"Kita sudah sampai!"
Mobil berwarna kuning milik George sekeluarga berhenti tepat di depan sebuah lumbung sekaligus peternakan tua milik keluarga mereka yang telah ada sejak beberapa generasi. Warna kuning mobil keluarga Owens itu begitu menyilaukan setiap mata yang memandang ke arahnya.
Setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan, akhirnya mereka bertiga sukses melewati medan terjal yang sempat menyambut mereka sewaktu di awal tanjakan tadi, dan sampai dengan selamat di rumah nenek George yang berada di dataran yang cukup tinggi.
George membanting pintu mobil keluaran terakhir dari Dodge, Challenger SRT Demon yang dibeli oleh ayahnya dua tahun yang lalu dengan keras. Selain diberi mesin yang hebat, mobil itu juga disertai dengan otot bodi yang khas, Challenger SRT Demon terlihat sangat cocok apabila dibawa off-road di jalanan yang sulit.
Namun sangat tidak cocok untuk dibawa pulang ke kampung halaman! Itulah yang membuat George kesal setengah mati.
George terlihat menunggu di depan gerbang sekolah, ia hanya sendirian di sana. Dengan alasan ada yang dipikirkannya sehingga perlu waktu lebih banyak. Jonathan sibuk dengan pekerjaannya sehingga George tak bisa terus-menerus bersama pemuda itu. Harus George akui, dia merasa tak enak badan sebab tak bisa melihat Kapten Smith, idola yang sudah ditunggu-tunggunya. Padahal George sudah menanti-nantikan hari itu tiba, mendadak rencana yang sudah dia buat pun dengan begitu matang menjadi hancur berantakan. Di tengah lamunan George, tiba-tiba terdengar sirine mobil polisi yang menuju ke arahnya. George refleks menoleh, dan melihat mobil yang ia tunggu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. George berharap Kapten Smith keluar dari sana. Mobil itu terlihat mengkilap dan beberapa mobil lain mengikuti di belakangnya. Kemudian, seperti adegan dalam sebuah film action picisan, Smith keluar dari mobil dengan gagah. Pri
"Niels, kau tak apa?" Smith bertanya, ia terlihat khawatir melihat rekannya tiba-tiba menjadi murung begitu mendengar penjelasan soal korban. "Apa kau mengenal korban secara khusus?" Niels menggeleng dan menjawab lirih, "Tidak, Kapten. Aku hanya teringat saja dengan adik-adikku di rumah. Mereka mungkin seukuran dengan korban." Meski baru mengenal sehari, Smith tahu bahwa Niels adalah pemuda yang baik. "Tak apa, tenangkan dirimu," ucapnya menasehati seraya menepuk pundak sang partner. Niels tersenyum dan mengangguk pelan. Sedangkan George di kejauhan menatap keduanya dengan geram. "Apa yang mereka lakukan di sana!? Bukannya kerja tapi malah membahas yang tidak penting!" protesnya kesal. Jujur saja, George begitu iri dengan pemuda yang baru dilihatnya itu, meski baru pertama kali muncul di depannya, pria itu sudah bisa mendampingi Kapten Smith sebagai rekan kerja. Dengan kesal, George ber
Jonathan menoleh pada George. "Mereka tak menyadari kita di sini," ucapnya. "Lebih baik kau lewat di depan mereka dan pura-pura tak menyadari yang di sana itu adalah Kapten Smith! Siapa tahu, mereka akan memanggilmu!" George merasa ucapan Jonathan ada benarnya. Jika berjalan baik, maka George akan sangat berterima kasih kepada pria itu. "Baiklah, aku pergi dulu." George mengangguk kepada Jonathan yang tersenyum lebar seraya mengacungkan jempol kepadanya. Sekilas, senyum Jonathan terlihat seperti Sean, teman pertama George. Entah mengapa, rasanya George begitu merindukan pemuda itu. Ketika Kapten Smith dan Niels sedang kebingungan mencari bukti dan keterangan dari para saksi, sebab mereka masih belum menemukan bukti-bukti yang kuat untuk kasus yang diduga merupakan sebuah pembunuhan berencana yang terjadi dalam sebuah kelas, seseorang bertubuh tegap di usianya yang masih belia pun berjal
Smith memandang ke arah lantai. Dia lupa memperkenalkan Niels kepada George, tapi dia akan melakukannya setelah mereka selesai mendapatkan keterangan dari teman sekolah korban. Sesaat kemudian, Smith kembali mengalihkan pandangannya. Kali ini, ia melihat ke arah George. "Tunjukkan pada kami ruang laboratorium sekolah yang sempat kau singgung tadi, George." Smith akan mencari tahu, apakah ini murni sebuah kecelakaan ataukah sebuah rencana pembunuhan yang telah menewaskan korban. Smith juga akan menghubungi unit lain, dan meminta mereka untuk menghubungi kepala sekolah serta menanyai siapa guru yang bertugas menjaga laboratorium sekolah. Bukankah laboratorium sekolah harus diawasi dengan baik agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan? Seperti peranan laboratorium sekolah yang George ketahui dari beberapa buku yang pernah dia baca. Pertama,
"Bagaimana?" tanya Jonathan, ternyata pria itu bersembunyi di suatu tempat dan diam mengamati George dari kejauhan. Pekerjaannya sudah selesai sedari tadi, dan tak ada yang bisa dilakukannya selain duduk termenung. Dan akhirnya, Jonathan memilih mengikuti George dan mengamati apa yang anak laki-laki itu lakukan. Jonathan tahu, jika George mengagumi seorang Smith Hegner, dia juga demikian. Oleh karena itu, dia memberi kesempatan pada George untuk berbicara langsung dengan Kapten Smith. Sebab Jonathan sendiri juga merasa senang jika bisa bersama seseorang yang diidolakannya. Pertemuan Jonathan dengan Smith terjadi di tempat kerja, tetapi Jonathan tahu jika Smith seseorang yang berbeda dari yang lain, dia juga sosok yang baik hati. Smith benar-benar tak tahu jika dirinya dikagumi oleh banyak orang, terutama seorang anak laki-laki yang terobsesi ingin menjadi seperti dirinya. George terseny
Waktu berlalu dengan cepat, dan tibalah saatnya untuk George pulang ke rumah. Hari itu begitu panjang dan melelahkan, tapi George senang karena mendengar banyak hal tentang Smith Hegner dari teman barunya, Jonathan. "Tapi aku bisa pulang sendiri," ucap George datar ketika menolak ajakan Jonathan yang ingin mengantarkannya pulang ke rumah menggunakan motor besarnya. "Tidak, ini wajib, karena aku ditugaskan untuk mengantar seorang anak didik yang bersekolah di sini, demi melindungi kemungkinan jatuhnya korban selanjutnya." Jonathan menjawab dengan tegas dan tak bisa diganggu gugat lagi. George mendengkus. Ketika dia hendak berjalan pulang, dia malah bertemu dengan Jonathan. Tak cukupkah sejak pagi sampai sore selalu bersama? "Tapi aku tidak suka naik motor itu." George menjawab jujur seraya menatap motor besar milik Jonathan. Dia lebih suka naik mobil sport ketimbang motor dengan tangki m
Setelah hampir 50 tahun berlalu, George masih ingat ekspresi terakhir yang dilihatnya di wajah muda sang ayah, sebuah tatapan yang enggan menuduh anak laki-lakinya sebagai sang pelaku, penyebab hilangnya seekor laba-laba berbahaya. George lantas tertawa terbahak-bahak. Menertawai betapa naifnya seorang Erick Owens dulu. George sendiri, tidak pernah bisa membenci kedua orang tuanya, bahkan benci kepada salah satunya pun ia tidak bisa. Meski orang tuanya terkadang melakukan kekerasan, kerap adu mulut bahkan menuntut George melakukan sesuatu yang tidak George inginkan, tetapi George masih menghormati mereka sebagai orang tuanya. Faktanya, ia bisa tumbuh seperti sekarang ini karena jasa mereka juga. Jadi, mengapa George harus membenci orang tuanya? "Diam, bodoh! Kau menganggu penghuni yang lain!" Tiba-tiba seorang napi berteriak kepada George, ia lewat di depan sel seraya mengacungkan tongk
George berusaha menenangkan dirinya. "Bagian sekecil itu hilang di mana?" gumam George. Wajahnya yang biasanya tenang, mendadak keruh karena ada sesuatu yang hilang dan sesuatu yang hilang itu sangat mempengaruhi masa depannya.Namun seperti yang sudah terjadi, George kembali merasa tenang setelah meyakinkan dirinya bahwa tak ada sidik jari yang tertinggal di kepala laba-laba itu. Sebelumnya, George sudah menebak bahwa kepala Ken bisa menjadi masalah. Oleh karena itu, dia menggunakan sarung tangan khusus untuk melepas satu per satu tubuh Ken si tarantula hingga menjadi beberapa bagian.Memang benar yang dikatakan orang-orang, rencana seperti apa pun, jika dilakukan dengan tidak matang, maka akan mengakibatkan hal tidak terduga di masa depan. Namun George tak merasa menyesal sama sekali, sebab baginya rencananya sudah sangat sempurna. Semua berjalan lancar.George kemudian merebahkan dirinya di ranjang, lalu memikirkan kesuksesan yang didapatnya pada hari itu.Alangkah indahnya jika Ge
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak