Terkenal sudah genius sejak kecil, George Owens memandangi piagam serta piala penghargaan yang sudah ia peroleh sejak berumur tujuh tahun.
Kebanyakan dari penghargaan yang telah ia dapatkan itu berasal dari keikutsertaannya dalam lomba-lomba ilmu pengetahuan dan juga berbagai acara debat seminar yang dilakukan di berbagai tempat di kota tempat tinggalnya berada.
"Oh, minggu depan ada pertandingan baseball." George bergumam seraya melihat jadwal kegiatannya di kalender.
Jadwalnya memang padat, tapi George selalu meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan di sekolahnya.
Belum lagi dengan banyaknya kemenangan yang ia peroleh dalam turnamen olahraga yang sering dilaksanakan di sekolah. George juga aktif dalam organisasi penting yang ada di sekolah.
Dan hampir semua kegiatan yang ia lakukan, George selalu terdepan karena mendapat amanat langsung dari guru-gurunya. Meski mengikuti banyak kegiatan di luar rumah, George tetap bisa mengatur jadwalnya sehari-hari. Baik itu jadwal untuk belajar, ataupun untuk bersosialisasi bersama teman-teman sebaya.
Dering notifikasi berbunyi, George melihat ke ponselnya, "Ulang Tahun Jimmy," gumam George melihat pengingat dari F******k. Jimmy adalah teman yang dikenalnya di gereja. Mereka saling menambahkan teman di F******k.
"Huh, tak penting."
George bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, baginya sekolah dan perpustakaan itu adalah rumah tetap. Tak ada tempat untuk kembali pulang selain berada di tempat yang dipenuhi dengan lautan buku-buku.
Toh, tak akan ada orang yang akan mencarinya jika ia tak ada di rumah. Sebab, orang tuanya hanya tahu jika ia berada di perkumpulan orang-orang yang suka dengan buku-buku.
"Ma, Pa, George pergi dulu," ucap George Owens, anak laki-laki berusia tujuh tahun dan duduk di kelas tiga Elementary School. Putra pasangan Joly dan Erick dari keluarga Owens yang terkenal di bisnis perhiasan dan properti.
"Sayang, ini masih pukul setengah enam pagi, dan kamu sudah mau berangkat ke sekolah?" tanya Joly keheranan, anak tunggalnya mengangguk pelan dan berbalik badan menuju pintu keluar. "George, tunggu! Papa akan mengantarmu ke sekolah—"
"Tidak usah, Ma, Pa. George akan pergi sendiri," potong George sambil tersenyum manis kepada orang tuanya. Anak laki-laki itu pun keluar dari rumah seorang diri, tanpa ditemani kedua orang tuanya. George tumbuh dewasa seperti itu.
Rutinitas anak laki-laki itu setiap harinya adalah berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali dan pulang di sore hari yang begitu larut.
Apakah itu wajar untuk seorang anak kelas tiga sekolah dasar? Tentu saja, karena yang sedang dibicarakan ini adalah George Owens, sang genius kecil yang dipenuhi bakat dan kemampuan yang melimpah.
"Aku bangga sekali melihat George. Oh, anakku memang pintar," ucap Joly sambil melepas kepergian anak semata wayangnya.
"Anak kita." Erick mempertegas. Keduanya lantas bertukar pandang dan saling melempar senyum tipis.
Sejak memasuki usia tiga tahun, George sudah mulai menunjukkan ketertarikan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan alam. George bahkan mulai sering mengembangkan serta mengolah suatu benda dari hasil pemikirannya, meski dibuat dengan cara yang teramat sederhana.
Dibantu oleh sang ayah yang memberikan banyak uang, dia bisa membuat berbagai macam peralatan yang bisa membantu aktivitas sehari-harinya dari modal yang banyak.
Tidak hanya berbakat, dia melakukan setiap pekerjaannya seorang diri.
George menamakan penemuan pertamanya dengan "George's 3000", itu adalah alat pemecah kacang tanah yang terbuat dari kaleng soda yang diisi air. Untuk menghindari kerusakan, George melapisinya dengan cat khusus yang bisa membuat bagian luar kaleng itu menjadi kuat.
Ide pembuatannya itu adalah saat di mana George sedang gemar-gemarnya memakan kacang yang dibelikan bibinya, tapi kala itu dia kesusahan dengan kulit kacang yang sulit dibuka.
"Aduh, kacangnya tak mau keluar," gerutunya suatu hari, sambil mencoba membelah kulit kacang dari luar. George bahkan harus menggigit pinggirnya dulu sebelum bisa membuka kacang tersebut dan memakan isinya.
"Mau makan kacang saja harus repot dulu. Apa ada cara untuk membukanya tanpa harus menggunakan tangan dan gigi, ya?"
Pertanyaan itulah yang menimbulkan ide pembuatan alat pemecah kulit kacang yang sederhana ini.
Caranya adalah dengan menempatkan kaleng soda yang diisi air (bisa juga kosong) di atas penyangga yang dihubungkan dengan tali panjang. Tali itu terhubung dengan roda dan juga sebuah pijakan. Pijakan itu berguna untuk menyalurkan energi roda kepada tali yang terhubung pada kaleng yang diposisikan di atas layaknya palu yang hendak memukul paku.
Alat itu tidak terlalu besar dan sistemnya mirip dengan mesin jahit kuno yang harus diinjak ketika diperlukan.
Selain alat itu, ada juga penemuan George lainnya yang tak kalah menarik. Alat itu adalah penyemprot tanaman otomatis yang dihubungkan dengan selang yang dipasangi pembangkit listrik bertenaga air. Penggeraknya menggunakan kincir air mini yang terletak di samping rumah keluarga Owens.
Walau sederhana dan hanya dipakai oleh keluarganya sendiri, tapi George sudah merasa puas dengan hasil karya tangannya. Karena ciptaannya yang sederhana ini akan berubah menjadi penemuan luar biasa di masa depan.
George menyeringai. "Semoga saja," gumamnya dalam perjalanannya ke sekolah.
**
"Bu Guru! George membawa benda aneh lagi ke sekolah!" teriak salah seorang teman George ketika anak itu melihat putra keluarga Owens membawa penemuan kecilnya yang berbentuk kotak, tapi seukuran bola sepak.
George menatap gurunya yang tercengang di tempat melihat apa yang ia bawa. "Ini kubuat untuk Ibu Guru, tempat penyimpanan uang. Fungsinya sama seperti brankas, tapi bisa disimpan di mana saja karena tak akan ada yang mengira ini adalah brangkas uang."
Anak itu tersenyum tipis dan memberikannya kepada sang guru yang menerimanya dengan senang hati. Kotak itu mempunyai pola seperti catur warna-warni, inspirasinya adalah rubrik yang biasa George mainkan.
"Ini luar biasa!" seru Miss Violette sambil mengangkat tinggi-tinggi penemuan George dengan mata berkaca-kaca. Dengan hati-hati, wanita itu menaruh kotak itu di atas meja dan kembali mendekati George.
"Terima kasih hadiahnya, George. Kau anak yang baik hati," ucapnya tulus seraya mengusap kepala sang anak didik. George tersenyum malu-malu, terlihat manis sekali.
Wanita berkacamata itu lalu berbalik dan mendatangi Nathan, dialah anak yang tadi mengadukan perihal George yang membawa barang aneh ke sekolah padanya.
"Nathan," panggilnya seraya berjongkok dan matanya sejajar dengan anak yang mengenakan kawat gigi. "Yang George bawa itu bukanlah sesuatu aneh, ini adalah penemuan George kita yang berharga."
"Jadi, jangan nakal-nakal dengan Genius Kecil kita ini, ya? Karena sekolah merasa beruntung memilikinya di sini."
Semua teman-teman sekelas George yang duduk di bangku masing-masing bertepuk tangan dengan meriah. Mereka menyoraki nama putra pasangan Joly dan Erick Owens itu dengan penuh semangat. Setelah kehebohan itu berlalu, terciptalah sebuah panggilan khusus dari teman-teman George untuk anak laki-laki itu.
"Sang Genius Owens." Begitulah mereka menyebutnya. Tidak hanya satu panggilan, George terkenal karena mempunyai dua panggilan istimewa.
George yang selalu berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan kecintaannya terhadap suatu hal yang baru, ia pun dijuluki Ilmuwan Kecil oleh teman-temannya di sekolah, padahal dia baru kelas tiga sekolah dasar.
Memang, bakat seseorang itu telah ada sejak lahir dan berkembang seiring berjalannya waktu.
Sudah jadi rahasia umum, para ilmuwan paling genius dunia adalah sekelompok "orang aneh". Mungkin keanehan itulah yang membuat mereka menghasilkan karya dan gagasan yang sama sekali tak terpikir oleh orang kebanyakan. Namun, George kecil berbeda.
Meski mencintai sains sampai ke tahap candu, ia tidak pernah sekalipun melakukan tindakan aneh di depan teman-temannya. George tetap anak laki-laki yang tak banyak bicara, tapi sekali mengeluarkan kalimat maka semua mata tertuju padanya. Tak heran, ia semakin terkenal di kalangan teman-teman dan guru-guru di sekolah.
**
Pernah suatu ketika, salah seorang teman bertanya kepada George.
"George, kenapa kau bisa sepintar ini? Kau 'kan baru kelas tiga!" tanya Emily, anak gadis berkacamata pink dengan gaya rambut seperti Elsa "Frozen" yang tampil rapi.
George tak terlalu memperhatikan anak perempuan, dia memilih diam.
"Apa rahasiamu, George? Kenapa kau begitu pintar?" tanya Nathan, sebelumnya pernah meremehkan George dan temuannya, tetapi kini memberondongi George dengan pertanyaan. "Ibuku selalu berkata agar aku pintar sepertimu! Kasih tahu rahasiamu padaku!"
"Kata kakakku, orang pintar itu suka minum air yang dicampur abu buku pelajaran yang dibakar. Dan setelah minum jadi pintar."
"Bohong! Yang ada malah jadi kotoran tau."
Anak-anak kelas A3 berdebat tentang cara menjadi orang pintar.
George tersenyum tipis melihat pertikaian kecil teman-temannya. "Hm, ya ...." George menggantungkan kalimatnya sebentar, sebelum melanjutkan, "itu semua karena aku sudah mengasah kemampuanku ini sejak umur tiga tahun. Aku memainkan permainan yang memerlukan ketelitian, kecerdikan dan juga konsentrasi untuk otak," jawabnya tenang.
George berbicara tidak seperti anak kelas tiga sekolah dasar pada umumnya, ia melebihi anak-anak itu. Teman-temannya berhenti bertengkar dan kembali mengerubungi George bagai lalat.
"Contohnya apa?" tanya temannya. "Kami ingin sepertimu. Kau bisa bermain apa saja, tanpa kehilangan minat terhadap belajar."
Anak-anak lain ikut menimpali. "Ya, George, katakan pada kami! Kami juga ingin jadi anak pintar yang bisa dibanggakan!"
"Kami ingin belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar!"
"Kami sangat ingin tahu bagaimana caramu belajar. Katakanlah pada kami!"
Suasana kelas mendadak ricuh, anak-anak banyak yang berkumpul di sekitar meja putra pasangan Owens dan mencoba menarik perhatian si Ilmuwan Kecil. Mereka penasaran dengan rahasia kepintaran teman sekelas mereka yang selalu dibanggakan oleh para guru dan menjadi patokan prestasi belajar para orang tua.
George menjadi panutan teman-temannya.
Jelas saja dia bangga karena itu berarti teman-temannya akan ikut bermain bersamanya. Dulu saat kecil, dia dijauhi anak-anak komplek tempat tinggalnya hanya karena membawa mainan kesayangannya saat pertemuan.
George hendak menjawab rasa ingin tahu teman-temannya, tapi ia tidak sempat menjawab pertanyaan mereka karena bel masuk telah berdentang tiga kali. Tanda pelajaran akan segera dimulai.
Suara bel itu begitu nyaring, membuat George dan teman-temannya kaget dan langsung duduk di kursi masing-masing.
George merapikan penampilan dan mengeluarkan peralatan belajarnya. Begitu menaruh buku paket, pensil, bulpoin dan buku tulis di atas meja, George langsung menyusunnya dengan rapi.
"Kebiasaan baik dimulai dari sesuatu yang terlihat bersih," gumam George sambil tersenyum tipis.
"Hei, George! Psttt! George!"
Seseorang memanggil, suaranya berasal dari belakang, membuat George berbalik dan menatap sang pemanggil. "Nanti ceritakan rahasia kepintaranmu, ya!" ucap David sambil mengedipkan mata.
"Aku tak jadi memberitahukannya. Rahasia tidak bisa disebut lagi rahasia jika diberitahukan kepada banyak orang."
"Yah ...." David terlihat kecewa.
George tak merasa bersalah karena urung memberitahu teman-temannya tentang metode belajarnya yang unik. Teman-temannya hanya boleh tahu awalannya dan hanya sampai di situ saja.
Selebihnya adalah rahasia yang ingin George simpan seorang.
Ini sudah direvisi ya
Jika anak-anak Elementary School senang dengan karakter pahlawan seperti Superman, Spiderman atau tokoh-tokoh berkekuatan super dari Marvel, maka George berbeda. Dia tak seperti anak-anak lain yang senang menjadi sosok yang tak mempunyai kelemahan. "Apa bagusnya pahlawan yang menggunakan pakaian ketat? Memangnya mereka bintang film dewasa?" Salah satu komentar George yang mempertanyakan kesukaan teman-temannya. Saat itu anak-anak sedang berkumpul membahas perilisan film Legacy Man : Super Spider. Sebuah film yang menunjukkan aktor berkostum Spiderman dan Superman yang bersatu melawan anti-hero berkekuatan luar biasa. "Kau belum menontonnya, George? Aksi dua pahlawan super abad ini benar-benar luar biasa!" sahut Nick, anak berkawat gigi yang selalu tertarik dengan hal baru. George merotasikan mata dan melewati perkumpulan anak-anak lelaki di kelasnya tanpa minat. Dia bukan golongan a
Takkan ada yang menyangka jika anak laki-laki yang begitu terkenal kegeniusannya selama berstatus bersekolah di Geraldine 2 Elementary School kelak akan menjadi seorang pembunuh berantai yang kejam. Dia hanya anak laki-laki biasa, tidak memiliki kekuatan super dan bisa terbang. Dia hanya berwajah tampan, berasal dari keluarga yang kaya dan diberkahi otak yang cepat menerima pelajaran. Meski tak pandai berkomunikasi dengan orang lain, George adalah anak yang pandai mengeluarkan pendapat yang bisa mengubah pandangan seseorang. Dia adalah anak yang seperti itu. Sosok yang pendiam, namun begitu mengeluarkan kata-kata, maka semua mata akan tertuju padanya. "Oh, George! Selamat pagi! Tidak diantar lagi hari ini?" Eddy, seorang penjaga gerbang menyapa George begitu putra pasangan Owens memasuki halaman sekolah. Anak itu menyunggingkan senyum tipis yang sudah menjadi c
Betapa pentingnya pengawasan terhadap seorang anak, orang tua yang tak bisa melihat langsung pertumbuhan anaknya kelak akan merasakan sebuah penyesalan yang tertinggal di hati. Mereka tak lagi bisa mengulang saat-saat terindah bersama anak mereka. Salah satu dari sekian banyak orang tua yang akan menyesali hal itu adalah Joly dan Erick Owens. Mereka yang terlalu sibuk bekerja pun memberikan seluruh pengawasan anaknya kepada para pengasuh. Mereka sibuk mengejar duniawi, berpikir itu untuk masa depan sang anak, tapi mereka membuat seorang anak merasa kesepian karena kerap ditinggal orang tuanya pergi bekerja. Anak itu George Owens. Akibat tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua, di masa remaja ia berubah menjadi pembunuh berantai, bergabung ke kepolisian dengan tujuan tak baik, dan berakhir hukuman mati setelah meledakkan sebuah laboratorium dan menewaskan banyak orang.
Di saat kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah, atau para babysitter yang disuruh menjaganya tidak ada yang bisa menjaga George. Maka anak laki-laki itu akan bermain seorang diri di halaman belakang rumahnya. Kebetulan, halaman belakang rumah George cukup luas. Mereka juga memiliki kolam renang yang tidak terlalu dalam di sana. Semua mainan sudah tersedia di halaman belakang, sehingga George bisa tenang bermain meski hanya seorang diri. Rumah keluarga Owens dikelilingi oleh pagar putih setinggi dua meter. Hal itu untuk mencegah hal buruk terjadi seperti adanya pencuri yang masuk. Tentu adanya pagar itu juga untuk melindungi George di rumah selama orang tuanya tak ada di rumah dan dia hanya ditinggal bersama seorang pengasuh yang baru bekerja selama beberapa bulan di kediaman mereka. Walau memperkerjakan babysitter, tapi wanita-wanita yang ditugaskan untuk menjaga George itu jarang mengawasi anak
"Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan. George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol. George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali. George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak
Sambil tersenyum secerah matahari, Sean berkata, "Baik, kita mulai ...." Sean menyelesaikan ceritanya kurang dari dua tiga menit. "Tunggu, ini cerita siapa?" George bertanya menyelidik. Sean tertawa melihatnya, baru kali itu dia bertemu anak yang begitu penasaran dengan kisahnya. "Ini cerita ibunya Nenek dari pihak ayahku, lalu orang tuaku menceritakannya sekali lagi padaku. Sudah lama sekali," jelasnya dengan sabar. "Bisa kita lanjutkan?" George mengangkat bahu. "Ya, kenapa tidak? Lagipula ceritanya menarik, apa Nenekmu masih hidup?" "Beliau sudah tiada, jauh ketika aku berusia 3 tahun. Hanya cerita ini saja yang tersisa darinya, pengalaman Nenek buyutku. Di mana Nenek buyutku kehilangan Justin." Sean kemudian mulai menceritakan pengalaman yang dialami oleh sang nenek buyut. Ketika pertama kali mendengar cerita ini, Sean saja terkejut kar
Sean tersenyum lalu berbalik badan. Bersiap meninggalkan halaman rumah George, jika saja tak ada suara yang menginterupsi. "Loh? Kamu teman George, bukan? Mau pergi kemana?" Sean dan George menoleh bersamaan. "Mama ...." Gumam George pelan. Pemuda berkulit agak gelap tertawa pelan dan tersenyum manis setelahnya. "Ah, iya, saya teman George," jawabnya sedikit canggung. "Saya mau pulang ke rumah." Joly menggeleng perlahan. "Kenapa pergi sangat cepat? Ayo, masuk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Ah, tidak!" Sean mengangkat tangan di depan dada, memperlihatkan telapak tangannya kepada keluarga Owens—gestur menolak. "Saya tak bisa ikut sarapan ...." "Jangan malu-malu. Ayo, masuklah ke dalam." George melangkah lambat dan meraih tangan Sean, sedikit menariknya agar pemuda itu dapat mengikuti. Joly masuk lebih dulu ke dalam, disusul oleh George dan
George menghabiskan waktu bersama Sean selama berhari-hari sambil bercerita di depan rumah. Kedekatan mereka membuat George menjadi lebih terbuka dengan kedua orang tuanya, dan George tak tertarik lagi bermain dengan rubiknya. Joly dan Erick begitu bahagia melihat perubahan anak laki-laki mereka. Sean membawa pengaruh yang bagus untuk George. Sampai suatu hari, George mengatakan sesuatu yang membuat pandangan kedua orang tuanya berubah kepada Sean. "Mom, biarkan Sean tinggal di sini!" ucap George, anak laki-laki berusia empat tahun kepada ibunya yang sedang melihat grafik saham di tablet mahalnya. "Tidak bisa, George. Sean bukan siapa-siapa kita." Joly mengetik sesuatu di laptop kemudian kembali meraih tablet berlogo apel. "Tapi aku menyukainya! Bukankah kalau saling suka, bisa tinggal bersama? Seperti Mom dan Dad!" Saat itu pulalah, Joly
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak