Ruangan dengan nuansa warna putih dan abu yang mendominasi, terlihat luas dengan segala properti-nya yang senada dengan warna cat dinding.
Di meja kebesaran dengan papan nama Direktur Askarion.K.M, sudah duduk seorang laki-laki yang tak lain ialah dia si pemilik nama tersebut.
Duduk bersandar pada kursi yang ia duduki, tatapan Direktur muda itu tampak lurus mengarah pada sosok gadis yang sejak beberapa menit lalu sudah berdiri di depan mejanya.
"Tidak menyangka akan semudah ini saya menemukan kamu. Wulandari Naafa Pauline. Bener itu nama kamu, 'kan?" celetuk Rion, tersenyum penuh arti pada sosok di depannya.
Sungguh kelu lidah Wulan, nyaris tak bisa mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab perkataan dari pimpinan hotel tempatnya bekerja. Ia tak menduga sama sekali, bahwa ternyata dirinya sudah bekerja di hotel milik seorang laki-laki yang sangat ia hindari selama ini.
Sia-sia saja Wulan berhenti bekerja di hotel sebelumnya. Ini malah seperti Wulan keluar dari kandang macan, lalu masuk ke kandang buaya. Apes. Begitu singkatnya.
Wulan menundukkan wajah, meremas kedua tangannya sendiri yang saling bertaut. Gugup yang Wulan rasakan, ketika ia sadar tak akan bisa lari lagi dari lelaki di depannya. Ini jalan buntu.
"Maafkan saya, Pak. Tapi saya bener-bener enggak sengaja," cicit Wulan lirih. Ia menyesal sekali, karena harus menjadi saksi mata dari ketidak-beradaban seorang Rion di sebuah kamar hotel.
Adegan-adegan erotis Rion bersama seorang wanita pada malam itu, masih benar-benar segar dalam ingatan Wulan. Mana mungkin dia akan lupa, setiap suara merdu yang keluar dari wanita di bawah kuasa Rion.
Rion tampak santai saja menanggapi jawaban Wulan. Karena baginya, apa yang sudah Wulan lihat merupakan hal biasa baginya. Detik selanjutnya, Rion lalu berdiri menuntun dirinya mendekat pada Wulan.
"Enggak masalah. Namanya juga enggak sengaja. Saya enggak akan marah atau memecat kamu kok. Hanya saja, harus ada timbal balik untuk kemurahan hati saya ke kamu, 'kan?" ujar Rion seraya meraih kedua lengan Wulan agar menghadap padanya.
Wulan terhenyak. Matanya melebar, ketika merasakan dua telapak tangan itu memegangi masing-masing pangkal lengannya.
Rion tersenyum datar, kemudian berbisik pelan di dekat telinga Wulan.
"Saya tau hidup kamu susah. Dan saya ada penawaran. Anggaplah ini kompensasi dari saya untuk kamu. Saya janji enggak akan menuntut apapun atas kelancangan kamu malam itu. Tapi ada satu syarat." Karena bisikan itu, Wulan sampai merinding dibuatnya.
"Maksud Bapak, apa?" lirih Wulan mengangkat kepalanya yang sedari tadi terus tertunduk.
Kembali Rion menyunggingkan senyuman, "Menikah dengan saya," desisnya tepat di depan wajah Wulan.
Makin membola kedua mata Wulan, tatkala kalimat itu terlontar dari mulut Rion.
Menikah? Laki-laki itu memang tidak waras.
Wushhhh!
Wulan menurunkan paksa kedua tangan Rion yang masih menempel di lengannya. Tatapan segan dari Wulan pada Rion, kini berubah menjadi tatapan kesal. Tak terima dengan cara Rion merendahkan harga dirinya.
"Bapak pikir saya seperti wanita di kamar hotel itu?" Wulan mendengus jengkel, "Maaf, Pak. Tapi akan lebih baik bagi saya dipecat, daripada saya harus menjadi Istri dari laki-laki playboy seperti Bapak. Saya permisi," pungkas Wulan segera membawa dirinya pergi dari ruang kerja Rion.
Di tempatnya berdiri, Rion hanya tersenyum lugas seraya bersedekap, menyaksikan gadis berseragam cleaning service itu melenggang pergi darinya.
****
Setelah berganti pakaian, cepat-cepat Wulan keluar dari Moonlight hotel tempatnya bekerja. Tak ingin lagi dia berlama-lama di sana. Apalagi setelah ia mendapatkan ultimatum berupa tawaran menjijikkan dari Askarion, pemilik sekaligus pimpinan Moonlight hotel. Semakin ilfeel saja Wulan pada laki-laki itu.
"Orang gila. Dia pikir gue cewek murahan atau gimana sih? Dasar playboy sialan. Mentang-mentang tajir, mau seenaknya dia sama gue," gerutu Wulan sambil terus berjalan melewati lobby.
Baru saja dia membuka pintu lobby, terlihat seorang lelaki berseragam supir menghampiri dirinya. Wulan pun menghentikan langkah.
"Mbak Wulan?" sapa supir paruh baya itu dengan suara pelan.
Wulan pun tersenyum ramah, "Iya," sahutnya.
"Silahkan naik ke mobil, Pak Rion sudah menunggu. Ada yang ingin beliau bicarakan dengan Mbak Wulan," tutur supir itu lagi menunjuk mobil sedan yang terparkir tepat di depan lobby.
Tercenganglah Wulan. Laki-laki itu rupanya belum menyerah juga. Dia bahkan sampai nekad menghadang dirinya seperti ini. Sudah jelas, Wulan tak akan mau merundingkan apapun lagi dengan Rion.
"Enggak, Pak. Maaf. Saya udah harus pulang soalnya. Bilang aja sama Pak Rion kalau saya enggak tertarik sama tawaran yang dia kasih ke saya," tolak Wulan terus terang.
Namun, supir itu malah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pelan dua kali.
Wung!
Seketika tubuh Wulan terangkat, setelah tiba-tiba datang dua orang laki-laki yang mengangkat masing-masing lengannya. Dua laki-laki yang datang dari arah belakang itu sama sekali tidak disadari oleh Wulan. Sepertinya hal tersebut benar-benar sudah direncanakan oleh Rion dan si supir.
"Eh, apa-apaan nih? Lepasin gue!" pekik Wulan menoleh ke kanan dan kiri, di mana dua laki-laki itu sudah mulai berjalan membawa dirinya ke arah mobil Rion.
Wulan coba berontak, ingin melepaskan diri dari kedua orang itu. Tapi percumah saja, sebab tenaga kecilnya benar-benar tidak berpengaruh untuk dua tubuh kekar yang mengangkat tubuhnya.
Brugh!
Wulan-pun dimasukkan paksa ke dalam mobil oleh kedua laki-laki asing itu, yang kemungkinan besar adalah orang suruhan Rion.
"Kamu ya, saya coba ngomong baik-baik, malah minta main kasar. Kamu suka sistem paksa-paksa kayakgini?" cetus Rion yang duduk di sebelah Wulan. Sungguh gemas sekali dia pada Wulan yang sulit diajak bicara.
Wulan memicingkan tatapannya pada Rion. Satu malam sial harus berbuntut panjang seperti ini. Bagi Wulan, berurusan dengan Rion adalah hal yang sangat menjengkelkan.
"Mau lo apa sih? Gue udah bilang ya, gue enggak mau nikah sama lo. Kenapa masih ganggu gue?" protes Wulan meradang. Dia bahkan sudah tidak peduli lagi statusnya dan Rion adalah atasan dan bawahan. Hilang sopan dan segan gadis itu pada si Direktur muda, sebab dirinya yang sudah terlanjur kesal.
Supir yang baru saja kembali duduk ke kursi kemudi tersenyum geli melihat tingkah Wulan. Tak berbeda jauh dari Rion. Laki-laki itu juga terkekeh melihat bagaimana cara bicara Wulan yang terdengar seperti auman anak macan. Menggemaskan.
"Ayo, Ndar. Kita ke apartemen," ucap Rion memberikan instruksi kepada supirnya.
Hendar-pun mengangguk, "Baik, Mas Rion," jawabnya diikuti menyalakan mesin mobil, dan langsung melesat meninggalkan hotel menuju apartemen yang dimaksud oleh sang Boss.
Mendelik jengkel, Wulan kembali melayangkan protes pada Rion.
"Lo udah sinting, ya! Turunin gue! Gue enggak mau ikut sama lo. Gue masih di bawah umur, dasar om-om sialan!" Wulan mendaratkan pukulan-pukulan kecil dari kedua kepalan tangannya pada lengan Rion. Semakin geli saja Rion menyaksikan polah Wulan. Gadis itu terlihat semakin menggemaskan saat sedang marah.
Dari kaca dalam mobil, Hendar si supir ikut tersenyum melihat kemarahan Wulan yang justru malah seperti sebuah hiburan lucu bagi Rion.
"Kamu ini, saya ini belum om-om loh. Kamu tenang aja, saya enggak pernah meniduri cewek bodoh kayak kamu kok. Saya cuma mau ngomong baik-baik, enggak usah berpikiran buruk dulu," bela Rion menahan kedua lengan Wulan yang hendak memukulinya lagi.
Wulan terus berontak, semakin berang karena Rion tetap tak mau melepaskannya.
"Kalau kamu enggak mau diem, akan saya langgar prinsip saya untuk enggak tidur sama cewek di bawah umur. Kamu mau kayakgitu?"
Glek!
Diteguknya ludah dengan kasar oleh Wulan. Horor sekali makna kalimat Rion ini. Dia ini pedofil atau bagaimana? Membuat bulu-bulu roma Wulan merinding disco saja.
Maka, diamlah Wulan sekarang. Daripada nanti malah membuat Rion melakukan hal yang tidak-tidak, ya sudahlah … Wulan akan mengalah dulu. Mencari aman saja tepatnya.
****
"Ayo duduk. Kamu enggak pegel berdiri terus kayakgitu?"
Wulan yang masih berdiri tertegun mengagumi kemewahan apartemen milik Rion, seketika tersadar. Ia menoleh ke arah di mana Rion sudah duduk di sofa bersilang kaki.
"Ya udah, terserah kamu aja kalau enggak mau duduk. Saya cuma mau bernegosiasi sama kamu," imbuh Rion lagi menyimpulkan sebuah senyuman pada Wulan.
Tetap diam di posisinya, Wulan benar-benar tak ingin membahas apapun dengan Rion.
"Saya tau, kuliah kamu tersendat karena masalah biaya, 'kan? Saya juga tau, kalau Ayah kamu sedang sakit keras. Tinggal katakan saja berapa yang kamu mau, akan saya penuhi semuanya. Asal kamu mau menikah dengan saya. Bagaimana, Wulan?"
Kesal lagi Wulan, kembali mendengar ajakan menikah dari Rion. Laki-laki itu gigih juga ternyata. "Dengan segala hormat, Bapak Askarion. Saya enggak mau nikah sama Bapak. Dan tolong, jangan seenaknya menyelidiki latar belakang seseorang seperti itu. Saya tau Bapak banyak uang, tapi tidak semua bisa Bapak dapatkan dengan uang itu. Termasuk saya," tegas Wulan menolak lagi tawaran Rion untuk yang kedua kali. Gadis yang menarik. Jujur saja, semakin Wulan menolak, justru Rion semakin tertantang untuk mendapatkannya. Tapi ketertarikan itu bukanlah rasa antara lelaki dan wanita, melainkan karena Rion berpikir bahwa gadis muda seperti Wulan tentu masih polos, dan akan mudah untuk dikendalikan. "Wah, ternyata kamu sombong juga ya, untuk ukuran cewek dari kalangan kelas bawah?" ejek Rion sembari bangkit dari duduknya. Iapun mulai mendekat pada Wulan. Terhina sekali Wulan me
Menangkap wajah yang baru saja memanggilnya, Wulan pun tersenyum lebar, melambaikan satu tangannya pada sosok laki-laki yang sedang datang mendekat. "Lo di sini ternyata. Gue samperin ke kosan juga," ujar laki-laki tinggi berwajah kebule-bulean itu, setelah sampai di hadapan Wulan. "Gue abis kirim duit buat orang rumah. Lo nyariin gue?" jawab Wulan seadanya. Tersenyum tipis, laki-laki yang tak lain adalah sahabat Wulan itu menjawab lagi. "Iya. Gue mau ngajakin lo kerja sampingan, mau enggak? Yaaa, lembur gitu sih sampe malem." Alangkah girangnya Wulan mendengar ajakan kerja dari sang sahabat. Inilah yang sedang Wulan butuhkan. Mata pencaharian agar bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah. Setidaknya sampai ia bisa menemukan pekerjaan tetap yang baru. "Mau banget," pekik Wulan langsung merangkul sang sahabat, "Oh my
"Loh, tadi lo bilang butuh dua orang?" Owen gusar setengah mati dengan penjaga warnet didepannya saat ini. Laki-laki bernama Daryl, yang tak lain adalah kawannya. Dia sendiri yang meminta agar Owen datang membawa satu orang lagi, tapi setelah Owen datang bersama Wulan untuk bekerja lembur, Daryl tiba-tiba saja berubah keputusan."Ya, sorry, Wen. Tadinya gue pikir, gue emang butuh dua orang buat bantu gue malam ini. Tapi seperti yang lo liat. Orang-orang pada pergi gitu aja. Di lantai atas juga gitu, Wen. Coba lo cek sendiri kalau enggak percaya," tutur Daryl menjelaskan situasi yang terpaksa membuatnya harus merubah keputusan.Awalnya Daryl meminta bantuan Owen untuk ikut menjaga warnet miliknya malam ini, karena tiba-tiba ada ledakan pengunjung sejak pagi tadi. Tapi niat itu harus ia urungkan, karena secara tiba-tiba juga para pengunjung warnet itu pergi satu persatu dan tidak kembali. Aneh memang. Daryl saja sampai kesal dibuatnya. Dia sud
Wulan yang masih berjongkok di atas tanah, perlahan menaikkan pandangannya. Dari sendal selop pink, ke daster warna senada dengan si sandal, kemudian akhirnya sampai di wajah bu Selly.Wanita berumur sekitar empat puluhan itu berkacak pinggang, dengan mimik wajah begitu terlihat tak ramah di mata Wulan. Sudah tentu akan begitu. Orang mana yang tak akan kesal, jika yang ditagih kewajibannya malah berniat ingin kabur."Bangun, Wulan," imbuh bu Selly lagi, menyuruh Wulan agar berdiri.Meringis kuda, gadis itu pun menuruti apa yang bu Selly katakan."Heee, iya, Bu," cicit Wulan sudah dalam mode pasrah, setelah kepergok langsung oleh bu Selly hendak melarikan diri dari wanita berdaster itu.Bu Selly menggeleng pelan atas kelakuan Wulan. Ini bukan kali pertama Wulan melakukan hal seperti itu. Setiap telat bayar uang kos, Wulan memang tiba-tiba jadi seperti ninja. Main lompat-lompatan, panjat pagar, kabur-kaburan, hanya demi menghindari omelan bu Selly.
Terkesiap mendengar balasan Hendar, Wulan tak sadar sudah membuat kedua netranya tampak semakin membulat.Datang pada Rion, berarti sama dengan menyerahkan diri pada laki-laki haus belaian itu. Wulan membatin dalam kebingungan. Sambil berpikir, terus saja Wulan menikmati makanannya.Dari ekspresi Wulan, Hendar sangat yakin, kali ini pun ia akan berhasil membuat gadis itu semakin kehilangan pilihan. Tidak disadari oleh Wulan, sebenarnya Hendar tersenyum--merasa bahwa mendapatkan Wulan tidak sesulit yang ia pikirkan."Pak Hendar?" lirih Wulan melirik Hendar, "menikah sama Pak Rion, apa itu artinya aku harus memberikan dia anak? Maksud aku, kayak di kawin kontrak yang di drama-drama Korea gitu, loh," lanjutnya polos.Tersenyumlah Hendar, mendengar kalimat dari Wulan tersebut. Terlepas dari karakter Wulan yang keras kepala dan sulit dijinakkan, ternyata dia tetaplah seorang gadis yang polos. 
Tok… Tok… Tok…Ketukan dari luar pintu ruangan, menarik perhatian Rion. Di antara gelisah dan gusar yang ia rasa, ia akhirnya didatangi oleh seseorang yang memang sudah ia tunggu sejak tadi.Begitu pintu terbuka, masuklah sosok Hendar ke dalam ruang kerja Rion. Senyum yang mengembang di wajah Hendar saat ini, segera membuat Rion beranjak dari tempatnya duduk."Lama sekali kamu, Hendar?" keluh Rion, setelah Hendar sampai di depan meja kerjanya. Tersirat sebuah kekhawatiran yang jelas sekali di dalam ekspresi wajah Rion. Semua karena desakan yang Kresna berikan pada laki-laki itu. Dan Hendar, merupakan tumpuan harapan Rion--agar bisa menyelamatkan diri dari ancaman yang selama ini terus menekannya. Rion sungguh berharap, Hendar kembali dengan membawa kabar baik."Maaf, Mas Rion … saya dan Mbak Wulan baru saja selesai makan siang," sahut Hendar, menjelaskan alasan keterlambat
Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu."Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu.Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan t
Waktu menghentikan detiknya, tatkala mata Rion dan Wulan bertemu. Begitu yang terjadi hingga beberapa saat lamanya, sebelum kemudian Wulan merasakan sebuah getaran. Sayang sekali, sebab itu bukanlah getaran asmara yang menyentuh relung hatinya, melainkan ponsel di dalam saku celana yang bergetar karena mendapatkan sebuah telepon masuk."Bunyi apa itu?" lirih Rion bertanya, sambil menatap ke sekitar tubuh gadis yang masih ia kungkung.Wushhh…Dengan dorongan pelan kedua tangan Wulan di dada Rion, akhirnya gadis itu pun berhasil membebasan diri dari ancaman yang tadi nyaris membuatnya mati kutu."Bapak enggak punya HP, apa? Enggak pernah denger getaran HP kalau ada telfon masuk?" jawab Wulan, yang sedang mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Rion pun hanya tersenyum kecil, karena jawaban ketus dari Wulan yang terdengar menggemaskan.Gawat. Sejak kapan juga Rion merasa tertarik dengan gadis muda seperti Wulan? Laki-laki itu membatin, m