Tepat pukul 2.00 siang Dara sampai di rumahnya Ari. Ia menelepon Risa dan memberikan info bahwa ia udah menunggu di luar pintu.
Terdengar dari dalam Risa berteriak memanggil Ari untuk membukakan pintu. Ia tahu itu hanya akal-akalan Risa karena emang otak di balik perintahnya adalah ide dari Dara sendiri.
"Ma, ngapain aku yang diminta buka pintu, kan ada Bibi Pinem sama yang lain?" keluh Ari saat turun dari lantai atas dan mendapati mamanya lagi nonton televisi di ruang keluarga. "Mama juga ada di sini, lebih dekat kan sama pintu."
"Anaknya mama, Sayaaang. Tau sendiri kan mama lagi apa? Tontonan seru mama sedang tayang, nggak boleh dong dilewatin. Bibi Pinem sama yang lain lagi kerja di belakang, nggak perlu ganggu mereka."
"Biasanya juga manggil-manggil pembantu meski mereka lagi sibuk," gerutu Ari sembari mengacak rambutnya, walaupun ia tetap aja berjalan menuju pintu.
Risa terkikik geli mendengar gerutuan putranya. Sementara Dara memencet-mencet
Beberapa saat lalu serasa ada kebakaran dalam mobil. Duduk berdua di belakang dengan si cewek yang terus aja menunjukkan taringnya. Meskipun si cowok pantatnya udah ia geser terus-menerus sampai mentok di ujung jendela mobil, si cewek seakan nggak punya urat malu, tetap aja pengin nempel dan tangannya nggak mau diam menggaet lengan targetnya dan meraba-raba di bagian tertentu.Alhasil saat sang sopir memarkir mobil di suatu tempat, cowok berdagu belah itu langsung keluar detik itu juga. Keringat menetes dari dahi dan punggungnya walaupun AC mobil udah dinyalakan. Gerah dan panas mendominasi bak diserang si jago merah. Ada juga rasa takut dan panik yang menyerbu bersamaan.Kepalanya nyut-nyutan, ia bahkan berpikir tuh cewek lagi kesurupan."Oh, udah sampai, ya? Yuk, kita masuk," ucapnya, siapa lagi kalau bukan si Dara. Berlagak lupa adegan sesat yang sempat ia praktikkan di dalam mobil tadi."Lo duluan, Ra," ujar Ari, memilih waspada.Dara mem
"Lo pasti bercanda? Cewek kayak dia mana ada cowok yang mau?" Kedua tangan Ari tanpa sadar terkepal erat. "Lo cowok brengsek macam apa yang tega mempermalukan mantannya sendiri di depan umum, hah?!" "Dia emang pantas diperlakukan seperti itu," jawabnya sambil menyeringai. Seketika Ari menarik kerah kemeja cowok sialan di depannya. "Lo hina cewek gue sekali lagi, lo harus berhadapan sama gue." Mata Dara membelalak, antara keterkejutan juga terharu akan pembelaan Ari padanya. Sementara pasangan kekasih di sekelilingnya mulai merangsek maju mengerubungi mereka. Cowok itu tiba-tiba tertawa keras. "Lo nggak salah belain dia? Dia itu nggak pantas dibela. Dia bisanya cuma malu-maluin orang. Tuh cewek cuma bikin sial!" Bugh! Ari menghantam keras hidung cowok berlesung pipi itu hingga berdarah. Emosinya memuncak. Terlepas dari apa pun, setiap cewek nggak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Nggak pantas dihina di depan umum da
"Pak Komar, meluncur....!" seru Dara dengan semangat membara."B-baik, Non." jawab Pak Komar tergagap mendengar suara Dara yang kelewat berapi-api.Dari kaca spion tengah, beliau bisa melihat bagaimana centilnya anak majikannya terhadap pemuda itu. Memeluk erat lengan yang ada di sebelahnya, meski si pemuda sangat tegang dan tidak nyaman. Hanya saja ada yang aneh, padahal saat berangkat tadi di mobil dia terus menghindari Dara dan selalu berniat melarikan diri, sementara sekarang cowok tersebut seakan membiarkannya walaupun terlihat pasrah dan tak bisa berkutik.Pak Komar jadi berpikir, apa jangan-jangan rencana dari anak majikannya kali ini berhasil?"Non Dara kayaknya lagi seneng banget. Ada apa nih, Non?" pancing Pak Komar sembari menyetir."Kok, Pak Komar tau?" Dara sok kaget, kemudian menempelkan kepalanya pada pundak Ari. "Iya, nih, Pak, gue sekarang sama Kak Ari pacaran, kyaaaa...!"Dara kembali belingsatan hingga membuat Ari terkejut
Awalnya ia ingin setegar batu karang yang akan selalu kuat kala diterjang ombak dan badai besar. Ia akan menjadi pemberani di tengah keramaian yang membuatnya terasing. Tidak menghiraukan segala hinaan yang datang padanya silih berganti. Pun tak mau terperosok dalam lubang yang ia ciptakan sendiri.Ia emang selalu mandiri sejak kecil. Tetapi ia tak tahu kemandirian yang ia dapatkan dari sang papa merupakan pertanda sebagai bekal masa depannya kelak yang jauh dari perkiraan.Ia masih ingat tatkala papanya dulu mengatakan, "Mandiri itu harus dimulai dari kecil, Nez, agar nanti saat dewasa kita tidak merepotkan banyak orang, juga tidak bergantung pada orang lain."Dan ketika ia menjawab, "Kan ada papa yang bantuin Inez.""Iya, kalau papa masih ada, Inez bisa ngandalin papa. Kalau papa udah nggak ada, gimana? Kan Inez harus melakukan apa-apa sendiri."Saat itu si Inez kecil menggeleng panik. "Enggak, Inez nggak mau papa pergi. Inez mau selalu bersama p
Perempuan cantik itu terus aja berjalan tak tentu arah. Mengabaikan berbagai macam kendaraan yang melewatinya. Memeluk tubuhnya dalam diam.Di sepanjang perjalanan ia menangis tanpa suara, melangkah tiada henti. Tanpa sang papa, ia merasa hidup sangatlah keras. Kehilangan papanya sama seperti kehilangan nakhoda. Ia seakan tak tahu arah dan hanya bisa mencoba bertahan waktu demi waktu.Ketika papanya meninggal—sebelum pindah ke luar kota—mamanya nekat menjual semua aset yang dimiliki keluarganya atas rayuan ayah tirinya. Semua raib tanpa bekas termasuk rumah mereka dan segala kekayaan itu ludes akibat lelaki bejat yang sukanya mabuk dan berjudi.Ia benci mamanya, tapi rasa benci itu terkalahkan tiap ia teringat janjinya pada sang papa. Ia nggak bisa meninggalkan mamanya begitu aja ketika ucapan papanya terus-menerus terngiang di kepalanya."Nez, kamu mau janji sama papa?"Tanpa bertanya dulu, Inez waktu itu mengangguk mantap."Pap
"Ya, ampun, Kak, muka udah kayak nasi bungkus aja dibawa pulang," celetuk Dito begitu melihat kakaknya pulang bersama Dara—si medusa.Sialaaaan! Anak kecil brengsek! Seketika Dara mengumpat dalam hati."Hush, nggak boleh ngomong gitu," tegur Ari.Walaupun mukanya Dara menunjukkan biasa-biasa aja dan senyumnya dari tadi terus tersungging di bibirnya yang katanya semanis madu, tapi nggak ada yang tahu dalam hatinya rasanya udah kaya ada bunyi petasan yang meledak-ledak.Bocah kurang ajar. Apa pun yang keluar dari mulutnya benar-benar layaknya racun. Anak itu selalu aja menghinanya kapan pun dan di mana pun mereka bertemu."Nemu dari mana, tuh? Dari tempat sampah ya, Kak?"Nah, kan, mulai lagi! Emang mulut terlaknat nih anak. Udah kayak mulutnya alvin nih adiknya.Angin kebencian dari dua lubang di hidung Dara udah mendesak ke luar, sedangkan suara-suara di kepalanya pengin menyerbu dan melabrak tuh bocah. Tapi sebagai calon kakak
Usai mengantar adiknya ke sekolah, lalu pergi ke kantor yang hanya setengah jam stay di sana untuk menandatangani berkas dan laporan anak buahnya, Rian buru-buru turun ke beberapa tempat proyek pembangunan untuk memantau keadaan.Bukan berarti ia tidak percaya kepada anak buahnya, hanya saja dengan adanya proyek sepenting ini ia tidak mau cuma mengandalkan laporan semata, tetapi ia akan lebih yakin jika secara langsung turun dan melihat perkembangan pekerjaan mereka dengan kepala sendiri.Ia sengaja mengecek proses pembangunan yang lagi berjalan di atas 50%. Dari sekian banyaknya proyek, ia jelas harus mengambil dua tim yang nilai perkembangannya di atas semuanya.Beruntung salah satunya ada yang jalannya searah dengan rumah cewek yang kini menjadi tujuan utamanya. Dan setelah beberapa tempat ia cek, akhirnya Rian sampailah di tempat yang ia tuju karena rencana dari tempat ini ia akan mampir ke rumah Inez. Cewek yang selama tujuh tahun masih mendekam di relung h
Malam hari begini—meski badannya capek nggak ketulungan, bahkan baru dua jam yang lalu ia pulang kerja—Rian tetap keluar memenuhi janjinya pada Beni. Ia bela-belain datang demi Inez.Tatkala memasuki club malam, selain hentakan musik DJ yang begitu keras menyambutnya, Beni pun entah datang dari mana tiba-tiba udah muncul di depannya layaknya pocong dan langsung membawanya ke sebuah meja yang udah ia booking beberapa jam yang lalu. Seperti biasa ia selalu memesan VIP room bila bersama teman-temannya.Rian dan Beni gabung di sofa dengan Yoyok yang tengah asyik bersama cewek seksi di sebelahnya. Tampak Yoyok mencium hingga meraba-raba cewek yang bertelanjang dada tersebut.Beni terkekeh geli, sementara Rian hanya menggelengkan kepalanya."Lo ngapain ajak anak satu ini?" gerutu Rian."Gue nggak ngajak, dia sendiri yang minta ikutan." Beni mengedikkan bahunya sembari menuangkan sebotol minuman beralkohol di gelas Rian dan untuknya.Ri