Inez menyerahkan pesanan Rian pada temannya di dapur. Tahu-tahu Leni—pegawai perempuan yang usianya paling muda—langsung menyerbu."Mbak Inez, Mbak, itu tadi Mas Rian kan?" tanya dia dengan penuh semangat.Cewek yang saat ini sedang mengeringkan piring-piring sambil menunggu pesanan selesai dimasak, mengangguk kecil sambil tersenyum."Ganteng banget, ya, Mbak," tambah Leni, masih seantusias tadi. Ia jingkrak-jingkrak sembari kedua tangannya bertumpu pada meja dapur. "Itu teman dekatnya bos kita. Sering makan di sini. Biasanya sih gue yang layanin," lanjutnya, tetapi kali ini sambil manyun.Inez menoleh sejenak dan mendapati wajah Leni berubah kecewa. "Kenapa? Ya, kan, bagus. Jadi sekarang kalian udah saling kenal, dong.""Kenal sih kenal, Mbak, tapi cuma sampai batas antar pesanan makanan dan beberapa kali ngobrol dikit, kayaknya Mas Rian gitu cuma buat basa-basi doang, deh."Inez hanya menanggapinya dengan senyuman sambil tangannya masih sibuk bekerja.Beberapa saat kemudian, Leni me
"Lo nggak kenal gue?" Cewek itu makin maju dan menarik kursi untuk dirinya sendiri tanpa menghiraukan keberadaan Inez. "Gue Ana, Yan. Mantan lo waktu kuliah dulu."Damn! Mantan nongol di saat yang tidak tepat. Sial!"Lo lupa sama gue?""Oh, eee ...," Ia mengurut keningnya sambil mikir, "iya, inget."Cowok itu menatap Inez sekilas, ada rasa was-was dan juga kesal dalam pikirannya. Ia jadi serba salah. Takut dia ngomong sama tuh cewek, entar si Inez malah salah paham."Lo di sini juga?""Iya," jawabnya ogah-ogahan."Sama siapa?""Sama temen.""Mana temen lo?""Belum datang," balas Rian sambil menggerutu dalam hati. Nih cewek kapan selesainya, sih? Tanya terus, udah kayak wartawan aja."Eh, sekarang lo kerja apa?""Gue?"Cewek itu mengangguk."Gue ...," Ucapannya mengambang dan menggaruk pelipisnya sambil berpikir cepat. "Kerja kuli."Bodoh amat asal jeplak. Biar cewek yang berani ngerusak rencananya itu segera pergi dan cepat kelar.Sementara Inez seketika membekap mulutnya, menahan taw
Derap langkah itu terkesan cepat dan tergesa-gesa. Gumaman tak jelas dari mulutnya membuat beberapa pasang mata mempertanyakan sosoknya bahkan ada yang tertuju pada keadaan jiwanya.Tapi toh gadis itu tetap tak peduli tentang tanggapan yang ada di sekitarnya.Ia terus saja berjalan dan mendongkol dalam hati. Sebagian ia keluarkan sebagai gerutuan supaya dada yang sesak segera plong dan berasa bebas lagi.Saat mencapai pintu kelas XII IPA-1, segera saja ia asal nyelonong masuk dan langsung berdiri di sebelah tempat bangku Ari."Hai, Ra," sapa Ari dengan ramah.Yang disapa menunjukkan raut muka cemberut sembari melipat kedua tangannya di dada. Ari tersenyum kikuk. Jelas ia tahu penyebab cewek itu marah seperti sekarang."Eh, panci gosong! Ngapain lo ke sini?" serobot Alvin yang masih di tempat duduknya."Suka-suka gue, dong. Nggak usah ikut campur," semprot Dara sambil berkacak pinggang."Buseetttt! Lo masih betah sama nih cewek jadi-jadian, Ar?" caci Alvin sembari tertawa mengejek. "Me
Menurut Dara, siasatnya kali ini cukup cemerlang. Karena lagi-lagi ia teringat mama papanya melarang berangkat maupun pulang sekolah bersama sang pacar dan tetap harus Pak Komar yang menjemput, alhasil otak di kepalanya berputar keras mencari jalan ke luar.Saat waktunya pulang, ia menahan Ari di sekolah dan buru-buru ia masuk ke mobil sang pacar. Sedangkan Pak Komar ia perintahkan mengikutinya dari belakang. Nah, kalau gini kan namanya nggak melanggar perintah dari nyokap bokap.Di satu sisi ia masih bisa semobil bersama Ari, di sisi lain Pak Komar tergolong tetap menjemputnya dengan mengikuti mereka dari belakang. Lihat, ide yang sangat jitu, kan?Kita iyain ajalah, biar si Dara seneng. Oke, sekarang lanjut!Mobil mereka berhenti di halaman depan rumah Dara. Siasat awal Dara saat ini adalah mengajak sang pacar main ke rumahnya sepulang sekolah. Ya, masak dia terus yang ke rumah Ari, sekarang giliran, dong!Buat Ari, iya-iya aja. Mau gimana lagi, dia udah keburu janji untuk menuruti
Di depan Ari dan para pembantunya, Dara mencak-mencak, mengentakkan kakinya tiada henti. Bodoh amat dengan rasa malu. Ia nggak peduli. Kakaknya emang benar-benar keterlaluan.Guna-guna? Bah! Mana mungkin ia mengirim jampi-jampi demi mendapatkan pacar?Walaupun ada terbesit sedikiiiit aja keinginan ke situ jika sampai semua rencananya gagal sih, tapi kan ... arghh! Pokoknya kan dalam kenyataannya ia nggak pernah melakukan seperti yang kakaknya bilang. Ia juga tahu itu perbuatan dosa kok, dan ia nggak akan senekat itu. Ih, amit-amit!"Apa liat-liat?!" Dara melotot dengan nada sengak saat pembantunya pada diam kayak patung dan melihatnya terus.Ari hanya menggelengkan kepalanya kala mendapati kembali tingkah dan sikap Dara. Meski demikian, ia masih bisa memaklumi. Wajar, dia sedang kesal.Itu berarti Dara di depannya tidak berusaha menutup-nutupi perangainya. Seperti banyak cewek yang ia temui, baik saat di depan, tetapi buruk di belakang. Selama masih dalam batas normal, ia akan coba me
Di sebuah rumah kecil yang sederhana terdapat seorang ibu tengah menyuapi anak lelakinya yang masih berusia 4 tahun, sementara anak perempuannya yang udah dewasa sedang menyetrika baju mereka semua.Anak kecil tersebut duduk di sofa sambil menikmati makanan itu dengan lahap di depan televisi. Ia memainkan mainan robot yang ada di genggaman. Ibunya yang ada di sampingnya sesekali mengelus puncak kepala anak itu dengan sayang.Beliau melihat tontonan kartun anaknya sekilas, lalu tatapannya jatuh kepada perempuan yang tengah sibuk menyetrika di atas meja yang menghadap ke arahnya.Sang ibu menarik napas panjang. "Coba kalau kamu punya suami, Nez, hidup kita nggak akan susah seperti ini. Kamu nggak perlu kerja banting tulang dan semua kebutuhanmu bakal dipenuhi semua oleh suamimu. Kamu juga nggak repot-repot nyetrika, mencuci, memasak, bersih-bersih rumah, semua bisa dikerjakan pembantu seperti hidup kita dulu."Gerakan tangan Inez terhenti, bulu matanya terangkat dan netra itu kini menat
Ibunya langsung berdiri dan meninggalkan Inez begitu aja.Perempuan itu tidak kaget. Ibunya selalu seperti itu. Tiap beliau tersudut selalu menghindar dan pergi meninggalkannya tanpa mau menyelesaikan perselisihan mereka.Ia menghela napas dalam dan segera melanjutkan pekerjaan rumah yang sedang menanti. Dari memasak, mencuci, menyetrika, menyapu sampai mengepel, ia kerjakan semua tanpa banyak kata.Peluh di dahinya ia usap dan segera mandi agar ia bisa berangkat kerja secepatnya. Setelah selesai mandi, Inez pun segera bersiap-siap dan mengenakan riasan tipis di wajahnya.Namun tiba-tiba, suara ketukan di pintu mengalihkan pandangannya."Ya?""Nez, boleh mama masuk? Mama buka, ya?"Inez mengernyitkan dahinya waktu mendengar nada suara mamanya melembut. Lebih terkesan curiga. Mana mungkin beliau berubah secepat itu sesudah pertengkaran mereka beberapa saat lalu. Dan satu lagi, sejak kapan ibunya meminta izin ketika akan masuk kamarnya?"Masuk aja," jawabnya datar sambil duduk di depan
Suasana menjadi kikuk dan hening. Tubuh Rian kaku. Ia tidak pernah menyangka cewek itu tidak menginginkannya berada di sini. Ia menelan ludahnya dengan oandangan sayu. "Apa gue terlalu lancang? Lo nggak suka gue datang ke sini, Nez?" "Maaf, Yan. Tapi sebaiknya lo emang nggak ke sini." Ia melirik sekilas ke arah mamanya yang kini tampak terkejut. "Lo nggak akan dapat apa-apa selain kerugian," imbuhnya dengan nada datar. Kali ini perempuan itu nggak akan membiarkan mamanya memanfaatkan Rian. Beliau melotot dan panik. Ia menggerak-gerakkan telapak tangannya dengan cepat. "Nak Rian jangan dengarkan anak saya," kata ibunya—Devita—sambil maju satu langkah. "Nggak usah dimasukkan dalam hati. Inez tadi cuma bercanda." Wajah Inez berubah muram. Ia menatap Rian. "Mulai sekarang lo nggak usah—" "Maa, ada apa?" Suara manja itu tiba-tiba memotong ucapan Inez. Reyhan berjalan ke sisi ibunya dan bergantian melihat pemuda di antara ibu dan kakaknya. "Om ini siapa, Ma?" Sontak pundak yang tegang