Takkan ada yang menyangka jika anak laki-laki yang begitu terkenal kegeniusannya selama berstatus bersekolah di Geraldine 2 Elementary School kelak akan menjadi seorang pembunuh berantai yang kejam.
Dia hanya anak laki-laki biasa, tidak memiliki kekuatan super dan bisa terbang. Dia hanya berwajah tampan, berasal dari keluarga yang kaya dan diberkahi otak yang cepat menerima pelajaran.
Meski tak pandai berkomunikasi dengan orang lain, George adalah anak yang pandai mengeluarkan pendapat yang bisa mengubah pandangan seseorang. Dia adalah anak yang seperti itu.
Sosok yang pendiam, namun begitu mengeluarkan kata-kata, maka semua mata akan tertuju padanya.
"Oh, George! Selamat pagi! Tidak diantar lagi hari ini?"
Eddy, seorang penjaga gerbang menyapa George begitu putra pasangan Owens memasuki halaman sekolah. Anak itu menyunggingkan senyum tipis yang sudah menjadi ciri khas seorang George Owens.
"Ya, Paman. Hari ini aku tak ingin naik mobil, jadi aku jalan kaki saja."
Eddy tertawa. Pria berusia 40 tahunan itu mempunyai kebiasaan mengangkat topinya tinggi-tinggi saat mendengar sesuatu yang menggelitik. "Kau benar-benar bersemangat. Apa yang ingin kau lakukan terhadap kaki-kaki kecil itu?" tanyanya, sambil menuding kedua kaki George.
George mengendikkan bahu dan memperhatikan kakinya baik-baik. "Entahlah, aku hanya ingin menguatkan otot-otot kaki ini saja," jawabnya tak acuh. Sesaat kemudian ia mengedipkan sebelah mata menggoda. "Mungkin aku bisa jadi pemain bola nanti."
Pria tua yang telah menjadi penjaga sekolah sejak berusia 25 tahun lantas tertawa, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Setiap pagi, Eddy akan bertemu dengan George yang datang bahkan sebelum gerbang dibuka olehnya. Baginya yang belum mempunyai cucu laki-laki, berbicara dengan George sangatlah menghibur.
Pria itu senang setiap mendengar lelucon yang sesekali dikeluarkan oleh George, si anak paling populer di sekolah yang telah menjadi tempatnya bekerja selama belasan tahun lamanya. Bukan hal aneh jika George dikenal oleh semua penghuni Geraldine 2 Elementary School.
"Kau tak cocok jadi pemain sepak bola, mungkin kau bisa menjadi seorang polisi."
Keduanya lantas tertawa bersama-sama, menganggap hal itu bisa saja terjadi—bisa juga mustahil. George kemudian berpamitan dengan Eddy, karena dia harus segera tiba di kelas untuk belajar selama 10 menit sebelum teman-temannya datang ke sekolah.
Sebelum masuk sekolah dasar, George sudah ditekankan untuk datang lebih awal ketika menghadiri acara apa pun. Itulah yang memotivasi George untuk datang di saat bangunan sekolah masih sangat sepi.
Sebab, dia bisa memakai kelas untuk belajar. Bagi George, waktu terbaik untuk belajar adalah pagi hari setelah sarapan, alasannya karena energi dan semangat masih terisi penuh saat itu.
Kalau belajar di siang hari ada kemungkinan energi terkuras sehingga akan lebih mudah merasakan kantuk menyerang, membuat seseorang menjadi tidak fokus lagi ketika menerima pelajaran, terutama pelajaran sulit seperti matematika.
"Oh, hari ini sendirian lagi," gumam George sambil menatap ruang kelasnya yang kosong. "Yah, ini jauh lebih baik daripada saat mereka ada."
George mengeluarkan semua peralatan yang diperlukannya saat belajar. Ada kamus dua bahasa, beberapa pulpen dan pensil, penanda buku warna-warni dan sticky note. George berniat menguasai bahasa Inggris, karena masih belum fasih. Hari itu dia akan belajar hafalan.
"Under my protection, you're not alone like before, because I'll always beside you."
Cara terbaik menambah kosakata dan mempelajari susunan kalimat dalam bahasa Inggris adalah dengan membaca sebuah buku dalam bahasa Inggris.
Tinggal di ibukota Portugal—Lisbon—yang kebanyakan warganya menggunakan bahasa Portugis dan Spanyol membuat George ingin lancar menggunakan bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional saat ini.
Sepuluh menit waktu yang pas untuk belajar di pagi hari, satu per satu anak-anak kelas A3 datang dan memasuki kelas.
"Pagi, George."
"Hai, George. Belajar apa hari ini?"
"Ada tugas, George?"
George menyapa dan menjawab salam teman-temannya sambil tersenyum tipis.
Hidup di tengah keluarga yang memiliki harta berlimpah, dan memiliki uang yang banyak tak selamanya menyenangkan untuk George yang merupakan anak tunggal keluarga Owens. Terlebih lagi, jika harta itu sama sekali tak bisa digunakan untuk membeli sesuatu yang sangat berharga di dunia ini, yaitu kebahagiaan.
Memang menyenangkan banyak uang, tapi ada beberapa hal yang tidak bisa didapatkan dengan uang. Jikalau bisa pun, maka yang ada hanyalah kebahagiaan yang tak tulus dan tak murni.
Selain kebahagiaan, uang juga tidak bisa membeli kasih sayang, orang yang telah lebih dulu meninggalkan dunia, waktu yang tidak bisa diulang, kebersamaan dalam sebuah keluarga, dan masih banyak lagi.
Tak ada uang, maka hidup sengsara. Maka banyak uang pun tak menjamin segalanya bisa didapatkan.
Meski, kita bisa membeli sebagian di antara semua hal-hal yang tak bisa dibeli dengan uang, tapi semuanya tetaplah sebuah kepalsuan, imitasi, tiruan semata. Semuanya sedang berpura-pura.
"Memangnya kau tahu imitasi?" tanya Jane, gadis kecil yang duduk di depan George. Ia mendengar George yang menggumam ketika membaca buku Filsafat Pendidikan.
"Ya, imitasi itu sekadar meniru yang asli agar terlihat sama dengan yang ditirunya." George menutup buku filsafat dan membuka buku pelajaran yang lain. Hari itu mereka akan belajar seni rupa, dan George dengan senang hati akan melakukan praktik menggunakan tanah liat di ruang kesenian.
Dalam sebuah kutipan di buku yang sedang George baca, ada pertanyaan yang berbunyi seperti ini, "Apakah ada kasih sayang di dunia ini yang bisa dibeli dengan mudah?"
George tersenyum miring. "Jika ada pun, apa itu kasih sayang sesungguhnya? Yang tulus dan tak dibuat-buat. Omong kosong, tak ada kasih sayang yang muncul dari hati."
George berkata seperti itu karena dia belum pernah mendapat kasih sayang yang tulus. Sejak kecil, George terbiasa dengan segala kesibukan orang tuanya. Perawatan dan penjagaannya selalu diberikan kepada seorang pengasuh.
Marie adalah pengasuh terakhir keluarga Owens, karena tak ada lagi pengasuh yang didatangkan oleh orang tua George untuk menjaga anak laki-laki mereka. Karena alasan itulah, George menganggap orang tuanya tak pernah menyayanginya.
"Kau ingin membeli kasih sayang?" tanya Jane lagi.
George menggeleng. "Tentu tidak, meski aku ingin sekali melakukannya. Mereka yang disewa menggunakan uang akan menunjukkan kasih sayang palsu padamu, karena kau memiliki uang yang mereka inginkan."
"Jika wanita menginginkan uang, mereka akan dianggap materialistis. Jika pria, mereka akan dianggap sebagai lelaki yang perhitungan dan pelit."
"Secara tidak langsung, kau telah membeli kasih sayang palsu dari mereka yang hanya menginginkan uangmu saja."
Jane membalas, "Aku tak mengerti. Aku hanya ingin uang, tapi tidak untuk membeli kasih sayang."
George tersenyum. "Karena kau mendapat kasih sayang yang tulus dari orang tuamu," gumamnya.
"Apakah itu yang dinamakan dengan kebahagiaan sejati?" tanya George pada sang gadis kecil.
Jane tampak berpikir sejenak. "Jelas tidak bisa dikatakan sebuah kebahagiaan yang selama ini kita cari, sebab mereka hanya berpura-pura?"
"Tepat sekali," ucap George. "Dan dengan uang yang kau miliki itu, maka akan semakin banyak pula hal palsu yang akan muncul dalam hidupmu."
"Yang semula tenang, akan menjadi gusar."
"Yang semula baik-baik saja, akan menjadi gelisah. Mereka tak lagi bisa merasakan kedamaian yang sebelumnya mereka rasakan."
"Semua kepalsuan itu akan didapat dengan mudah jika kau memiliki banyak uang. Itulah realita yang ada saat ini," tukas George sambil menatap Jane.
Gadis bermata biru terpesona mendengar pendapat George tentang hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
"Kalau kekasih bayaran?" tanya Jeremy, yang duduk di sebelah kiri George.
"Mereka hanya kekasih bohongan yang dibayar untuk sekadar menemani. Ada banyak orang yang menyediakan jasa ini."
Berpura-pura menjadi orang tua sang penyewa demi sebuah kepentingan? Sekarang pun, sudah cukup banyak jasa sejenis ini yang bermunculan dan diketahui oleh banyak orang.
Lalu, apa yang masih tersisa di dunia ini, sesuatu yang tidak palsu dan bukan sebuah kepura-puraan?
Ialah waktu, yang sudah banyak berlalu karena melakukan hal yang sia-sia. Padahal ada banyak sekali orang di dunia ini yang berkata: waktu adalah uang, tetapi masih saja ada banyak orang yang menggunakan uang untuk membeli waktu yang berakhir menjadi sebuah hal yang sia-sia.
Lalu, siapa yang akan merugi setelahnya? Tentu saja itu adalah para manusia yang melakukannya, dan itu pasti.
Walau dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang kaya raya, dengan harta yang melimpah ruah sekalipun, tak bisa membuat George Owens merasakan kebahagiaan sejati. Di balik sifatnya yang tak banyak bicara dan terkesan dingin, sesungguhnya George adalah seorang anak yang sangat kesepian.
Dari luar memang tak tampak seperti seorang anak yang merasa kesepian akan dunianya, karena ada banyak sekali anak-anak seumurannya yang selalu mengikuti George kemana pun anak laki-laki itu pergi, terutama kaum hawa di tempatnya menimba ilmu.
Anak-anak perempuan selalu saja mengikuti George tanpa kenal lelah dan membuat kebisingan di mana pun putra Joly dan Erick itu berada.
Kecuali di perpustakaan, mereka semua tak pernah berani datang ke sana dan mengusik George karena tempat itu dijaga dengan baik oleh seorang penjaga yang sangat galak.
Mengeluarkan sepatah kata saja ketika berada di dalam, maka akan langsung dibentak dan diusir keluar oleh sang penjaga yang terkenal disiplin. Oleh sebab itu, George selalu menghindar dari para pengikutnya dengan cara bersembunyi di perpustakaan.
Surga dari buku-buku yang menarik untuk dibaca, juga tempat terbaik untuk melindungi diri dari kejaran orang-orang.
Karena, George tahu sendiri bahwa tak akan ada seorang pun yang akan menganggunya di sana. Sebab, semua orang tidak suka berlama-lama di perpustakaan karena dianggap membosankan.
Kecuali orang itu memang sangat menyukai aktivitas membolak-balikkan halaman buku dan mengamati kata demi kata yang tertuang di dalamnya. Menarik, karena hanya orang-orang hebat saja yang mampu bertahan sehari semalam di perpustakaan tanpa mengeluarkan sedikitpun keluhan.
Mengeluh itu tak ada artinya, kecuali sudah berjuang dengan giat
Salah satunya adalah George, remaja laki-laki yang hanya suka bepergian ke ruang klub, laboratorium, dan juga perpustakaan sekolah. Tempat-tempat yang selalu dihindari oleh banyak orang. Namun, menjadi tempat terbaik untuk George menghabiskan waktunya.
Seperti itulah George dan dunia yang ia selami selama bertahun-tahun lamanya.
Jika sudah tak bersama dengan para pengikut yang sama sekali tak diundang itu, maka akan tampaklah rupa dari George Owens yang sebenarnya. Sosok yang sangat kesepian di balik banyaknya buku-buku yang ia baca.
Bagi George, teman sejati itu hanyalah buku. Mereka yang mengaku-ngaku sebagai temannya itu hanyalah golongan orang-orang yang suka menjilat. Sebab dia tahu, mereka yang berteman dan terus menempel dengannya itu karena ingin dipandang bagus oleh orang lain.
Mereka berharap, dengan menjadi teman George, maka orang akan berpikir bahwa mereka sama seperti George yang pintar dan termasuk ke dalam golongan yang kaya raya sepertinya.
Namun, George tahu betul dengan tabiat orang-orang penjilat seperti itu dan karenanya, dia tak bisa membuka diri kepada mereka semua.
Sekalipun mungkin, di antara mereka akan ada yang orang yang benar-benar ingin berteman dengannya. Tanpa mengenal status, atau sekadar ingin mengambil keuntungan darinya. Sambil menunggu waktu itu tiba, biarlah George bersikap dingin seperti ini.
Cukup baik kepada mereka yang benar-benar baik, cukup ramah kepada mereka yang benar-benar tak ingin meraup keuntungan darinya.
Ya, George akan menunggu hingga saat-saat seperti itu tiba. Putra pasangan Owens tersenyum miring.
Sudah direvisi yah..
Betapa pentingnya pengawasan terhadap seorang anak, orang tua yang tak bisa melihat langsung pertumbuhan anaknya kelak akan merasakan sebuah penyesalan yang tertinggal di hati. Mereka tak lagi bisa mengulang saat-saat terindah bersama anak mereka. Salah satu dari sekian banyak orang tua yang akan menyesali hal itu adalah Joly dan Erick Owens. Mereka yang terlalu sibuk bekerja pun memberikan seluruh pengawasan anaknya kepada para pengasuh. Mereka sibuk mengejar duniawi, berpikir itu untuk masa depan sang anak, tapi mereka membuat seorang anak merasa kesepian karena kerap ditinggal orang tuanya pergi bekerja. Anak itu George Owens. Akibat tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua, di masa remaja ia berubah menjadi pembunuh berantai, bergabung ke kepolisian dengan tujuan tak baik, dan berakhir hukuman mati setelah meledakkan sebuah laboratorium dan menewaskan banyak orang.
Di saat kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah, atau para babysitter yang disuruh menjaganya tidak ada yang bisa menjaga George. Maka anak laki-laki itu akan bermain seorang diri di halaman belakang rumahnya. Kebetulan, halaman belakang rumah George cukup luas. Mereka juga memiliki kolam renang yang tidak terlalu dalam di sana. Semua mainan sudah tersedia di halaman belakang, sehingga George bisa tenang bermain meski hanya seorang diri. Rumah keluarga Owens dikelilingi oleh pagar putih setinggi dua meter. Hal itu untuk mencegah hal buruk terjadi seperti adanya pencuri yang masuk. Tentu adanya pagar itu juga untuk melindungi George di rumah selama orang tuanya tak ada di rumah dan dia hanya ditinggal bersama seorang pengasuh yang baru bekerja selama beberapa bulan di kediaman mereka. Walau memperkerjakan babysitter, tapi wanita-wanita yang ditugaskan untuk menjaga George itu jarang mengawasi anak
"Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan. George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol. George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali. George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak
Sambil tersenyum secerah matahari, Sean berkata, "Baik, kita mulai ...." Sean menyelesaikan ceritanya kurang dari dua tiga menit. "Tunggu, ini cerita siapa?" George bertanya menyelidik. Sean tertawa melihatnya, baru kali itu dia bertemu anak yang begitu penasaran dengan kisahnya. "Ini cerita ibunya Nenek dari pihak ayahku, lalu orang tuaku menceritakannya sekali lagi padaku. Sudah lama sekali," jelasnya dengan sabar. "Bisa kita lanjutkan?" George mengangkat bahu. "Ya, kenapa tidak? Lagipula ceritanya menarik, apa Nenekmu masih hidup?" "Beliau sudah tiada, jauh ketika aku berusia 3 tahun. Hanya cerita ini saja yang tersisa darinya, pengalaman Nenek buyutku. Di mana Nenek buyutku kehilangan Justin." Sean kemudian mulai menceritakan pengalaman yang dialami oleh sang nenek buyut. Ketika pertama kali mendengar cerita ini, Sean saja terkejut kar
Sean tersenyum lalu berbalik badan. Bersiap meninggalkan halaman rumah George, jika saja tak ada suara yang menginterupsi. "Loh? Kamu teman George, bukan? Mau pergi kemana?" Sean dan George menoleh bersamaan. "Mama ...." Gumam George pelan. Pemuda berkulit agak gelap tertawa pelan dan tersenyum manis setelahnya. "Ah, iya, saya teman George," jawabnya sedikit canggung. "Saya mau pulang ke rumah." Joly menggeleng perlahan. "Kenapa pergi sangat cepat? Ayo, masuk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Ah, tidak!" Sean mengangkat tangan di depan dada, memperlihatkan telapak tangannya kepada keluarga Owens—gestur menolak. "Saya tak bisa ikut sarapan ...." "Jangan malu-malu. Ayo, masuklah ke dalam." George melangkah lambat dan meraih tangan Sean, sedikit menariknya agar pemuda itu dapat mengikuti. Joly masuk lebih dulu ke dalam, disusul oleh George dan
George menghabiskan waktu bersama Sean selama berhari-hari sambil bercerita di depan rumah. Kedekatan mereka membuat George menjadi lebih terbuka dengan kedua orang tuanya, dan George tak tertarik lagi bermain dengan rubiknya. Joly dan Erick begitu bahagia melihat perubahan anak laki-laki mereka. Sean membawa pengaruh yang bagus untuk George. Sampai suatu hari, George mengatakan sesuatu yang membuat pandangan kedua orang tuanya berubah kepada Sean. "Mom, biarkan Sean tinggal di sini!" ucap George, anak laki-laki berusia empat tahun kepada ibunya yang sedang melihat grafik saham di tablet mahalnya. "Tidak bisa, George. Sean bukan siapa-siapa kita." Joly mengetik sesuatu di laptop kemudian kembali meraih tablet berlogo apel. "Tapi aku menyukainya! Bukankah kalau saling suka, bisa tinggal bersama? Seperti Mom dan Dad!" Saat itu pulalah, Joly
"George, ada apa di sekolahmu, Nak?" Joly bertanya keesokan harinya setelah mendapat kabar dari orang tua murid lain di sekolah anaknya. Kabarnya, ada kasus pembunuhan di sekolah anaknya. Hal itu membuat Joly khawatir. "Tak ada apa-apa, Mom. Hanya kasus orang mati di sekolah," jawab George dengan santai. "George! Jangan bersikap tidak peduli kepada kematian seseorang!" Joly memelototi anak laki-lakinya. Sedangkan George langsung berpura-pura tidak melihat kemarahan sang ibu. Bagi Joly, kenyamanan dan keamanan di sekolah itu adalah yang terpenting dan nomor satu di segala hal. Dari sekolah terbaiklah, George bisa mengukir prestasi yang lebih bersinar lagi. Lantas, bagaimana jika sekolah terbaik itu tutup hanya karena dua orang yang tidak lebih penting dari masa depan anaknya mati di lingkungan sekolah? Joly tak habis pikir dengan keputusan polisi dan pihak sekolah yang menutup sekolah selama penyelidikan
Semenjak berakhirnya penyelidikan, George tak lagi bisa bertemu dengan para petugas kepolisian yang datang ke sekolahnya. Dia tak bisa bertemu lagi dengan Jonathan, pria yang selama ini baik padanya atau bertemu Kapten Smith, pria bermata hijau yang menarik perhatian George, bahkan membuat anak itu rela pergi ke sekolah meski sudah dilarang kedua orang tuanya. "George, tadi Mom dapat telepon. Katanya, mulai besok kalian sudah harus masuk sekolah," ucap Joly di pagi Minggu. George baru saja tiba di meja makan, hendak menikmati sarapan bersama orang tuanya. Begitu mendengar kabar itu, George hanya tersenyum seraya mengangguk dengan patuh. "Oh, ya, Mom juga mendapat laporan bahwa kau pergi ke sekolah sendirian dan berlindung di belakang seorang petugas kepolisian saat gurumu muncul untuk memperingatkanmu." Joly membuka topik pembicaraan yang cukup berat di meja makan. Wanita itu kembali berkata, "Guru-gurum
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak