Tok… Tok… Tok…
Ketukan dari luar pintu ruangan, menarik perhatian Rion. Di antara gelisah dan gusar yang ia rasa, ia akhirnya didatangi oleh seseorang yang memang sudah ia tunggu sejak tadi.
Begitu pintu terbuka, masuklah sosok Hendar ke dalam ruang kerja Rion. Senyum yang mengembang di wajah Hendar saat ini, segera membuat Rion beranjak dari tempatnya duduk.
"Lama sekali kamu, Hendar?" keluh Rion, setelah Hendar sampai di depan meja kerjanya. Tersirat sebuah kekhawatiran yang jelas sekali di dalam ekspresi wajah Rion. Semua karena desakan yang Kresna berikan pada laki-laki itu. Dan Hendar, merupakan tumpuan harapan Rion--agar bisa menyelamatkan diri dari ancaman yang selama ini terus menekannya. Rion sungguh berharap, Hendar kembali dengan membawa kabar baik.
"Maaf, Mas Rion … saya dan Mbak Wulan baru saja selesai makan siang," sahut Hendar, menjelaskan alasan keterlambatannya.
Mendengar nama Wulan, seolah membuat Rion semakin tak sabar. Ambisi ingin mendapatkan gadis itu pun kian bergolak di dalam benaknya.
"Jadi bagaimana? Apa kamu berhasil membujuk Wulan? Di mana dia sekarang?" cecar Rion, terlihat begitu bersemangat.
Hendar tersenyum, sembari mendudukkan diri di kursi kosong yang ada di dekatnya duduk. Rion pun kemudian melakukan hal yang sama--kembali duduk di kursinya.
"Iya, Mas Rion. Saya berhasil membawa Mbak Wulan ke sini. Tapi ini tidak sesederhana yang kita rencanakan kemarin. Dia … ingin melakukan perundingan ulang dengan Mas Rion. Kalau saya boleh memberi saran, sebaiknya Mas Rion bicara pelan-pelan saja sama Mbak Wulan. Dia benar-benar masih sangat polos. Dia berbeda dengan kebanyakan wanita yang selama ini Mas Rion kenal," papar Hendar, sekaligus memberikan sedikit masukan untuk bossnya tersebut. Biar bagaimanapun, Wulan memang terlalu baik jika dibandingkan dengan semua wanita Rion selama ini.
Smirk. Senyuman Rion menunjukkan bahwa ia tak terlalu peduli dengan usulan Hendar. Baginya, semua wanita sama saja--yang bisa ia dapatkan dengan beberapa lembar uang. Begitu juga pemikirannya tentang gadis bernama Wulan. Apalagi melihat latar belakang Wulan yang terbilang sulit dalam segi ekonomi, maka semakin besar juga kepercayaan diri Rion--mengira akan sangat mudah ia menjerat Wulan.
"Karena itulah aku menginginkan dia, Hendar," lirih Rion kemudian menyahuti ucapan supir pribadinya, "suruh dia masuk sekarang," imbuhnya sembari merebahkan punggung pada sandaran kursi yang ia duduki.
Karena Rion sudah menurunkan titah, Hendar pun segera patuh melakukan apa yang laki-laki itu inginkan. Keluar dari ruangan Rion, Hendar lalu menghampiri Wulan yang masih menunggu di depan ruangan.
"Silahkan masuk, Mbak Wulan. Mas Rion sudah menunggu di dalam," ujar Hendar dengan senyum simpulnya pada Wulan.
Jujur saja Wulan merasa gugup, harus menemui Rion tanpa Hendar yang menemani. Masih segar dalam ingatan gadis itu, tentang bagaimana pertemuan terakhirnya dengan Rion. Dan hari ini, Wulan sukarela datang dengan sendirinya pada laki-laki itu. Terlambat juga untuk Wulan berubah keputusan sekarang. Rion sudah ada di depan mata.
"Em, iya, Pak Hendar. Terima kasih," balas Wulan sopan.
Langkah-langkah kecil Wulan, lantas segera membawa dirinya ke dalam ruangan Rion.
Begitu masuk ke dalam ruangan itu, Wulan disambut dengan senyuman khas seorang Askarion. Bahkan sebelum Wulan sampai di meja kerja laki-laki itu, Rion sudah lebih dulu menghampiri. Dan pada akhirnya, mereka pun saling berjalan menuju satu sama lain.
"Bagaimana makan siang kamu sama Hendar?" cetus Rion, lebih dulu menyapa Wulan dengan pertanyaannya. Gadis itu pun tau, jika pertanyaan Rion hanya sebuah basa-basi saja.
Merasa tak perlu menjawab, Wulan hanya tersenyum. Kini, dirinya dan Rion sudah berdiri saling berhadapan. Melihat sosok gagah di depannya, Wulan merasa dirinya sedang diintimidasi. Sulit dibayangkan, jika sampai Wulan benar-benar sepakat dengan Rion untuk menikah.
Mengetahui bahwa saat ini Wulan masih canggung padanya, Rion pun mengambil inisiatif.
Grep.
Sempat membola kedua mata Wulan, ketika tiba-tiba Rion meraih salah satu tangannya.
"Santai saja, Wulan. Saya tidak akan melakukan hal yang buruk sama kamu. Ayo duduk, biar ngobrolnya juga enak," ajak Rion disusul dirinya yang menuntun Wulan menuju sofa. Gadis itu hanya bisa diam dan ikut saja ke mana Rion membawa dirinya.
Kemudian mereka pun duduk berdampingan, di sofa panjang yang berada di seberang meja kerja Rion.
Dari sikap Wulan saat ini, Rion mulai percaya dengan ucapan Hendar tadi--yang mengatakan bahwa Wulan adalah gadis yang masih polos. Tampak jelas dari ekspresi wajahnya. Rion bahkan bisa menangkap rasa malu terpancar di wajah Wulan saat ini--sebab ia yang terus saja menghindari kontak mata dengan Rion.
"Jangan malu. Semua wanita yang datang pada saya juga selalu membawa gaya sok polos mereka. Tapi, begitu mereka melihat uang saya, mereka malah menjadi polos tanpa busana."
Degh!
Kalimat yang Rion ucapkan, berhasil membuat harga diri Wulan serasa ditampar. Meski ingin Wulan menampik, faktanya memang benar alasan Wulan datang pada Rion juga karena uang. Sial, belum apa-apa dia sudah mendapat serangan telak dari pihak Rion. Berkat itu, akhirnya Wulan pun menoleh pada Rion dengan tatapan sinisnya.
Akan tetapi, Rion malah terkekeh mendapat tatapan tak ramah dari mata Wulan.
"Hahah, jadi saya harus berbicara kasar dulu, ya, biar kamu mau menoleh ke saya?" Begitu yang terlontar dari mulut Rion.
Kali ini Wulan akhirnya buka suara, "Maksud Bapak apa? Kalau Bapak mau dapat atensi yang baik dari saya, tolong sedikit beretika ketika berbicara. Jujur saja, saya tersingggung loh, Pak, sama kata-kata Bapak tadi," tuturnya lugas. Tanpa bertele-tele. Dan memang begitulah Wulan, yang memang selalu blak-blakan ketika bicara.
Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu."Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu.Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan t
Waktu menghentikan detiknya, tatkala mata Rion dan Wulan bertemu. Begitu yang terjadi hingga beberapa saat lamanya, sebelum kemudian Wulan merasakan sebuah getaran. Sayang sekali, sebab itu bukanlah getaran asmara yang menyentuh relung hatinya, melainkan ponsel di dalam saku celana yang bergetar karena mendapatkan sebuah telepon masuk."Bunyi apa itu?" lirih Rion bertanya, sambil menatap ke sekitar tubuh gadis yang masih ia kungkung.Wushhh…Dengan dorongan pelan kedua tangan Wulan di dada Rion, akhirnya gadis itu pun berhasil membebasan diri dari ancaman yang tadi nyaris membuatnya mati kutu."Bapak enggak punya HP, apa? Enggak pernah denger getaran HP kalau ada telfon masuk?" jawab Wulan, yang sedang mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Rion pun hanya tersenyum kecil, karena jawaban ketus dari Wulan yang terdengar menggemaskan.Gawat. Sejak kapan juga Rion merasa tertarik dengan gadis muda seperti Wulan? Laki-laki itu membatin, m
Cukup lama Rion bertahan dalam diam--mengamati Wulan yang masih sibuk dengan obrolannya di telepon. Tak dipungkiri, rasa penasaran Rion akan isi perbincangan Wulan dengan lawan bicaranya di telepon pun semakin bertambah.Laki-laki itu beranjak bangkit dari tempatnya duduk, menghampiri Wulan yang kini tengah berdiri membelakangi dirinya.Grep.Sama sekali tak memberi pertanda apapun, Rion langsung saja merenggut ponsel milik Wulan yang masih menempel di telinga gadis itu. Wajar saja, Wulan pun terkejut atas aksi serta-merta Rion tersebut."Apa-apaan sih, Pak?" protes Wulan, seraya berbalik badan--menghadap ke arah Rion yang sudah ada di hadapannya sekarang. Jelas sekali terlihat wajah Wulan yang tak suka, sebab ulah Rion.Rion melihat ke layar ponsel milik Wulan. Menyadari bahwa telepon dengan kontak bernama Bibi Zoya masih terhubung, langsung saja Rion mengusap tombol merah--memu
Tak sampai lama menunggu, kedatangan mobil jeep yang dikemudikan oleh Hendar, segera memboyong Rion beserta Wulan meninggalkan gedung kantor. Tak banyak juga yang bisa Wulan lakukan lagi, selain ikut saja dengan cara main sang cassanova--Rion.Selama perjalanan menuju apartemen Rion, perkataan terakhir Zoya di telepon tadi terus saja terngiang di telinga Wulan. Hanya ada satu bulan waktu yang Wulan miliki, untuk mengembalikan uang yang telah Zoya pinjam dari Juragan Juna. Belum lagi, tunggakan uang kos Wulan yang belum dibayar. Semakin menjadi paket komplit, karena kini pun ayah Wulan juga sedang dirawat di Rumah Sakit. Rasa-rasanya, kepala Wulan seperti akan meledak memikirkan semua persoalan itu. Persoalan yang hanya akan selesai dengan uang.***Mobil pun akhirnya sampai di basement, mengajak Rion dan Wulan untuk segera turun."Saya bisa jalan sendiri," ujar Wulan, menghindari satu tangan Rion--ya
"Hah? A-apa, Pak? Maksud Bapak membuktikan itu gimana?" cicit Wulan. Mendadak pikirannya digerayangi bayangan yang tidak-tidak, soal kata 'buktikan' yang diucapkan oleh Rion.Sebuah keperawanan, apakah bagi Rion sama halnya dengan mencicipi rasa sebuah masakan? Enteng sekali laki-laki itu berujar. Dia tidak mempertimbangkan Wulan, yang ternyata cukup peka dengan maksud meminta bukti yang Rion katakan. Mana mungkin juga, Wulan dengan mudah menyerahkan satu-satunya hal paling berharga dari dirinya pada laki-laki yang bahkan tidak ia kehendaki.Akan tetapi, kegelisahan Wulan segera lenyap, ketika Rion kembali memberikan jawaban atas pertanyaannya tersebut."Kamu jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Bukti yang saya maksud, bukan dengan saya tidur sama kamu. Kita akan melakukan tes virgin di Rumah Sakit. Tentu, dengan mengikuti prosedur yang ada," terang Rion.Plong…Lega sudah, begitu Wulan mendengar jawaban Rion. Ternyata semua tidak seburu
Memang sengaja Rion meninggalkan Wulan sendiri, agar gadis itu bisa bebas leluasa menuliskan keinginannya di kertas. Sambil membuatkan minuman dingin untuk Wulan, Rion pun mengirimkan pesan pada Kresna.Rion[Siapkan makan malam yang istimewa. Malam ini aku akan datang bersama calon menantu Papa]Kresna yang saat itu masih berada di kantor, seketika dibuat tertegun karena membaca isi pesan singkat dari Rion. Sedikit kaget, karena ternyata Rion sungguh akan memenuhi janjinya pada sang kakek. Tentu, hal ini akan menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang memang sudah lama menunggu Rion agar segera melepas masa lajang. Kresna lalu meneruskan pesan Rion itu kepada istrinya, agar disampaikan juga pada dua kakak laki-laki Rion.***"Apa? Rion mau nikah?"Seorang wanita tampak terkejut, setelah membaca sebuah pesan singkat di ponsel yang sedang ia pegang. Ia pun lantas mendekat
Setelah serangkaian metode yang Wulan lalui untuk tes virginitas, Rion tampak tersenyum lebar membaca hasil yang baru saja diberikan oleh Dokter. Tersirat juga rasa senang di wajah laki-laki itu, saat terbukti jika Wulan benar-benar masih perawan. Entahlah, kenapa Rion bisa sesenang itu. Barangkali karena ini pertama kalinya dia berhubungan dengan seorang gadis yang benar-benar belum pernah disentuh oleh satu pun lelaki.Sedangkan Wulan yang duduk di sebelah Rion, hanya bisa menyembunyikan wajah malunya. Ia malu sekali, karena harus melakukan serangkaian hal repot itu hanya untuk menjadi istri seorang Askarion.Mobil yang dikemudikan oleh Hendar itu terus melaju dalam kecepatan sedang. Selepas pergi dari Rumah Sakit, kini Rion akan segera membawa Wulan pulang ke istana Mahendra. Tapi sebelumnya, Rion akan mampir ke salon untuk menyulap penampilan Wulan. Tentu saja, agar gadis itu terlihat menawan di mata seluruh anggota keluarga yang akan mereka temui.
Pukul 19.30 malam.Hendar memarkirkan mobil di halaman luas rumah keluarga Mahendra. Akan tetapi di jok belakang, wajah Wulan masih saja masam--karena Rion yang sewaktu di salon tadi, memaksanya untuk mengganti gaun yang sudah ia pakai. Padahal, sebenarnya Wulan suka ketika melihat penampilannya dengan gaun hitam itu. Dan kini, sebagai ganti si gaun hitam, Wulan sudah berpadu apik dengan setelan celana jeans putih dan atasan blouse biru berlengan panjang yang ia kenakan. Sudah tentu, itu juga adalah pakaian yang Rion pilihkan."Tersenyum, Wulan. Kita sudah sampai. Kamu mau menunjukkan wajah masam seperti itu di depan orang tua saya?" celetuk Rion yang tengah tersenyum--menoleh pada Wulan.Gusar, Wulan mendengus pelan. Terlihat kentara gurat keterpaksaan di wajah gadis manis itu."Bapak mau saya tersenyum, tapi tidak membiarkan saya memakai apa yang ingin saya pakai. Egois!" sungut Wulan menatap Rion