Jika anak-anak Elementary School senang dengan karakter pahlawan seperti Superman, Spiderman atau tokoh-tokoh berkekuatan super dari Marvel, maka George berbeda. Dia tak seperti anak-anak lain yang senang menjadi sosok yang tak mempunyai kelemahan.
"Apa bagusnya pahlawan yang menggunakan pakaian ketat? Memangnya mereka bintang film dewasa?" Salah satu komentar George yang mempertanyakan kesukaan teman-temannya. Saat itu anak-anak sedang berkumpul membahas perilisan film Legacy Man : Super Spider.
Sebuah film yang menunjukkan aktor berkostum Spiderman dan Superman yang bersatu melawan anti-hero berkekuatan luar biasa.
"Kau belum menontonnya, George? Aksi dua pahlawan super abad ini benar-benar luar biasa!" sahut Nick, anak berkawat gigi yang selalu tertarik dengan hal baru.
George merotasikan mata dan melewati perkumpulan anak-anak lelaki di kelasnya tanpa minat. Dia bukan golongan anak-anak itu.
Dia tak senang jika menjadi salah satu tokoh dan dielu-elukan sebagai pahlawan, hanya karena pahlawan itu lebih kuat dan bisa mengalahkan penjahat.
Bagaimana jika penjahatnya jauh lebih kuat? Apa pahlawan itu akan kalah dan membuat sebagian penggemarnya menghilang karena kecewa tidak melihat aksi yang menegangkan?
George tak suka pemikiran harus membantu orang lain hanya karena dia lebih mampu melakukannya dibandingkan anak-anak yang lain. Dia tak senang menjadi pahlawan yang menanggung beban para masyarakat yang terlalu mengharapkan sebuah keadilan dalam hidup mereka.
Itu terlalu berat bagi anak kelas tiga. Keadilan tak tercipta jika tak ada kehancuran. Kehancuran tidak akan ada jika keadilan ditegakkan. Mereka saling melengkapi satu sama lain.
Bagai keseimbangan yang disebut Yin dan Yang dalam pemahaman rakyat China. Ada hal baik dan jahat. Ada hitam dan putih. Semua saling melengkapi dan berpasang-pasangan.
Ada perbedaan, tapi tak langsung membuatnya dibenci. Kejahatan ada agar kebaikan bisa menumpasnya, sebaliknya kebaikan ada untuk mencegah munculnya kejahatan. Semua ada hubungannya, tak ada yang tak memiliki keterkaitan. Bahkan noda pada baju sekalipun.
Itulah fungsinya deterjen pembersih noda pada pakaian kotor.
Lupakanlah keadilan, karena George tak memedulikan itu semua. Menurut pandangan George, keadilan sama saja dengan kejahatan, Baginya, tak ada satupun keadilan dengan energi baik yang murni di dunia atau keadilan sejati setelah melakukan aksi heroik yang hampir merenggut nyawa demi menolong orang lain.
Bisa saja di balik itu semua ada perasaan bangga yang membuatnya sombong. Memangnya ada orang baik yang rela mati tanpa memikirkan keadaannya sendiri? Pasti ada, dan George menganggap mereka hanya orang-orang konyol yang mencari perhatian.
Kenapa bukan orang yang ditolong itulah yang menyelamatkan dirinya sendiri? Kenapa justru menunggu bantuan orang lain. George tak mengerti kebajikan manusia, tak ada yang benar-benar sejati, tulus dan murni di dalamnya.
"Semua hal baik yang dilakukan sang pahlawan akan sia-sia jika pahlawan itu tidak bisa mengalahkan si penjahat," komentar George sambil menunjuk Peter Parker yang menjadi pahlawan berkostum dengan laba-laba di dadanya—Spiderman.
Saking menyukai para pahlawan, teman-teman George sampai membawa poster film Spiderman Vs Batman ke sekolah. "Masyarakat akan menyalahkan kegagalan sang pahlawan dalam menumpas kejahatan. Menurut kalian itu adil?" George menambahkan.
Hening, teman-teman sekelas George tak ada yang berani buka suara.
"Kalian tidak tahu beban berat saat menjadi seorang pahlawan, 'kan?" George memandang wajah lugu teman-temannya, dan Kembali meneruskan, "Kalian hanya tahu mereka melakukan hal baik. Bagi kalian, itu sangat keren bahkan kalian ingin mencontohnya."
"Sekarang aku tanya pada kalian ...," ucap George menggantung perkataannya. Teman-temannya diam dan menunggu George melanjutkan, "apa kalian kesal jika pahlawan kesukaan kalian gagal menyelamatkan seseorang dalam film yang kalian lihat?"
David angkat tangan, dan George mempersilakan anak itu menjawab. "Kami akan sangat kesal, mereka harus berhasil apa pun yang terjadi," jawabnya serius, mewakili teman-temannya yang lain.
George tersenyum lebar, seakan menjadi pembawa acara motivasi nomor satu di Eropa. "Benar, kalian pasti kesal jika mendapati mereka dikalahkan penjahat atau gagal melakukan aksi heroik. Kalian berpendapat bahwa para pahlawan harus bisa menang apa pun yang terjadi, kan?"
"Meski mereka harus terluka, kehilangan kesadaran, tidak bisa berjalan atau bahkan mati demi menyelamatkan banyak orang, bagi kalian—pahlawan harus tetap menang. Itu mutlak, jika gagal film itu akan kehilangan keuntungan. Aku benar?"
Keheningan menyelimuti seisi kelas yang mendadak sepi. Semua mata tertuju pada George yang mengeluarkan pendapatnya tentang teman-temanya dan pahlawan fiksi yang mereka senangi. Hanya George seorang lah yang diberi kesempatan untuk berbicara secara terus-menerus, karena anak itu adalah jiwa inti dalam kelas.
Isi dari sebuah wadah kosong yang mencari pembenaran.
"Ada orang-orang yang mendadak ingin jadi pahlawan. Demi mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar, mereka melakukan apa saja agar bisa disebut pahlawan. Menurut kalian itu keren? Bagiku mereka hanyalah orang serakah yang menyedihkan."
"Kalian tahu kenapa? Karena Tuhan sudah berbaik hati memberikan mereka nyawa, tapi mereka permainkan itu dengan cara melakukan tindakan yang nyaris selalu membuat mereka di ambang kematian."
George lalu menceritakan seorang pria yang nekat menerobos rumah yang kebakaran demi menyelamatkan penghuni rumah, padahal petugas pemadam telah memperingatkan pria itu agar tidak bertindak gegabah.
"Tapi pria itu tak peduli dan tetap menerjang masuk. Alhasil, tak beberapa lama setelah dia masuk, sebuah ledakan besar terjadi dan pondasi rumah itu ambruk. Pria yang nekat tadi ditemukan tewas dalam keadaan menyedihkan."
Nikki—gadis kecil dengan rambut diikat seperti ekor kuda berkomentar, "Bukankah dia seorang pahlawan, George? Dia melakukan hal yang benar!"
George langsung mencibir komentar itu. "Pahlawan? Ya, mungkin saja dia seorang pahlawan jika sejak awal mendengarkan kata-kata petugas pemadam kebakaran untuk tidak masuk sembarangan. Asal kalian tahu saja, rumah yang kebakaran itu adalah rumah kosong. Tak ada seorang pun yang menempatinya, rumah itu kosong karena akan dijual."
Semua teman George menjadi gelisah dan membahas nasib pria malang itu.
"Bagiku dia tetap pahlawan! Dia masuk ke dalam karena ingin memastikan keadaan!" Johnny—teman George yang lain mengucap pembelaan.
George merasa miris dengan pemikiran anak yang bahkan belum bisa kencing dengan benar. "Ya, dia pahlawan yang baik hati. Sayangnya, DIA BODOH karena tidak memperhitungkan bahwa dia memiliki anak yang masih balita dan istri yang sedang mengandung."
Suasana mendadak heboh. George kembali meneruskan, "Apa bagusnya mempertaruhkan nyawa demi orang lain? Hanya karena ingin dianggap baik? Ada banyak cara agar jadi orang baik, tidak dengan menerjang api dan membuang nyawa sendiri, menjadikan anak terlantar dan istri yang hamil menjadi janda."
George membuka pandangan semua anak laki-laki di kelasnya yang ingin menjadi sosok pahlawan berkekuatan super. Anak-anak perempuan sampai terkagum-kagum dan ingin mengikuti jejak yang lain. Hari itu juga, mereka membuang semua poster film dan tak lagi mengidolakan menjadi sosok yang tidak masuk akal.
"Mengorbankan diri sendiri sampai mati adalah kematian paling konyol, apalagi jika orang itu masih mempunyai keluarga yang harus diberi makan. Faktanya, menjadi seorang pahlawan tak sama dengan mereka yang muncul di film superhero kebanyakan."
Tepuk tangan membahana di kelas A3, bahkan menarik perhatian anak-anak kelas lain juga guru-guru yang kebetulan lewat.
"George, kau keren!"
"George lah pahlawan kami!"
Dan itulah George, anak kelas tiga Elementary School ketika berhasil menyampaikan pendapatnya kepada teman-teman sekelasnya.
***
George semakin dipuji kepintarannya setelah anak-anak kelas A3 bercerita kepada orang tua mereka.
"Kau memang anak yang hebat, George."
"Ya, sangat pandai. Kau benar-benar genius."
George kemudian menjelaskan bahwa dia lebih senang menjadikan tokoh fiksi sebuah buku cerita menjadi role model hidupnya. Bukan buku sembarangan, melainkan novel yang dibacanya diam-diam sebelum tidur.
Buku berjudul Syira : The Last Judgement adalah karya besutan Psychopath Tender, penulis yang
Syirra selalu mengejar orang-orang aneh. Mereka adalah favoritnya. Ia menginginkan orang yang akan melawan, dan orang yang tidak akan takut pada awalnya; atau, lebih baik lagi, orang-orang yang yakin mereka bisa menang.
Manusia langka dengan keberanian dan kepercayaan diri yang begitu besar sehingga mereka benar-benar percaya mereka bisa mengalahkannya entah bagaimana caranya. Itu selalu yang paling menyenangkan untuk dibunuh.
Ia senang menyaksikan kehidupan memudar dari mata mereka yang menantang saat itu perlahan-lahan mencabik-cabik mereka; menonton sebagai kesadaran bahwa mereka sebenarnya tidak berdaya menyadarinya.
Selama berabad-abad, makhluk purba ini telah memburu manusia; baik untuk kesenangan, olah raga, atau karena didorong oleh naluri, ia berkembang pesat saat kematian umat manusia. Namun, ia sudah lama bosan dengan jeritan ketakutan dan ratapan penderitaan yang sering menyertai berbagai kampanyenya.
Dengan demikian, ia telah memilih untuk mengubah demografis mangsanya menjadi manusia yang lebih menarik yang mungkin ditemukan di antara massa. Bagaimanapun, Bumi sekarang memiliki lebih dari tujuh miliar manusia yang memenuhi permukaannya; pasti beberapa dari mereka akan menawarkan perburuan yang lebih unik dan mengasyikkan daripada ribuan Syirra yang telah dimusnahkan sebelumnya.
Konon, menemukan manusia yang kurang dapat diprediksi di antara jutaan rekan mereka yang lebih membosankan seperti menemukan jarum di tumpukan jerami.
Sejak Syirra mengubah modus operandinya, Syirra menjadi frustrasi dengan peningkatan jumlah kill yang lebih lambat. Ia tidak tahu mana yang lebih buruk: membunuh manusia yang tidak berharga, sebab mereka terlalu membosankan karena datang berbondong-bondong, atau menghabiskan berminggu-minggu waktunya untuk melacak mereka yang berpotensi menarik perhatian orang-orang, terkadang hanya untuk mengetahui bahwa mereka bereaksi satu sama lain jelas membuatnya berakhir mengecewakan yang lainnya.
Lalu, Syirra bertemu dengan Mark Cullen.
Itu jelas sebuah cerita yang menarik, menginspirasi. Tidak semua orang menyukai superhero yang memiliki kekuatan di luar nalar. George justru senang dengan tokoh yang realistis, kuat tapi memiliki kelemahan.
Benar-benar menunjukkan manusia yang apa adanya. Manusia yang memiliki motif. Ada yang baik dan buruk.
"Tak apa menjadikan tokoh fiksi sebagai role model kehidupan, selama tidak mengusik orang lain," adalah kutipan yang selalu dipegang teguh oleh George, anak laki-laki kelas tiga Elementary School.
***
Beberapa tahun kemudian, setelah tumbuh semakin besar, George kembali dihadapkan dengan pertanyaan yang sama. Namun, di kesempatan kali ini dia bisa menjawabnya dengan baik karena waktu istirahat makan siang di sekolah mereka masih sangat panjang; sekitar lima belas menit lagi.
"Apa rahasiamu, George? Katakan pada kami!"
"Apa kau mengikuti kursus yang sangat banyak?"
"Apa kau punya guru terbaik sedunia?!"
Berbagai pertanyaan pun berdatangan kepada George.
Remaja empat belas tahun itu masih tetap mempertahankan senyum tipis di wajahnya ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan serupa dari teman-temannya yang antusias ingin mengetahui caranya belajar dan memahami selama ini.
"Hmm, mudah saja. Sejak kecil, aku selalu bermain permainan puzzle, tic tac toe, flow free, kubus rubik, menebak teka-teki sulit bahkan catur di waktu senggangku," jawab George dengan tenang, yang membuat semua teman-temannya langsung terpukau.
Wajar saja anak-anak itu takjub, sebab George tak terpukau dengan permainan zaman sekarang yang hampir selalu membuat anak-anak lupa waktu.
"Lalu selain itu?" tanya mereka lagi. Setelah ini, mereka akan mempraktikkannya di rumah. Siapa yang tak ingin mendapat nilai bagus dan menjadi juara?! Tentu semua orang akan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berteriak bahwa mereka sangat ingin mendapat nilai bagus di sekolah.
Hening sejenak, George tampak mematung di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian, ia pun tersenyum. "Aku juga sangat menyukai mainan bongkar pasang. Permainan itu benar-benar melatihku selama ini," ucap George diakhiri dengan senyuman yang semakin lebar.
Ini juga bagian dari revisi ya
Takkan ada yang menyangka jika anak laki-laki yang begitu terkenal kegeniusannya selama berstatus bersekolah di Geraldine 2 Elementary School kelak akan menjadi seorang pembunuh berantai yang kejam. Dia hanya anak laki-laki biasa, tidak memiliki kekuatan super dan bisa terbang. Dia hanya berwajah tampan, berasal dari keluarga yang kaya dan diberkahi otak yang cepat menerima pelajaran. Meski tak pandai berkomunikasi dengan orang lain, George adalah anak yang pandai mengeluarkan pendapat yang bisa mengubah pandangan seseorang. Dia adalah anak yang seperti itu. Sosok yang pendiam, namun begitu mengeluarkan kata-kata, maka semua mata akan tertuju padanya. "Oh, George! Selamat pagi! Tidak diantar lagi hari ini?" Eddy, seorang penjaga gerbang menyapa George begitu putra pasangan Owens memasuki halaman sekolah. Anak itu menyunggingkan senyum tipis yang sudah menjadi c
Betapa pentingnya pengawasan terhadap seorang anak, orang tua yang tak bisa melihat langsung pertumbuhan anaknya kelak akan merasakan sebuah penyesalan yang tertinggal di hati. Mereka tak lagi bisa mengulang saat-saat terindah bersama anak mereka. Salah satu dari sekian banyak orang tua yang akan menyesali hal itu adalah Joly dan Erick Owens. Mereka yang terlalu sibuk bekerja pun memberikan seluruh pengawasan anaknya kepada para pengasuh. Mereka sibuk mengejar duniawi, berpikir itu untuk masa depan sang anak, tapi mereka membuat seorang anak merasa kesepian karena kerap ditinggal orang tuanya pergi bekerja. Anak itu George Owens. Akibat tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua, di masa remaja ia berubah menjadi pembunuh berantai, bergabung ke kepolisian dengan tujuan tak baik, dan berakhir hukuman mati setelah meledakkan sebuah laboratorium dan menewaskan banyak orang.
Di saat kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah, atau para babysitter yang disuruh menjaganya tidak ada yang bisa menjaga George. Maka anak laki-laki itu akan bermain seorang diri di halaman belakang rumahnya. Kebetulan, halaman belakang rumah George cukup luas. Mereka juga memiliki kolam renang yang tidak terlalu dalam di sana. Semua mainan sudah tersedia di halaman belakang, sehingga George bisa tenang bermain meski hanya seorang diri. Rumah keluarga Owens dikelilingi oleh pagar putih setinggi dua meter. Hal itu untuk mencegah hal buruk terjadi seperti adanya pencuri yang masuk. Tentu adanya pagar itu juga untuk melindungi George di rumah selama orang tuanya tak ada di rumah dan dia hanya ditinggal bersama seorang pengasuh yang baru bekerja selama beberapa bulan di kediaman mereka. Walau memperkerjakan babysitter, tapi wanita-wanita yang ditugaskan untuk menjaga George itu jarang mengawasi anak
"Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan. George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol. George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali. George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak
Sambil tersenyum secerah matahari, Sean berkata, "Baik, kita mulai ...." Sean menyelesaikan ceritanya kurang dari dua tiga menit. "Tunggu, ini cerita siapa?" George bertanya menyelidik. Sean tertawa melihatnya, baru kali itu dia bertemu anak yang begitu penasaran dengan kisahnya. "Ini cerita ibunya Nenek dari pihak ayahku, lalu orang tuaku menceritakannya sekali lagi padaku. Sudah lama sekali," jelasnya dengan sabar. "Bisa kita lanjutkan?" George mengangkat bahu. "Ya, kenapa tidak? Lagipula ceritanya menarik, apa Nenekmu masih hidup?" "Beliau sudah tiada, jauh ketika aku berusia 3 tahun. Hanya cerita ini saja yang tersisa darinya, pengalaman Nenek buyutku. Di mana Nenek buyutku kehilangan Justin." Sean kemudian mulai menceritakan pengalaman yang dialami oleh sang nenek buyut. Ketika pertama kali mendengar cerita ini, Sean saja terkejut kar
Sean tersenyum lalu berbalik badan. Bersiap meninggalkan halaman rumah George, jika saja tak ada suara yang menginterupsi. "Loh? Kamu teman George, bukan? Mau pergi kemana?" Sean dan George menoleh bersamaan. "Mama ...." Gumam George pelan. Pemuda berkulit agak gelap tertawa pelan dan tersenyum manis setelahnya. "Ah, iya, saya teman George," jawabnya sedikit canggung. "Saya mau pulang ke rumah." Joly menggeleng perlahan. "Kenapa pergi sangat cepat? Ayo, masuk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Ah, tidak!" Sean mengangkat tangan di depan dada, memperlihatkan telapak tangannya kepada keluarga Owens—gestur menolak. "Saya tak bisa ikut sarapan ...." "Jangan malu-malu. Ayo, masuklah ke dalam." George melangkah lambat dan meraih tangan Sean, sedikit menariknya agar pemuda itu dapat mengikuti. Joly masuk lebih dulu ke dalam, disusul oleh George dan
George menghabiskan waktu bersama Sean selama berhari-hari sambil bercerita di depan rumah. Kedekatan mereka membuat George menjadi lebih terbuka dengan kedua orang tuanya, dan George tak tertarik lagi bermain dengan rubiknya. Joly dan Erick begitu bahagia melihat perubahan anak laki-laki mereka. Sean membawa pengaruh yang bagus untuk George. Sampai suatu hari, George mengatakan sesuatu yang membuat pandangan kedua orang tuanya berubah kepada Sean. "Mom, biarkan Sean tinggal di sini!" ucap George, anak laki-laki berusia empat tahun kepada ibunya yang sedang melihat grafik saham di tablet mahalnya. "Tidak bisa, George. Sean bukan siapa-siapa kita." Joly mengetik sesuatu di laptop kemudian kembali meraih tablet berlogo apel. "Tapi aku menyukainya! Bukankah kalau saling suka, bisa tinggal bersama? Seperti Mom dan Dad!" Saat itu pulalah, Joly
"George, ada apa di sekolahmu, Nak?" Joly bertanya keesokan harinya setelah mendapat kabar dari orang tua murid lain di sekolah anaknya. Kabarnya, ada kasus pembunuhan di sekolah anaknya. Hal itu membuat Joly khawatir. "Tak ada apa-apa, Mom. Hanya kasus orang mati di sekolah," jawab George dengan santai. "George! Jangan bersikap tidak peduli kepada kematian seseorang!" Joly memelototi anak laki-lakinya. Sedangkan George langsung berpura-pura tidak melihat kemarahan sang ibu. Bagi Joly, kenyamanan dan keamanan di sekolah itu adalah yang terpenting dan nomor satu di segala hal. Dari sekolah terbaiklah, George bisa mengukir prestasi yang lebih bersinar lagi. Lantas, bagaimana jika sekolah terbaik itu tutup hanya karena dua orang yang tidak lebih penting dari masa depan anaknya mati di lingkungan sekolah? Joly tak habis pikir dengan keputusan polisi dan pihak sekolah yang menutup sekolah selama penyelidikan
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak