Wulan yang masih berjongkok di atas tanah, perlahan menaikkan pandangannya. Dari sendal selop pink, ke daster warna senada dengan si sandal, kemudian akhirnya sampai di wajah bu Selly.
Wanita berumur sekitar empat puluhan itu berkacak pinggang, dengan mimik wajah begitu terlihat tak ramah di mata Wulan. Sudah tentu akan begitu. Orang mana yang tak akan kesal, jika yang ditagih kewajibannya malah berniat ingin kabur.
"Bangun, Wulan," imbuh bu Selly lagi, menyuruh Wulan agar berdiri.
Meringis kuda, gadis itu pun menuruti apa yang bu Selly katakan.
"Heee, iya, Bu," cicit Wulan sudah dalam mode pasrah, setelah kepergok langsung oleh bu Selly hendak melarikan diri dari wanita berdaster itu.
Bu Selly menggeleng pelan atas kelakuan Wulan. Ini bukan kali pertama Wulan melakukan hal seperti itu. Setiap telat bayar uang kos, Wulan memang tiba-tiba jadi seperti ninja. Main lompat-lompatan, panjat pagar, kabur-kaburan, hanya demi menghindari omelan bu Selly.
"Mau kabur lagi, kamu?" desak bu Selly, sudah dengan dua lengan yang ia lipat ke depan dada. Mata belo itu sudah menyipit sinis menatap Wulan.
"Maaf, Bu. Tapi saya bener-bener lagi enggak ada uang hari ini. Saya juga baru keluar dari pekerjaan. Boleh, ya, kalau tunggakan bulan kemarin jangan ditagih dulu," pinta Wulan pasang ekspresi memelas.
Tapi itu benar-benar hal yang tidak akan bisa membujuk bu Selly.
"Enggak ada, Wulan. Pokoknya kalau sampai malam nanti kamu belum melunasi tunggakan kamu, mendingan kamu pergi aja dari sini. Cari tempat kos lain!" ketus bu Selly terdengar begitu serius dengan ancamannya.
"Hah, tapi, Bu." Wulan coba meminta kesempatan berbicara lagi, tapi ucapannya sudah segera dipotong oleh bu Selly.
"Enggak ada tapi-tapian. Ibu tunggu sampai nanti malam. Kalau kamu enggak bisa bayar, langsung aja kamu kemasi pakaian kamu. Ngerti?" Bu Selly mendelikkan matanya pada Wulan.
Rampung memberikan ultimatum untuk Wulan, bu Selly pun pergi. Meninggalkan Wulan dalam kebingungan yang semakin menjadi. Ke mana Wulan harus mencari uang dalam waktu semalam, agar bisa membayar tunggakan uang kos? Lagipula, kenapa bu Selly jadi sesadis itu hari ini.
Walaupun memang benar bu Selly selalu sadis setiap menagih uang kos dari para penyewa, tapi baru kali ini dia langsung mengancam akan mengusir Wulan jika sampai tidak segera melunasi tunggakannya. Ini keterlaluan.
Sekali lagi rencana Hendar juga berjalan lancar. Ya, termasuk dengan ancaman bu Selly, itu juga ulah Hendar. Setelah berhasil mengumpulkan informasi tentang seperti apa kehidupan seorang Wulandari, Hendar segera melancarkan aksinya menyuap bu Selly untuk menekan Wulan. Dengan begitu, Hendar yakin Wulan tidak punya pilihan lagi selain datang pada Rion.
"Terima kasih untuk kerja samanya, Bu," ucap Hendar, meletakkan amplop cokelat berisi uang ke atas meja. Supir Rion itu kini sudah duduk bersama bu Selly di ruang tamu, rumah dari pemilik tempat kos yang ditinggali oleh Wulan.
Tampak sumringah wajah bu Selly, ketika mendapatkan amplop uang itu dari Hendar. Uang memang selalu bisa membeli semua yang Rion inginkan.
"Ah, iya, Pak. Sama-sama. Tapi tolong, kalau bisa jangan sakiti Wulan. Kasihan, dia hidupnya susah," cicit bu Selly yang baru saja meraih amplop dari atas meja.
Senyuman terbit di kedua sudut bibir Hendar, "Menyakiti? Justru kami akan membuat hidup Wulan jadi lebih baik dari sekarang. Tapi ngomong-ngomong, apa Wulan punya saudara atau keluarga di sini?" timpalnya, sekaligus mengorek lebih dalam lagi informasi tentang Wulan. Sebagai orang yang cukup mengenal Wulan, Hendar yakin jika bu Selly pasti mengetahui kehidupan pribadi Wulan.
"Setau saya sih enggak ada, Pak. Wulan sebatang kara di kota ini. Kalau enggak salah ingat, Wulan pernah cerita bahwa ayah dan bibinya tinggal di desa," tutur bu Selly menceritakan apa yang dia tau dari diri seorang Wulan.
Baguslah. Hendar pun menganggukkan kepala, cukup puas dengan jawaban bu Selly. Jika sudah begini, tujuan Hendar selanjutnya adalah ayah dan bibi Wulan yang berada jauh di kampung halaman Wulan. Ini semakin mudah saja.
***
Lantang-lantung Wulan di pinggir jalan, dengan tas ransel yang dibawanya. Mau datang pada siapa juga, nyatanya Wulan hanya memiliki Owen sebagai sahabatnya. Dan sampai saat ini, laki-laki itu belum menghubungi Wulan lagi.
Tin.
Suara klakson mobil yang berhenti tepat di samping Wulan, membuat gadis itu menghentikan langkah. Kepalanya menoleh ke arah sebuah mobil jeep hitam yang baru saja membunyikan klakson untuknya. Tampak alis Wulan berkerut, penasaran dengan siapa pemilik mobil tersebut.
"Hallo, Mbak Wulan, kita ketemu lagi."
Sapaan itu datang dari Hendar, yang baru saja turun dari mobil jeep itu. Senyumnya ramah, seiring dirinya yang berjalan mendekat ke tempat Wulan berdiri di trotoar jalan.
"Loh, ini … supirnya Pak Rion, 'kan?" sahut Wulan mengacungkan jari telunjuknnya ke arah Hendar. Hanya sebentar, karena segera diturunkan oleh Hendar sendiri.
"Iya, benar. Mbak Wulan ngapain di sini? Beneran udah enggak kerja di hotel lagi?" Basa-basi Hendar saja. Padahal sebenarnya, dialah dalang di balik lantang-lantungnya Wulan saat ini.
Wulan menggeleng, "Enggak, Pak," lirih Wulan menjawab.
Kruyuk… Kruyuk…
Benar-benar membuat malu. Di saat begini, kenapa malah perut Wulan berbunyi. Saking laparnya, sampai suara perut kosong itu terdengar oleh Hendar.
Meringis, Wulan memeluk sendiri perutnya dengan dua tangan. Sedangkan Hendar mengulum senyumnya. Lucu, jika melihat ekspresi Wulan saat ini. Hendar pun tau, jika saat itu Wulan dalam keadaan lapar. Itulah sebabnya, diam-diam Hendar membuntuti Wulan, begitu ia melihat gadis itu keluar dari rumah kos ibu Selly.
Selain karena tak tega jika Wulan kelaparan, Hendar juga harus memastikan tidak ada satu pun orang yang akan membantu Wulan keluar dari kesulitannya saat ini. Sesuai perintah dari Rion--bossnya.
"Masuklah ke mobil, Mbak. Saya juga belum makan," ajak Hendar semakin ramah.
Kata-kata masuk ke mobil, mendadak saja jadi mengingatkan Wulan atas kejadian di hotel hari itu. Ketika Rion memaksa dirinya untuk ikut pergi ke apartemen. Apa mungkin akan terjadi lagi?
Mendapati wajah Wulan tampak panik, Hendar terkekeh, "Hehehe, tenang saja, Mbak. Tidak ada Mas Rion di dalam mobil itu. Dia saat ini sudah sibuk dengan pekerjaannya di kantor," sambung Hendar mengusir pikiran-pikiran negatif Wulan.
Fiyuhhh….
Langsung saja, Wulan mengembuskan napas lega.
"Ayo, Mbak … saya lagi free, kita cari tempat makan di dekat-dekat sini aja." Sekali lagi Hendar mengajak Wulan.
Sebab terdesak keadaan perut, akhirnya Wulan pun menerima ajakan Hendar. Soal perut harus di-nomer satukan, soal yang lain bisa dipikirkan nanti. Begitu pikiran dangkal Wulan sekarang. Dia bahkan lupa jika malam ini juga dia harus menyediakan uang tunggakan sewa kos untuk bu Selly. Jika tidak, say bye-bye dengan kasur empuk, dan bersiap menjadi penghuni kolong jembatan.
***
Di ruang kerjanya, Rion tak bisa menahan senyum, tatkala menerima laporan Hendar berupa pesan singkat yang dikirimkan padanya.
Hendar
[Semuanya berjalan sesuai rencana, Mas. Dan sekarang saya sedang makan siang bersama Wulan]Tak.
Ponsel itu kini sudah Rion letakkan ke atas meja. Selangkah lagi untuk bisa berhasil menjerat Wulan. Dan masalahnya akan segera beres.
Kembali pada Hendar dan Wulan yang sedang makan di sebuah restauran makanan cepat saji, dengan cepatnya Hendar sudah bisa merebut hati Wulan. Tak sungkan, gadis itu juga menceritakan tentang desakan bu Selly tadi padanya.
"Mas Rion bisa membantu membereskan masalah kamu. Datang saja padanya," timpal Hendar, setelah Wulan selesai berkeluh-kesah.
Terkesiap mendengar balasan Hendar, Wulan tak sadar sudah membuat kedua netranya tampak semakin membulat.Datang pada Rion, berarti sama dengan menyerahkan diri pada laki-laki haus belaian itu. Wulan membatin dalam kebingungan. Sambil berpikir, terus saja Wulan menikmati makanannya.Dari ekspresi Wulan, Hendar sangat yakin, kali ini pun ia akan berhasil membuat gadis itu semakin kehilangan pilihan. Tidak disadari oleh Wulan, sebenarnya Hendar tersenyum--merasa bahwa mendapatkan Wulan tidak sesulit yang ia pikirkan."Pak Hendar?" lirih Wulan melirik Hendar, "menikah sama Pak Rion, apa itu artinya aku harus memberikan dia anak? Maksud aku, kayak di kawin kontrak yang di drama-drama Korea gitu, loh," lanjutnya polos.Tersenyumlah Hendar, mendengar kalimat dari Wulan tersebut. Terlepas dari karakter Wulan yang keras kepala dan sulit dijinakkan, ternyata dia tetaplah seorang gadis yang polos. 
Tok… Tok… Tok…Ketukan dari luar pintu ruangan, menarik perhatian Rion. Di antara gelisah dan gusar yang ia rasa, ia akhirnya didatangi oleh seseorang yang memang sudah ia tunggu sejak tadi.Begitu pintu terbuka, masuklah sosok Hendar ke dalam ruang kerja Rion. Senyum yang mengembang di wajah Hendar saat ini, segera membuat Rion beranjak dari tempatnya duduk."Lama sekali kamu, Hendar?" keluh Rion, setelah Hendar sampai di depan meja kerjanya. Tersirat sebuah kekhawatiran yang jelas sekali di dalam ekspresi wajah Rion. Semua karena desakan yang Kresna berikan pada laki-laki itu. Dan Hendar, merupakan tumpuan harapan Rion--agar bisa menyelamatkan diri dari ancaman yang selama ini terus menekannya. Rion sungguh berharap, Hendar kembali dengan membawa kabar baik."Maaf, Mas Rion … saya dan Mbak Wulan baru saja selesai makan siang," sahut Hendar, menjelaskan alasan keterlambat
Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu."Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu.Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan t
Waktu menghentikan detiknya, tatkala mata Rion dan Wulan bertemu. Begitu yang terjadi hingga beberapa saat lamanya, sebelum kemudian Wulan merasakan sebuah getaran. Sayang sekali, sebab itu bukanlah getaran asmara yang menyentuh relung hatinya, melainkan ponsel di dalam saku celana yang bergetar karena mendapatkan sebuah telepon masuk."Bunyi apa itu?" lirih Rion bertanya, sambil menatap ke sekitar tubuh gadis yang masih ia kungkung.Wushhh…Dengan dorongan pelan kedua tangan Wulan di dada Rion, akhirnya gadis itu pun berhasil membebasan diri dari ancaman yang tadi nyaris membuatnya mati kutu."Bapak enggak punya HP, apa? Enggak pernah denger getaran HP kalau ada telfon masuk?" jawab Wulan, yang sedang mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Rion pun hanya tersenyum kecil, karena jawaban ketus dari Wulan yang terdengar menggemaskan.Gawat. Sejak kapan juga Rion merasa tertarik dengan gadis muda seperti Wulan? Laki-laki itu membatin, m
Cukup lama Rion bertahan dalam diam--mengamati Wulan yang masih sibuk dengan obrolannya di telepon. Tak dipungkiri, rasa penasaran Rion akan isi perbincangan Wulan dengan lawan bicaranya di telepon pun semakin bertambah.Laki-laki itu beranjak bangkit dari tempatnya duduk, menghampiri Wulan yang kini tengah berdiri membelakangi dirinya.Grep.Sama sekali tak memberi pertanda apapun, Rion langsung saja merenggut ponsel milik Wulan yang masih menempel di telinga gadis itu. Wajar saja, Wulan pun terkejut atas aksi serta-merta Rion tersebut."Apa-apaan sih, Pak?" protes Wulan, seraya berbalik badan--menghadap ke arah Rion yang sudah ada di hadapannya sekarang. Jelas sekali terlihat wajah Wulan yang tak suka, sebab ulah Rion.Rion melihat ke layar ponsel milik Wulan. Menyadari bahwa telepon dengan kontak bernama Bibi Zoya masih terhubung, langsung saja Rion mengusap tombol merah--memu
Tak sampai lama menunggu, kedatangan mobil jeep yang dikemudikan oleh Hendar, segera memboyong Rion beserta Wulan meninggalkan gedung kantor. Tak banyak juga yang bisa Wulan lakukan lagi, selain ikut saja dengan cara main sang cassanova--Rion.Selama perjalanan menuju apartemen Rion, perkataan terakhir Zoya di telepon tadi terus saja terngiang di telinga Wulan. Hanya ada satu bulan waktu yang Wulan miliki, untuk mengembalikan uang yang telah Zoya pinjam dari Juragan Juna. Belum lagi, tunggakan uang kos Wulan yang belum dibayar. Semakin menjadi paket komplit, karena kini pun ayah Wulan juga sedang dirawat di Rumah Sakit. Rasa-rasanya, kepala Wulan seperti akan meledak memikirkan semua persoalan itu. Persoalan yang hanya akan selesai dengan uang.***Mobil pun akhirnya sampai di basement, mengajak Rion dan Wulan untuk segera turun."Saya bisa jalan sendiri," ujar Wulan, menghindari satu tangan Rion--ya
"Hah? A-apa, Pak? Maksud Bapak membuktikan itu gimana?" cicit Wulan. Mendadak pikirannya digerayangi bayangan yang tidak-tidak, soal kata 'buktikan' yang diucapkan oleh Rion.Sebuah keperawanan, apakah bagi Rion sama halnya dengan mencicipi rasa sebuah masakan? Enteng sekali laki-laki itu berujar. Dia tidak mempertimbangkan Wulan, yang ternyata cukup peka dengan maksud meminta bukti yang Rion katakan. Mana mungkin juga, Wulan dengan mudah menyerahkan satu-satunya hal paling berharga dari dirinya pada laki-laki yang bahkan tidak ia kehendaki.Akan tetapi, kegelisahan Wulan segera lenyap, ketika Rion kembali memberikan jawaban atas pertanyaannya tersebut."Kamu jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Bukti yang saya maksud, bukan dengan saya tidur sama kamu. Kita akan melakukan tes virgin di Rumah Sakit. Tentu, dengan mengikuti prosedur yang ada," terang Rion.Plong…Lega sudah, begitu Wulan mendengar jawaban Rion. Ternyata semua tidak seburu
Memang sengaja Rion meninggalkan Wulan sendiri, agar gadis itu bisa bebas leluasa menuliskan keinginannya di kertas. Sambil membuatkan minuman dingin untuk Wulan, Rion pun mengirimkan pesan pada Kresna.Rion[Siapkan makan malam yang istimewa. Malam ini aku akan datang bersama calon menantu Papa]Kresna yang saat itu masih berada di kantor, seketika dibuat tertegun karena membaca isi pesan singkat dari Rion. Sedikit kaget, karena ternyata Rion sungguh akan memenuhi janjinya pada sang kakek. Tentu, hal ini akan menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang memang sudah lama menunggu Rion agar segera melepas masa lajang. Kresna lalu meneruskan pesan Rion itu kepada istrinya, agar disampaikan juga pada dua kakak laki-laki Rion.***"Apa? Rion mau nikah?"Seorang wanita tampak terkejut, setelah membaca sebuah pesan singkat di ponsel yang sedang ia pegang. Ia pun lantas mendekat
"Kamu diam, saya anggap kamu setuju untuk tidak berkomunikasi lagi sama Owen. Satu hal yang harus kamu ingat, Wulan. Setelah kita menikah nanti, maka terputus sudah hubungan pertemanan kamu dengan lelaki mana pun. Termasuk Owen," tegas Rion. Suara beratnya mengisyaratkan sebuah keseriusan untuk kalimat yang baru saja ia ucapkan. Sekaligus menjadi peringatan tegas bagi pihak Wulan."Apa harus seperti itu, Pak?" cicit Wulan mengerutkan keningnya, "Owen itu satu-satunya teman yang saya punya," imbuhnya mencoba memberikan penjelasan pada Rion, tentang seperti apa hubungannya dengan Owen."Kamu tidak butuh Owen ataupun orang lain lagi, selama kamu memiliki saya." Sekelumit jawaban dari Rion yang terdengar begitu sombong di telinga Wulan.Tak menjawab lagi, Wulan hanya memilih untuk menjauh dari Rion. Percuma berdebat, karena hasilnya akan tetap sama--Wulan tak akan pernah unggul dari Rion.Setelah sedikit drama perdebatan yang nyaris membuat Rion marah,
Tak nyaman melihat ponselnya ada di tangan Rion, Wulan segera menghampiri laki-laki itu.Grep.Serupa kecepatan cahaya, Wulan merenggut ponselnya dari tangan Rion. Mata pun terlihat sengit menatap laki-laki di depannya. Kontras dengan Rion, yang nampak santai saja meski sudah kepergok melihat isi ponsel Wulan tanpa izin."Ini privasi saya loh, Pak. Kok Bapak gitu sih, main buka-buka HP orang tanpa izin?" ketus Wulan sembari mengecek apa saja bagian ponsel yang sudah Rion bajak.Rion mencebirkan bibir, "Hm, kamu sama Owen itu sebenarnya berteman apa pacaran? Sepeduli itu Owen sama kamu. Well … di dunia ini, enggak ada yang namanya sebatas teman antara laki-laki dan perempuan. Pasti, akan dan selalu ada salah satunya yang memiliki perasaan lebih dari teman," sahut Rion, langsung saja mengatakan isi pikirannya saat itu."Itu bukan urusan Bapak!" sungut Wulan menimpali pertany
Wulan berdecak, "Ck! Bukan gitu, Pak. Tapi saya juga ada urusan lain. Kenapa malah dibawa ke apartemen Bapak lagi, sih? Kan baru setelah Bapak selesai kerja, kita akan pergi ke rumah Ayah saya," tutur Wulan. Sebenarnya dia ingin sekali lepas dari Rion hari ini, karena harus menemui Owen. Sejak pagi tadi, Owen terus memberondong ponsel Wulan dengan pesan-pesan singkatnya."Kayaknya kamu memang ingin sekali lepas dari pengawasan saya, ya?" tanya Rion, menatap Wulan curiga, "mau ke mana? Kalau mau pergi, nanti biar diantar sama Hendar, setelah dia antar saya ke kantor," lanjutnya.Di kursi kemudi, Hendar tampak tersenyum. Entah apa juga yang membuat laki-laki itu merasa lucu mendengarkan obrolan Rion dan Wulan.Terang saja Wulan pun gusar atas jawaban Rion. Belum sah menikah saja, Rion sudah menunjukkan sikapnya yang suka mengatur. Sebenarnya lebih ke mengekang."Ih, apaan sih, Pak? Saya itu belum jadi
Grep.Rion memegangi kedua pergelangan tangan Wulan, menurunkannya perlahan."Rileks, Wulan," bisik Rion lagi, "kalau kamu terus bersikap kaku seperti ini, itu hanya membuat saya semakin tertantang. Atau, memang kamu memang berniat menantang saya?" imbuhnya mencetak senyum devil di wajah.Wush!Bereaksi cepat, Wulan menepiskan pegangan tangan Rion dari lengannya, lalu mendorong cukup kencang dada laki-laki itu. Kontan, Rion mundur beberapa jengkal dari posisinya, membuat jarak di antara mereka pun tercipta. Wulan merasa aman. Sesaat tadi, ia hampir saja menendang bagian bawah Rion--kalau saja ia tidak ingat sedang membutuhkan laki-laki itu."Bapak ini, ya, benar-benar udah enggak bisa diselametin lagi," sungut Wulan. Hanya bisa berprotes lewat kata-kata, saat Wulan tak bisa memberikan aksi atas ucapan Rion tadi."Apanya?" Rion menyahut, sembari bersidekap di depan dada."Pikiran Bapak!" Jawaban ketus dari Wulan, sebelum ia beralih pos
Berpikir sejenak, Wulan coba menelaah dengan baik maksud dari pernyataan Rion tentang pernikahan mereka. Sebab, bagi Wulan sendiri, pernikahan yang akan ia lakukan dengan Rion tidak ada bedanya dengan kawin kontrak yang belakangan marak terjadi. Tapi, hal itu sepertinya berlawanan dengan statement Rion."Kalau pernikahan ini benar-benar sebuah pernikahan, apa itu artinya aku juga harus hamil dan ngasih Bapak anak?" cicit Wulan. Pertanyaan itu terdengar begitu polos, dan membuat Rion digelitik oleh rasa gemas."Iya, Bi … aku udah bilang dari tadi, 'kan?" Rion mengusap lagi sisi kepala Wulan, "Opa bilang, dia ingin sekali gendong anak kita. Ya, walaupun sebenarnya aku juga belum kepikiran untuk jadi seorang Ayah, sih. Tapi … mau gimana lagi? Keadaan kadang tidak sejalan sama pikiran kita, Wulan. Pernikahan ini aku lakukan untuk keluarga. Jadi, ya … kamu emang harus melahirkan seorang penerus untuk keluarga ini," paparnya p
Sementara itu, Rion telah sampai di dalam kamarnya. Di sana, ada Wulan yang sedang duduk di tepian tempat tidur--berkutat dengan ponsel.Brugh.Rion duduk menjejeri Wulan, sampai gadis itu pun menoleh kepadanya."Selamat Wulan, kamu berhasil merebut hati orang tua saya. Mereka sangat menyukai kamu," ujar Rion dengan seulas senyum.Mendengar itu, ada sedikit kelegaan yang Wulan rasakan. Sebenernya ia juga merasa diperlakukan dengan sangat baik oleh Nastiti, Kresna, dan Tyo. Meski semua anggota keluarga memang terlihat menerima Wulan, tapi ketiga orang itulah yang paling tampak jelas menyukai dirinya. Terutama Nastiti."Syukurlah, Pak. Saya lega," sahut Wulan ringkas.Grep.Rion meraih satu tangan Wulan, "Mulai sekarang, berhenti memanggil saya Bapak. Sekalipun kita sedang berdua seperti ini, biasakan memanggil saya dengan sebutan sayang. A
Perjamuan makan malam dalam rangka menyambut calon menantu baru di keluarga Mahendra, berlangsung cukup hangat dan menyenangkan. Terutama Setyo Restu Mahendra--kakek Rion, yang sangat senang karena akhirnya si cucu bungsu akan segera menikah. Laki-laki yang usianya sudah terbilang sepuh itu, begitu bahagia menerima kehadiran Wulan di istananya.Tidak menampik, Wulan memang gadis manis dengan etika dan tata kramanya yang sangat baik. Keluarga Mahendra berasal dari keluarga ningrat Jawa, tentu sangat menjunjung tinggi norma-norma kesopanan dalam bertingkah laku. Tak heran, Wulan pun diterima dengan sangat baik oleh orang tua dan kakek Rion. Gadis itu terbilang memenuhi kriteria secara etika, untuk menjadi menantu keluarga Mahendra.Namun begitu, beda cerita lagi dengan kedua kakak ipar Rion. Verra dan Resya mungkin tersenyum di depan semua orang saat ini--untuk kedatangan Wulan. Tapi siapa yang tau, apa yang direncanakan oleh kedua wanit
Pukul 19.30 malam.Hendar memarkirkan mobil di halaman luas rumah keluarga Mahendra. Akan tetapi di jok belakang, wajah Wulan masih saja masam--karena Rion yang sewaktu di salon tadi, memaksanya untuk mengganti gaun yang sudah ia pakai. Padahal, sebenarnya Wulan suka ketika melihat penampilannya dengan gaun hitam itu. Dan kini, sebagai ganti si gaun hitam, Wulan sudah berpadu apik dengan setelan celana jeans putih dan atasan blouse biru berlengan panjang yang ia kenakan. Sudah tentu, itu juga adalah pakaian yang Rion pilihkan."Tersenyum, Wulan. Kita sudah sampai. Kamu mau menunjukkan wajah masam seperti itu di depan orang tua saya?" celetuk Rion yang tengah tersenyum--menoleh pada Wulan.Gusar, Wulan mendengus pelan. Terlihat kentara gurat keterpaksaan di wajah gadis manis itu."Bapak mau saya tersenyum, tapi tidak membiarkan saya memakai apa yang ingin saya pakai. Egois!" sungut Wulan menatap Rion
Setelah serangkaian metode yang Wulan lalui untuk tes virginitas, Rion tampak tersenyum lebar membaca hasil yang baru saja diberikan oleh Dokter. Tersirat juga rasa senang di wajah laki-laki itu, saat terbukti jika Wulan benar-benar masih perawan. Entahlah, kenapa Rion bisa sesenang itu. Barangkali karena ini pertama kalinya dia berhubungan dengan seorang gadis yang benar-benar belum pernah disentuh oleh satu pun lelaki.Sedangkan Wulan yang duduk di sebelah Rion, hanya bisa menyembunyikan wajah malunya. Ia malu sekali, karena harus melakukan serangkaian hal repot itu hanya untuk menjadi istri seorang Askarion.Mobil yang dikemudikan oleh Hendar itu terus melaju dalam kecepatan sedang. Selepas pergi dari Rumah Sakit, kini Rion akan segera membawa Wulan pulang ke istana Mahendra. Tapi sebelumnya, Rion akan mampir ke salon untuk menyulap penampilan Wulan. Tentu saja, agar gadis itu terlihat menawan di mata seluruh anggota keluarga yang akan mereka temui.