"Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan.
George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol.
George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali.
George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak keberatan, dia justru kembali ke sel lamanya yang semakin dilihat malah semakin memberikan perasaan damai dan puas dalam dirinya. "Inilah tempat yang paling menyenangkan," komentar George seraya bersenandung riang.
Waktu itu, para sipir ditugaskan untuk membersihkan ruang isolasi yang dindingnya dihiasi noda merah yang sulit dibersihkan, juga ada noda kehitaman dan bau busuk yang menyengat seperti bau pada kotoran manusia. Para sipir mengernyitkan wajahnya seolah jijik, tapi mereka melakukannya agar lebih enak dipakai.
George tak pernah menyesali perbuatannya atas aksi yang menyebabkan orang lain meregang nyawa. Justru yang ia sesalkan adalah terlambatnya aku memulai semua kisahnya dari awal.
Jika itu terjadi lebih cepat, maka George bisa bertemu lebih cepat dengannya, detektif kepolisian yang merupakan idolanya. George ingin bertemu dengannya lebih dulu sebelum sosok itu bertemu dengan orang yang kelak akan menjadi rival George dalam segala hal.
Seandainya saja kepribadiannya terbentuk lebih buruk dan parah lagi dari yang pernah ia rasakan, tentu saja George yang sekarang berusia 60 tahun dipastikan mati lebih muda dari yang seharusnya. Dengan kematian yang sama, yaitu kepala yang terpisah dari tubuh.
Andai saja orang-orang baik itu tidak pernah ada untuk menolong dan membuat kondisi mentalnya menjadi goyah, mungkin saja George bisa lebih bersenang-senang daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya.
"Andai aku tak pernah bertemu dengannya, apa hidupku akan jadi lebih baik, ya?" gumam George bertanya sambil mengambil nampan makanannya di lantai. Hari itu pihak penjara memasak kare, dan karena dilempar begitu saja kuah karenya pun tumpah di lantai.
"Dasar orang-orang sial," rutuk George, ia jadi teringat masa lalunya 59 tahun silam. Saat di mana dia hanya seorang anak kecil berusia empat tahun.
***
"Sayang, sepertinya ada yang salah dengan putra kita, George."
Di suatu pagi, Joly yang resah melihat George semakin menjadi-jadi akhirnya menyuarakan isi hatinya kepada sang suami—Erick Owens—saat mereka sedang duduk berdua di halaman belakang. Joly takut, ada sesuatu yang terjadi pada George. Wanita yang senang mewarnai ujung rambutnya itu mulai membahas setiap kejanggalan yang terjadi di rumah mereka.
Mulai dari hilangnya hewan-hewan peliharaan, sampai berhentinya semua pengasuh George. Sekarang mereka tak lagi mempunyai babysitter, para pembantu rumah tangga pun beralasan mereka tak bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus—membersihkan rumah dan mengawasi George.
Sejak di mana George bermain bersama orang tuanya di halaman belakang dan menunjukkan mainannya yang tidak biasa, sejak itu pulalah Joly menatap putra semata wayangnya itu dengan tatapan berbeda.
Dia tidak membenci anaknya, hanya saja dia merasa takut dengan kepolosan sang anak. Ada sesuatu yang membuatnya merinding setelah melihat bagaimana anaknya mencabut kaki tarantula berukuran besar dan beracun.
Itu laba-laba eksotik yang disukai oleh Erick dan selalu diberi makan 3 kali sehari.
George, setelah menunjukkan mainannya kepada orang tuanya terlihat biasa-biasa saja, seperti di hari-hari lain.
"Sayang, kau tak peduli dengan anak kita, ya!?" Joly memelototi Erick yang sedang bermain dengan X001, seekor iguana yang baru berumur 8 bulan.
"Ssst, tenanglah. Kau membuatnya takut," bisik Erick sambil menunjukkan iguana peliharaannya kepada sang istri. Joly mengernyit tidak suka.
"Jauhkan reptil itu dariku!"
Joly mendengkus sebal, sepertinya hanya dia yang benar-benar memikirkan kelangsungan hidup George di masa depan. Saat ini, George berusia empat tahun, bulan ke delapan nanti dia berulang tahun yang ke-5. Selain tak memiliki teman sebaya, George juga sering menyendiri di halaman belakang.
Dia akan bermain balok-balokan yang selalu bertambah setiap harinya dengan suasana hati yang gembira, seakan ada yang menemaninya bermain. Joly ingin menyingkirkan semua balok-balokan itu, tapi dia tak ingin George menangis. Jika mainan itu bertambah lagi, Joly akan menyalahkan suaminya lagi kali ini.
"George akan baik-baik saja, jangan terlalu mengkhawatirkannya." Erick yang telah selesai bermain dengan X001—nama iguana miliknya—pun beralih pada sebuah koran harian yang dibelinya dari pengantar susu.
"Kau tak peduli dengan George, ya?" tuduh Joly dengan nada sinis. "Seharusnya aku menolak sejak tahu orang tuaku akan menjodohkanku denganmu."
Erick terlihat tak peduli, ia membalikkan halaman pada koran yang dibacanya perlahan-lahan. Joly kesal, karena diabaikan sang suami. Erick jika sudah fokus dengan koran berisi berita terkini dalam sepekan terakhir, maka akan mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Dia akan terus membaca.
"Erick! Anak kita bermain dengan hewan yang sudah mati! Dan lebih parahnya lagi, dia memutuskan semua kaki hewan itu!"
Joly menggeram saat melihat ketidakpedulian sang suami. "Ada yang salah dengan George! Kita harus ke psikiater!"
Belum lega juga perasaan wanita yang menikahi Erick Owens lima tahun lalu, terutama karena suaminya masih mengabaikan kegelisahannya. Meski ia sudah mengungkapkan isi hatinya tentang keanehan George yang bermain setiap hari dengan mainannya, Joly akan kembali terbayang dengan mimpi buruk yang dilihatnya sejak hari di mana George memperlihatkan tarantula mati itu kepada mereka.
Malang betul nasib hewan bercorak cantik yang didapatkan Erick dari seorang kenalan, tubuhnya yang mulai membusuk pun tetap menjadi mainan George. Joly bergidik ngeri karena melihat anaknya meletakkan tarantula mati itu di dalam kotak mainannya tanpa merasa jijik. Joly hanyalah seorang ibu muda yang tak berani membuang bangkai hewan merayap, hasil karya tangan sang anak.
"Kita bisa periksa keadaan George jika pergi ke dokter secepat mungkin! Aku rasa, dia tidak normal!"
"CUKUP!" Erick membentak sang istri dan melirik wanita yang ia nikahi lima tahun yang lalu dengan tatapan sinis. Ia begitu kesal saat mendengar perkataan sang istri yang tiba-tiba menuduhnya melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ia lakukan. Suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Erick. "Hentikan omong kosongmu, George baik-baik saja. Dia hanya berbeda dari anak-anak lain karena dia istimewa."
Genggaman tangan Erick pada kertas koran yang dibacanya mengerat. "Dan kata siapa aku tak peduli dengan anakku?" tanyanya sinis dan dingin. "Justru kau yang tak peduli dengan George. Kau mempercayakan pertumbuhan kita pada pembantu dan mengabaikannya saat ia menginginkan sesuatu darimu."
"Hei, itu pekerjaanku! Aku ini wanita karir!"
Erick menutup korannya dan menatap sang istri. "Sungguh? Bilang saja kau tak ingin mengurus anak-anak," sindirnya. "Kau bahkan berani menghina anakmu sendiri dengan mengatakannya tidak normal."
"Dia juga anakmu, berengsek!" Joly tak mau kalah. "Jika kau mau, kau cari saja wanita lain untuk jadi ibu anak itu!"
Erick terbelalak. "Joly Sphinger!" teriaknya.
Joly mendelik. "Apa? Kenapa? Kau tak suka?" tanyanya ketus. "Ucapanku benar, 'kan? Cari saja wanita lain, yang bisa jadi pembantu sekaligus ibu dari anak-anakmu!"
"Joly Sphinger, tarik ucapanmu," desis Erick sambil menahan gemeretuk gigi-giginya. Ia mencengkeram korannya hingga tak lagi berbentuk.
"Apa lagi? Kau tahu sendiri bahwa aku ini memang tidak bisa memasak!" kilah Joly dengan sengit. "Mana aku bisa berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa! Lebih baik aku bekerja dan mengumpulkan uang!"
Dengan kesal, Erick yang duduk di samping Joly pun membanting surat kabar yang telah diremasnya hingga terlihat seperti sebuah bola. Lelaki itu langsung menunjuk wajah istrinya tepat di hidung sang wanita. "Diamlah, itu memang kesalahanmu karena tak belajar memasak sebelum kita menikah!"
"Apa?! Jadi kau menyalahkanku?!" teriak Joly kesal.
"Oh, ya, jelas! Semua itu salahmu! Aku jadi semakin yakin dengan penyesalanku sewaktu menyetujui tawaran orang tuaku untuk menikahi wanita sepertimu!"
Untuk yang ke sekian ratus kalinya dalam lima tahun pernikahan mereka, pasangan suami-istri itu kembali bertengkar, mengabaikan permasalahan yang seharusnya mereka bahas baik-baik sebagai orang tua dengan anak laki-laki mereka yang masih kecil.
Tanpa pasangan itu sadari, George memperhatikan pertengkaran mereka dari balik jendela, menatap orang tuanya dengan tatapan kosong. Anak yang bahkan belum berusia lima itu telah mendengar pembicaraan orang tuanya dari awal sampai akhir tanpa berniat menginterupsi.
Beberapa saat kemudian, George kembali ke teras depan, bermain balok-balokan kesayangannya seorang diri di sana, dan bertindak seakan tidak pernah mendengar atau melihat adu mulut orang tuanya di halaman belakang.
Anak itu terlihat asyik bermain sendirian. Kemarin, sang ayah ada membelikannya mainan baru lagi, sebuah rubik dengan hanya memiliki empat warna saja. George berusaha mengotak-atik rubik itu dengan ekspresi wajah yang begitu serius. Ini pertama kalinya George memainkan sebuah rubik.
"Wah, lagi main rubik, ya?" Tiba-tiba, sebuah suara membuyarkan konsentrasi George, putra pasangan Erick dan Joly Owens itu langsung menghentikan aktivitasnya saat itu juga.
"Loh, kenapa berhenti?" tanya orang bertopi biru dengan nada kecewa.
George mendongakkan kepalanya dan melihat seraut wajah asing yang sedang memperhatikannya. Laki-laki itu tersenyum lembut dan kembali menyapa.
"Halo, umurmu berapa?" tanyanya sambil merapikan topi agar bisa melihat dengan lebih jelas lagi. "Kau hebat sekali, bisa memainkan rubik dengan jenis yang satu ini. Padahal rubik itu susah loh, karena harus membuat semua warnanya kembali ke posisi semula dengan pas."
George memasang ekspresi datar saat ada orang asing yang tidak ia kenal berbicara padanya dengan nada bicara yang ramah. Anak berusia empat tahun itu sudah didikte oleh orang tuanya untuk tidak asal berbicara dengan seseorang, terutama orang yang belum pernah ditemuinya.
George pun memperhatikan penampilan laki-laki muda yang menghalangi pandangannya dengan saksama. Menatap wajahnya yang tanpa kerutan dan kencang, George menebak laki-laki ini sebenarnya masih sangat muda, seorang remaja. Namun, dia sudah memiliki tubuh yang begitu tegap dengan tinggi sekitar 180 cm.
George menebak tinggi orang asing ini setelah membandingkannya dengan tinggi sang ayah. Erick memiliki tinggi 182 cm.
Pemuda yang diperhatikan George pun mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, ia menyadari tatapan penuh selidik dari anak kecil di depannya. Merasa ada yang salah, ia pun menundukkan badannya agar sejajar dengan si anak kecil.
Sambil tersenyum kecil, ia berkata, "Aku bukan orang jahat." Dia berkata dengan mantap. "Namaku Sean, aku bekerja sebagai pengantar susu. Kebetulan aku tadi lewat setelah mengantar pesanan yang tertinggal di rumah sebelah. Dan kemudian, aku melihatmu bermain sendirian di sini."
George, masih dengan ekspresi yang sama, menatap Sean tanpa kedip. Reaksi anak laki-laki itu membuat Sean menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia bingung harus berbuat apa untuk meyakinkan anak kecil di depannya bahwa dia tidak berniat melakukan sesuatu yang buruk.
George mengalihkan pandangannya ke arah lain, lalu merapikan mainannya dengan cepat. Begitu selesai, anak itu langsung berdiri dan berjalan ke arah pintu, jika saja Sean tak segera menahan tangan kecilnya.
"Tunggu, kau mau kemana?" tanyanya cepat.
George meliriknya sekilas dan kembali menatap lurus ke depan. Ia lalu menjawab dengan suara pelan. "Mau menonton kartun," jawabnya singkat.
Sean terlihat tertarik, ia jarang menonton televisi. "Memangnya animasi apa yang kau lihat?" tanyanya lagi.
George tak berusaha melepas pegangan Sean, justru anak itu berbalik badan dan menatap laki-laki itu. "Spongebob," jawab George. "Mau lihat Spongebob Squerepants."
Sean yang masih belum melepaskan genggaman tangannya pada George tersenyum lebar, gemas dengan ekspresi anak kecil di depannya. Pemuda itu lantas berdiri. "Aku juga suka animasi," ucapnya dengan ekspresi wajah yang riang.
"Aku suka Plankton," kata Sean memberitahu. "Siapa tokoh favoritmu?"
George memutar tubuhnya menghadap Sean dan kembali menatapnya. Ia merasa lehernya sakit karena terus mendongak untuk menatap pemuda itu. "Aku suka Squidward," jawabnya datar.
Sean terpukau setelah melihat langsung kepribadian unik dari anak laki-laki di hadapannya. Dingin, tak peduli, selalu terlihat tak puas dengan dunianya. Benar-benar mengingatkan Sean pada tokoh di serial animasi Spongebob Squerepants.
Tokoh kartun yang tak pernah merasa hidupnya bahagia, siapa lagi jika bukan Squidward?
"Aku juga suka Squidward," ucap Sean memberitahu, dengan senyuman penuh percaya dirinya. "Tapi apa kau tahu bahwa ada sesuatu yang mengerikan tentang Squidward?"
George tampak tertarik.
"Di mana rahasia ini ... benar-benar mengerikan." Sean mengubah gaya bicaranya agar sama seperti pembawa cerita seram di saluran internet. "Kau akan merinding mendengarnya."
Genggaman tangan mereka memang sudah terlepas, tapi George yang tertarik dengan apa yang baru saja diucapkan Sean pun meraih tangan sang pemuda. "Beritahukan cerita ini padaku," pintanya dengan ekspresi wajah yang serius dan datar. "Dan ceritakan apa pun yang kau ketahui tentang sesuatu yang mengerikan dalam cerita ini."
Sean kembali tersenyum, membacakan cerita adalah momen kesukaannya.
"Tapi sebelum bercerita tentang misteri dalam animasi Spongebob yang berhubungan dengan Squidward, pertama-tama izinkan aku untuk menceritakan kisah seorang saksi mata yang melihat sesosok makhluk misterius yang dijuluki Houle."
"Hei, kenapa malah menceritakan kisah lain? Cerita Squidward! Aku mau dengar ceritanya!" protes George tak terima. Sean tertawa, lalu ia membuat gerakan dengan tangannya dan meminta George untuk bersikap tenang karena dia belum selesai menjelaskan.
"Tenanglah, cerita ini hanya pembuka," ucap Sean sambil mengedipkan mata. George langsung diam di tempat. Sean kemudian melanjutkan ceritanya. "Seringkali, kehadiran Houle ini dikabarkan membawa kematian yang tragis."
"Dulu, ada seorang anak yang berusaha mencari ibunya yang menghilang. Dia adalah salah satu saksi mata dari penampakan makhluk mengerikan ini," ucap Sean, ia telah memulai sesi dongengnya. "Dan yang akan anak itu temukan adalah cerita mengerikan yang akan menghantui siapa pun yang mendengarnya selama seumur hidup mereka."
George jadi penasaran setelah mendengar cuplikan cerita yang baru saja Sean katakan. "Bisakah kau bercerita?" tanyanya tak sabar. Bagi George, ini sama menariknya dengan buku bergambar.
George sudah terlalu bosan dengan buku yang dibelikan orang tuanya. Umumnya, buku-buku yang diberikan oleh Erick dan Joly kepada anak laki-laki mereka adalah tentang bagaimana mengelola bisnis dengan baik, dan George tidak suka belajar bisnis.
Sean terkekeh dan menatap mata indah George yang terlihat seperti manik-manik biru yang indah. "Baik, baik, akan kuceritakan. Ini adalah kisah yang kudengar dari kedua orang tuaku. Mereka mendengar cerita ini dari nenekku, dan kini mereka semua sudah tiada."
George mengangguk mengerti, dia tak memperhatikan. "Baiklah," ucapnya. "Sekarang lanjutkan cerita tentang Squidward yang sempat kau tunda."
Sean mulai menceritakan kisah yang pernah didengarnya saat kecil. Dia akan bercerita dengan sungguh-sungguh kali ini, karena seperti yang ia katakan sebelumnya, bahwa dia mendengar cerita ini dari kedua orang tuanya sejak dirinya masih sangat kecil.
"Ceritanya haruslah menyeramkan!" pinta George lagi, dia terlihat bersemangat.
Sean terkekeh, merasa sedikit menyesal karena baru mengetahui jika di dunia yang luas ini ada seorang anak yang begitu mempercayai semua cerita yang ia bawakan. Sean merasa bahagia sekali, sebab ada orang yang mau mendengarkannya dengan baik.
Anak yang menarik, gumam Sean dalam hati. "Jangan menangis ketakutan sampai tak berani ke toilet nanti," ucapnya menakut-nakuti George agar anak itu bisa menangkap maksudnya.
George yang tak mengerti lawakan seorang remaja langsung mengendikkan bahu tak acuh. "Aku masih bisa menghadapinya, sengeri apa pun film yang orang-orang tonton, jika saat kutonton aku tak suka, aku langsung membuangnya loh."
Sean terkejut. "Wah, kau hebat tak takut apa pun," ucapnya kagum.
"Kata siapa?" George bertanya lirih. "Justru aku lebih takut kepada manusia, apa yang ada dalam pikiranku tentang mereka menjadikan semua cerita hantumu tak lagi menyeramkan untukku, Kak."
***
George merasakan ada sesuatu yang salah di mulutnya, mungkin karena dia terlalu cepat menyendokkan makanan ke mulut sehingga bayangan puluhan tahun lalu kembali dan membuat George merasa ingin muntah.
Buru-buru pria itu mengeluarkannya dari mulut agar mengetahui benda apakah yang masuk ke dalam mulutnya.
"Berengsek, bahkan sekarang mereka menambah rambut pada daftar menu." George mengumpat dan melanjutkan makannya seorang diri. "Ah, masa lalu akan selalu jadi yang terbaik."
Udah resivi yaa
Sambil tersenyum secerah matahari, Sean berkata, "Baik, kita mulai ...." Sean menyelesaikan ceritanya kurang dari dua tiga menit. "Tunggu, ini cerita siapa?" George bertanya menyelidik. Sean tertawa melihatnya, baru kali itu dia bertemu anak yang begitu penasaran dengan kisahnya. "Ini cerita ibunya Nenek dari pihak ayahku, lalu orang tuaku menceritakannya sekali lagi padaku. Sudah lama sekali," jelasnya dengan sabar. "Bisa kita lanjutkan?" George mengangkat bahu. "Ya, kenapa tidak? Lagipula ceritanya menarik, apa Nenekmu masih hidup?" "Beliau sudah tiada, jauh ketika aku berusia 3 tahun. Hanya cerita ini saja yang tersisa darinya, pengalaman Nenek buyutku. Di mana Nenek buyutku kehilangan Justin." Sean kemudian mulai menceritakan pengalaman yang dialami oleh sang nenek buyut. Ketika pertama kali mendengar cerita ini, Sean saja terkejut kar
Sean tersenyum lalu berbalik badan. Bersiap meninggalkan halaman rumah George, jika saja tak ada suara yang menginterupsi. "Loh? Kamu teman George, bukan? Mau pergi kemana?" Sean dan George menoleh bersamaan. "Mama ...." Gumam George pelan. Pemuda berkulit agak gelap tertawa pelan dan tersenyum manis setelahnya. "Ah, iya, saya teman George," jawabnya sedikit canggung. "Saya mau pulang ke rumah." Joly menggeleng perlahan. "Kenapa pergi sangat cepat? Ayo, masuk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Ah, tidak!" Sean mengangkat tangan di depan dada, memperlihatkan telapak tangannya kepada keluarga Owens—gestur menolak. "Saya tak bisa ikut sarapan ...." "Jangan malu-malu. Ayo, masuklah ke dalam." George melangkah lambat dan meraih tangan Sean, sedikit menariknya agar pemuda itu dapat mengikuti. Joly masuk lebih dulu ke dalam, disusul oleh George dan
George menghabiskan waktu bersama Sean selama berhari-hari sambil bercerita di depan rumah. Kedekatan mereka membuat George menjadi lebih terbuka dengan kedua orang tuanya, dan George tak tertarik lagi bermain dengan rubiknya. Joly dan Erick begitu bahagia melihat perubahan anak laki-laki mereka. Sean membawa pengaruh yang bagus untuk George. Sampai suatu hari, George mengatakan sesuatu yang membuat pandangan kedua orang tuanya berubah kepada Sean. "Mom, biarkan Sean tinggal di sini!" ucap George, anak laki-laki berusia empat tahun kepada ibunya yang sedang melihat grafik saham di tablet mahalnya. "Tidak bisa, George. Sean bukan siapa-siapa kita." Joly mengetik sesuatu di laptop kemudian kembali meraih tablet berlogo apel. "Tapi aku menyukainya! Bukankah kalau saling suka, bisa tinggal bersama? Seperti Mom dan Dad!" Saat itu pulalah, Joly
"George, ada apa di sekolahmu, Nak?" Joly bertanya keesokan harinya setelah mendapat kabar dari orang tua murid lain di sekolah anaknya. Kabarnya, ada kasus pembunuhan di sekolah anaknya. Hal itu membuat Joly khawatir. "Tak ada apa-apa, Mom. Hanya kasus orang mati di sekolah," jawab George dengan santai. "George! Jangan bersikap tidak peduli kepada kematian seseorang!" Joly memelototi anak laki-lakinya. Sedangkan George langsung berpura-pura tidak melihat kemarahan sang ibu. Bagi Joly, kenyamanan dan keamanan di sekolah itu adalah yang terpenting dan nomor satu di segala hal. Dari sekolah terbaiklah, George bisa mengukir prestasi yang lebih bersinar lagi. Lantas, bagaimana jika sekolah terbaik itu tutup hanya karena dua orang yang tidak lebih penting dari masa depan anaknya mati di lingkungan sekolah? Joly tak habis pikir dengan keputusan polisi dan pihak sekolah yang menutup sekolah selama penyelidikan
Semenjak berakhirnya penyelidikan, George tak lagi bisa bertemu dengan para petugas kepolisian yang datang ke sekolahnya. Dia tak bisa bertemu lagi dengan Jonathan, pria yang selama ini baik padanya atau bertemu Kapten Smith, pria bermata hijau yang menarik perhatian George, bahkan membuat anak itu rela pergi ke sekolah meski sudah dilarang kedua orang tuanya. "George, tadi Mom dapat telepon. Katanya, mulai besok kalian sudah harus masuk sekolah," ucap Joly di pagi Minggu. George baru saja tiba di meja makan, hendak menikmati sarapan bersama orang tuanya. Begitu mendengar kabar itu, George hanya tersenyum seraya mengangguk dengan patuh. "Oh, ya, Mom juga mendapat laporan bahwa kau pergi ke sekolah sendirian dan berlindung di belakang seorang petugas kepolisian saat gurumu muncul untuk memperingatkanmu." Joly membuka topik pembicaraan yang cukup berat di meja makan. Wanita itu kembali berkata, "Guru-gurum
"George, kau mau ikut ke rumah Aggis?" Max bertanya pada putra tunggal pasangan Joly dan Erick Owens. George yang sedang membaca buku membalas tanpa memandang sang penanya. "Untuk apa?" tanyanya balik. Dengan santainya, George membalik halaman buku. "Sebentar lagi Halloween, dan kita harus menyiapkan kejutan yang besar, George!" Oakey menyahuti, gadis kecil yang merupakan adik kembar Max pun mengganggu George yang sedang membaca buku William Shakespeare. "Oh, kenapa buku yang kau baca tebal sekali?" George menutup bukunya dan memandang ke arah Oakey. George tak perlu menyelipkan pembatas halaman, sebab dia masih mengingat jelas halaman yang ia baca sebelum kedatangan dua kakak-beradik kembar ini. "Tentu saja, Romeo dan Juliet adalah favoritku," ucap George. "Wah, sungguh? Coba katakan pada kami, sesuatu yang dikatakan orang itu dalam salah satu bukunya," tantang Max kepada George. A
"Kita sudah sampai!" Mobil berwarna kuning milik George sekeluarga berhenti tepat di depan sebuah lumbung sekaligus peternakan tua milik keluarga mereka yang telah ada sejak beberapa generasi. Warna kuning mobil keluarga Owens itu begitu menyilaukan setiap mata yang memandang ke arahnya. Setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan, akhirnya mereka bertiga sukses melewati medan terjal yang sempat menyambut mereka sewaktu di awal tanjakan tadi, dan sampai dengan selamat di rumah nenek George yang berada di dataran yang cukup tinggi. George membanting pintu mobil keluaran terakhir dari Dodge, Challenger SRT Demon yang dibeli oleh ayahnya dua tahun yang lalu dengan keras. Selain diberi mesin yang hebat, mobil itu juga disertai dengan otot bodi yang khas, Challenger SRT Demon terlihat sangat cocok apabila dibawa off-road di jalanan yang sulit. Namun sangat tidak cocok untuk dibawa pulang ke kampung halaman! Itulah yang membuat George kesal setengah mati.
George terlihat menunggu di depan gerbang sekolah, ia hanya sendirian di sana. Dengan alasan ada yang dipikirkannya sehingga perlu waktu lebih banyak. Jonathan sibuk dengan pekerjaannya sehingga George tak bisa terus-menerus bersama pemuda itu. Harus George akui, dia merasa tak enak badan sebab tak bisa melihat Kapten Smith, idola yang sudah ditunggu-tunggunya. Padahal George sudah menanti-nantikan hari itu tiba, mendadak rencana yang sudah dia buat pun dengan begitu matang menjadi hancur berantakan. Di tengah lamunan George, tiba-tiba terdengar sirine mobil polisi yang menuju ke arahnya. George refleks menoleh, dan melihat mobil yang ia tunggu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. George berharap Kapten Smith keluar dari sana. Mobil itu terlihat mengkilap dan beberapa mobil lain mengikuti di belakangnya. Kemudian, seperti adegan dalam sebuah film action picisan, Smith keluar dari mobil dengan gagah. Pri
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak