Awalnya ia ingin setegar batu karang yang akan selalu kuat kala diterjang ombak dan badai besar. Ia akan menjadi pemberani di tengah keramaian yang membuatnya terasing. Tidak menghiraukan segala hinaan yang datang padanya silih berganti. Pun tak mau terperosok dalam lubang yang ia ciptakan sendiri.
Ia emang selalu mandiri sejak kecil. Tetapi ia tak tahu kemandirian yang ia dapatkan dari sang papa merupakan pertanda sebagai bekal masa depannya kelak yang jauh dari perkiraan.
Ia masih ingat tatkala papanya dulu mengatakan, "Mandiri itu harus dimulai dari kecil, Nez, agar nanti saat dewasa kita tidak merepotkan banyak orang, juga tidak bergantung pada orang lain."
Dan ketika ia menjawab, "Kan ada papa yang bantuin Inez."
"Iya, kalau papa masih ada, Inez bisa ngandalin papa. Kalau papa udah nggak ada, gimana? Kan Inez harus melakukan apa-apa sendiri."
Saat itu si Inez kecil menggeleng panik. "Enggak, Inez nggak mau papa pergi. Inez mau selalu bersama p
Perempuan cantik itu terus aja berjalan tak tentu arah. Mengabaikan berbagai macam kendaraan yang melewatinya. Memeluk tubuhnya dalam diam.Di sepanjang perjalanan ia menangis tanpa suara, melangkah tiada henti. Tanpa sang papa, ia merasa hidup sangatlah keras. Kehilangan papanya sama seperti kehilangan nakhoda. Ia seakan tak tahu arah dan hanya bisa mencoba bertahan waktu demi waktu.Ketika papanya meninggal—sebelum pindah ke luar kota—mamanya nekat menjual semua aset yang dimiliki keluarganya atas rayuan ayah tirinya. Semua raib tanpa bekas termasuk rumah mereka dan segala kekayaan itu ludes akibat lelaki bejat yang sukanya mabuk dan berjudi.Ia benci mamanya, tapi rasa benci itu terkalahkan tiap ia teringat janjinya pada sang papa. Ia nggak bisa meninggalkan mamanya begitu aja ketika ucapan papanya terus-menerus terngiang di kepalanya."Nez, kamu mau janji sama papa?"Tanpa bertanya dulu, Inez waktu itu mengangguk mantap."Pap
"Ya, ampun, Kak, muka udah kayak nasi bungkus aja dibawa pulang," celetuk Dito begitu melihat kakaknya pulang bersama Dara—si medusa.Sialaaaan! Anak kecil brengsek! Seketika Dara mengumpat dalam hati."Hush, nggak boleh ngomong gitu," tegur Ari.Walaupun mukanya Dara menunjukkan biasa-biasa aja dan senyumnya dari tadi terus tersungging di bibirnya yang katanya semanis madu, tapi nggak ada yang tahu dalam hatinya rasanya udah kaya ada bunyi petasan yang meledak-ledak.Bocah kurang ajar. Apa pun yang keluar dari mulutnya benar-benar layaknya racun. Anak itu selalu aja menghinanya kapan pun dan di mana pun mereka bertemu."Nemu dari mana, tuh? Dari tempat sampah ya, Kak?"Nah, kan, mulai lagi! Emang mulut terlaknat nih anak. Udah kayak mulutnya alvin nih adiknya.Angin kebencian dari dua lubang di hidung Dara udah mendesak ke luar, sedangkan suara-suara di kepalanya pengin menyerbu dan melabrak tuh bocah. Tapi sebagai calon kakak
Usai mengantar adiknya ke sekolah, lalu pergi ke kantor yang hanya setengah jam stay di sana untuk menandatangani berkas dan laporan anak buahnya, Rian buru-buru turun ke beberapa tempat proyek pembangunan untuk memantau keadaan.Bukan berarti ia tidak percaya kepada anak buahnya, hanya saja dengan adanya proyek sepenting ini ia tidak mau cuma mengandalkan laporan semata, tetapi ia akan lebih yakin jika secara langsung turun dan melihat perkembangan pekerjaan mereka dengan kepala sendiri.Ia sengaja mengecek proses pembangunan yang lagi berjalan di atas 50%. Dari sekian banyaknya proyek, ia jelas harus mengambil dua tim yang nilai perkembangannya di atas semuanya.Beruntung salah satunya ada yang jalannya searah dengan rumah cewek yang kini menjadi tujuan utamanya. Dan setelah beberapa tempat ia cek, akhirnya Rian sampailah di tempat yang ia tuju karena rencana dari tempat ini ia akan mampir ke rumah Inez. Cewek yang selama tujuh tahun masih mendekam di relung h
Malam hari begini—meski badannya capek nggak ketulungan, bahkan baru dua jam yang lalu ia pulang kerja—Rian tetap keluar memenuhi janjinya pada Beni. Ia bela-belain datang demi Inez.Tatkala memasuki club malam, selain hentakan musik DJ yang begitu keras menyambutnya, Beni pun entah datang dari mana tiba-tiba udah muncul di depannya layaknya pocong dan langsung membawanya ke sebuah meja yang udah ia booking beberapa jam yang lalu. Seperti biasa ia selalu memesan VIP room bila bersama teman-temannya.Rian dan Beni gabung di sofa dengan Yoyok yang tengah asyik bersama cewek seksi di sebelahnya. Tampak Yoyok mencium hingga meraba-raba cewek yang bertelanjang dada tersebut.Beni terkekeh geli, sementara Rian hanya menggelengkan kepalanya."Lo ngapain ajak anak satu ini?" gerutu Rian."Gue nggak ngajak, dia sendiri yang minta ikutan." Beni mengedikkan bahunya sembari menuangkan sebotol minuman beralkohol di gelas Rian dan untuknya.Ri
"Oke, kita kembali ke Inez, ya, Yan," ujar Beni berusaha membujuk.Rian yang baru aja berdiri akhirnya kembali duduk. "Langsung ke intinya," ucapnya tegas.Tatapan cowok itu berganti dari Yoyok yang merapikan baju serta celananya, lalu berpindah ke arah Beni yang tengah cengar-cengir sembari menyisir rambut dengan tangannya."Lo mau info tentang Inez kan, Yan?" tanya Yoyok dengan muka polosnya."Masih nanya?!" jawab Rian ketus. Kali ini ia rasanya ingin membenturkan dua cowok yang mengaku sahabatnya itu.Emang nggak tahu apa, ini tubuh udah mau tepar ke kasur."Lo bodoh banget sih, Yok. Malu-maluin," celetuk Beni sambil melempar kunci mobilnya ke arah jidat Yoyok."Asem! Sakit, woy!!" teriak Yoyok sambil mengelus-elus dahinya. Ia menunduk untuk mengambil kunci tersebut yang jatuh ke lantai, kemudian ia letakkan di atas meja. "Bukan gitu, Ben. Gue cuma mencoba buat kembali ke jalur awal biar nanti pembicaraan nggak melenceng ke mana-ma
Dara senyam-senyum di tempat duduknya. Beberapa menit kemudian ia bahkan cekikikan sendiri. Ia merasa puas. Puas karena kakak kelas nyebelin—si Alvin—sekarang nggak bisa berkutik di depannya.Semua bermula saat kemarin ia memberikan kejutan datang ke kelas Ari dan menggandeng tangan cowok itu dengan sengaja di depan Alvin. Jelas aja si kunyuk satu itu matanya seolah mau melompat ke luar.Jika memikirkan kejadian itu lagi, Dara rasanya pengin ketawa ngakak. Ia masih ingat bagaimana reaksi tuh cowok."Ar, lo nggak salah? Lo nggak katarak kan?"Sialan! Maksudnya apaan tuh bilang sang pacar katarak? Apa dirinya dikira jelek, gitu? Enak, aja!Meskipun saat itu ia ingin melabrak mulut busuk tuh cowok, untung aja Dara masih dalam mode kalem dan masih mempertahankan senyuman manis ala gula asli, tanpa pemanis buatan. Pun juga tidak peduli dengan reaksi kaget para kakak kelas yang ada di ruang kelas tersebut."Jangan bilang cewek yang tia
Ari keluar dari mobil dengan tampang lemas. Mendengar pertengkaran dua orang yang tidak ada yang mau mengalah, membuat telinganya seakan budek sejenak. Ia menghela napas lega ketika bertemu Kevan di lobi rumah sakit. "Sorry, Kev. Nunggu lama, ya?" "Nggak juga, Ar. Ayo, kita masuk." Mereka bertiga sama-sama mengangguk dan berjalan dalam diam. Alvin dan Dara tahu diri sedang ada di rumah sakit, jadi mereka puasa bertengkar untuk sementara. Lebih-lebih lagi Dara saat ini sangat cemas. Ingin sekali ia berlari dan segera bertemu sahabatnya. Ya. Sahabatnya kini ada di rumah sakit. Sebenarnya sejak dari kemarin, hanya saja baru hari ini Frel boleh dijenguk. Semua gara-gara Farah. Kakak kelas jahat yang begitu arogan dan buas. Sahabatnya kemarin di-bully tanpa sepengetahuannya di belakang gudang sekolah. Alasannya hanya karena Frel secara terang-terangan merayu Kevan di lapangan sekolah dan berhasil mengajak dinner sang Ketua OSIS ters
"Woy ... ini rumah sakit lho, bukan tempat arisan." Tahu-tahu suara Alvin menghentikan ucapan Dara. Ia masuk bersama Kevan dan Ari."Eh, Kak Ari," ucap Dara kecentilan sambil berlari kecil menyambut cowok itu dengan melingkarkan tangannya di lengan Ari.Wah, wah, wah ... ini anak benar-benar kebangetan. Nggak tahu tempat. Saat Frel memberikan beberapa kode agar ia menjauh dari Ari, bukannya menurut, ini Dara malah makin mempererat tangannya dan menjulurkan lidah ke arahnya.Anehnya lagi, Ari tidak menolak Dara sama sekali, justru tuh cowok terlihat senang dan tersenyam malu-malu. Eh, ada apa ini?"Biarin aja, Frel. Wajar, mereka kan pasangan," ujar Kevan sembari duduk tepat di sebelah kanan Frel. "Gimana kabar lo hari ini? Udah baikan?"Mendengar pertanyaan lembut Kevan, Frel segera mengangguk dan tersenyum manis, sebelum tersadar akan sesuatu. "Tunggu-tunggu, Kak. Pasangan? Maksudnya, Kak?"Rasa-rasanya hanya ia sendiri yang terlihat tolol