Dara senyam-senyum di tempat duduknya. Beberapa menit kemudian ia bahkan cekikikan sendiri. Ia merasa puas. Puas karena kakak kelas nyebelin—si Alvin—sekarang nggak bisa berkutik di depannya.
Semua bermula saat kemarin ia memberikan kejutan datang ke kelas Ari dan menggandeng tangan cowok itu dengan sengaja di depan Alvin. Jelas aja si kunyuk satu itu matanya seolah mau melompat ke luar.
Jika memikirkan kejadian itu lagi, Dara rasanya pengin ketawa ngakak. Ia masih ingat bagaimana reaksi tuh cowok.
"Ar, lo nggak salah? Lo nggak katarak kan?"
Sialan! Maksudnya apaan tuh bilang sang pacar katarak? Apa dirinya dikira jelek, gitu? Enak, aja!
Meskipun saat itu ia ingin melabrak mulut busuk tuh cowok, untung aja Dara masih dalam mode kalem dan masih mempertahankan senyuman manis ala gula asli, tanpa pemanis buatan. Pun juga tidak peduli dengan reaksi kaget para kakak kelas yang ada di ruang kelas tersebut.
"Jangan bilang cewek yang tia
Ari keluar dari mobil dengan tampang lemas. Mendengar pertengkaran dua orang yang tidak ada yang mau mengalah, membuat telinganya seakan budek sejenak. Ia menghela napas lega ketika bertemu Kevan di lobi rumah sakit. "Sorry, Kev. Nunggu lama, ya?" "Nggak juga, Ar. Ayo, kita masuk." Mereka bertiga sama-sama mengangguk dan berjalan dalam diam. Alvin dan Dara tahu diri sedang ada di rumah sakit, jadi mereka puasa bertengkar untuk sementara. Lebih-lebih lagi Dara saat ini sangat cemas. Ingin sekali ia berlari dan segera bertemu sahabatnya. Ya. Sahabatnya kini ada di rumah sakit. Sebenarnya sejak dari kemarin, hanya saja baru hari ini Frel boleh dijenguk. Semua gara-gara Farah. Kakak kelas jahat yang begitu arogan dan buas. Sahabatnya kemarin di-bully tanpa sepengetahuannya di belakang gudang sekolah. Alasannya hanya karena Frel secara terang-terangan merayu Kevan di lapangan sekolah dan berhasil mengajak dinner sang Ketua OSIS ters
"Woy ... ini rumah sakit lho, bukan tempat arisan." Tahu-tahu suara Alvin menghentikan ucapan Dara. Ia masuk bersama Kevan dan Ari."Eh, Kak Ari," ucap Dara kecentilan sambil berlari kecil menyambut cowok itu dengan melingkarkan tangannya di lengan Ari.Wah, wah, wah ... ini anak benar-benar kebangetan. Nggak tahu tempat. Saat Frel memberikan beberapa kode agar ia menjauh dari Ari, bukannya menurut, ini Dara malah makin mempererat tangannya dan menjulurkan lidah ke arahnya.Anehnya lagi, Ari tidak menolak Dara sama sekali, justru tuh cowok terlihat senang dan tersenyam malu-malu. Eh, ada apa ini?"Biarin aja, Frel. Wajar, mereka kan pasangan," ujar Kevan sembari duduk tepat di sebelah kanan Frel. "Gimana kabar lo hari ini? Udah baikan?"Mendengar pertanyaan lembut Kevan, Frel segera mengangguk dan tersenyum manis, sebelum tersadar akan sesuatu. "Tunggu-tunggu, Kak. Pasangan? Maksudnya, Kak?"Rasa-rasanya hanya ia sendiri yang terlihat tolol
Guna memperlancar keinginannya bertemu Inez, Rian sengaja memajukan jadwal meeting dengan salah satu kliennya untuk membicarakan proyek pembangunan gedung rumah sakit.Tentu saja lokasi pertemuan ia sendiri yang pilih. Tiada yang lain yaitu di restoran sang sahabat—Beni.Rian udah mengatur semuanya dari awal. Semalam sepulang dari club, bukannya istirahat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya yang lelah, ia malah dengan semangat dan memaksa dirinya membuat progres jadwal untuk mempersiapkan bahan meeting. Hingga pagi tadi, ia menghubungi Pak Ronald untuk membicarakan susunan waktu yang telah ia tentukan."Halo, Bro!" sapa Beni ketika ia harus buru-buru keluar begitu menerima panggilan Rian yang udah sampai di parkiran.Mengetahui sahabatnya tengah bersandar di badan mobil range rover yang tampak mengkilat, ia pun berseru heboh. "Busyeettt! Jadi ini alasan lo telepon gue suruh ke sini. Mau pamer mobil baru gitu?"Rian terbahak. "Nggaklah, Ben. Lagian juga nggak baru-baru amat. Udah beberap
Rian mencari meja kosong dan duduk di sana sambil menunggu kedatangan Inez, sementara Beni udah ia suruh pergi duluan supaya ia mempunyai ruang berdua sama cewek yang selalu bisa membuatnya gugup dan tidak bisa mengontrol perasaannya itu.Ia emang sengaja siang ini datang dua jam lebih awal dari waku meeting yang disepakati, agar tujuan utama ngobrol bersama Inez terlaksana.Jas kantornya ia letakkan di sandaran kursi, menyisakan gaya casual yang cukup menonjolkan ketampanannya. Berpakaian kemeja polos dikombinasikan dengan celana bahan slim fit dan pantofel.Rian mengeluarkan ponselnya dan bermain game sejenak. Tak menghiraukan tatapan lapar dari para wanita yang ingin sekali mengenal dan berhubungan dengannya."Mau pesan apa, Tuan?"Mendengar suara itu, sontak Rian mendongak. "Pesan hati lo boleh?""Kalo lo beli hati gue, t-t-terus gue pakai hati siapa?" tanya balik Inez, tergagap-gagap sambil senyum kikuk, sekaligus gugup.Mereka berdua udah beberapa kali berjumpa, Inez rasa ia har
Inez menyerahkan pesanan Rian pada temannya di dapur. Tahu-tahu Leni—pegawai perempuan yang usianya paling muda—langsung menyerbu."Mbak Inez, Mbak, itu tadi Mas Rian kan?" tanya dia dengan penuh semangat.Cewek yang saat ini sedang mengeringkan piring-piring sambil menunggu pesanan selesai dimasak, mengangguk kecil sambil tersenyum."Ganteng banget, ya, Mbak," tambah Leni, masih seantusias tadi. Ia jingkrak-jingkrak sembari kedua tangannya bertumpu pada meja dapur. "Itu teman dekatnya bos kita. Sering makan di sini. Biasanya sih gue yang layanin," lanjutnya, tetapi kali ini sambil manyun.Inez menoleh sejenak dan mendapati wajah Leni berubah kecewa. "Kenapa? Ya, kan, bagus. Jadi sekarang kalian udah saling kenal, dong.""Kenal sih kenal, Mbak, tapi cuma sampai batas antar pesanan makanan dan beberapa kali ngobrol dikit, kayaknya Mas Rian gitu cuma buat basa-basi doang, deh."Inez hanya menanggapinya dengan senyuman sambil tangannya masih sibuk bekerja.Beberapa saat kemudian, Leni me
"Lo nggak kenal gue?" Cewek itu makin maju dan menarik kursi untuk dirinya sendiri tanpa menghiraukan keberadaan Inez. "Gue Ana, Yan. Mantan lo waktu kuliah dulu."Damn! Mantan nongol di saat yang tidak tepat. Sial!"Lo lupa sama gue?""Oh, eee ...," Ia mengurut keningnya sambil mikir, "iya, inget."Cowok itu menatap Inez sekilas, ada rasa was-was dan juga kesal dalam pikirannya. Ia jadi serba salah. Takut dia ngomong sama tuh cewek, entar si Inez malah salah paham."Lo di sini juga?""Iya," jawabnya ogah-ogahan."Sama siapa?""Sama temen.""Mana temen lo?""Belum datang," balas Rian sambil menggerutu dalam hati. Nih cewek kapan selesainya, sih? Tanya terus, udah kayak wartawan aja."Eh, sekarang lo kerja apa?""Gue?"Cewek itu mengangguk."Gue ...," Ucapannya mengambang dan menggaruk pelipisnya sambil berpikir cepat. "Kerja kuli."Bodoh amat asal jeplak. Biar cewek yang berani ngerusak rencananya itu segera pergi dan cepat kelar.Sementara Inez seketika membekap mulutnya, menahan taw
Derap langkah itu terkesan cepat dan tergesa-gesa. Gumaman tak jelas dari mulutnya membuat beberapa pasang mata mempertanyakan sosoknya bahkan ada yang tertuju pada keadaan jiwanya.Tapi toh gadis itu tetap tak peduli tentang tanggapan yang ada di sekitarnya.Ia terus saja berjalan dan mendongkol dalam hati. Sebagian ia keluarkan sebagai gerutuan supaya dada yang sesak segera plong dan berasa bebas lagi.Saat mencapai pintu kelas XII IPA-1, segera saja ia asal nyelonong masuk dan langsung berdiri di sebelah tempat bangku Ari."Hai, Ra," sapa Ari dengan ramah.Yang disapa menunjukkan raut muka cemberut sembari melipat kedua tangannya di dada. Ari tersenyum kikuk. Jelas ia tahu penyebab cewek itu marah seperti sekarang."Eh, panci gosong! Ngapain lo ke sini?" serobot Alvin yang masih di tempat duduknya."Suka-suka gue, dong. Nggak usah ikut campur," semprot Dara sambil berkacak pinggang."Buseetttt! Lo masih betah sama nih cewek jadi-jadian, Ar?" caci Alvin sembari tertawa mengejek. "Me
Menurut Dara, siasatnya kali ini cukup cemerlang. Karena lagi-lagi ia teringat mama papanya melarang berangkat maupun pulang sekolah bersama sang pacar dan tetap harus Pak Komar yang menjemput, alhasil otak di kepalanya berputar keras mencari jalan ke luar.Saat waktunya pulang, ia menahan Ari di sekolah dan buru-buru ia masuk ke mobil sang pacar. Sedangkan Pak Komar ia perintahkan mengikutinya dari belakang. Nah, kalau gini kan namanya nggak melanggar perintah dari nyokap bokap.Di satu sisi ia masih bisa semobil bersama Ari, di sisi lain Pak Komar tergolong tetap menjemputnya dengan mengikuti mereka dari belakang. Lihat, ide yang sangat jitu, kan?Kita iyain ajalah, biar si Dara seneng. Oke, sekarang lanjut!Mobil mereka berhenti di halaman depan rumah Dara. Siasat awal Dara saat ini adalah mengajak sang pacar main ke rumahnya sepulang sekolah. Ya, masak dia terus yang ke rumah Ari, sekarang giliran, dong!Buat Ari, iya-iya aja. Mau gimana lagi, dia udah keburu janji untuk menuruti
Brak!Pintu itu dibuka agak kasar oleh seseorang hingga membuat Inez kaget dan terbangun dari tidurnya. Dan benar saja orang itu penculiknya, cowok brengsek yang juga adalah ayah tirinya Inez.Ari terdiam sejenak. Ia tidak boleh terlalu lama di satu titik jika tidak mau ketahuan, apalagi ada anak sekecil Tio dan Bella. Tempat persembunyian mereka terlalu berisiko dan ia tak mau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan mengajak mereka menjauh dari gudang. Ia meminta Dara menghubungi Rian, juga polisi untuk menyergap si pelaku secepat mungkin.Sementara itu, Inez yang terbangun dari tidurnya menyipitkan mata tatkala sinar matahari pagi masuk melalui pintu yang dibuka dan tepat mengenai netranya."Selamat pagi, Sayang."Mendengar suara menjijikkan yang ia kenal tersebut, seketika Inez tersadar, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netranya membelalak panik. Saat Inez hendak bergerak ia merasa tangan dan kakinya tak bisa berfungsi. Sehingga ia haru
Hari ini demi sang kakak, Dara terpaksa bolos sekolah. Mau bagaimana lagi, semalam kakaknya pulang larut malam dalam kondisi yang mengenaskan. Baju kantor yang kusut, bau dan kotor. Belum lagi rambut yang acak-acakan dan dengan wajahnya yang begitu menyedihkan.Saat ia menyerbu kamarnya dan memaksa Rian untuk bicara, ternyata hal yang mengejutkan terjadi. Calon kakak iparnya diculik.Oh, tidak! Itu memang hanya pemikiran Dara, akan tetapi begitu sang kakak menceritakan awal mula Inez menghilang, tentu saja semua berpusat pada kemungkinan tersebut. Dan Dara sangat yakin calon kakak iparnya yang cantik itu pasti diculik oleh pria brengsek yang telah memerkosanya dulu.Membayangkan kenangan buruk dari calon kakak iparnya itu lagi, Dara merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya memori tersebut sangat kejam dan memilukan.Maka dari itu, pagi-pagi meski ia pamitnya pergi sekolah—saat ia tiba di depan gerbang dan setelah menyuruh sopir pribadinya pulang—nyatanya ia tidak masuk melainkan m
Rian segera memarkirkan mobilnya di depan minimarket begitu melihat mobil yang ditumpangi Desi dan Dina telah berjalan menjauh. Cowok itu sontak berlari mengejar Devita yang berjalan tak seberapa jauh darinya.Rian sengaja menunggu sampai Devita berbelok, di sebuah gang yang cukup sepi ia memanggil Devita yang kini menoleh ke arahnya."Tante, selamat malam," sapa Rian dengan sopan saat sudah tepat di depan Devita, dan memang saat ini waktu menunjukkan pukul 6.00 malam."Nak Rian? Malam juga. Ada apa kok malam-malam ke sini?" jawab Devita, dahinya berkerut bingung."Begini, Tante. Saya cuma mau tanya, apa ... Inez sudah pulang ke rumah?"Ada sekilas kilatan kaget terlintas di mata itu. "Bukannya Inez bersama Nak Rian?" tanya balik Devita. Tiba-tiba pandangannya meredup dan berubah sedih. "Semenjak Inez memutuskan pergi dari rumah, sampai sekarang dia nggak pernah pulang, Nak," lanjutnya, lalu berubah panik. "Katakan sama tante, apa terjadi sesuatu dengan Inez?"Sejenak Rian terlihat rag
Sore hari sekitar pukul 16.45 Rian tiba di depan rumah kontrakan yang bergaya minimalis, tentu saja menemui pujaan hatinya. Ia buru-buru memarkir mobil dan turun sambil membawa dua buket bunga yaitu mawar merah dan bunga tulip putih. Inilah alasan mengapa ia telat datang. Sepulang kerja bukannya langsung menemui sang pacar sesuai janjinya, ia malah mendatangi toko bunga terlebih dahulu.Cowok itu tak tahu pacarnya menyukai bunga apa, karena ia takut salah sehingga ia memilih dua macam bunga sekaligus agar nanti sang kekasih bisa memilih sendiri di antara kedua bunga tersebut. Setahu Rian dari pengalaman dia sebagai playboy selama ini—dari banyaknya cewek yang ia kencani—mereka lebih dominan menyukai bunga mawar dan tulip putih. Tapi jika nanti Inez tidak menyukai keduanya, ia akan dengan senang hati mengantar cewek yang dicintainya itu langsung ke toko bunga untuk memilih bunga kesukaannya secara langsung. Jangan lupa ia juga membelikan cokelat berbentuk hati untuk Inez dan berharap g
Menilik raut wajah dan gelagat aneh dari kekasihnya, membuat Rian tak kuasa menahan rasa penasarannya."Siapa, Sayang?" tanya Rian.Inez tersentak."Oh, nggak siapa-siapa kok." Gugup menghinggapi. Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat. "Cuma iklan nggak penting," lanjutnya sembari berusaha tersenyum senatural mungkin.Inez tak mau memberitahukan kepada Rian, bukan bermaksud apa-apa, ia hanya tak ingin membuatnya khawatir. Ia sudah terlalu banyak membebani dan merepotkan Rian.Meski Inez berusaha keras menampilkan wajah senormal apa pun, tetap saja senyum kaku dan gestur tubuhnya tak bisa membohongi Rian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, mencoba mengerti dan tak mau memaksa kekasihnya untuk jujur padanya. Ia yakin Inez mempunyai alasan sendiri, ketika saatnya tiba ia percaya bahwa kekasihnya akan mengutarakan semuanya."Ya udah gue cabut dulu," ujar Rian, berdiri seraya merapikan kemejanya."Kok cepat banget?" Inez berkata cepat seraya ikut berdiri, menatap kecewa ke arah cowok yang dici
Andin terperangah mendengar Ari bertanya kepadanya bahwa siapa cewek yang pantas untuk menjadi pacarnya? Dan apakah itu dirinya?Andin terdiam sambil berpikir. Apakah ia harus mengiyakan?Tentu saja siapa cewek yang nggak ingin punya pacar sebaik Ari. Selain baik, cowok itu sangat setia.Sejak ia bertemu Ari di tempat karaoke yang dipesan Alvin dan menyuruhnya serta teman-temannya untuk menjebak Ari waktu itu, ia sudah sangat terkesan dengan kesetiaannya yang notabene tidak tergoda sama sekali atas rayuan mereka. Bahkan bisa dikatakan rencana mereka gagal total.Tapi bagi Andin, jarang ada cowok yang begitu setia akan pasangannya dan tidak tergoda satu pun oleh banyaknya cewek cantik yang mengelilinginya. Apalagi menurutnya, Ari terlihat tampan, kalem dan begitu menghargai cewek.Andin membasahi bibirnya gugup. "Ar, bukan gitu maksud gue—""Lalu apa?"Tatapan Ari masih begitu dingin. Ia sebenarnya tidak mempunyai kecurigaan apa pun terhadapnya, bahwa perubahan sikap Dara ada sangkut p
Sejak Dara berani berkata jujur di depan Rian, Inez, dan Ari waktu itu, kini hubungan keduanya makin adem ayem dan sejahtera. Dara tak lagi menuntut Ari untuk menciumnya ataupun melakukan sesuatu yang nyeleneh, di mana Dara selalu ingin menerkam Ari dengan khayalan tingkat tingginya.Ari juga merasa aman tatkala melihat perubahan Dara sekarang. Sejujurnya inilah yang diinginkan Ari dalam sebuah hubungan. Seperti air mengalir, tak harus terburu-buru seolah dikejar sesuatu. Bahkan Ari sangat bersyukur karena kini ia tak pernah mengalami mimpi buruk lagi.Dara yang sekarang adalah cewek yang lumayan terkendali. Ia tak pernah lagi meminta hal-hal yang tak disukai Ari, tidak memaksa melakukan suatu hal yang berlebihan dalam berpacaran. Walaupun dalam mengungkapkan sesuatu masih dengan gaya lebay, tetapi itu tak membuat Ari muak atau menjauhinya. Bisa dibilang ia udah mulai terbiasa dengan tingkah absurd Dara. Selama itu masih dalam batas wajar, Ari rasa semua bisa diterima.Siang ini tampa
"Kamu nggak akan meninggalkanku kan, Sayang? Kamu nggak akan mengkhianatiku, kan?""Kenapa? Apa kamu takut aku akan mengkhianatimu seperti kamu mengkhianati suamimu yang dulu?"Devita terperangah. Hatinya mendadak getir. Ia meneguk ludahnya kasar, lalu mengangguk pelan.Fery mendengkus. Ia mengangkat tangannya, menjepit dagu Devita sambil tersenyum sinis. "Tenang saja. Aku nggak akan meninggalkanmu selama kamu menuruti semua yang aku mau."Setelahnya, ia beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Devita yang menatapnya sedih.Melewati dapur, Fery melihat Inez sedang meraih teko di meja makan. Gadis itu menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya. Gerakan gadis itu sangat tenang dan terlihat tak menyadari kedatangannya. Tiba-tiba Fery tertegun. Ia merasa leher jenjang itu sangat mulus, indah dan cantik. Setiap tegukan yang Inez minum, Fery merasa tubuhnya bereaksi tak normal.Ini adalah reaksi kesekian kalinya tiap ia menatap Inez. Dari dulu dan sampai sekarang, tidak pernah berubah.
"Halo, Tante," sapa Rian ramah. "Halo juga, Nak Rian. Makasih sudah antar Inez pulang. Tante benar-benar khawatir, nggak biasanya Inez keluar pagi-pagi sekali." "Sama-sama. Apa tante nggak tau? Dalam minggu ini Inez mendapatkan shift pagi untuk menggantikan temannya yang lagi cuti kerja. Mungkin juga nanti bisa sampai lembur." "Benarkah? Inez belum mengatakannya pada Tante," kata Devita sambil menatap Inez yang saat ini tampak memalingkan mukanya ke arah lain, menghindari tatapan beliau. Dalam hal ini Rian sengaja berbohong untuk mengantisipasi Inez jika ingin keluar pagi lagi. Itu supaya kekasihnya mempunyai alasan kuat agar terhindar dari kecurigaan sang mama tentang rentetan pertanyaan yang tidak ingin didengar gadis itu. Tentu saja juga untuk mengurangi interaksi antara Inez dan ayah tiri brengseknya. "Melihat kini tante disibukkan oleh seseorang yang telah kembali ke rumah, mungkin Inez belum ada kesempatan untuk menyampaikannya sama tante." "Jadi begitu," balas Devita gugup