Derap langkah itu terkesan cepat dan tergesa-gesa. Gumaman tak jelas dari mulutnya membuat beberapa pasang mata mempertanyakan sosoknya bahkan ada yang tertuju pada keadaan jiwanya.Tapi toh gadis itu tetap tak peduli tentang tanggapan yang ada di sekitarnya.Ia terus saja berjalan dan mendongkol dalam hati. Sebagian ia keluarkan sebagai gerutuan supaya dada yang sesak segera plong dan berasa bebas lagi.Saat mencapai pintu kelas XII IPA-1, segera saja ia asal nyelonong masuk dan langsung berdiri di sebelah tempat bangku Ari."Hai, Ra," sapa Ari dengan ramah.Yang disapa menunjukkan raut muka cemberut sembari melipat kedua tangannya di dada. Ari tersenyum kikuk. Jelas ia tahu penyebab cewek itu marah seperti sekarang."Eh, panci gosong! Ngapain lo ke sini?" serobot Alvin yang masih di tempat duduknya."Suka-suka gue, dong. Nggak usah ikut campur," semprot Dara sambil berkacak pinggang."Buseetttt! Lo masih betah sama nih cewek jadi-jadian, Ar?" caci Alvin sembari tertawa mengejek. "Me
Menurut Dara, siasatnya kali ini cukup cemerlang. Karena lagi-lagi ia teringat mama papanya melarang berangkat maupun pulang sekolah bersama sang pacar dan tetap harus Pak Komar yang menjemput, alhasil otak di kepalanya berputar keras mencari jalan ke luar.Saat waktunya pulang, ia menahan Ari di sekolah dan buru-buru ia masuk ke mobil sang pacar. Sedangkan Pak Komar ia perintahkan mengikutinya dari belakang. Nah, kalau gini kan namanya nggak melanggar perintah dari nyokap bokap.Di satu sisi ia masih bisa semobil bersama Ari, di sisi lain Pak Komar tergolong tetap menjemputnya dengan mengikuti mereka dari belakang. Lihat, ide yang sangat jitu, kan?Kita iyain ajalah, biar si Dara seneng. Oke, sekarang lanjut!Mobil mereka berhenti di halaman depan rumah Dara. Siasat awal Dara saat ini adalah mengajak sang pacar main ke rumahnya sepulang sekolah. Ya, masak dia terus yang ke rumah Ari, sekarang giliran, dong!Buat Ari, iya-iya aja. Mau gimana lagi, dia udah keburu janji untuk menuruti
Di depan Ari dan para pembantunya, Dara mencak-mencak, mengentakkan kakinya tiada henti. Bodoh amat dengan rasa malu. Ia nggak peduli. Kakaknya emang benar-benar keterlaluan.Guna-guna? Bah! Mana mungkin ia mengirim jampi-jampi demi mendapatkan pacar?Walaupun ada terbesit sedikiiiit aja keinginan ke situ jika sampai semua rencananya gagal sih, tapi kan ... arghh! Pokoknya kan dalam kenyataannya ia nggak pernah melakukan seperti yang kakaknya bilang. Ia juga tahu itu perbuatan dosa kok, dan ia nggak akan senekat itu. Ih, amit-amit!"Apa liat-liat?!" Dara melotot dengan nada sengak saat pembantunya pada diam kayak patung dan melihatnya terus.Ari hanya menggelengkan kepalanya kala mendapati kembali tingkah dan sikap Dara. Meski demikian, ia masih bisa memaklumi. Wajar, dia sedang kesal.Itu berarti Dara di depannya tidak berusaha menutup-nutupi perangainya. Seperti banyak cewek yang ia temui, baik saat di depan, tetapi buruk di belakang. Selama masih dalam batas normal, ia akan coba me
Di sebuah rumah kecil yang sederhana terdapat seorang ibu tengah menyuapi anak lelakinya yang masih berusia 4 tahun, sementara anak perempuannya yang udah dewasa sedang menyetrika baju mereka semua.Anak kecil tersebut duduk di sofa sambil menikmati makanan itu dengan lahap di depan televisi. Ia memainkan mainan robot yang ada di genggaman. Ibunya yang ada di sampingnya sesekali mengelus puncak kepala anak itu dengan sayang.Beliau melihat tontonan kartun anaknya sekilas, lalu tatapannya jatuh kepada perempuan yang tengah sibuk menyetrika di atas meja yang menghadap ke arahnya.Sang ibu menarik napas panjang. "Coba kalau kamu punya suami, Nez, hidup kita nggak akan susah seperti ini. Kamu nggak perlu kerja banting tulang dan semua kebutuhanmu bakal dipenuhi semua oleh suamimu. Kamu juga nggak repot-repot nyetrika, mencuci, memasak, bersih-bersih rumah, semua bisa dikerjakan pembantu seperti hidup kita dulu."Gerakan tangan Inez terhenti, bulu matanya terangkat dan netra itu kini menat
Ibunya langsung berdiri dan meninggalkan Inez begitu aja.Perempuan itu tidak kaget. Ibunya selalu seperti itu. Tiap beliau tersudut selalu menghindar dan pergi meninggalkannya tanpa mau menyelesaikan perselisihan mereka.Ia menghela napas dalam dan segera melanjutkan pekerjaan rumah yang sedang menanti. Dari memasak, mencuci, menyetrika, menyapu sampai mengepel, ia kerjakan semua tanpa banyak kata.Peluh di dahinya ia usap dan segera mandi agar ia bisa berangkat kerja secepatnya. Setelah selesai mandi, Inez pun segera bersiap-siap dan mengenakan riasan tipis di wajahnya.Namun tiba-tiba, suara ketukan di pintu mengalihkan pandangannya."Ya?""Nez, boleh mama masuk? Mama buka, ya?"Inez mengernyitkan dahinya waktu mendengar nada suara mamanya melembut. Lebih terkesan curiga. Mana mungkin beliau berubah secepat itu sesudah pertengkaran mereka beberapa saat lalu. Dan satu lagi, sejak kapan ibunya meminta izin ketika akan masuk kamarnya?"Masuk aja," jawabnya datar sambil duduk di depan
Suasana menjadi kikuk dan hening. Tubuh Rian kaku. Ia tidak pernah menyangka cewek itu tidak menginginkannya berada di sini. Ia menelan ludahnya dengan oandangan sayu. "Apa gue terlalu lancang? Lo nggak suka gue datang ke sini, Nez?" "Maaf, Yan. Tapi sebaiknya lo emang nggak ke sini." Ia melirik sekilas ke arah mamanya yang kini tampak terkejut. "Lo nggak akan dapat apa-apa selain kerugian," imbuhnya dengan nada datar. Kali ini perempuan itu nggak akan membiarkan mamanya memanfaatkan Rian. Beliau melotot dan panik. Ia menggerak-gerakkan telapak tangannya dengan cepat. "Nak Rian jangan dengarkan anak saya," kata ibunya—Devita—sambil maju satu langkah. "Nggak usah dimasukkan dalam hati. Inez tadi cuma bercanda." Wajah Inez berubah muram. Ia menatap Rian. "Mulai sekarang lo nggak usah—" "Maa, ada apa?" Suara manja itu tiba-tiba memotong ucapan Inez. Reyhan berjalan ke sisi ibunya dan bergantian melihat pemuda di antara ibu dan kakaknya. "Om ini siapa, Ma?" Sontak pundak yang tegang
Mimik mukanya kontan berubah. Ia menggertakkan gigi, lantas menarik langkah dan bergegas mendatangi Devita.Sebelumnya ia berkata pada Rian. "Gue mohon lo di sini aja, ya, Yan.""Emang ada apa, Nez?" tanya Rian dengan raut bingung."Pokoknya lo tetep di sini, jangan ikut gue."Tanpa menunggu jawaban Rian, ia langsung mengambil langkah. Berjalan secepat mungkin dan berhenti tepat di depan mamanya. "Maksud mama apa ngikutin aku sama Rian?"Devita menarik tangan Reyhan agak mendekat. "Kata siapa mama ngikutin kalian, mama ke sini mau ke mini market kok.""Udahlah, Ma, jangan berkilah. Aku tau mama sengaja, kan?""Nggak, Nez. Mama itu cuma mau beli susu bubuk buat Reyhan. Ya, kan, Sayang?"Reyhan yang nggak tahu apa-apa hanya mendongak ke arah mamanya, mengerjapkan mata polos sambil memakan cokelat di tangannya."Setauku susunya Reyhan baru beli dua hari yang lalu. Nggak mungkin secepat itu habis," sahut Inez sembari melipat kedua tangan di depan dada."Oh, baru beli, ya?" Devita kelabaka
Mobil itu makin lama makin mengecil dan menghilang dari pandangan. Devita lekas mengajak Reyhan berjalan ke mini market, akan tetapi setelah beberapa langkah beliau berhenti begitu mendengar suara yang tidak asing memanggil namanya."Jeng Devita!" Suara itu terdengar keras dari dalam sebuah mobil sedan yang tampak mengkilap dan mewah.Devita sontak menoleh dan melihat sosok wanita anggun yang sebaya dengannya sedang menurunkan kaca mobil di bagian belakang sang sopir.Devita membelalakkan matanya, namun sedetik kemudian wajahnya berubah dengan senyum mengembang."Eh, Jeng Desi, ya?" tanyanya memastikan sembari berjalan ke arah mobil tersebut. "Halo, gimana kabarnya, Jeng?""Baik." Desi membuka kacamata hitamnya dan tersenyum. "Mau ke mana? Kok lama nggak ada kabar? Hilang ke mana, Jeng?"Tawa itu meledak sambil mengibaskan tangannya. "Ah, nggak ke mana-mana kok. Jeng Desi bisa saja.""Masa? Kok tiba-tiba nomor telepon nggak bisa dihubungi? Nggak pernah muncul saat arisan lagi, sengaja