Di saat kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah, atau para babysitter yang disuruh menjaganya tidak ada yang bisa menjaga George. Maka anak laki-laki itu akan bermain seorang diri di halaman belakang rumahnya. Kebetulan, halaman belakang rumah George cukup luas. Mereka juga memiliki kolam renang yang tidak terlalu dalam di sana.
Semua mainan sudah tersedia di halaman belakang, sehingga George bisa tenang bermain meski hanya seorang diri.
Rumah keluarga Owens dikelilingi oleh pagar putih setinggi dua meter. Hal itu untuk mencegah hal buruk terjadi seperti adanya pencuri yang masuk. Tentu adanya pagar itu juga untuk melindungi George di rumah selama orang tuanya tak ada di rumah dan dia hanya ditinggal bersama seorang pengasuh yang baru bekerja selama beberapa bulan di kediaman mereka.
Walau memperkerjakan babysitter, tapi wanita-wanita yang ditugaskan untuk menjaga George itu jarang mengawasi anak majikan mereka, bahkan setiap jam mereka hanya mengecek George sesekali. Mereka terlalu santai. Ada atau tiadanya babysitter, George tak terlalu peduli. Dia bisa bermain sendirian dengan nyaman di halaman belakang tanpa merasa takut.
Kadang-kadang, ada hari di mana George hanya ditinggal seorang diri di rumahnya yang terlalu besar untuk seorang anak berusia empat tahun tanpa seorang pengasuh.
Lantas, kemana perginya pengasuh George di hari-hari keabsenan mereka itu? Walau terdengar tak masuk akal, sebenarnya pengasuh-pengasuh itu memiliki alasan yang sama, mereka tak mau berlama-lama bermain dengan George di hari-hari tertentu.
Padahal mereka ditugaskan menjaga anak laki-laki Owens setiap hari, tapi khusus di hari Kamis, Jumat dan Senin, semua pengasuh sengaja meliburkan diri dan meninggalkan George sendirian di rumahnya yang besar.
Ada rumor di antara para pengasuh yang menyebutkan bahwa George yang pendiam itu telah dirasuki oleh iblis yang menghuni kolam renang yang bersebelahan dengan halaman belakang tempat George biasanya bermain sendirian.
Padahal George adalah tipe anak yang mudah diatur, sebab dia tak banyak bicara atau melayangkan protes.
Tipe yang tidak akan kekurangan energi saat bermain, tidak seperti anak-anak lain yang mengikutsertakan kecakapan mulut mereka saat bermain. Dengan alasan inilah, para pengasuh yang menjaga George bisa tenang membiarkannya bermain sendirian di rumahnya yang megah.
Meski selalu absen 3 hari dalam seminggu, tak ada pengasuh yang bertahan lama di pekerjaan mereka. Ada alasan di balik tak ada seorang pun pengasuh yang mau berlama-lama menjaga putra pasangan Erick dan Joly Owens lebih dari dua bulan.
Alasan mereka cukup menyeramkan dan berbeda-beda antara satu sama lain, tapi ada satu kesamaan di dalamnya. Inilah yang menyebabkan satu per satu babysitter George pergi dari rumahnya, mengundurkan diri, bahkan berhenti bekerja tanpa alasan yang masuk akal.
Menurut seorang pengasuh termuda, ada suatu hari di mana Joly dan Erick harus pergi ke luar kota untuk mengurus proyek bisnis mereka. Pekerjaan yang tidak bisa ditinggal atau ditunda. George pun ditinggal bersama seorang pengasuh yang baru bekerja selama beberapa hari di rumah mereka. Pengasuh lain berhalangan hadir dan ada yang sudah mengundurkan diri.
Meski baru beberapa hari, pengasuh itu begitu gesit dan ramah. Joly dan Erick pun memutuskan untuk mempercayakan anak kesayangan mereka kepada gadis yang bahkan belum berusia 18 tahun.
Namanya adalah Marrie Wrath, bekerja sebagai pengasuh sekaligus pembantu rumah tangga. Karena tergiur gaji yang teramat besar, Marrie pun menerima dua tawaran pekerjaan itu.
Terutama menjadi seorang pengasuh tidak terlalu sulit baginya. Gadis yang belum menikah itu cukup percaya diri karena sudah memiliki pengalaman kerja sejak usianya baru 15 tahun. Kini dia bekerja di keluarga Owens, pengusaha properti di kota Lisbon.
Dia memang belum dewasa, tapi Marrie adalah seorang pekerja keras, dia sanggup bekerja seharian penuh demi meningkatkan rasa percaya majikannya. Marrie berasal dari kalangan tak mampu yang tinggal di Equador.
"Selamat pagi, George. Hari ini Kakak mohon bantuannya, ya." Marrie mengusap kepala George sambil tersenyum manis. Dia ingat dengan adik-adik yang harus diberi makan dan orang tua yang harus diberi uang bulanan.
Inilah risiko yang diambil Marrie setelah merantau ke negeri orang.
"Kak Marrie jangan pergi, ya," ucap George. "Kakak-kakak yang lain tidak mau bermain hari ini."
Marrie terlihat kebingungan. "Kenapa dengan hari ini?" tanyanya kebingungan.
"Ini hari Jumat, mereka tak ke sini hari Jumat."
Marrie tak mengerti kenapa para seniornya tak ada yang bekerja di hari Jumat. Bahkan hari Kamis kemarin pun, tak seorang pun dari mereka terlihat di rumah megah keluarga Owens.
"Tenang saja, Kakak tak akan meninggalkan George seperti Kakak-kakak lainnya."
***
"Saya minta maaf, saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya."
"Marrie, ada apa? Kenapa berhenti tiba-tiba?" tanya Joly keheranan. Dia sudah kehilangan dua pengasuhnya di dua hari terakhir.
"Saya ... saya harus pulang ke kampung halaman saya!"
Lalu Marrie pun bercerita dan memberitahu alasan mengapa dia lebih memilih mundur dari pekerjaannya sebagai pembantu dan pengasuh George, meski baru bekerja kurang dari satu bulan ini di rumah keluarga Owens karena ada satu dan dua hal yang benar-benar membuat Marrie tak berani tinggal lebih lama lagi.
Awalnya semua berjalan lancar di hari kedatangan Marrie di kediaman George untuk pertama kalinya. Marrie merasa senang sekali karena dapat bekerja dan mengasuh anak laki-laki dari keluarga kaya yang memberikan gaji dua kali lipat.
Bagi Marrie saat itu, mengurus anak kecil adalah pekerjaan yang sangat mudah. Terutama George adalah anak baik yang tidak banyak bicara, dan penurut. George adalah anak yang lucu dan polos. Apalagi dia belum berusia lima tahun.
Awal-awal Marrie memulai pekerjaannya, sama sekali tak ada pikiran untuk berhenti bekerja dan pergi dari rumah yang begitu besar dan megah. Dia tak pernah menemukan kejanggalan di minggu pertama, walau pernah mendapat saran dari pengasuh lama untuk berhenti saja, tapi Marrie menolak saran tersebut.
"Huh, gadis sombong. Kau akan menyesal."
Tak apa dihina, bagi Marrie yang telah diberhentikan dari pekerjaan sebelumnya karena dituduh telah meracuni anjing kesayangan majikannya, bekerja di rumah dengan orang yang baik hati seperti pasangan suami-istri Owens dan merawat anak laki-laki mereka yang pintar adalah pekerjaan yang tak bisa ditinggal begitu saja.
Terutama gaji yang didapatnya lebih dari cukup untuk membantu keuangannya. Mempunyai 6 orang adik dan orang tua yang bekerja serabutan, membuat Marrie bekerja keras dan tak akan membuat kesalahan yang bisa membuat majikannya membenci dirinya.
Marrie akan bertahan apa pun yang terjadi, bahkan saat semua pengasuh George berhenti bekerja, dia tetap bertahan karena ingat dengan sanak saudaranya di Equador.
Namun, semua pemikiran itu berubah ketika dirinya baru bekerja selama tiga hari di rumah keluarga Owens itu. Marrie termasuk orang yang tak percaya dengan hal-hal berbau mistis, dia sama sekali tak percaya dengan hantu, arwah penasaran atau sejenisnya.
Bagi Marrie, hal supranatural itu adalah sesuatu di luar akal sehatnya sebagai manusia cerdas dan Marrie tak mau ambil pusing memikirkan itu semua.
Akan tetapi, tidak lagi setelah ia mengalami kejadian demi kejadian aneh yang muncul di kediaman Owens, tempatnya berkerja sejak tiga hari yang lalu itu.
Untuk pertama kalinya, Marrie mengalami kejadian burum yang membuatnya trauma dan tak berani lagi menginjakkan kakinya di kediaman Owens.
Hari itu, ketika pemilik rumah sedang pergi bekerja dan mereka mempercayakan George di bawah pengasuhannya, Marrie yang sedang duduk mengawasi George dari kejauhan melihat sesuatu yang sangat mengerikan.
George kecil sedang bermain susunan balok yang terbuat dari kayu jati di halaman belakang rumahnya. Jika sudah bermain dengan balok-balok itu, George akan menulikan telinganya dan hanya terfokuskan kepada permainannya saja.
Sama sekali tak ada yang mengetahui apa yang akan segera terjadi hari itu, termasuk Marrie.
Seperti hari-hari sebelumnya, Marrie akan duduk di sebuah kursi dekat pintu dan mengawasi George yang sedang bermain balok. Gadis itu tersenyum tipis saat mengamati anak laki-laki bersurai cokelat terang yang sedang serius dengan permainannya. Hingga beberapa saat kemudian, Marrie yang tengah mengawasi George melihat sesuatu yang janggal.
Matahari tak bersinar karena terhalangi oleh awan kelabu, mengakibatkan langit menjadi sedikit gelap dan hawa dingin menusuk kulit. Akan turun hujan. Marrie yang khawatir dengan hujan yang akan segera turun pun bergegas berdiri dan berjalan mendekati George.
Akan tetapi saat itu, belum ada lima langkah sang gadis mendekati George, sesuatu yang besar dan berwarna hitam menghalangi pandangannya dari anak kecil itu.
Sesuatu yang tinggi itu tak berdiri di depan Marrie seperti seseorang yang sedang menghalangi langkahnya. Namun, sesuatu yang besar itu ... seolah keluar dari tubuh George dan memerangkap anak laki-laki itu di dalamnya.
"A-aah ... George ...." Marrie seketika kehilangan kemampuan bicaranya saat melihat kengerian di depannya. Mulutnya ternganga, matanya melotot dan tubuh yang gemetaran. Gadis malang itu mundur selangkah demi selangkah. Pupil matanya tampak bergetar, menyiratkan ketakutan yang teramat dalam.
Apa yang ada di depannya saat ini sangatlah tidak wajar.
Tubuhnya berwarna hitam transparan, sehingga dapat memperlihatkan George yang masih sibuk dengan mainan baloknya. Anak laki-laki itu terjebak di dalam tubuh raksana besar itu. Namun, tak tampak sedikit pun ketakutan di wajah George, tahu dalam bahaya pun tidak.
Sepertinya George sedari awal memang tak memedulikan adanya sosok lain di sekitarnya.
Marrie benar-benar ketakutan. Makhluk itu besar dan tinggi sekali. Namun, tak memiliki wajah. Tempat yang seharusnya ada mata, hidung ataupun mulut, sama sekali tidak ada. Semua rata.
Marrie bergidik ketakutan. Anak majikannya dalam bahaya, dan jika George kenapa-kenapa, pastilah dia yang akan mendapat hukumannya. "G-George, ke-kemarilah, Dek." Marrie mencoba memanggil anak kecil itu.
Suara Marrie yang pelan membuat George yang sama sekali tak bisa mendengar suaranya, tak menoleh pada gadis belia itu, melihat ke arahnya saja tidak. Dengan takut-takut, Marrie pun memberanikan diri menaikkan volume suaranya. Sembari meneguk saliva gugup, wanita lajang yang belum menikah itu angkat bicara.
"Ge-George, ke-kemarilah sebentar. Ada yang ingin Kakak perlihatkan ...."
Suara lantang milik Marrie tampaknya berhasil membuat George menoleh kepada wanita itu. Gerakan kepalanya lambat dan lirikan matanya tampak perlahan. Namun, detik selanjutnya lebih mencengangkan. George menatap Marrie dengan tajam hingga tampaklah pupil matanya yang menunjukkan ketidak sukaan yang dalam.
Anak itu melotot kepada Marrie dengan diiringi oleh geraman yang terdengar mengerikan.
Marrie tak ingat apa-apa lagi setelah itu karena setelahnya dia ambruk ke tanah dan tak sadarkan diri selama beberapa waktu. Setelah sadar dari pingsan, Marrie yang tampak linglung pun segera melapor dan mengatakan pengunduran dirinya kepada Joly dan Erick yang sudah kembali dari perjalanan bisnisnya.
"Maafkan saya, Tuan, Nyonya, saya harus kembali," ucap Marrie dengan suara bergetar seperti orang ketakutan.
Marrie pun diantar oleh keluarga Owens ke rumah penampungan pembantu sebelum gadis itu pulang ke kampung halaman orang tuanya. Joly mengerti ketakutan yang gadis itu rasakan, ia pun berpamitan dan memberi Marrie uang pesangon. Tak mudah memiliki seorang pengasuh anak sekaligus pembantu rumah tangga.
"Marrie pengasuh kita yang ke-15, ya?" Tiba-tiba Erick, sang kepala keluarga Owens buka suara setelah mereka pergi meninggalkan rumah yang ditinggali oleh Marrie Wrath. Mereka beranjak menghampiri mobil sedan warna merah keluaran tahun 2004 yang dibelinya tahun lalu.
"Sampai kapan kita memperkerjakan orang yang tidak betah bekerja di rumah kita untuk mengawasi George selama kita pergi bekerja?" tanya Erick lagi dengan ekspresi kesal.
Joly mendengkus, mengerti jika sang suami begitu risau dan hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Wanita itu memalingkan wajah, membiarkan sang suami melihat setengah wajahnya saja. "Entahlah. Untuk sekarang, biar saja George sendirian. Itu akan lebih baik untuk George," jawabnya.
Sejak hari itu, beberapa pengasuh lain yang didatangkan ke rumah keluarga Owens pun akan mengalami kejadian serupa seperti yang dialami oleh Marrie. Mereka akan berhenti bekerja, bahkan sebelum mereka genap bekerja di sana selama satu minggu penuh.
Semua hal itu benar-benar membingungkan dan hampir membuat Joly dan Erick menyerah dengan keadaan. Namun, tuhan tak pernah memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan hamba-hamba-Nya.
Itulah yang kedua pasangan itu percayai.
George adalah anak yang suka bermain. Dia sering sekali menghabiskan waktunya bermain sendirian, karena tak pernah mendapat seorang teman pun di daerah perumahannya, George sama sekali tak mengeluhkan hal itu. Justru, sang anak bersurai cokelat merasa tenang, sebab George benci bunyi bising. Baginya itu sangat menganggu.
Daripada memikirkan sesuatu yang tak penting, George lebih memilih bermain sendirian dan hanya ditemani oleh semua mainan kerennya. Bongkar pasang adalah salah satu kegemaran George.
Pada suatu hari, menjelang ulang tahunnya yang kelima, George kecil tiba-tiba saja merasa jenuh dengan semua mainan miliknya. Cara memainkannya selalu sama, seperti itu-itu saja, dan baginya itu sudah sangat membosankan. Terlalu membosankan bagi seorang anak yang hampir berusia 5 tahun.
Dengan ekspresi wajah yang masam, anak itu pun pergi keluar rumah sendirian, tentu saja ia masih berada di wilayah sekitar rumahnya. Mengelilingi tempat tinggalnya di dalam pagar, lalu berhenti di taman belakang. George benar-benar niat mengelilingi rumah itu.
Kemudian, ia memilih duduk menyendiri di salah satu kursi dekat kolam renang seraya memandangi barisan semut yang lewat. Tampak ada beberapa ekor semut yang melintas di atas kakinya, karena penasaran George pun menangkap salah satu semut berwarna hitam.
"Aw!" Semut-semut lain sempat menggigit kaki George yang putih, membuat George kesal dan memukul semut-semut itu dengan telapak tangannya. Barulah setelah tenang, George memperhatikan semut tangkapannya dengan penuh minat.
Semut kecil berwarna hitam itu menggeliat, berontak dengan sekuat tenaga ingin melepaskan diri dari dua jari mungil George yang mengapit tubuh makhluk berantena yang malang itu. Namun George yang masih sibuk memandangi semut tak berdaya yang berada di tangannya memilih mengabaikan hal tersebut.
Tak peduli dengan usaha makhluk kecil yang berusaha melepaskan diri dari tangannya. Tangan kecil George bergerak dan mulai mencabut satu per satu kaki semut yang kurang beruntung itu.
Semakin menggeliat semut yang berada di tangannya, semakin lebar pula senyum yang terukir di wajah tampan seorang anak kecil bernama George Owens.
***
George pada dasarnya adalah seorang anak yang pendiam, tapi akan tetap ada anak-anak sepantarannya yang akan berkunjung dan mengajaknya bermain bersama. Mereka tinggal cukup jauh dari George, tapi tetap mau pergi ke sana untuk mengajak putra pasangan Owens bermain bersama.
George kecil awalnya juga senang berbaur dengan mereka semua, tetapi suatu hari ia mulai terlihat memisahkan diri. Hal itu berhasil membuat kedua orang tuanya yang diam-diam memperhatikan anak mereka satu-satunya itu mengalami kecemasan.
Takut terjadi suatu hal yang buruk yang menimpa anak kesayangan mereka.
"George, kenapa tak bermain lagi dengan anak-anak lain di komplek sebelah? Apa ada yang mengganggumu, Sayang?" tanya Joly saat menimang putra semata wayangnya.
George menggeleng dan menjawab, "Tidak apa-apa kok."
"Lantas kenapa, Nak?" tanya ibunya sekali lagi.
"Mereka tidak suka dengan mainan bongkar pasangku," jawab George lirih, ia terlihat bersedih. Merasakan apa yang dirasakan oleh putranya, Erick yang sedari tadi memperhatikan pun lantas membawa George ke dalam pelukannya.
"Bukankah permainan George sangat menarik? Mengapa mereka tidak suka? Mereka pasti salah menilaimu."
George hanya menggendikkan bahu tanda tak tahu. Joly, sang ibu pun tersenyum kecil, mencoba menguatkan anak kesayangannya. "Ayo bawa kemari mainan bongkar pasang punyamu. Kita bertiga coba memainkannya bersama-sama."
Dengan tersenyum lebar, George pun pergi ke halaman belakang. Sambil menunggu anak mereka kembali, Joly dan suaminya pun berbicara mengenai masa depan anak mereka. Dari kecil saja sudah terlihat kepandaiannya, apalagi ketika sudah besar nanti. Mereka sangat bangga bisa memiliki George.
Tak berselang lama, George pun sudah kembali sambil membawa mainannya. "Mama ... Papa!" panggilnya riang, menarik perhatian kedua orang tuanya.
Joly dan Erick—kedua orang tua George—pun berbalik dan menoleh ke belakang, disertai senyuman cerah di wajah mereka. Keduanya ingin melihat mainan 'bongkar pasang' yang beberapa saat lalu diambil George dari halaman belakang. Namun saat itu juga, langit seolah runtuh bagi pasangan suami-istri yang menikah karena sebuah perjodohan.
Tak tampak sedikit pun mainan bongkar pasang yang identik dengan kotak-kotak yang terbuat dari kayu di tangan anak laki-laki mereka. Tapi ada sesuatu yang sedang digenggam oleh George di kedua tangannya.
Senyum pasangan suami istri itu pun luntur, digantikan dengan perasaan ngeri yang membuat mereka merinding dengan bulu kuduk yang berdiri.
Saat itu, George membawa seekor laba-laba berukuran besar, melebihi ukuran telapak tangannya yang kecil. Laba-laba itu berjenis Tarantula Goliath dan merupakan peliharaan ayahnya yang sengaja ditaruh di akuarium khusus dekat taman bermain rumahnya.
Laba-laba berjenis kelamin jantan itu memiliki corak warna merah yang cantik di punggungnya.
Akan tetapi, sesuatu yang membuat orang tua George terkejut bukanlah laba-laba besar yang kini berada di tangan anak mereka, melainkan penampilan dari hewan invertebrata bercangkang keras dari famili Theraphosidae itu yang sudah tidak utuh lagi.
Tubuh sang laba-laba besar sudah dalam keadaan yang mengenaskan.
"Geo-George ...." Panggil Joly dengan nada yang bergetar. Natanya bergerak cepat. "A-apa yang kau lakukan terhadapnya, Sayang?"
George menaruh laba-laba besar itu di tengah-tengah. Antara dirinya dan kedua orang tuanya. Tak jauh dari ketiganya, tepatnya di atas sebuah meja kecil, terdapat sebotol lem perekat kuat yang sepertinya sudah lama disiapkan. George pun mengambilnya dan menyusunnya dengan rapi di sebelah Tarantula milik sang ayah, lalu senyum anak laki-laki itu pun merekah semakin lebar.
"Bermain bongkar pasang!" jawab George riang, seperti anak kecil pada umumnya.
"Ma, Pa!" George yang berusia empat tahun mengangkat laba-laba di tangannya tinggi-tinggi, lalu berkata, "Ayo kita pasang kakinya dengan lem!"
"Lalu setelah itu, kita lepas lagi ya dari badannya!"
George memotong laba-laba malang itu dan bermain bongkar pasang dengan potongan tubuhnya, tanpa merasa bersalah.
Sudah direvisi yaa
"Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan. George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol. George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali. George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak
Sambil tersenyum secerah matahari, Sean berkata, "Baik, kita mulai ...." Sean menyelesaikan ceritanya kurang dari dua tiga menit. "Tunggu, ini cerita siapa?" George bertanya menyelidik. Sean tertawa melihatnya, baru kali itu dia bertemu anak yang begitu penasaran dengan kisahnya. "Ini cerita ibunya Nenek dari pihak ayahku, lalu orang tuaku menceritakannya sekali lagi padaku. Sudah lama sekali," jelasnya dengan sabar. "Bisa kita lanjutkan?" George mengangkat bahu. "Ya, kenapa tidak? Lagipula ceritanya menarik, apa Nenekmu masih hidup?" "Beliau sudah tiada, jauh ketika aku berusia 3 tahun. Hanya cerita ini saja yang tersisa darinya, pengalaman Nenek buyutku. Di mana Nenek buyutku kehilangan Justin." Sean kemudian mulai menceritakan pengalaman yang dialami oleh sang nenek buyut. Ketika pertama kali mendengar cerita ini, Sean saja terkejut kar
Sean tersenyum lalu berbalik badan. Bersiap meninggalkan halaman rumah George, jika saja tak ada suara yang menginterupsi. "Loh? Kamu teman George, bukan? Mau pergi kemana?" Sean dan George menoleh bersamaan. "Mama ...." Gumam George pelan. Pemuda berkulit agak gelap tertawa pelan dan tersenyum manis setelahnya. "Ah, iya, saya teman George," jawabnya sedikit canggung. "Saya mau pulang ke rumah." Joly menggeleng perlahan. "Kenapa pergi sangat cepat? Ayo, masuk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Ah, tidak!" Sean mengangkat tangan di depan dada, memperlihatkan telapak tangannya kepada keluarga Owens—gestur menolak. "Saya tak bisa ikut sarapan ...." "Jangan malu-malu. Ayo, masuklah ke dalam." George melangkah lambat dan meraih tangan Sean, sedikit menariknya agar pemuda itu dapat mengikuti. Joly masuk lebih dulu ke dalam, disusul oleh George dan
George menghabiskan waktu bersama Sean selama berhari-hari sambil bercerita di depan rumah. Kedekatan mereka membuat George menjadi lebih terbuka dengan kedua orang tuanya, dan George tak tertarik lagi bermain dengan rubiknya. Joly dan Erick begitu bahagia melihat perubahan anak laki-laki mereka. Sean membawa pengaruh yang bagus untuk George. Sampai suatu hari, George mengatakan sesuatu yang membuat pandangan kedua orang tuanya berubah kepada Sean. "Mom, biarkan Sean tinggal di sini!" ucap George, anak laki-laki berusia empat tahun kepada ibunya yang sedang melihat grafik saham di tablet mahalnya. "Tidak bisa, George. Sean bukan siapa-siapa kita." Joly mengetik sesuatu di laptop kemudian kembali meraih tablet berlogo apel. "Tapi aku menyukainya! Bukankah kalau saling suka, bisa tinggal bersama? Seperti Mom dan Dad!" Saat itu pulalah, Joly
"George, ada apa di sekolahmu, Nak?" Joly bertanya keesokan harinya setelah mendapat kabar dari orang tua murid lain di sekolah anaknya. Kabarnya, ada kasus pembunuhan di sekolah anaknya. Hal itu membuat Joly khawatir. "Tak ada apa-apa, Mom. Hanya kasus orang mati di sekolah," jawab George dengan santai. "George! Jangan bersikap tidak peduli kepada kematian seseorang!" Joly memelototi anak laki-lakinya. Sedangkan George langsung berpura-pura tidak melihat kemarahan sang ibu. Bagi Joly, kenyamanan dan keamanan di sekolah itu adalah yang terpenting dan nomor satu di segala hal. Dari sekolah terbaiklah, George bisa mengukir prestasi yang lebih bersinar lagi. Lantas, bagaimana jika sekolah terbaik itu tutup hanya karena dua orang yang tidak lebih penting dari masa depan anaknya mati di lingkungan sekolah? Joly tak habis pikir dengan keputusan polisi dan pihak sekolah yang menutup sekolah selama penyelidikan
Semenjak berakhirnya penyelidikan, George tak lagi bisa bertemu dengan para petugas kepolisian yang datang ke sekolahnya. Dia tak bisa bertemu lagi dengan Jonathan, pria yang selama ini baik padanya atau bertemu Kapten Smith, pria bermata hijau yang menarik perhatian George, bahkan membuat anak itu rela pergi ke sekolah meski sudah dilarang kedua orang tuanya. "George, tadi Mom dapat telepon. Katanya, mulai besok kalian sudah harus masuk sekolah," ucap Joly di pagi Minggu. George baru saja tiba di meja makan, hendak menikmati sarapan bersama orang tuanya. Begitu mendengar kabar itu, George hanya tersenyum seraya mengangguk dengan patuh. "Oh, ya, Mom juga mendapat laporan bahwa kau pergi ke sekolah sendirian dan berlindung di belakang seorang petugas kepolisian saat gurumu muncul untuk memperingatkanmu." Joly membuka topik pembicaraan yang cukup berat di meja makan. Wanita itu kembali berkata, "Guru-gurum
"George, kau mau ikut ke rumah Aggis?" Max bertanya pada putra tunggal pasangan Joly dan Erick Owens. George yang sedang membaca buku membalas tanpa memandang sang penanya. "Untuk apa?" tanyanya balik. Dengan santainya, George membalik halaman buku. "Sebentar lagi Halloween, dan kita harus menyiapkan kejutan yang besar, George!" Oakey menyahuti, gadis kecil yang merupakan adik kembar Max pun mengganggu George yang sedang membaca buku William Shakespeare. "Oh, kenapa buku yang kau baca tebal sekali?" George menutup bukunya dan memandang ke arah Oakey. George tak perlu menyelipkan pembatas halaman, sebab dia masih mengingat jelas halaman yang ia baca sebelum kedatangan dua kakak-beradik kembar ini. "Tentu saja, Romeo dan Juliet adalah favoritku," ucap George. "Wah, sungguh? Coba katakan pada kami, sesuatu yang dikatakan orang itu dalam salah satu bukunya," tantang Max kepada George. A
"Kita sudah sampai!" Mobil berwarna kuning milik George sekeluarga berhenti tepat di depan sebuah lumbung sekaligus peternakan tua milik keluarga mereka yang telah ada sejak beberapa generasi. Warna kuning mobil keluarga Owens itu begitu menyilaukan setiap mata yang memandang ke arahnya. Setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan, akhirnya mereka bertiga sukses melewati medan terjal yang sempat menyambut mereka sewaktu di awal tanjakan tadi, dan sampai dengan selamat di rumah nenek George yang berada di dataran yang cukup tinggi. George membanting pintu mobil keluaran terakhir dari Dodge, Challenger SRT Demon yang dibeli oleh ayahnya dua tahun yang lalu dengan keras. Selain diberi mesin yang hebat, mobil itu juga disertai dengan otot bodi yang khas, Challenger SRT Demon terlihat sangat cocok apabila dibawa off-road di jalanan yang sulit. Namun sangat tidak cocok untuk dibawa pulang ke kampung halaman! Itulah yang membuat George kesal setengah mati.
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak