Satu minggu yang lalu....
"George Owens, pelaku pembunuhan keji dari 23 warga sipil tak berdosa, dengan ini dinyatakan bersalah. Atas kejahatan yang telah dilakukannya, pengadilan menjatuhkannya hukuman pancung sebagai eksekusi kematiannya."
~~~~~
George Owens, mantan detektif yang masuk penjara ketika berusia 63 tahun. Didakwa atas tuduhan pembunuhan karena telah meledakkan sebuah bangunan dan menewaskan banyak orang tak bersalah.
"Ho ... jadi itu kau? Ck, ck, ck. Hei, Pak Tua. Hiduplah dengan benar." Seorang sipir yang berdiri di depan sel sambil membaca sebuah koran mengawasi pria tua di balik sel yang ia jaga.
George mendesis.
Masih terngiang jelas dalam benak pria itu, suara berat hakim saat membacakan surat keputusan dari pengadilan atas kejahatan yang telah dilakukannya. Semua masih terngiang jelas, seolah hakim bernama Simmons sengaja memutar kenangan buruk dalam hidupnya.
"Kau tak perlu berkomentar," decak George sambil menghindar dari tatapan mengejek sipir yang bahkan umurnya tak sampai setengah dari usianya.
George geram, ia harus berurusan dengan pihak kepolisian ketika semua bukti mengarah padanya yang sedang menikmati masa pensiun di kota masa kecilnya, dan dia sama sekali tak bisa mengelak dari hukuman itu karena barang bukti. Walau tak merasa adil dengan situasi, George mengikuti kemauan hukum yang menyeretnya.
Tiba-tiba pria setengah abad lebih itu merasa marah, ia menggertakkan gigi palsunya seraya menyumpah, "Hakim sialan! Mati saja kau!"
Apa salahnya jika dia sedikit bersenang-senang dan bermain-main dengan para manusia sampah itu? Toh, dia hanya membantu pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk yang hanya menganggu keseimbangan perekonomian negara.
Dengan matinya orang-orang seperti itu, ia berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu lagi pusing-pusing memikirkan lowongan pekerjaan ataupun sarana transportasi untuk mereka nantinya.
"Lagipula, aku hanya membunuh mereka yang bersalah, tapi pada akhirnya tetap akulah yang disalahkan, ya?"
Jelas-jelas apa yang sudah dia lakukan itu adalah sebuah kebaikan yang tersirat.
Seharusnya walikota tempat itu memberikannya penghargaan atas kemurahan hatinya dalam mengenyahkan orang-orang yang tidak penting dan tak seharusnya memasukkannya ke dalam penjara yang dingin, sempit, dan kotor, serta menjatuhkan dia hukuman mati penggal kepala.
Untuk apa dia berjasa dalam menumpas kejahatan jika pada akhirnya menjadi seorang penjahat? Dunialah yang salah, bukan dirinya.
"Ketika tak ada manusia yang peduli, bahkan tikus menjijikkan pun tak mau mendekat."
George mendongak, dan memandang langit-langit sel tempatnya dipenjara, pria itu lalu meraba dinding ruangan berwarna hitam yang menjadi tempat tinggalnya sejak beberapa hari yang lalu. Ditatapnya selama beberapa saat dinding selnya yang dingin dan kotor, dipenuhi jamur dan ada bekas noda kehitaman di dindingnya.
Mungkin, seperti itulah perumpamaan dirinya dulu dan sekarang.
Dingin dan senang bermain kotor adalah kegemarannya dulu ketika masih muda.
George kemudian menyeringai lebar. Jika boleh jujur, sebenarnya tempat ini sangat cocok untuknya daripada harus tinggal di luar sana. Jika boleh memilih, tentu ia ingin mendekam lama dipenjara. Sayangnya, dia sudah mendapat hukuman yang berat.
Apa yang lebih merepotkan dibandingkan hukuman mati? Padahal ia senang berada di penjara yang tenang ini.
Tak ada masalah, tak ada keributan sama sekali.
"Benar-benar nyaman," gumam George.
Ia tidak perlu lagi repot-repot berurusan dengan para tetangga di rumah lamanya yang menyebalkan. Mereka itu gemar sekali mengomentari aroma tidak sedap yang berasal dari rumahnya dan itulah yang membuat George sangat tidak tahan ingin segera membungkam mulut mereka.
Jika saja dia tidak ditangkap, dan dimasukkan ke dalam penjara oleh para polisi yang keparat itu, mungkin saja ia sekarang sedang bermain-main dengan jasad mereka, begitu pikirnya.
George kembali menyeringai sehingga tampak deretan gigi putihnya yang rapi.
Namun sayangnya, George lupa satu hal. Para tetangga menyebalkan yang berada di sekitar rumahnya itu, semua telah mati di tangannya, tanpa sisa. Mereka mati, jauh sebelum para polisi itu meringkusnya di kediamannya.
Ternyata memang semudah itu melupakan sesuatu yang tidak terlalu penting dalam ingatan seseorang. Lagipula, bagi George kematian orang-orang itu sama sekali tidak berkesan untuknya. Kecuali fakta di mana ia bisa mencoba peralatan dan penemuan barunya.
Laki-laki berusia 63 tahun itu lalu membaringkan tubuh tingginya di ruangan sempit yang bahkan tidak cukup untuk sekadar meluruskan kakinya saat tidur. Ia ditempatkan dalam penjara khusus oleh kepolisian untuk sementara waktu.
Akan tetapi, meski begitu, ia sama sekali tidak ingin mempersalahkannya lebih lanjut. Yang penting adalah, dia tidak harus berinteraksi dengan orang-orang yang kebetulan satu sel dengannya. Yah, setidaknya untuk satu hari saja, karena besok dia tidak akan berada di tempat sempit itu lagi.
Dia akan dipindahkan ke sel yang sama dengan orang-orang yang melakukan kejahatan serupa.
George masih mempunyai batas waktu selama beberapa bulan sebelum tanggal eksekusi kematiannya tiba. Besok adalah hari di mana dia akan dipindahkan ke dalam sel dan tinggal bersama narapidana lainnya.
Walau ada perasaan tak suka ketika harus memikirkan dirinya berbaur dengan orang lain, tetapi jauh di lubuk hatinya, George merasa gembira sekali. Bisa saja nanti dia akan bermain-main sedikit dengan para penjahat itu.
Lamunan George buyar saat mendengar suara dari luar sel sempitnya.
Ding dong... Ding dong
Bunyi bel yang nyaring itu seakan-akan menggema di setiap telinga para tahanan sel. Bahkan gemanya pun terasa di dinding besi yang dingin. Bel itu seperti mengisyaratkan kepada semua orang, bahwa telah tiba waktunya bagi para penghuni penjara untuk tidur.
"Tidur kalian, sialan!"
Para sipir melewati tiap sel seraya memukul batang jeruji besi dengan tongkatnya, menimbulkan bunyi berisik yang menganggu para tahanan yang bersiap untuk tidur.
George lagi-lagi memperbaiki posisinya yang terasa tidak nyaman karena kaki panjangnya tidak bisa diluruskan di dalam sana. Setelah cukup nyaman, ia pun mulai memejamkan mata, bersiap memasuki alam bawah sadarnya secara perlahan dan menuju alam mimpi.
"Selamat malam, mimpi buruk. Semoga besok mendung."
Tak butuh waktu yang lama, ia pun sudah tertidur pulas.
**
Tampak sebuah keluarga kecil sedang duduk beralaskan kain besar berwarna merah hati yang dihampar di atas rerumputan taman. Senyum dan gelak tawa bahagia terukir jelas di wajah mereka. Pagi Minggu memang merupakan waktu yang sangat pas untuk berpiknik bersama orang terkasih di luar rumah.
"Papa! Mama! Kakak!" Seruan riang seorang anak laki-laki terdengar begitu nyaring di pagi hari yang terasa cukup panas. Meski begitu, sang anak seolah tak peduli dengan hal itu. "Aku membeli es krim!"
Anak perempuan dari keluarga yang tengah bersantai itu kemudian melambai penuh semangat kepada sang anak lelaki yang berada di seberang jalan. Sepertinya, dia adalah kakak dari anak laki-laki yang kedua tangannya penuh dengan dua buah mangkok es krim.
"Hati-hati jatuh, Michael!" seru sang kakak memperingatkan.
Tak jauh dari Michael—anak laki-laki yang tengah berlari menghampiri keluarganya di taman—tampaklah seorang remaja laki-laki yang sepertinya sedang kesal karena mobilnya yang tiba-tiba saja mogok di pinggir jalan. Padahal ada hal penting yang harus dia lakukan segera.
Garis wajahnya tampak kokoh, dengan surai berwarna cokelat yang terlihat bersinar terkena paparan cahaya matahari. Satu kata untuk parasnya, rupawan.
"Bagaimana aku memperbaiki mobil jelek ini?"
Dia adalah George, anak laki-laki tunggal dari keluarga Owens yang terkenal kaya raya di kota itu. Hidupnya bergelimang harta dan juga kemewahan. Namun, di balik keluarganya yang kaya raya, dia justru terkenal karena pandai dan sangat berbakat di sekolahnya.
George sering memperoleh kemenangan dalam setiap lomba sains yang ia ikuti. Tak terhitung banyaknya jumlah keberhasilan yang George dapatkan dalam mengharumkan nama sekolahnya.
Tampaknya, saat ini ia sedang kebingungan dengan cara apa ia akan pergi ke sekolah, sedangkan ia sekarang sedang berkutat dengan mesin mobil yang mengeluarkan asap. Meski ia pandai di bidang ilmu pengetahuan, tetapi ia cukup lemah terhadap hal yang tak terduga seperti saat ini.
"Astaga, aku harus menghubungi Ayah."
Di tengah kegelisahannya, Michael, si anak kecil yang berlari dengan penuh semangat tanpa sengaja menubruk George dari arah depan, saat remaja itu hendak berbalik pergi mengambil minumnya yang ada di dalam mobil.
"AWAS!"
Tanpa sempat menghindar, tabrakan pun terjadi. Akibatnya, dua buah es krim masing-masing rasa vanila dan cokelat itu sukses mendarat di seragam George. Diikuti dengan anak kecil yang menabraknya dengan cukup keras. Keduanya pun jatuh, didahului oleh punggung George yang bersentuhan dengan aspal jalanan yang kotor.
"Michael!"
Derap langkah kaki yang terburu-buru pun terdengar menghampiri, membuat George yang hampir meledakkan amarahnya, urung memarahi sang anak kecil yang tadi membuatnya terjatuh ke jalanan yang penuh debu dan kotoran. Padahal ia sudah menyiapkan kata-kata makian di dalam kepalanya untuk sang anak. Karena ulah anak itu, penampilannya mendadak berantakan.
"Nak! Apa kau baik-baik saja?" Suara lembut dan terdengar cukup tegas mengalun masuk ke telinga kiri George, diiringi dengan pertanyaan serupa dari pria dewasa di sampingnya yang langsung membantu George berdiri tegak.
Sementara anak laki-laki yang tadi menabraknya, telah dibantu oleh seorang anak perempuan yang kemungkinan adalah saudaranya. Itulah yang bisa George simpulkan ketika melihat si gadis kecil.
"Terima kasih banyak, Paman!" ucap George sambil tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Saya tak apa-apa!"
George kemudian melirik sekilas pada anak yang telah membuatnya jatuh ke jalanan beraspal. Lalu ia kembali mengalihkan perhatiannya pada keluarga kecil yang sedang mengerumuni dirinya dengan berbagai ekspresi yang tidak terlalu dihiraukan oleh remaja tanggung itu.
"Astaga! Bajumu jadi kotor, Nak."
George seketika langsung melihat seragam sekolahnya yang tadi ditubruk oleh sang anak. Seragam putihnya kotor, terkena noda es krim. Padahal ia adalah tipe orang yang sangat benci penampilannya terlihat berantakan. Diam-diam, ia mengumpat dalam hati.
"Ahh, tidak apa-apa. Dia tadi tidak sengaja kok," balas George ramah, ia kembali tersenyum lebar.
George kemudian menghampiri anak kecil yang tadi menabraknya, menundukkan badannya sedikit agar tingginya sejajar, lalu berbicara dengan nada yang lembut. "Lain kali hati-hati ya, adik kecil," ucap putra pasangan Owens itu sambil mengelus puncak kepala Michael beberapa kali.
"Iya, Kak!" jawab Michael dengan riang.
George kemudian mengubah posisinya kembali, masih dengan senyum di wajahnya, George memandang keluarga kecil di depannya.
Keluarga harmonis ini tampak bahagia di matanya, sama sekali tak ada cela untuk membuat mereka retak. George tak suka melihatnya. Hanya dia saja yang tidak dalam kondisi hati yang baik.
"Sialan," gumam George lembut.
**
"Sedang apa kau, Sialan! Pergi dari sini!" George menatap tajam sosok di depannya. Pisau panjang kesayangannya ia arahkan tepat di depan wajah setengah rusak yang mengeluarkan aroma busuk milik sosok yang tadi mendadak muncul saat ia sedang ingin bersantai di dekat jendela.
Sekujur badan sosok itu tampak hitam melepuh, kulitnya mengelupas dari raganya yang mungil. Namun, kengerian itu tak sedikit pun membuat George merasa gentar. Untuk apa takut dengan mereka yang sudah mati?
Bukankah mati itu menandakan mereka tak lagi punya kuasa di dunia ini? Sialan! Mustahil George takut dengan orang yang sudah mati! Hantu? Pfft, omong kosong!
George menyeringai, menurutnya ini cukup menyenangkan. Meladeni arwah penasaran yang berniat balas dendam padanya? Ide bagus.
Tanpa bisa diperkirakan oleh George, sosok itu mendekat secara tiba-tiba, dan membuat George yang terkejut pun mundur dengan cepat, menghindar darinya. Namun sayangnya, ia malah tersandung kakinya sendiri dan membuatnya pun jatuh terduduk di lantai, dengan pisau yang terlepas dari tangannya.
"Sial!" umpat George kesal. Ia pandangi pisau sepanjang 15cm itu dan ia berniat mengambilnya sebelum didahului oleh sosok asing.
Namun, secara tidak disangka-sangka, sosok mengerikan itu malah menerjang, dan mencekik leher George dengan jari-jari tangannya yang sudah tidak utuh. Jarinya seperti sengaja di potong. Cekikan sosok itu begitu kuat dan terasa menyakitkan, hingga membuat George mulai kehabisan napas secara perlahan.
Pandangannya mulai berkunang-kunang. Apalagi sosok itu menekan leher George hampir dekat dengan jakun, titik vital yang berbahaya.
"Kau sudah menghancurkan hidupku, Kak ...." Sosok itu berucap pelan dengan suara yang menyedihkan. Suaranya terdengar samar-samar di kedua telinga George yang wajahnya mulai membiru karena pasokan oksigen di paru-parunya secara perlahan menipis.
Ia butuh udara untuk bernapas sekarang juga.
"Jadi sekarang ... MATILAH!"
"TIDAKKK!" teriak George histeris setelah bangun dari tidur. "Haahhhhh, hhhh, hhh ... mi-mimpi apa itu tadi? Hahhhh."
Buru-buru lelaki itu mengambil posisi duduk dan dengan cepat meraba lehernya. Memeriksa dengan saksama, apakah tak ada bekas cekikan atau apa pun yang tertinggal di sana. Peluh sebesar biji jagung pun mengalir turun dari pelipisnya yang basah karena keringat dingin.
Kemudian George menyunggingkan senyum lebar. Oh, tadi itu hanya mimpi, ya?
George memeriksa keadaannya kembali. Ternyata ia tadi hanya bermimpi buruk. Tak ada yang perlu DIRISAUKAN.
Sebab, semuanya hanyalah bunga tidur.
Terkenal sudah genius sejak kecil, George Owens memandangi piagam serta piala penghargaan yang sudah ia peroleh sejak berumur tujuh tahun. Kebanyakan dari penghargaan yang telah ia dapatkan itu berasal dari keikutsertaannya dalam lomba-lomba ilmu pengetahuan dan juga berbagai acara debat seminar yang dilakukan di berbagai tempat di kota tempat tinggalnya berada. "Oh, minggu depan ada pertandingan baseball." George bergumam seraya melihat jadwal kegiatannya di kalender. Jadwalnya memang padat, tapi George selalu meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan di sekolahnya. Belum lagi dengan banyaknya kemenangan yang ia peroleh dalam turnamen olahraga yang sering dilaksanakan di sekolah. George juga aktif dalam organisasi penting yang ada di sekolah. Dan hampir semua kegiatan yang ia lakukan, George selalu terdepan karena mendapat amanat langsung dari guru-gurunya. Me
Jika anak-anak Elementary School senang dengan karakter pahlawan seperti Superman, Spiderman atau tokoh-tokoh berkekuatan super dari Marvel, maka George berbeda. Dia tak seperti anak-anak lain yang senang menjadi sosok yang tak mempunyai kelemahan. "Apa bagusnya pahlawan yang menggunakan pakaian ketat? Memangnya mereka bintang film dewasa?" Salah satu komentar George yang mempertanyakan kesukaan teman-temannya. Saat itu anak-anak sedang berkumpul membahas perilisan film Legacy Man : Super Spider. Sebuah film yang menunjukkan aktor berkostum Spiderman dan Superman yang bersatu melawan anti-hero berkekuatan luar biasa. "Kau belum menontonnya, George? Aksi dua pahlawan super abad ini benar-benar luar biasa!" sahut Nick, anak berkawat gigi yang selalu tertarik dengan hal baru. George merotasikan mata dan melewati perkumpulan anak-anak lelaki di kelasnya tanpa minat. Dia bukan golongan a
Takkan ada yang menyangka jika anak laki-laki yang begitu terkenal kegeniusannya selama berstatus bersekolah di Geraldine 2 Elementary School kelak akan menjadi seorang pembunuh berantai yang kejam. Dia hanya anak laki-laki biasa, tidak memiliki kekuatan super dan bisa terbang. Dia hanya berwajah tampan, berasal dari keluarga yang kaya dan diberkahi otak yang cepat menerima pelajaran. Meski tak pandai berkomunikasi dengan orang lain, George adalah anak yang pandai mengeluarkan pendapat yang bisa mengubah pandangan seseorang. Dia adalah anak yang seperti itu. Sosok yang pendiam, namun begitu mengeluarkan kata-kata, maka semua mata akan tertuju padanya. "Oh, George! Selamat pagi! Tidak diantar lagi hari ini?" Eddy, seorang penjaga gerbang menyapa George begitu putra pasangan Owens memasuki halaman sekolah. Anak itu menyunggingkan senyum tipis yang sudah menjadi c
Betapa pentingnya pengawasan terhadap seorang anak, orang tua yang tak bisa melihat langsung pertumbuhan anaknya kelak akan merasakan sebuah penyesalan yang tertinggal di hati. Mereka tak lagi bisa mengulang saat-saat terindah bersama anak mereka. Salah satu dari sekian banyak orang tua yang akan menyesali hal itu adalah Joly dan Erick Owens. Mereka yang terlalu sibuk bekerja pun memberikan seluruh pengawasan anaknya kepada para pengasuh. Mereka sibuk mengejar duniawi, berpikir itu untuk masa depan sang anak, tapi mereka membuat seorang anak merasa kesepian karena kerap ditinggal orang tuanya pergi bekerja. Anak itu George Owens. Akibat tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua, di masa remaja ia berubah menjadi pembunuh berantai, bergabung ke kepolisian dengan tujuan tak baik, dan berakhir hukuman mati setelah meledakkan sebuah laboratorium dan menewaskan banyak orang.
Di saat kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah, atau para babysitter yang disuruh menjaganya tidak ada yang bisa menjaga George. Maka anak laki-laki itu akan bermain seorang diri di halaman belakang rumahnya. Kebetulan, halaman belakang rumah George cukup luas. Mereka juga memiliki kolam renang yang tidak terlalu dalam di sana. Semua mainan sudah tersedia di halaman belakang, sehingga George bisa tenang bermain meski hanya seorang diri. Rumah keluarga Owens dikelilingi oleh pagar putih setinggi dua meter. Hal itu untuk mencegah hal buruk terjadi seperti adanya pencuri yang masuk. Tentu adanya pagar itu juga untuk melindungi George di rumah selama orang tuanya tak ada di rumah dan dia hanya ditinggal bersama seorang pengasuh yang baru bekerja selama beberapa bulan di kediaman mereka. Walau memperkerjakan babysitter, tapi wanita-wanita yang ditugaskan untuk menjaga George itu jarang mengawasi anak
"Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan. George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol. George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali. George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak
Sambil tersenyum secerah matahari, Sean berkata, "Baik, kita mulai ...." Sean menyelesaikan ceritanya kurang dari dua tiga menit. "Tunggu, ini cerita siapa?" George bertanya menyelidik. Sean tertawa melihatnya, baru kali itu dia bertemu anak yang begitu penasaran dengan kisahnya. "Ini cerita ibunya Nenek dari pihak ayahku, lalu orang tuaku menceritakannya sekali lagi padaku. Sudah lama sekali," jelasnya dengan sabar. "Bisa kita lanjutkan?" George mengangkat bahu. "Ya, kenapa tidak? Lagipula ceritanya menarik, apa Nenekmu masih hidup?" "Beliau sudah tiada, jauh ketika aku berusia 3 tahun. Hanya cerita ini saja yang tersisa darinya, pengalaman Nenek buyutku. Di mana Nenek buyutku kehilangan Justin." Sean kemudian mulai menceritakan pengalaman yang dialami oleh sang nenek buyut. Ketika pertama kali mendengar cerita ini, Sean saja terkejut kar
Sean tersenyum lalu berbalik badan. Bersiap meninggalkan halaman rumah George, jika saja tak ada suara yang menginterupsi. "Loh? Kamu teman George, bukan? Mau pergi kemana?" Sean dan George menoleh bersamaan. "Mama ...." Gumam George pelan. Pemuda berkulit agak gelap tertawa pelan dan tersenyum manis setelahnya. "Ah, iya, saya teman George," jawabnya sedikit canggung. "Saya mau pulang ke rumah." Joly menggeleng perlahan. "Kenapa pergi sangat cepat? Ayo, masuk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Ah, tidak!" Sean mengangkat tangan di depan dada, memperlihatkan telapak tangannya kepada keluarga Owens—gestur menolak. "Saya tak bisa ikut sarapan ...." "Jangan malu-malu. Ayo, masuklah ke dalam." George melangkah lambat dan meraih tangan Sean, sedikit menariknya agar pemuda itu dapat mengikuti. Joly masuk lebih dulu ke dalam, disusul oleh George dan
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak