Terkesiap mendengar balasan Hendar, Wulan tak sadar sudah membuat kedua netranya tampak semakin membulat.
Datang pada Rion, berarti sama dengan menyerahkan diri pada laki-laki haus belaian itu. Wulan membatin dalam kebingungan. Sambil berpikir, terus saja Wulan menikmati makanannya.
Dari ekspresi Wulan, Hendar sangat yakin, kali ini pun ia akan berhasil membuat gadis itu semakin kehilangan pilihan. Tidak disadari oleh Wulan, sebenarnya Hendar tersenyum--merasa bahwa mendapatkan Wulan tidak sesulit yang ia pikirkan.
"Pak Hendar?" lirih Wulan melirik Hendar, "menikah sama Pak Rion, apa itu artinya aku harus memberikan dia anak? Maksud aku, kayak di kawin kontrak yang di drama-drama Korea gitu, loh," lanjutnya polos.
Tersenyumlah Hendar, mendengar kalimat dari Wulan tersebut. Terlepas dari karakter Wulan yang keras kepala dan sulit dijinakkan, ternyata dia tetaplah seorang gadis yang polos.
"Kalau soal itu saya kurang tau, Mbak Wulan. Kenapa tidak tanyakan langsung saja sama Mas Rion? Daripada penasaran, 'kan?" Pintar sekali cara Hendar menggiring Wulan agar masuk ke perangkap. Ia juga tau betul, begitu Wulan datang pada Rion--maka tak akan ada lagi jalan bagi gadis itu melepaskan diri.
Sejenak Wulan terdiam, sembari meminum segelas es lemon tea miliknya. Perut yang sudah terisi penuh, nampaknya membuat otak Wulan kembali bisa berpikir dengan jernih. Mengingat kondisi dirinya saat ini, bisikan setan itu seolah semakin kencang. Dia butuh uang, bukan hanya untuk melunasi tunggakan uang kos--tapi juga untuk membiayai sang ayah yang sakit keras di desa. Apa mungkin, bahwa Rion adalah jalan keluar untuk kesulitannya saat ini? Wulan berpikir keras.
Tak.
Wulan meletakkan gelas minumnya yang telah kosong kembali ke atas meja, membuat Hendar yang sedang berkutat dengan ponsel menoleh lagi pada gadis itu. Mata mereka pun bertemu.
"Ya udah, Pak Hendar … aku mau ketemu sama Pak Rion lagi," cetus Wulan terdengar begitu yakin.
Tentu, Hendar pun senang mendengarnya. Seulas senyuman lagi-lagi mampir di bibir Hendar. Akan tetapi, sebelum ia menjawab kalimat Wulan--gadis itu sudah lebih dulu menyela.
"Tapi, ini bukan berarti aku langsung mau nikah sama Pak Rion, ya. Aku … aku mau perundingan ulang." Begitu yang selanjutnya keluar dari mulut Wulan. Rupanya, tetap masih ada keraguan pada diri gadis itu untuk mengiyakan ajakan menikah dari seorang Askarion.
Terserah, Hendar tak mengambil pusing hal tersebut. Yang terpenting, dia berhasil membujuk Wulan agar mau datang pada Rion. Maka setelah ini, semua akan diambil oleh Rion sepenuhnya.
"Hmm, baiklah Mbak Wulan. Setelah ini, akan saya antar Mbak Wulan ke kantor Mas Rion," sahut Hendar kemudian.
***
Ruangan kerja Rion hari ini terkesan lebih tenang dari biasanya. Sebab, sedang tak ada satu pun 'barbie' mainan Rion yang datang berkunjung. Apa lagi alasannya, jika bukan karena kedatangan Kresna Dinatri Mahendra--ayahanda Rion. Beliau memang acap kali datang menyambangi Rion di kantor, sekedar memastikan jika putra ketiganya tersebut benar-benar bekerja--bukan hanya bermain dengan gadis-gadis bayarannya. Kresna pun sudah mengetahui siapa Rion luar dan dalam. Laki-laki itu memang terlalu sulit untuk dikendalikan. Lebih tepatnya, memang tak mau dikendalikan.
"Tumben sekali kamu tidak ditemani oleh gadis-gadis mata duitan itu?" celetuk Kresna. Dirinya kini sedang duduk bersilang kaki di sofa--tempat biasa Rion menerima tamu, atau klien bisnisnya yang datang.
Rion yang sok sibuk dengan laptopnya di meja kerja, tampak melirik ayahnya sinis. Gusar, karena Kresna yang selalu komplain dengan kesenangan Rion. Ya, kesenangan bermain-main dengan wanita yang gila rupiah.
"Papa tidak lihat, aku sibuk?" ketus Rion menimpali pertanyaan sang ayah.
Di tempatnya duduk, Kresna tersenyum smirk--mencibir kata sibuk yang baru saja Rion ucapkan. Jangan dikira selama ini Kresna tidak tau, sepak terjang Rion selama di luar kantor dan pekerjaan. Bahkan, Kresna pun kerap mendapat pengaduan dari orang-orangnya--bahwa Rion juga tidak segan membawa wanita bayarannya ke kantor. Sesuatu yang benar-benar tidak disukai oleh Kresna. Ini jelas menyalahi nama baik keluarga Mahendra, yang seharusnya Rion junjung tinggi.
Kresna lantas bangkit berdiri, melangkah mendekat ke meja kerja Rion.
"Waktu kamu tinggal seminggu lagi, Rion. Jangan pura-pura lupa sama janji yang sudah kamu berikan pada Opa kamu," ujar Kresna--masih dalam posisinya berdiri di depan meja Rion. Ekspresi wajah laki-laki berkumis itu, terlihat sangat serius. Pantas, jika Rion pun jadi sedikit tertekan karena kalimat dari ayahnya tersebut. Lagi-lagi soal itu yang dibahas.
Rion sedikit menengadahkan wajah, menatap sang ayah, "Tidak usah cemas begitu. Besok malam, akan aku bawa calon istriku ke rumah. Pantang bagi seorang laki-laki mengingkari janjinya sendiri," jawabnya, sembari menutup laptop.
Sedikit senyuman tampak menghampiri bibir Kresna--kala ia mendapat jawaban yang sesuai dengan harapan.
"Baguslah. Setidaknya kamu tetap janji, meskipun ya … tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Papa tunggu besok malam, Yon," pungkas Kresna menutup perbincangannya dengan Rion. Ia rasa, jawaban Rion sudah sangat cukup untuk membuatnya tenang saat meninggalkan kantor anak laki-lakinya itu.
Rion hanya bisa memijit pangkal hidungnya sendiri, menyaksikan Kresna yang mulai melenggang pergi dari ruang kerjanya. Desakan untuk segera melepas masa lajang, sungguh memberikan sebuah beban tersendiri bagi seorang Rion. Laki-laki itu adalah si bebas, yang tak ingin hidupnya terikat dengan seorang wanita. Tapi, dia juga tak bisa berkilah--ketika statusnya di dalam silsilah keluarga Mahendra dipertaruhkan.
Rion harus menemukan pasangan hidupnya, atau dirinya tak akan mendapatkan sepeser pun warisan dari keluarga Mahendra.
"Astaga." Rion mengeluh, seraya menyambar ponselnya yang ada di atas meja, "di mana Hendar? Kenapa dia belum juga datang membawa Wulan?" gumamnya--resah menanti kedatangan gadis yang ia yakini bisa ia perbudak demi warisan keluarga.
Tok… Tok… Tok…Ketukan dari luar pintu ruangan, menarik perhatian Rion. Di antara gelisah dan gusar yang ia rasa, ia akhirnya didatangi oleh seseorang yang memang sudah ia tunggu sejak tadi.Begitu pintu terbuka, masuklah sosok Hendar ke dalam ruang kerja Rion. Senyum yang mengembang di wajah Hendar saat ini, segera membuat Rion beranjak dari tempatnya duduk."Lama sekali kamu, Hendar?" keluh Rion, setelah Hendar sampai di depan meja kerjanya. Tersirat sebuah kekhawatiran yang jelas sekali di dalam ekspresi wajah Rion. Semua karena desakan yang Kresna berikan pada laki-laki itu. Dan Hendar, merupakan tumpuan harapan Rion--agar bisa menyelamatkan diri dari ancaman yang selama ini terus menekannya. Rion sungguh berharap, Hendar kembali dengan membawa kabar baik."Maaf, Mas Rion … saya dan Mbak Wulan baru saja selesai makan siang," sahut Hendar, menjelaskan alasan keterlambat
Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu."Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu.Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan t
Waktu menghentikan detiknya, tatkala mata Rion dan Wulan bertemu. Begitu yang terjadi hingga beberapa saat lamanya, sebelum kemudian Wulan merasakan sebuah getaran. Sayang sekali, sebab itu bukanlah getaran asmara yang menyentuh relung hatinya, melainkan ponsel di dalam saku celana yang bergetar karena mendapatkan sebuah telepon masuk."Bunyi apa itu?" lirih Rion bertanya, sambil menatap ke sekitar tubuh gadis yang masih ia kungkung.Wushhh…Dengan dorongan pelan kedua tangan Wulan di dada Rion, akhirnya gadis itu pun berhasil membebasan diri dari ancaman yang tadi nyaris membuatnya mati kutu."Bapak enggak punya HP, apa? Enggak pernah denger getaran HP kalau ada telfon masuk?" jawab Wulan, yang sedang mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Rion pun hanya tersenyum kecil, karena jawaban ketus dari Wulan yang terdengar menggemaskan.Gawat. Sejak kapan juga Rion merasa tertarik dengan gadis muda seperti Wulan? Laki-laki itu membatin, m
Cukup lama Rion bertahan dalam diam--mengamati Wulan yang masih sibuk dengan obrolannya di telepon. Tak dipungkiri, rasa penasaran Rion akan isi perbincangan Wulan dengan lawan bicaranya di telepon pun semakin bertambah.Laki-laki itu beranjak bangkit dari tempatnya duduk, menghampiri Wulan yang kini tengah berdiri membelakangi dirinya.Grep.Sama sekali tak memberi pertanda apapun, Rion langsung saja merenggut ponsel milik Wulan yang masih menempel di telinga gadis itu. Wajar saja, Wulan pun terkejut atas aksi serta-merta Rion tersebut."Apa-apaan sih, Pak?" protes Wulan, seraya berbalik badan--menghadap ke arah Rion yang sudah ada di hadapannya sekarang. Jelas sekali terlihat wajah Wulan yang tak suka, sebab ulah Rion.Rion melihat ke layar ponsel milik Wulan. Menyadari bahwa telepon dengan kontak bernama Bibi Zoya masih terhubung, langsung saja Rion mengusap tombol merah--memu
Tak sampai lama menunggu, kedatangan mobil jeep yang dikemudikan oleh Hendar, segera memboyong Rion beserta Wulan meninggalkan gedung kantor. Tak banyak juga yang bisa Wulan lakukan lagi, selain ikut saja dengan cara main sang cassanova--Rion.Selama perjalanan menuju apartemen Rion, perkataan terakhir Zoya di telepon tadi terus saja terngiang di telinga Wulan. Hanya ada satu bulan waktu yang Wulan miliki, untuk mengembalikan uang yang telah Zoya pinjam dari Juragan Juna. Belum lagi, tunggakan uang kos Wulan yang belum dibayar. Semakin menjadi paket komplit, karena kini pun ayah Wulan juga sedang dirawat di Rumah Sakit. Rasa-rasanya, kepala Wulan seperti akan meledak memikirkan semua persoalan itu. Persoalan yang hanya akan selesai dengan uang.***Mobil pun akhirnya sampai di basement, mengajak Rion dan Wulan untuk segera turun."Saya bisa jalan sendiri," ujar Wulan, menghindari satu tangan Rion--ya
"Hah? A-apa, Pak? Maksud Bapak membuktikan itu gimana?" cicit Wulan. Mendadak pikirannya digerayangi bayangan yang tidak-tidak, soal kata 'buktikan' yang diucapkan oleh Rion.Sebuah keperawanan, apakah bagi Rion sama halnya dengan mencicipi rasa sebuah masakan? Enteng sekali laki-laki itu berujar. Dia tidak mempertimbangkan Wulan, yang ternyata cukup peka dengan maksud meminta bukti yang Rion katakan. Mana mungkin juga, Wulan dengan mudah menyerahkan satu-satunya hal paling berharga dari dirinya pada laki-laki yang bahkan tidak ia kehendaki.Akan tetapi, kegelisahan Wulan segera lenyap, ketika Rion kembali memberikan jawaban atas pertanyaannya tersebut."Kamu jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Bukti yang saya maksud, bukan dengan saya tidur sama kamu. Kita akan melakukan tes virgin di Rumah Sakit. Tentu, dengan mengikuti prosedur yang ada," terang Rion.Plong…Lega sudah, begitu Wulan mendengar jawaban Rion. Ternyata semua tidak seburu
Memang sengaja Rion meninggalkan Wulan sendiri, agar gadis itu bisa bebas leluasa menuliskan keinginannya di kertas. Sambil membuatkan minuman dingin untuk Wulan, Rion pun mengirimkan pesan pada Kresna.Rion[Siapkan makan malam yang istimewa. Malam ini aku akan datang bersama calon menantu Papa]Kresna yang saat itu masih berada di kantor, seketika dibuat tertegun karena membaca isi pesan singkat dari Rion. Sedikit kaget, karena ternyata Rion sungguh akan memenuhi janjinya pada sang kakek. Tentu, hal ini akan menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang memang sudah lama menunggu Rion agar segera melepas masa lajang. Kresna lalu meneruskan pesan Rion itu kepada istrinya, agar disampaikan juga pada dua kakak laki-laki Rion.***"Apa? Rion mau nikah?"Seorang wanita tampak terkejut, setelah membaca sebuah pesan singkat di ponsel yang sedang ia pegang. Ia pun lantas mendekat
Setelah serangkaian metode yang Wulan lalui untuk tes virginitas, Rion tampak tersenyum lebar membaca hasil yang baru saja diberikan oleh Dokter. Tersirat juga rasa senang di wajah laki-laki itu, saat terbukti jika Wulan benar-benar masih perawan. Entahlah, kenapa Rion bisa sesenang itu. Barangkali karena ini pertama kalinya dia berhubungan dengan seorang gadis yang benar-benar belum pernah disentuh oleh satu pun lelaki.Sedangkan Wulan yang duduk di sebelah Rion, hanya bisa menyembunyikan wajah malunya. Ia malu sekali, karena harus melakukan serangkaian hal repot itu hanya untuk menjadi istri seorang Askarion.Mobil yang dikemudikan oleh Hendar itu terus melaju dalam kecepatan sedang. Selepas pergi dari Rumah Sakit, kini Rion akan segera membawa Wulan pulang ke istana Mahendra. Tapi sebelumnya, Rion akan mampir ke salon untuk menyulap penampilan Wulan. Tentu saja, agar gadis itu terlihat menawan di mata seluruh anggota keluarga yang akan mereka temui.