"Hah? A-apa, Pak? Maksud Bapak membuktikan itu gimana?" cicit Wulan. Mendadak pikirannya digerayangi bayangan yang tidak-tidak, soal kata 'buktikan' yang diucapkan oleh Rion.
Sebuah keperawanan, apakah bagi Rion sama halnya dengan mencicipi rasa sebuah masakan? Enteng sekali laki-laki itu berujar. Dia tidak mempertimbangkan Wulan, yang ternyata cukup peka dengan maksud meminta bukti yang Rion katakan. Mana mungkin juga, Wulan dengan mudah menyerahkan satu-satunya hal paling berharga dari dirinya pada laki-laki yang bahkan tidak ia kehendaki.
Akan tetapi, kegelisahan Wulan segera lenyap, ketika Rion kembali memberikan jawaban atas pertanyaannya tersebut.
"Kamu jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Bukti yang saya maksud, bukan dengan saya tidur sama kamu. Kita akan melakukan tes virgin di Rumah Sakit. Tentu, dengan mengikuti prosedur yang ada," terang Rion.
Plong…
Lega sudah, begitu Wulan mendengar jawaban Rion. Ternyata semua tidak seburu
Memang sengaja Rion meninggalkan Wulan sendiri, agar gadis itu bisa bebas leluasa menuliskan keinginannya di kertas. Sambil membuatkan minuman dingin untuk Wulan, Rion pun mengirimkan pesan pada Kresna.Rion[Siapkan makan malam yang istimewa. Malam ini aku akan datang bersama calon menantu Papa]Kresna yang saat itu masih berada di kantor, seketika dibuat tertegun karena membaca isi pesan singkat dari Rion. Sedikit kaget, karena ternyata Rion sungguh akan memenuhi janjinya pada sang kakek. Tentu, hal ini akan menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang memang sudah lama menunggu Rion agar segera melepas masa lajang. Kresna lalu meneruskan pesan Rion itu kepada istrinya, agar disampaikan juga pada dua kakak laki-laki Rion.***"Apa? Rion mau nikah?"Seorang wanita tampak terkejut, setelah membaca sebuah pesan singkat di ponsel yang sedang ia pegang. Ia pun lantas mendekat
Setelah serangkaian metode yang Wulan lalui untuk tes virginitas, Rion tampak tersenyum lebar membaca hasil yang baru saja diberikan oleh Dokter. Tersirat juga rasa senang di wajah laki-laki itu, saat terbukti jika Wulan benar-benar masih perawan. Entahlah, kenapa Rion bisa sesenang itu. Barangkali karena ini pertama kalinya dia berhubungan dengan seorang gadis yang benar-benar belum pernah disentuh oleh satu pun lelaki.Sedangkan Wulan yang duduk di sebelah Rion, hanya bisa menyembunyikan wajah malunya. Ia malu sekali, karena harus melakukan serangkaian hal repot itu hanya untuk menjadi istri seorang Askarion.Mobil yang dikemudikan oleh Hendar itu terus melaju dalam kecepatan sedang. Selepas pergi dari Rumah Sakit, kini Rion akan segera membawa Wulan pulang ke istana Mahendra. Tapi sebelumnya, Rion akan mampir ke salon untuk menyulap penampilan Wulan. Tentu saja, agar gadis itu terlihat menawan di mata seluruh anggota keluarga yang akan mereka temui.
Pukul 19.30 malam.Hendar memarkirkan mobil di halaman luas rumah keluarga Mahendra. Akan tetapi di jok belakang, wajah Wulan masih saja masam--karena Rion yang sewaktu di salon tadi, memaksanya untuk mengganti gaun yang sudah ia pakai. Padahal, sebenarnya Wulan suka ketika melihat penampilannya dengan gaun hitam itu. Dan kini, sebagai ganti si gaun hitam, Wulan sudah berpadu apik dengan setelan celana jeans putih dan atasan blouse biru berlengan panjang yang ia kenakan. Sudah tentu, itu juga adalah pakaian yang Rion pilihkan."Tersenyum, Wulan. Kita sudah sampai. Kamu mau menunjukkan wajah masam seperti itu di depan orang tua saya?" celetuk Rion yang tengah tersenyum--menoleh pada Wulan.Gusar, Wulan mendengus pelan. Terlihat kentara gurat keterpaksaan di wajah gadis manis itu."Bapak mau saya tersenyum, tapi tidak membiarkan saya memakai apa yang ingin saya pakai. Egois!" sungut Wulan menatap Rion
Perjamuan makan malam dalam rangka menyambut calon menantu baru di keluarga Mahendra, berlangsung cukup hangat dan menyenangkan. Terutama Setyo Restu Mahendra--kakek Rion, yang sangat senang karena akhirnya si cucu bungsu akan segera menikah. Laki-laki yang usianya sudah terbilang sepuh itu, begitu bahagia menerima kehadiran Wulan di istananya.Tidak menampik, Wulan memang gadis manis dengan etika dan tata kramanya yang sangat baik. Keluarga Mahendra berasal dari keluarga ningrat Jawa, tentu sangat menjunjung tinggi norma-norma kesopanan dalam bertingkah laku. Tak heran, Wulan pun diterima dengan sangat baik oleh orang tua dan kakek Rion. Gadis itu terbilang memenuhi kriteria secara etika, untuk menjadi menantu keluarga Mahendra.Namun begitu, beda cerita lagi dengan kedua kakak ipar Rion. Verra dan Resya mungkin tersenyum di depan semua orang saat ini--untuk kedatangan Wulan. Tapi siapa yang tau, apa yang direncanakan oleh kedua wanit
Sementara itu, Rion telah sampai di dalam kamarnya. Di sana, ada Wulan yang sedang duduk di tepian tempat tidur--berkutat dengan ponsel.Brugh.Rion duduk menjejeri Wulan, sampai gadis itu pun menoleh kepadanya."Selamat Wulan, kamu berhasil merebut hati orang tua saya. Mereka sangat menyukai kamu," ujar Rion dengan seulas senyum.Mendengar itu, ada sedikit kelegaan yang Wulan rasakan. Sebenernya ia juga merasa diperlakukan dengan sangat baik oleh Nastiti, Kresna, dan Tyo. Meski semua anggota keluarga memang terlihat menerima Wulan, tapi ketiga orang itulah yang paling tampak jelas menyukai dirinya. Terutama Nastiti."Syukurlah, Pak. Saya lega," sahut Wulan ringkas.Grep.Rion meraih satu tangan Wulan, "Mulai sekarang, berhenti memanggil saya Bapak. Sekalipun kita sedang berdua seperti ini, biasakan memanggil saya dengan sebutan sayang. A
Berpikir sejenak, Wulan coba menelaah dengan baik maksud dari pernyataan Rion tentang pernikahan mereka. Sebab, bagi Wulan sendiri, pernikahan yang akan ia lakukan dengan Rion tidak ada bedanya dengan kawin kontrak yang belakangan marak terjadi. Tapi, hal itu sepertinya berlawanan dengan statement Rion."Kalau pernikahan ini benar-benar sebuah pernikahan, apa itu artinya aku juga harus hamil dan ngasih Bapak anak?" cicit Wulan. Pertanyaan itu terdengar begitu polos, dan membuat Rion digelitik oleh rasa gemas."Iya, Bi … aku udah bilang dari tadi, 'kan?" Rion mengusap lagi sisi kepala Wulan, "Opa bilang, dia ingin sekali gendong anak kita. Ya, walaupun sebenarnya aku juga belum kepikiran untuk jadi seorang Ayah, sih. Tapi … mau gimana lagi? Keadaan kadang tidak sejalan sama pikiran kita, Wulan. Pernikahan ini aku lakukan untuk keluarga. Jadi, ya … kamu emang harus melahirkan seorang penerus untuk keluarga ini," paparnya p
Grep.Rion memegangi kedua pergelangan tangan Wulan, menurunkannya perlahan."Rileks, Wulan," bisik Rion lagi, "kalau kamu terus bersikap kaku seperti ini, itu hanya membuat saya semakin tertantang. Atau, memang kamu memang berniat menantang saya?" imbuhnya mencetak senyum devil di wajah.Wush!Bereaksi cepat, Wulan menepiskan pegangan tangan Rion dari lengannya, lalu mendorong cukup kencang dada laki-laki itu. Kontan, Rion mundur beberapa jengkal dari posisinya, membuat jarak di antara mereka pun tercipta. Wulan merasa aman. Sesaat tadi, ia hampir saja menendang bagian bawah Rion--kalau saja ia tidak ingat sedang membutuhkan laki-laki itu."Bapak ini, ya, benar-benar udah enggak bisa diselametin lagi," sungut Wulan. Hanya bisa berprotes lewat kata-kata, saat Wulan tak bisa memberikan aksi atas ucapan Rion tadi."Apanya?" Rion menyahut, sembari bersidekap di depan dada."Pikiran Bapak!" Jawaban ketus dari Wulan, sebelum ia beralih pos
Wulan berdecak, "Ck! Bukan gitu, Pak. Tapi saya juga ada urusan lain. Kenapa malah dibawa ke apartemen Bapak lagi, sih? Kan baru setelah Bapak selesai kerja, kita akan pergi ke rumah Ayah saya," tutur Wulan. Sebenarnya dia ingin sekali lepas dari Rion hari ini, karena harus menemui Owen. Sejak pagi tadi, Owen terus memberondong ponsel Wulan dengan pesan-pesan singkatnya."Kayaknya kamu memang ingin sekali lepas dari pengawasan saya, ya?" tanya Rion, menatap Wulan curiga, "mau ke mana? Kalau mau pergi, nanti biar diantar sama Hendar, setelah dia antar saya ke kantor," lanjutnya.Di kursi kemudi, Hendar tampak tersenyum. Entah apa juga yang membuat laki-laki itu merasa lucu mendengarkan obrolan Rion dan Wulan.Terang saja Wulan pun gusar atas jawaban Rion. Belum sah menikah saja, Rion sudah menunjukkan sikapnya yang suka mengatur. Sebenarnya lebih ke mengekang."Ih, apaan sih, Pak? Saya itu belum jadi
"Kamu diam, saya anggap kamu setuju untuk tidak berkomunikasi lagi sama Owen. Satu hal yang harus kamu ingat, Wulan. Setelah kita menikah nanti, maka terputus sudah hubungan pertemanan kamu dengan lelaki mana pun. Termasuk Owen," tegas Rion. Suara beratnya mengisyaratkan sebuah keseriusan untuk kalimat yang baru saja ia ucapkan. Sekaligus menjadi peringatan tegas bagi pihak Wulan."Apa harus seperti itu, Pak?" cicit Wulan mengerutkan keningnya, "Owen itu satu-satunya teman yang saya punya," imbuhnya mencoba memberikan penjelasan pada Rion, tentang seperti apa hubungannya dengan Owen."Kamu tidak butuh Owen ataupun orang lain lagi, selama kamu memiliki saya." Sekelumit jawaban dari Rion yang terdengar begitu sombong di telinga Wulan.Tak menjawab lagi, Wulan hanya memilih untuk menjauh dari Rion. Percuma berdebat, karena hasilnya akan tetap sama--Wulan tak akan pernah unggul dari Rion.Setelah sedikit drama perdebatan yang nyaris membuat Rion marah,
Tak nyaman melihat ponselnya ada di tangan Rion, Wulan segera menghampiri laki-laki itu.Grep.Serupa kecepatan cahaya, Wulan merenggut ponselnya dari tangan Rion. Mata pun terlihat sengit menatap laki-laki di depannya. Kontras dengan Rion, yang nampak santai saja meski sudah kepergok melihat isi ponsel Wulan tanpa izin."Ini privasi saya loh, Pak. Kok Bapak gitu sih, main buka-buka HP orang tanpa izin?" ketus Wulan sembari mengecek apa saja bagian ponsel yang sudah Rion bajak.Rion mencebirkan bibir, "Hm, kamu sama Owen itu sebenarnya berteman apa pacaran? Sepeduli itu Owen sama kamu. Well … di dunia ini, enggak ada yang namanya sebatas teman antara laki-laki dan perempuan. Pasti, akan dan selalu ada salah satunya yang memiliki perasaan lebih dari teman," sahut Rion, langsung saja mengatakan isi pikirannya saat itu."Itu bukan urusan Bapak!" sungut Wulan menimpali pertany
Wulan berdecak, "Ck! Bukan gitu, Pak. Tapi saya juga ada urusan lain. Kenapa malah dibawa ke apartemen Bapak lagi, sih? Kan baru setelah Bapak selesai kerja, kita akan pergi ke rumah Ayah saya," tutur Wulan. Sebenarnya dia ingin sekali lepas dari Rion hari ini, karena harus menemui Owen. Sejak pagi tadi, Owen terus memberondong ponsel Wulan dengan pesan-pesan singkatnya."Kayaknya kamu memang ingin sekali lepas dari pengawasan saya, ya?" tanya Rion, menatap Wulan curiga, "mau ke mana? Kalau mau pergi, nanti biar diantar sama Hendar, setelah dia antar saya ke kantor," lanjutnya.Di kursi kemudi, Hendar tampak tersenyum. Entah apa juga yang membuat laki-laki itu merasa lucu mendengarkan obrolan Rion dan Wulan.Terang saja Wulan pun gusar atas jawaban Rion. Belum sah menikah saja, Rion sudah menunjukkan sikapnya yang suka mengatur. Sebenarnya lebih ke mengekang."Ih, apaan sih, Pak? Saya itu belum jadi
Grep.Rion memegangi kedua pergelangan tangan Wulan, menurunkannya perlahan."Rileks, Wulan," bisik Rion lagi, "kalau kamu terus bersikap kaku seperti ini, itu hanya membuat saya semakin tertantang. Atau, memang kamu memang berniat menantang saya?" imbuhnya mencetak senyum devil di wajah.Wush!Bereaksi cepat, Wulan menepiskan pegangan tangan Rion dari lengannya, lalu mendorong cukup kencang dada laki-laki itu. Kontan, Rion mundur beberapa jengkal dari posisinya, membuat jarak di antara mereka pun tercipta. Wulan merasa aman. Sesaat tadi, ia hampir saja menendang bagian bawah Rion--kalau saja ia tidak ingat sedang membutuhkan laki-laki itu."Bapak ini, ya, benar-benar udah enggak bisa diselametin lagi," sungut Wulan. Hanya bisa berprotes lewat kata-kata, saat Wulan tak bisa memberikan aksi atas ucapan Rion tadi."Apanya?" Rion menyahut, sembari bersidekap di depan dada."Pikiran Bapak!" Jawaban ketus dari Wulan, sebelum ia beralih pos
Berpikir sejenak, Wulan coba menelaah dengan baik maksud dari pernyataan Rion tentang pernikahan mereka. Sebab, bagi Wulan sendiri, pernikahan yang akan ia lakukan dengan Rion tidak ada bedanya dengan kawin kontrak yang belakangan marak terjadi. Tapi, hal itu sepertinya berlawanan dengan statement Rion."Kalau pernikahan ini benar-benar sebuah pernikahan, apa itu artinya aku juga harus hamil dan ngasih Bapak anak?" cicit Wulan. Pertanyaan itu terdengar begitu polos, dan membuat Rion digelitik oleh rasa gemas."Iya, Bi … aku udah bilang dari tadi, 'kan?" Rion mengusap lagi sisi kepala Wulan, "Opa bilang, dia ingin sekali gendong anak kita. Ya, walaupun sebenarnya aku juga belum kepikiran untuk jadi seorang Ayah, sih. Tapi … mau gimana lagi? Keadaan kadang tidak sejalan sama pikiran kita, Wulan. Pernikahan ini aku lakukan untuk keluarga. Jadi, ya … kamu emang harus melahirkan seorang penerus untuk keluarga ini," paparnya p
Sementara itu, Rion telah sampai di dalam kamarnya. Di sana, ada Wulan yang sedang duduk di tepian tempat tidur--berkutat dengan ponsel.Brugh.Rion duduk menjejeri Wulan, sampai gadis itu pun menoleh kepadanya."Selamat Wulan, kamu berhasil merebut hati orang tua saya. Mereka sangat menyukai kamu," ujar Rion dengan seulas senyum.Mendengar itu, ada sedikit kelegaan yang Wulan rasakan. Sebenernya ia juga merasa diperlakukan dengan sangat baik oleh Nastiti, Kresna, dan Tyo. Meski semua anggota keluarga memang terlihat menerima Wulan, tapi ketiga orang itulah yang paling tampak jelas menyukai dirinya. Terutama Nastiti."Syukurlah, Pak. Saya lega," sahut Wulan ringkas.Grep.Rion meraih satu tangan Wulan, "Mulai sekarang, berhenti memanggil saya Bapak. Sekalipun kita sedang berdua seperti ini, biasakan memanggil saya dengan sebutan sayang. A
Perjamuan makan malam dalam rangka menyambut calon menantu baru di keluarga Mahendra, berlangsung cukup hangat dan menyenangkan. Terutama Setyo Restu Mahendra--kakek Rion, yang sangat senang karena akhirnya si cucu bungsu akan segera menikah. Laki-laki yang usianya sudah terbilang sepuh itu, begitu bahagia menerima kehadiran Wulan di istananya.Tidak menampik, Wulan memang gadis manis dengan etika dan tata kramanya yang sangat baik. Keluarga Mahendra berasal dari keluarga ningrat Jawa, tentu sangat menjunjung tinggi norma-norma kesopanan dalam bertingkah laku. Tak heran, Wulan pun diterima dengan sangat baik oleh orang tua dan kakek Rion. Gadis itu terbilang memenuhi kriteria secara etika, untuk menjadi menantu keluarga Mahendra.Namun begitu, beda cerita lagi dengan kedua kakak ipar Rion. Verra dan Resya mungkin tersenyum di depan semua orang saat ini--untuk kedatangan Wulan. Tapi siapa yang tau, apa yang direncanakan oleh kedua wanit
Pukul 19.30 malam.Hendar memarkirkan mobil di halaman luas rumah keluarga Mahendra. Akan tetapi di jok belakang, wajah Wulan masih saja masam--karena Rion yang sewaktu di salon tadi, memaksanya untuk mengganti gaun yang sudah ia pakai. Padahal, sebenarnya Wulan suka ketika melihat penampilannya dengan gaun hitam itu. Dan kini, sebagai ganti si gaun hitam, Wulan sudah berpadu apik dengan setelan celana jeans putih dan atasan blouse biru berlengan panjang yang ia kenakan. Sudah tentu, itu juga adalah pakaian yang Rion pilihkan."Tersenyum, Wulan. Kita sudah sampai. Kamu mau menunjukkan wajah masam seperti itu di depan orang tua saya?" celetuk Rion yang tengah tersenyum--menoleh pada Wulan.Gusar, Wulan mendengus pelan. Terlihat kentara gurat keterpaksaan di wajah gadis manis itu."Bapak mau saya tersenyum, tapi tidak membiarkan saya memakai apa yang ingin saya pakai. Egois!" sungut Wulan menatap Rion
Setelah serangkaian metode yang Wulan lalui untuk tes virginitas, Rion tampak tersenyum lebar membaca hasil yang baru saja diberikan oleh Dokter. Tersirat juga rasa senang di wajah laki-laki itu, saat terbukti jika Wulan benar-benar masih perawan. Entahlah, kenapa Rion bisa sesenang itu. Barangkali karena ini pertama kalinya dia berhubungan dengan seorang gadis yang benar-benar belum pernah disentuh oleh satu pun lelaki.Sedangkan Wulan yang duduk di sebelah Rion, hanya bisa menyembunyikan wajah malunya. Ia malu sekali, karena harus melakukan serangkaian hal repot itu hanya untuk menjadi istri seorang Askarion.Mobil yang dikemudikan oleh Hendar itu terus melaju dalam kecepatan sedang. Selepas pergi dari Rumah Sakit, kini Rion akan segera membawa Wulan pulang ke istana Mahendra. Tapi sebelumnya, Rion akan mampir ke salon untuk menyulap penampilan Wulan. Tentu saja, agar gadis itu terlihat menawan di mata seluruh anggota keluarga yang akan mereka temui.