Suasana menjadi kikuk dan hening. Tubuh Rian kaku. Ia tidak pernah menyangka cewek itu tidak menginginkannya berada di sini. Ia menelan ludahnya dengan oandangan sayu. "Apa gue terlalu lancang? Lo nggak suka gue datang ke sini, Nez?" "Maaf, Yan. Tapi sebaiknya lo emang nggak ke sini." Ia melirik sekilas ke arah mamanya yang kini tampak terkejut. "Lo nggak akan dapat apa-apa selain kerugian," imbuhnya dengan nada datar. Kali ini perempuan itu nggak akan membiarkan mamanya memanfaatkan Rian. Beliau melotot dan panik. Ia menggerak-gerakkan telapak tangannya dengan cepat. "Nak Rian jangan dengarkan anak saya," kata ibunya—Devita—sambil maju satu langkah. "Nggak usah dimasukkan dalam hati. Inez tadi cuma bercanda." Wajah Inez berubah muram. Ia menatap Rian. "Mulai sekarang lo nggak usah—" "Maa, ada apa?" Suara manja itu tiba-tiba memotong ucapan Inez. Reyhan berjalan ke sisi ibunya dan bergantian melihat pemuda di antara ibu dan kakaknya. "Om ini siapa, Ma?" Sontak pundak yang tegang
Mimik mukanya kontan berubah. Ia menggertakkan gigi, lantas menarik langkah dan bergegas mendatangi Devita.Sebelumnya ia berkata pada Rian. "Gue mohon lo di sini aja, ya, Yan.""Emang ada apa, Nez?" tanya Rian dengan raut bingung."Pokoknya lo tetep di sini, jangan ikut gue."Tanpa menunggu jawaban Rian, ia langsung mengambil langkah. Berjalan secepat mungkin dan berhenti tepat di depan mamanya. "Maksud mama apa ngikutin aku sama Rian?"Devita menarik tangan Reyhan agak mendekat. "Kata siapa mama ngikutin kalian, mama ke sini mau ke mini market kok.""Udahlah, Ma, jangan berkilah. Aku tau mama sengaja, kan?""Nggak, Nez. Mama itu cuma mau beli susu bubuk buat Reyhan. Ya, kan, Sayang?"Reyhan yang nggak tahu apa-apa hanya mendongak ke arah mamanya, mengerjapkan mata polos sambil memakan cokelat di tangannya."Setauku susunya Reyhan baru beli dua hari yang lalu. Nggak mungkin secepat itu habis," sahut Inez sembari melipat kedua tangan di depan dada."Oh, baru beli, ya?" Devita kelabaka
Mobil itu makin lama makin mengecil dan menghilang dari pandangan. Devita lekas mengajak Reyhan berjalan ke mini market, akan tetapi setelah beberapa langkah beliau berhenti begitu mendengar suara yang tidak asing memanggil namanya."Jeng Devita!" Suara itu terdengar keras dari dalam sebuah mobil sedan yang tampak mengkilap dan mewah.Devita sontak menoleh dan melihat sosok wanita anggun yang sebaya dengannya sedang menurunkan kaca mobil di bagian belakang sang sopir.Devita membelalakkan matanya, namun sedetik kemudian wajahnya berubah dengan senyum mengembang."Eh, Jeng Desi, ya?" tanyanya memastikan sembari berjalan ke arah mobil tersebut. "Halo, gimana kabarnya, Jeng?""Baik." Desi membuka kacamata hitamnya dan tersenyum. "Mau ke mana? Kok lama nggak ada kabar? Hilang ke mana, Jeng?"Tawa itu meledak sambil mengibaskan tangannya. "Ah, nggak ke mana-mana kok. Jeng Desi bisa saja.""Masa? Kok tiba-tiba nomor telepon nggak bisa dihubungi? Nggak pernah muncul saat arisan lagi, sengaja
Langkah kaki itu kini berlari mengejar cewek berambut lurus di antara kerumunan para siswa-siswi yang lagi berada di jam istirahat. Napasnya ngos-ngosan, sedari tadi dia udah berteriak layaknya orang kesetanan, tapi cewek itu tetap aja tidak menghiraukannya, malah seolah berubah tuli, kayak orang yang ngelamun sambil jalan dan seakan tak mendengarkan apa-apa di belakangnya. Dilihat dari cara jalannya yang seperti robot tak tentu arah, dia pikir mungkin tuh cewek sedang banyak pikiran. Atau ini ada hubungannya dengan Kenn? Ya, dari kemarin tingkah sahabatnya itu emang rada aneh. Selain selalu melihat bangku kosong Kenn, setahu dia sampai sekarang sobatnya itu belum bisa menemukan Kenn dan berbicara dengan tuh cowok. Sebenarnya Dara cukup penasaran tentang alasan Kenn melakukan semua itu untuk Frel. Melindunginya, bahkan sangat peduli kepada sahabat kecilnya itu. Apa jangan-jangan Kenn diam-diam suka sama Frel? Tadi pagi dia juga udah labrak Tomi dan meminta bocoran keberadaan Kenn.
Langkah itu terpaksa terhenti."Ada apaan lagi sih, Ra?" tanya Frel kesal begitu melihat Dara dari belakang tiba-tiba melompat ke depannya layaknya kodok sambil merentangkan tangannya.Dara menghadang Frel sambil cengengesan nggak jelas."Jangan buru-buru pergi dong, Frel. Gue kan belum jelasin maksud gue cariin lo tuh apa.""Kenapa nggak dari tadi ngomongnya?""Ya, mau ngomong gimana, lo aja nggak kasih kesempatan gue ngomong, Frel," tukas Dara sambil sok cemberut.Frel menghela napas kasar seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Ya, udah jelasin. Jangan lama-lama, gue kasih waktu lo lima menit."Dara kontan melotot sambil berseru panik. "Kok waktunya dikit banget. Tambahin, dong!""Udah satu menit kebuang sia-sia. Waktu lo tinggal empat menit.""Oke, oke. Gue ngomong." Dara maju mendekat sembari merangkul tangan sahabatnya. Ia cengar-cengir kayak orang bego. "Ikut gue, yuk, Frel."Cewek berkulit putih itu memutar kedua bola matanya. "Ke mana?""Temani gue ketemu cowok gue, ya
Sesungguhnya Dara ingin Frel berpacaran sama Kenn. Ia pikir mereka sangat serasi. Akan tetapi yang membuat Dara pesimis mak comblangin Frel dan Kenn itu ya ini, bahwa Frel lebih tergila-gila sama kakak ketua OSIS kita daripada Kenn. Ia sebagai sahabat nggak bisa apa-apa selain mendukung apa aja yang diinginkan Frel.Ia tadi membahas Kevan ada di kantin bersama sang pacar, karena tidak lain dan tidak bukan hanya ingin membuat Frel tersenyum dan ceria lagi. Bukan terus memikirkan Kenn yang menjadikan dirinya akhir-akhir ini murung.Intinya Dara ingin apa pun pilihan Frel, ia berharap pilihan tersebut adalah yang terbaik untuk sobatnya dan selalu mendatangkan kebahagiaan untuk Frel.Ya, Frel harus bahagia. Ia tidak ingin Frel menderita lagi. Ia tidak mau melihat sahabat kecilnya ini menangis diam-diam di belakangnya. Berusaha kuat dengan segala permasalahannya sedari kecil. Seolah semua beban hidup bisa ia genggam dan tertutup oleh sifat ceria dan ketangguhannya.Kini Dara dengan semanga
Semenjak tahu perempuan yang ia sukai bekerja di restoran sahabatnya, pria itu langsung bergerak cepat. Termasuk meminta daftar jadwal masuk kerja sang cewek kepada sahabatnya. Otomatis segala yang ia lakukan akan selalu bertepatan di mana ada cewek itu berada.Seperti hari ini contohnya. Seolah telah menjadi kebiasaan, saat tiba jam makan siang ia buru-buru datang ke restoran itu, dan seakan telah terbiasa akan kehadirannya, si cewek hanya tersenyum sambil melayani pelanggan setia dadakan tersebut.Iya, Rian sekarang mah salah satu pelanggan khusus yang wajib dilayani oleh Inez. Dan itu pun atas perintah dari Beni."Makan siang, Yan?" tanya Inez sambil melihat Rian yang udah duduk anteng menunggunya. "Kali ini mau menu apa lagi?"Rian nyengir kuda, jelas ia juga sebenarnya malu ke sini terus-terusan, tapi apa boleh buat, hatinya ada di sini. Cewek yang ia sukai berada di restoran ini. Cowok itu hanya berusaha menebalkan muka dan tanpa rasa malu menjawab semua pertanyaan Inez dengan j
Mendung menyelimuti sore itu ketika Rian selesai meeting bersama arsitek yang ia bawa ke kantor Pak Ronald untuk membahas konsep dari proyek gedung rumah sakit yang akan ditangani oleh timnya.Sejak keluar dari kantor tersebut, beberapa kali ia melihat jam tangannya hingga membuat rekan kerjanya mengernyit heran."Lo kenapa, Yan? Gue perhatiin dari tadi ngecek jam tangan mulu.""Mendungnya gelap banget. Kayaknya bentar lagi mau hujan," ucap Rian terdengar gusar, berkacak pinggang sambil melihat langit. Tanpa menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya."Hmm, malah gue dikacangin," gerutu Rudi—sang arsitek —yang lagi berdiri di depan kantor Pak Ronald."Sorry, Rud. Gue lagi nggak konsen." Rian menoleh ke arah Rudi. "Menurut lo bentar lagi bakal hujan nggak?""Kalo liat dari langitnya kemungkinan besar akan hujan. Kenapa? Lo takut kehujanan waktu pulang? Lo kan bawa mobil, Yan.""Enggaklah, ngapain takut hujan," tukas Rian cepat. "Takut tuh sama Sang Pencipta.""Lha, terus kenapa?"Rian