Pagi-pagi Rian mengadakan rapat dengan para anggota tim proyek.
"Gue mau tau dari semua proyek yang kita tangani, tim mana yang proses pembangunan udah mencapai 90% selesai?"
"Tim gue, Yan, udah sampai 95% semua kelar," jawab Jeremy.
"Tim gue juga udah sampai 93% selesai." Kini Bobby yang menjawab.
Rian mengangguk. "Ada lagi?"
Yang lainnya menjawab rata-rata di bawah 70% dan 50% proses berjalan.
"Oke. Khusus jeremy dan Bobby segera buatkan dokumentasi untuk bahan laporan. Gue mau periksa progres dari proyek kalian, jadi bawa ke ruangan gue sebelum kalian serahkan ke klien."
"Oke, Yan," jawab Jeremy dan Bobby, kompak.
"Oh, ya, untuk tender besar bulan lalu bagaimana, Pak? Tenggat waktunya apa udah disepakati?" tanya Lena.
"Itu alasan gue mengadakan rapat pagi ini. Untuk lima tender yang udah dipercayakan kepada kita, ada tiga proyek yang meminta diselesaikan dalam batas waktu mereka. Untuk sisanya nanti bisa gue bicarakan
Dara cepat-cepat berbalik dan kembali naik ke lantai 3. Dari atas tangga, ia bisa melihat Ari, Kevan dan Alvin mulai memasuki kelas. Buru-buru ia menghubungi nomor telepon yang akan menjadi sang penyelamatnya.Setelah panggilan tersambung, Dara menyapa dengan semangat membara."Halo, Tante Risa!" Belum juga penerima panggilan menjawab, Dara udah berseru layaknya burung gagak yang begitu nyaring dan tajam.Risa menyahut sambil menampilkan raut bingung. "Ya? Ini siapa?""Saya Dara, Tante." Suaranya mulai diperlembut penuh dengan tipu daya."Dara ... siapa, ya?"Gleg.Dara menelan ludah. Apa suaranya nggak seterkenal itu? Padahal kan baru kemarin ia datang ke sana dan bertemu beliau."Eee, saya Dara yang kemarin main ke rumah Tante Risa. Dito juga sempat bilang rambut saya kayak ... Eee, medusa, Tan," tutur Dara dengan suara agak mencicit di akhir kalimat. Ia tersenyum kecut. Nggak bisa dipungkiri, ia sangat membenci sebutan itu.
Selain terkenal dengan tingkahnya yang lebay, jangan lupa Dara juga ratunya drama. Maka untuk mencapai kesuksesannya, tatkala akan berganti mata pelajaran terakhir, ia berpura-pura memperagakan gaya orang yang lagi sakit perut beneran dan meminta izin pulang lebih awal.Dari kesekian banyaknya orang, jelas Frel dan Tomi yang paling tahu gelagat dari akal busuk Dara, walaupun Kenn pun juga tahu, hanya saja mana mau dia ikut campur masalah orang kalau nggak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Lo ngerencanain apa lagi, Ra?" tanya Frel berbisik lirih, menatapnya curiga saat Dara udah siap-siap memasukkan semua buku pelajaran ke dalam tas.Belum juga Dara menjawab, gulungan buku paket Tomi udah mendarat di kepala cewek itu."Auw! Tom, sakit," keluh Dara sambil mengusap-usap kepalanya."Lo kalo nggak bilang, gue laporin ke guru sekarang," ancam Tomi dengan suara agak dikecilkan.Dara melirik Kenn yang diam dan cuek di bangkunya. Seolah masa
Saat pintu kamar Dara terbuka, masuklah Mbak Dian dengan membawa dua pengikut di belakangnya. Yang membuat kaget, salah satunya adalah cowok yang sangat ia kenal. Dara melompat ke belakang beberapa langkah. Matanya melebar dan mulutnya ikut menganga. "Doni?" seru Dara sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah cowok tersebut. "Lho, kalian udah pada kenal?" tanya Mbak Dian sembari mengeluarkan peralatannya dibantu oleh seorang cewek bernama Tari. "Eee, kami pernah kenal, Mbak," jawab Dara, masih bingung atas kedatangan Doni. "Jadi rambut lo masih mirip singa kayak dulu?" celetuk Doni dengan pandangan mencemooh. Dara tertawa garing. Emang rambutnya akan gampang mengembang jika terkena air, apalagi setelah Dara tadi habis keramas. Rambutnya bakal mencuat ke mana-mana. Ia ingin percaya diri seperti biasa, tetapi tiba-tiba kepercayaan dirinya makin mengempis. Ada rasa malu dan juga sakit hati ketika cowok di depannya mengatakan itu.
Tepat pukul 2.00 siang Dara sampai di rumahnya Ari. Ia menelepon Risa dan memberikan info bahwa ia udah menunggu di luar pintu.Terdengar dari dalam Risa berteriak memanggil Ari untuk membukakan pintu. Ia tahu itu hanya akal-akalan Risa karena emang otak di balik perintahnya adalah ide dari Dara sendiri."Ma, ngapain aku yang diminta buka pintu, kan ada Bibi Pinem sama yang lain?" keluh Ari saat turun dari lantai atas dan mendapati mamanya lagi nonton televisi di ruang keluarga. "Mama juga ada di sini, lebih dekat kan sama pintu.""Anaknya mama, Sayaaang. Tau sendiri kan mama lagi apa? Tontonan seru mama sedang tayang, nggak boleh dong dilewatin. Bibi Pinem sama yang lain lagi kerja di belakang, nggak perlu ganggu mereka.""Biasanya juga manggil-manggil pembantu meski mereka lagi sibuk," gerutu Ari sembari mengacak rambutnya, walaupun ia tetap aja berjalan menuju pintu.Risa terkikik geli mendengar gerutuan putranya. Sementara Dara memencet-mencet
Beberapa saat lalu serasa ada kebakaran dalam mobil. Duduk berdua di belakang dengan si cewek yang terus aja menunjukkan taringnya. Meskipun si cowok pantatnya udah ia geser terus-menerus sampai mentok di ujung jendela mobil, si cewek seakan nggak punya urat malu, tetap aja pengin nempel dan tangannya nggak mau diam menggaet lengan targetnya dan meraba-raba di bagian tertentu.Alhasil saat sang sopir memarkir mobil di suatu tempat, cowok berdagu belah itu langsung keluar detik itu juga. Keringat menetes dari dahi dan punggungnya walaupun AC mobil udah dinyalakan. Gerah dan panas mendominasi bak diserang si jago merah. Ada juga rasa takut dan panik yang menyerbu bersamaan.Kepalanya nyut-nyutan, ia bahkan berpikir tuh cewek lagi kesurupan."Oh, udah sampai, ya? Yuk, kita masuk," ucapnya, siapa lagi kalau bukan si Dara. Berlagak lupa adegan sesat yang sempat ia praktikkan di dalam mobil tadi."Lo duluan, Ra," ujar Ari, memilih waspada.Dara mem
"Lo pasti bercanda? Cewek kayak dia mana ada cowok yang mau?" Kedua tangan Ari tanpa sadar terkepal erat. "Lo cowok brengsek macam apa yang tega mempermalukan mantannya sendiri di depan umum, hah?!" "Dia emang pantas diperlakukan seperti itu," jawabnya sambil menyeringai. Seketika Ari menarik kerah kemeja cowok sialan di depannya. "Lo hina cewek gue sekali lagi, lo harus berhadapan sama gue." Mata Dara membelalak, antara keterkejutan juga terharu akan pembelaan Ari padanya. Sementara pasangan kekasih di sekelilingnya mulai merangsek maju mengerubungi mereka. Cowok itu tiba-tiba tertawa keras. "Lo nggak salah belain dia? Dia itu nggak pantas dibela. Dia bisanya cuma malu-maluin orang. Tuh cewek cuma bikin sial!" Bugh! Ari menghantam keras hidung cowok berlesung pipi itu hingga berdarah. Emosinya memuncak. Terlepas dari apa pun, setiap cewek nggak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Nggak pantas dihina di depan umum da
"Pak Komar, meluncur....!" seru Dara dengan semangat membara."B-baik, Non." jawab Pak Komar tergagap mendengar suara Dara yang kelewat berapi-api.Dari kaca spion tengah, beliau bisa melihat bagaimana centilnya anak majikannya terhadap pemuda itu. Memeluk erat lengan yang ada di sebelahnya, meski si pemuda sangat tegang dan tidak nyaman. Hanya saja ada yang aneh, padahal saat berangkat tadi di mobil dia terus menghindari Dara dan selalu berniat melarikan diri, sementara sekarang cowok tersebut seakan membiarkannya walaupun terlihat pasrah dan tak bisa berkutik.Pak Komar jadi berpikir, apa jangan-jangan rencana dari anak majikannya kali ini berhasil?"Non Dara kayaknya lagi seneng banget. Ada apa nih, Non?" pancing Pak Komar sembari menyetir."Kok, Pak Komar tau?" Dara sok kaget, kemudian menempelkan kepalanya pada pundak Ari. "Iya, nih, Pak, gue sekarang sama Kak Ari pacaran, kyaaaa...!"Dara kembali belingsatan hingga membuat Ari terkejut
Awalnya ia ingin setegar batu karang yang akan selalu kuat kala diterjang ombak dan badai besar. Ia akan menjadi pemberani di tengah keramaian yang membuatnya terasing. Tidak menghiraukan segala hinaan yang datang padanya silih berganti. Pun tak mau terperosok dalam lubang yang ia ciptakan sendiri.Ia emang selalu mandiri sejak kecil. Tetapi ia tak tahu kemandirian yang ia dapatkan dari sang papa merupakan pertanda sebagai bekal masa depannya kelak yang jauh dari perkiraan.Ia masih ingat tatkala papanya dulu mengatakan, "Mandiri itu harus dimulai dari kecil, Nez, agar nanti saat dewasa kita tidak merepotkan banyak orang, juga tidak bergantung pada orang lain."Dan ketika ia menjawab, "Kan ada papa yang bantuin Inez.""Iya, kalau papa masih ada, Inez bisa ngandalin papa. Kalau papa udah nggak ada, gimana? Kan Inez harus melakukan apa-apa sendiri."Saat itu si Inez kecil menggeleng panik. "Enggak, Inez nggak mau papa pergi. Inez mau selalu bersama p