Usai mengantar adiknya ke sekolah, lalu pergi ke kantor yang hanya setengah jam stay di sana untuk menandatangani berkas dan laporan anak buahnya, Rian buru-buru turun ke beberapa tempat proyek pembangunan untuk memantau keadaan.
Bukan berarti ia tidak percaya kepada anak buahnya, hanya saja dengan adanya proyek sepenting ini ia tidak mau cuma mengandalkan laporan semata, tetapi ia akan lebih yakin jika secara langsung turun dan melihat perkembangan pekerjaan mereka dengan kepala sendiri.
Ia sengaja mengecek proses pembangunan yang lagi berjalan di atas 50%. Dari sekian banyaknya proyek, ia jelas harus mengambil dua tim yang nilai perkembangannya di atas semuanya.
Beruntung salah satunya ada yang jalannya searah dengan rumah cewek yang kini menjadi tujuan utamanya. Dan setelah beberapa tempat ia cek, akhirnya Rian sampailah di tempat yang ia tuju karena rencana dari tempat ini ia akan mampir ke rumah Inez. Cewek yang selama tujuh tahun masih mendekam di relung h
Malam hari begini—meski badannya capek nggak ketulungan, bahkan baru dua jam yang lalu ia pulang kerja—Rian tetap keluar memenuhi janjinya pada Beni. Ia bela-belain datang demi Inez.Tatkala memasuki club malam, selain hentakan musik DJ yang begitu keras menyambutnya, Beni pun entah datang dari mana tiba-tiba udah muncul di depannya layaknya pocong dan langsung membawanya ke sebuah meja yang udah ia booking beberapa jam yang lalu. Seperti biasa ia selalu memesan VIP room bila bersama teman-temannya.Rian dan Beni gabung di sofa dengan Yoyok yang tengah asyik bersama cewek seksi di sebelahnya. Tampak Yoyok mencium hingga meraba-raba cewek yang bertelanjang dada tersebut.Beni terkekeh geli, sementara Rian hanya menggelengkan kepalanya."Lo ngapain ajak anak satu ini?" gerutu Rian."Gue nggak ngajak, dia sendiri yang minta ikutan." Beni mengedikkan bahunya sembari menuangkan sebotol minuman beralkohol di gelas Rian dan untuknya.Ri
"Oke, kita kembali ke Inez, ya, Yan," ujar Beni berusaha membujuk.Rian yang baru aja berdiri akhirnya kembali duduk. "Langsung ke intinya," ucapnya tegas.Tatapan cowok itu berganti dari Yoyok yang merapikan baju serta celananya, lalu berpindah ke arah Beni yang tengah cengar-cengir sembari menyisir rambut dengan tangannya."Lo mau info tentang Inez kan, Yan?" tanya Yoyok dengan muka polosnya."Masih nanya?!" jawab Rian ketus. Kali ini ia rasanya ingin membenturkan dua cowok yang mengaku sahabatnya itu.Emang nggak tahu apa, ini tubuh udah mau tepar ke kasur."Lo bodoh banget sih, Yok. Malu-maluin," celetuk Beni sambil melempar kunci mobilnya ke arah jidat Yoyok."Asem! Sakit, woy!!" teriak Yoyok sambil mengelus-elus dahinya. Ia menunduk untuk mengambil kunci tersebut yang jatuh ke lantai, kemudian ia letakkan di atas meja. "Bukan gitu, Ben. Gue cuma mencoba buat kembali ke jalur awal biar nanti pembicaraan nggak melenceng ke mana-ma
Dara senyam-senyum di tempat duduknya. Beberapa menit kemudian ia bahkan cekikikan sendiri. Ia merasa puas. Puas karena kakak kelas nyebelin—si Alvin—sekarang nggak bisa berkutik di depannya.Semua bermula saat kemarin ia memberikan kejutan datang ke kelas Ari dan menggandeng tangan cowok itu dengan sengaja di depan Alvin. Jelas aja si kunyuk satu itu matanya seolah mau melompat ke luar.Jika memikirkan kejadian itu lagi, Dara rasanya pengin ketawa ngakak. Ia masih ingat bagaimana reaksi tuh cowok."Ar, lo nggak salah? Lo nggak katarak kan?"Sialan! Maksudnya apaan tuh bilang sang pacar katarak? Apa dirinya dikira jelek, gitu? Enak, aja!Meskipun saat itu ia ingin melabrak mulut busuk tuh cowok, untung aja Dara masih dalam mode kalem dan masih mempertahankan senyuman manis ala gula asli, tanpa pemanis buatan. Pun juga tidak peduli dengan reaksi kaget para kakak kelas yang ada di ruang kelas tersebut."Jangan bilang cewek yang tia
Ari keluar dari mobil dengan tampang lemas. Mendengar pertengkaran dua orang yang tidak ada yang mau mengalah, membuat telinganya seakan budek sejenak. Ia menghela napas lega ketika bertemu Kevan di lobi rumah sakit. "Sorry, Kev. Nunggu lama, ya?" "Nggak juga, Ar. Ayo, kita masuk." Mereka bertiga sama-sama mengangguk dan berjalan dalam diam. Alvin dan Dara tahu diri sedang ada di rumah sakit, jadi mereka puasa bertengkar untuk sementara. Lebih-lebih lagi Dara saat ini sangat cemas. Ingin sekali ia berlari dan segera bertemu sahabatnya. Ya. Sahabatnya kini ada di rumah sakit. Sebenarnya sejak dari kemarin, hanya saja baru hari ini Frel boleh dijenguk. Semua gara-gara Farah. Kakak kelas jahat yang begitu arogan dan buas. Sahabatnya kemarin di-bully tanpa sepengetahuannya di belakang gudang sekolah. Alasannya hanya karena Frel secara terang-terangan merayu Kevan di lapangan sekolah dan berhasil mengajak dinner sang Ketua OSIS ters
"Woy ... ini rumah sakit lho, bukan tempat arisan." Tahu-tahu suara Alvin menghentikan ucapan Dara. Ia masuk bersama Kevan dan Ari."Eh, Kak Ari," ucap Dara kecentilan sambil berlari kecil menyambut cowok itu dengan melingkarkan tangannya di lengan Ari.Wah, wah, wah ... ini anak benar-benar kebangetan. Nggak tahu tempat. Saat Frel memberikan beberapa kode agar ia menjauh dari Ari, bukannya menurut, ini Dara malah makin mempererat tangannya dan menjulurkan lidah ke arahnya.Anehnya lagi, Ari tidak menolak Dara sama sekali, justru tuh cowok terlihat senang dan tersenyam malu-malu. Eh, ada apa ini?"Biarin aja, Frel. Wajar, mereka kan pasangan," ujar Kevan sembari duduk tepat di sebelah kanan Frel. "Gimana kabar lo hari ini? Udah baikan?"Mendengar pertanyaan lembut Kevan, Frel segera mengangguk dan tersenyum manis, sebelum tersadar akan sesuatu. "Tunggu-tunggu, Kak. Pasangan? Maksudnya, Kak?"Rasa-rasanya hanya ia sendiri yang terlihat tolol
Guna memperlancar keinginannya bertemu Inez, Rian sengaja memajukan jadwal meeting dengan salah satu kliennya untuk membicarakan proyek pembangunan gedung rumah sakit.Tentu saja lokasi pertemuan ia sendiri yang pilih. Tiada yang lain yaitu di restoran sang sahabat—Beni.Rian udah mengatur semuanya dari awal. Semalam sepulang dari club, bukannya istirahat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya yang lelah, ia malah dengan semangat dan memaksa dirinya membuat progres jadwal untuk mempersiapkan bahan meeting. Hingga pagi tadi, ia menghubungi Pak Ronald untuk membicarakan susunan waktu yang telah ia tentukan."Halo, Bro!" sapa Beni ketika ia harus buru-buru keluar begitu menerima panggilan Rian yang udah sampai di parkiran.Mengetahui sahabatnya tengah bersandar di badan mobil range rover yang tampak mengkilat, ia pun berseru heboh. "Busyeettt! Jadi ini alasan lo telepon gue suruh ke sini. Mau pamer mobil baru gitu?"Rian terbahak. "Nggaklah, Ben. Lagian juga nggak baru-baru amat. Udah beberap
Rian mencari meja kosong dan duduk di sana sambil menunggu kedatangan Inez, sementara Beni udah ia suruh pergi duluan supaya ia mempunyai ruang berdua sama cewek yang selalu bisa membuatnya gugup dan tidak bisa mengontrol perasaannya itu.Ia emang sengaja siang ini datang dua jam lebih awal dari waku meeting yang disepakati, agar tujuan utama ngobrol bersama Inez terlaksana.Jas kantornya ia letakkan di sandaran kursi, menyisakan gaya casual yang cukup menonjolkan ketampanannya. Berpakaian kemeja polos dikombinasikan dengan celana bahan slim fit dan pantofel.Rian mengeluarkan ponselnya dan bermain game sejenak. Tak menghiraukan tatapan lapar dari para wanita yang ingin sekali mengenal dan berhubungan dengannya."Mau pesan apa, Tuan?"Mendengar suara itu, sontak Rian mendongak. "Pesan hati lo boleh?""Kalo lo beli hati gue, t-t-terus gue pakai hati siapa?" tanya balik Inez, tergagap-gagap sambil senyum kikuk, sekaligus gugup.Mereka berdua udah beberapa kali berjumpa, Inez rasa ia har
Inez menyerahkan pesanan Rian pada temannya di dapur. Tahu-tahu Leni—pegawai perempuan yang usianya paling muda—langsung menyerbu."Mbak Inez, Mbak, itu tadi Mas Rian kan?" tanya dia dengan penuh semangat.Cewek yang saat ini sedang mengeringkan piring-piring sambil menunggu pesanan selesai dimasak, mengangguk kecil sambil tersenyum."Ganteng banget, ya, Mbak," tambah Leni, masih seantusias tadi. Ia jingkrak-jingkrak sembari kedua tangannya bertumpu pada meja dapur. "Itu teman dekatnya bos kita. Sering makan di sini. Biasanya sih gue yang layanin," lanjutnya, tetapi kali ini sambil manyun.Inez menoleh sejenak dan mendapati wajah Leni berubah kecewa. "Kenapa? Ya, kan, bagus. Jadi sekarang kalian udah saling kenal, dong.""Kenal sih kenal, Mbak, tapi cuma sampai batas antar pesanan makanan dan beberapa kali ngobrol dikit, kayaknya Mas Rian gitu cuma buat basa-basi doang, deh."Inez hanya menanggapinya dengan senyuman sambil tangannya masih sibuk bekerja.Beberapa saat kemudian, Leni me