu berdampak cukup besar padanya.
Dua hari terakhir, dia lebih sering diam. Ketika bersama teman-temannya, pikirannya malah melanglang buana. Lia lebih sering gelisah tanpa alasan yang jelas dan jam tidurnya jadi kacau berantakan. Lia juga jadi sering melamun, contohnya sekarang.
Siang ini, Lia berada di plotter yang letaknya tidak jauh dari kampus untuk mengeprint tugas. Ada cukup banyak lembar yang harus di print. Maka tidak heran jika memakan waktu yang cukup lama. Karena dia sendirian dan jelas tidak ada teman yang bisa di ajak untuk mengobrol, lagi-lagi Lia memanfaatkannya dengan melamun. Lia tau ada hal yang jauh lebih berguna daripada melamun, bermain ponsel contohnya. Sebab bagi Lia, bermain ponsel jelas lebih berfaedah daripada memikirkan Arga. Karena jika Lia sudah melamun, pikirannya pasti tidak akan jauh-jauh dari Arga.
Untung saja, tepukan di bahu krinya membuyarkannya dari lamunan. Lia menoleh kaget, menemukan Erisha berdiri sambil menyengir di belakangnya.
"Heh, gue liatin daritadi ngelamun aja. Ngelamunin apaan sih? Kesambet mampus lo."
Lia terkekeh. Pandangannya jatuh pada kertas A3 yang tengah Erisha bawa. "Lagi banyak pikiran aja. Eh, lo mau ngeprint juga?"
"Ah, iya. Lelet banget ya print-annya." Erisha melongokkan kepala, melihat alat print yang sedari tadi baru menyelesaikan tiga kertas. Kemudian pandangannya beralih pada Lia sebelum memicingkan mata, seakan tengah menilik wajah Lia. Erisha berdecak pelan. "Lo bener-bener lagi banyak pikiran ya. Kantong mata lo kelihatan banget, Lia. Lo sehari tidur berapa jam sih?"
Berapa jam ya? Lia juga tidak tau.
"Nggak tau. Nggak ngitungin juga."
"Kenapa? Lo ada masalah?" Erisha bertanya, terlihat khawatir. "Kalau ada masalah cerita aja nggak papa kali, Li. Siapa tau gue bisa bantu. Kayak sama siapa aja."
Lia terdiam sebentar, tidak langsung menjawab.
Meskipun jarang bertemu karena beda jurusan, Lia dulu pernah sedekat itu dengan Erisha. Dulu, mereka pernah dekat karena sama-sama masuk Radio Kampus. Namun, semenjak Erisha sibuk dengan organisasi, perempuan itu memilih untuk keluar. Semenjak itu, Lia dan Erisha jarang bertemu lagi. Karena satu-satunya penyebab mereka bisa dekat secara tidak langsung sudah Erisha putus sendiri. Meski demikian, mereka beberapa kali keluar bersama ataupun sekedar makan bersama saat tidak sengaja bertemu di kantin FISIP.
Sementara Lia Ilkom, Erisha di HI.
Ah, berbicara tentang HI, Lia jadi teringat tentang Sarah. Semenjak kejadian di kantin beberapa hari lalu, Lia dan Sarah belum sempat untuk bertemu lagi. Keduanya sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, mereka cukup sering bertukar pesan ataupun sekedar membalas Instastory.
Lia beralih menatap Erisha. Apa dia bertanya tentang Arga pada Erisha saja ya. Mengingat mereka sama-sama anak BEM. Sebenarnya, sudah dari kemarin Lia ingin menanyakan pekara itu pada Salsa atau Sarah. Tapi dipikir lagi, mereka tidak cukup dekat sampai tahap dimana bisa saling membagi rahasia. Apalagi, Lia dan Sarah belum lama bertemu kembali. Bodohnya, Lia tidak pernah terpikirkan untuk bertanya pada Erisha. Apa Lia tanyakan sekarang saja mumpung mereka bertemu?
Menarik napas dalam, Lia memutuskan untuk bertanya saja. Jika terus menunda, Lia tidak tau kapan dia dan Erisha bisa bertemu lagi. "Rish, gue mau tanya."
"Tentang apa?" Erisha menjawab cepat.
"Tentangㅡ" Duh, Lia agak tengsin. Apa iya dia harus mengumbar hubungannya dengan Arga yang sedang tidak baik-baik saja? Tapi, setidaknya Lia paham bahwa Erisha bukan orang yang suka membocorkan rahasia orang lain. Setidaknya di tangan Erisha, rahasia Lia aman. Lia hanya harus menanggung malunya saja. "Gue mau nanya tentang Arga."
Erisha mengernyit. "Arga pacar lo?"
"Iya."
"Lo ada masalah ya sama dia?"
"Ya... gitu deh. Agak renggang dikit." Lia meringis, mengangkat bahunya tak acuh. "Dia kalau di BEM gimana sih? Sibuk banget?
"Gimana ya?" Erisha terlihat berpikir. "Arga di BEM biasa aja sih. Nggak ada yang aneh. Sibuk? Nggak juga. Malah kayaknya Arga break bentar dari BEM deh, soalnya gue jarang kelihatan. Tapi emang beberapa kali masih nyamperin. Apalagi udah semester 6. banyak yang break juga kok Li, bukan Arga aja. Gue juga bentar ini kayaknya mau break juga."
Mendengar penuturan Erisha, pikirannya mendadak goyah. Erisha bilang, tidak ada sikap aneh apapun dari Arga. Sementara Arwin berkata, perubahan Arga terlihat cukup signifikan.
"Oh, gitu ya..."
"Emang lo ada masalah apa sama Arga?" Erisha bertanya kembali. "Masalahnya serius?"
"Nggak tau. Ah bodo lah, pusing!" Lia jadi sebal sendiri. Pikirannya benar-benar kalut. "Pusing banget gue mikirin Arga, Sha. Nggak ada abisnya."
"Yaelah, kayak anak baru pacaran aja lo. Bicarain baik-baik sana sama Arga, selesaiin juga."
"Elo mah gampang ngomong."
"Ya gampang namanya juga ngomong pake lidah, nggak bertulang. Kalau ngelakuin tuh jelas susah." Erisha membalas seraya memukul kepalanya pelan dengan gulungan kertas A3. "Saran gue sih bicarain langsung sama orangnya, Li. Daripada lo terus diem kan? Yang ada malah numpuk spekulasi-spekulasi nggak berdasar. Kalau udah gitu mana ada abisnya. Dan secara nggak sadar, otak kita membuat pikiran-pikiran buruk itu datang sendiri."
Bahkan ketika sampai di kampus, kata-kata Erisha terus terngiang di benaknya.
"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!""Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!""Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi.""Elo ya kebisaan!""Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh."Itu mah enak di elo." Lia berdecak."Nanti gue beliin teh anget deh.""Bener ya?""Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak."Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali
Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar."Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
"Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala
"Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya." "Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?" "Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?" "Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan. "Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo de
'PLOROTIN PLOROTIN!' 'JANGAN DONG! CEMPLUNGIN AJA WIN CEMPLUNGIN!' 'NANGGUNG LAH ANJIR! MENDING PLOROTIN HABIS ITU CEMPLUNGIN!' 'ARWIN BANGSATTT!' "AHAHAHAHAHAH GOBLOK!" Lia tersentak kaget, refleks menjauhkan badannya dari Nadila yang tertawa keras. Kupingnya sampai pengang. Untung saja kelas masih sepi, jadi pekikan nyaring Nadila barusan tidak mengundang perhatian banyak orang. Tapi tetap saja, Lia yang harus menanggung malu. Berkali-kali meringis sambil mengucapkan maaf pada tiap orang yang menoleh dengan pandangan terganggu. Nadila tidak sadar. Perempuan itu justru malah asyik melihat ponselnya sambil terus cekikan.Jengkel, Lia mengambil satu helai kertas dari bindernya, ia remat jadi gumpalan, lalu dijejalkannya ke mulut Nadila yang mangap lebar serupa gawang bola. "AnjㅡHOEK!" Nadila langsung memuntahkan gumpalan kertas tersebut dengan raut ji
Special update for Winwin's birthday.***Tidak ada yang bisa Lia lakukan selain pasrah.Barusan Arwin mengonfirmasi bahwa lelaki itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Lia sudah berusaha memborbardir Arwin dengan telepon, dengan tujuan agar mereka berduaㅡArwin dan Azkaㅡtidak perlu kemari.Sementara Nadila, setelah mengatakan fakta menjengkelkan namun dengan tampang tak berdosa, sibuk makan sendiri. Tidak ada harapan untuk meminta tolong pada temannya yang sebenarnya juga tidak diundang itu untuk meminta Arwin tidak jadi datang. Telepon Lia kemungkinan besar sengaja diabaikan, tapi Arwin tidak mungkin mengabaikan telepon pacarnya sendiri, bukan? Tapi itu hanya sekedar andai-andai, karena bukannya menolak, Nadila juga malah senang jika ada Arwin karena apalagi jika bukan mereka bisa berpacaran ria.Lia mendengus, memilih abai, lanjut bergelung pada laporan. Pikirannya berhasil terdistraksi, melupakan pe
"HAI HELLO ANYEONG!!!" Putaran bola mata menjadi sambutan Lia atas kedatangan Nadila. Perempuan itu berlari kecil dengan wajah gembira. Sementara Lia di duduknya menyambut dengan wajah suram, tanpa senyuman. Jika diibaratkan cuaca, maka Nadila secerah dan sehangat sinar matahari pagi sementara Lia mendung penuh gemuruh petir. Kursi di depannya ditarik. Dalam sekejap kursi yang mulanya kosong kini terisi. "Gue udah bilang ngga perlu kesini." Lia berdecak, dengan jari yang setia mengetik pada keyboard laptop. "Bukannya bersyukur udah ditemenin." "Gue tau ini bujukan, right?" Nadila tidak menjawab melainkan terkekeh tak berdosa. Seakan membenarkan ucapan Lia. Lia mendesah malas, punggungnya ia hempaskan ke kursi di belakang. Dia tau tujuan Nadila yang tiba-tiba memaksanya datang kesini bukanlah tanpa alasan. Temannya itu pasti berusaha merayunya yang k
Sarah memang gila.Tapi sepertinya Lia yang lebih gila.Dalam waktu kurang dari 10 menit, mereka yang tadinya berada di kamar mandi berpindah tempat betulan ke cafe."Li, kasih tips biar nggak dighosting dong!"Kalimat barusan adalah satu dari kalimat nyeleneh lain yang Sarah lontarkan. Mereka baru duduk di cafe tidak sampai 5 menit, tapi mulut perempuan itu tidak berhenti berbicara dari tadi.Lia mengaduk minumannya dengan gerakan pelan, bola matanya naik melihat Sarah yang meskipun bibirnya tidak lelah menggerutu, tatapannya tetap terpaku pada ponsel dengan jari yang tidak berhenti menggulir layar."Tips apa?" Lia mengulang."Tips biar nggak dighosting.""Ghosting-in balik."Sarah berdecak. "Lo kira ini ajang balas dendam?""Emang lo dighosting siapa?""Arga," jawab Sarah tanpa rag
Lia tidak tau harus tetap tinggal atau pergi ketika beberapa langkah di depannya, terlihat Arga tengah duduk di perpustakaan. Meski terhitung nyaris dua bulan mereka putus komunikasi, hal-hal kecil tentang lelaki itu tidak bisa terlupakan begitu mudah, masih membekas di otaknya, mengambil ruang kecil di sana. Jelas nama Arga Winata Putra sampai kapanpun tidak akan pernah bisa disandingkan dengan kata perpustakaan. Jadi sangat bisa ditebak, tujuan kehadiran Arga disini adalah apa yang dilihat Lia sekarang.Tidur.Lelaki itu tidur menelungkupkan kepala di lipatan tangan dengan earphone yang menyumpal telinga. Lia berdecak, kebiasaan Arga yang satu itu belum bisa hilang ternyata. Sadar menghindar bukanlah solusi, Lia menapaki langkah mendekat. Lia sudah dewasa dan daripada menghindar, lebih baik dia belajar membiasakan diri dengan kehadiran Arga. Lia sudah memaafkan seperti yang dia janjikan pada diri sendiri. Lia hanya perlu membiasakan lagi.Tan
Kenapa Lia harus bertemu dengan Sarah di kamar mandi, lagi. For real? Tidak seperti pertemuan pertama mereka di kamar mandi waktu itu, Lia tidak lagi bereaksi hiperbola. Lia hanya mendengus seraya mencuci tangan waktu tau orang yang keluar dari bilik adalah Sarah. Rasanya seperti deja vu, tapi anehnya situasinya berbanding terbalik. Lia tidak menoleh, menatap Sarah dari pantulan cermin sambil tersenyum lebar, sarkastik. Berisik suara air mengucur dari wastafle jadi satu-satunya latar suara sebelum suasana tiba-tiba berubah horor. Iya, Lia menganggap horor karena melihat Sarah seperti melihat hantu baginya. Keningnya berkerut dalam saat Sarah justru membeku, langkahnya terhenti di depan pintu bilik kamar mandi. Raut wajahnya berubah aneh. Jika waktu itu Lia yang membisu, kini ganti Sarah yang demikian. Benar kan bahwa situasinya terbalik? "Kenapa wajah lo tegang? Har
Lia mengaduk minumnya dengan gerakan malas. Di depannya, dua orang tanpa malu berbicara penuh mesra tanpa memperdulikan kehadirannya. Lia merasa, dia cosplay jadi nyamuk sekarang. Pandangannya menerawang jauh, sebelum seutas pikiran datang tanpa aba-aba. Dari kemarin Lia ingin membicarakan hal ini pada Nadilaㅡserta Arwin mumpung lelaki itu ada. Spontan, Lia menggebrak meja dengan gerakan berlebihan sampai meja mereka bergoyang. Untungnya, tidak ada barang yang jatuh maupun minuman tumpah."LIA SETAN!" Nadila yang kaget, langsung mengumpat. Tapi Lia tidak menghiraukan."Gue mau tanya.""Apa Li apa?!" tanya Arwin, ikut jengkel."Lo berdua percaya nggak kalau Azka sama Sarah lagi deket?"Selanjutnya, dengan sangat sadar Lia bisa merasakan hujan buatan datang. Matanya terpejam, menghalau air yang sebagian sudah mengenai sisi wajah. Yup, benar, Nadila baru saja menye
'Lo masih sayang sama Arga ya?'Kalimat itu bagaikan lantunan lagu dalam radio rusak yang terus di ulang-ulang. Tak henti bergema dalam pikirannya, buatnya serasa di hantam pukulan tak kasat mata.Untuk beberapa lama, Lia termenung di tempatnya berdiri, di depan pintu apartemennya sendiri. Tangannya yang akan memasukkan pin tertahan, menggantung di udara. Pikiran itu membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak, membuat seluruh kenangan yang sebelumnya Lia mati-matian kubur di bagian yang paling dalam, menyeruak keluar.Lia memejamkan mata, berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang, juga memaksa dirinya untuk diam-diam tidak berharap. Karena bagaimana pun juga, satu fakta tidak akan berhenti menamparnyaㅡdia dan Arga sudah selesai.Dengan gerakan cepat, Lia menekan pin, membuka pintu lebar, menutup dari dalam dan segera beranjak menuju kamar. Dilemparnya tasnya ke meja, direbahkannya tubuh ke ranjang. Pandangannya menera
Jari Lia bergerak gesit di touchpad, matanya terpaku pada layar laptop, sementara tangan yang satunya dia gunakan untuk menopang kepala. Mereka berduaㅡmaksudnya, dia dan Nadilaㅡsepakat untuk berangkat satu jam lebih awal guna menongkrong di cafe depan kampus terlebih dahulu. Daripada dimakan bosan, Lia menggunakan waktunya menunggu Nadila yang katanya masih di jalan, untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Sambil meminum smoothie-nya, pandangan Lia mengedar menyusuri seluruh bagian cafe yang ramai pengunjung. Kebanyakan dari anak kampusnya sendiri. Untuk sesaat, Lia memberhentikan aktifitasnya untuk memandang asal ke sekitar, juga menghabiskan minumnya. Sama sekali tidak menyadari dari arah belakang, seseorang datang dan dengan santai melenggang. Menarik kursi di depannya, kemudian duduk di sana. "Gue boleh duduk?" Sontak, Lia tersedak. Matanya membola kala menyadari bahwa entah darimana, kursinya tidak lagi kosong, melainkan sudah di tempati Azka. Bu
Pandangan Azka terpaku lurus pada benda di tangannya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa, tidak berniat bergabung dengan teman-temannya yang sibuk melakukan rutinitas rutin setiap berada di rumah Arwinㅡbermain PS. Alasannya simpel, karena cuma Arwin yang punya alat gim tersebut."Kenapa liatin kamera lo terus?"Tahu-tahu, Mahen sudah berada di sebelahnya. Meninggalkan Arwin dan Arga yang heboh bermain di depan sana. Kepala Azka memutarmemutar 90 derajat, mengangkat alis sebelum tersenyum samar. Menyerahkan kameranya begitu saja pada Mahen dengan gerakan acuh tak acuh."Rusak," jawabnya singkat."Kok bisa?" Mata Mahen langsung melebar."Ya bisa." Bukan Azka yang menjawab, melainkan Arwin. Lelaki itu tidak berbalik ataupun menoleh, tatapannya masih rerpacu lurus pada layar televisi dengan jari yang gesit menggerakkan konsol. "Liat, lensanya retak begitu. Has