Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu.
"Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu.
Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan tak akan bisa melupakan kejadian pada malam itu--betapa erangan wanita yang tengah Rion cumbu terus berdengung di telinganya. Tentu saja itu adalah erangan, yang membuktikan tengah sehebat apa Rion dalam memberikan kepuasan pada lawan mainnya.
Wush.
Tak ayal, Wulan pun berakhir dengan membuang pandangannya dari wajah Rion. Berusaha menyingkirkan potongan-potongan adegan panas Rion, yang masih saja bermain di benaknya. Semua itu seperti Wulan yang menyaksikan ulang percintaan Rion dengan wanitanya dalam bentuk potongan video film. Memuakkan, bagi Wulan yang benar-benar tabu dengan hal semacam itu.
"Kenapa buang muka? Saya masih bicara sama kamu, Wulan. Kalau kamu mau saya bersikap sopan, kamu juga tolong hargai saya sebagai lawan bicara kamu," sambung Rion lagi mulai gusar. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan seorang gadis yang bersikap seperti tidak suka menatap dirinya. Dan tentu saja, Rion tak menyukai hal tersebut. Tadinya Rion pikir, mendekati Wulan akan menjadi hal yang gampang. Tapi rupanya, Rion kembali harus membenarkan ucapan Hendar tadi. Wulan memang bukan hal yang mudah untuk Rion handle. Rumit, atau lebih tepatnya harga dirinya yang tinggi.
Mendengar perkataan Rion, Wulan semakin merasa tak nyaman. Namun, untuk menyesali kedatangannya ke kantor laki-laki itu juga sudah percumah. Kabur? Yang ada Rion akan menyuruh anak buahnya untuk menangkap Wulan seperti hari itu di hotel. Nasib, memang. Wulan sudah sampai di jalan buntu. Tak ada pilihan lain lagi, selain meneruskan saja apa yang sudah ia pilih. Merundingkan tentang tawaran menikah dari Rion.
Pada akhirnya, Wulan pun kembali bertatap-muka dengan Rion.
"Maaf, Pak. Saya cuma merasa enggak nyaman aja di sini," celetuk Wulan pelan. Rion pun tersenyum mendengar jawaban gadis itu.
"Lalu, kamu maunya kita bicara di mana? Atau kita ke apartemen saya saja? Di sana lebih tenang dan bebas," usul Rion, masih dengan tatapannya yang lekat pada gadis di depannya. Rupanya ia juga masih penasaran untuk mendapatkan Wulan dengan cara yang biasa ia gunakan, kepada para wanitanya selama ini. Membujuk.
Dan jelas, Wulan pun tidak akan terbujuk. Terlihat ekspresi tak setuju dari sebelah alis Wulan yang terangkat naik.
"Saya enggak bilang gitu. Kita bicara di sini aja, Pak. Lagian saya juga enggak bisa lama," sahut Wulan tetap bernada dingin. Tidaklah ia sadari, bahwa semakin ia jual mahal di depan Rion--maka akan semakin ingin juga laki-laki itu mendapatkan dirinya.
"Memangnya kamu mau ke mana? Kamu pengangguran, 'kan, sekarang?" ledek Rion tersenyum miring pada Wulan.
Jengkel juga Wulan, melihat betapa mimik wajah Rion saat ini sangat mengejek dirinya yang sudah tak memiliki pekerjaan.
"Mau jual diri. Emang kenapa? Masalah buat Bapak?" Jadilah Wulan yang bersungut kesal menjawab pertanyaan Rion tadi. Kalimat sarkas Wulan secara spontan keluar begitu saja, karena ia merasa sedang direndahkan oleh Rion. Biarpun benar bahwa Wulan sekarang sedang menganggur, bukan berarti Rion bisa berkata seperti itu padanya. Sungguh menjengkelkan sekali.
"Ha-ha-ha … Wulan, Wulan." Rion tertawa sumbang, "kamu ngapain repot-repot mau jual diri di luar sana, sementara sudah ada saya yang berani bayar mahal kamu. Berapapun yang kamu minta, apapun yang kamu inginkan. Saya akan berikan," congkaknya.
Wulan mendengus gusar, sebab kalimat sombong nan angkuh yang baru saja ia dengar. Ternyata Wulan memang sedang berhadapan dengan seseorang yang sangat tinggi rasa percaya dirinya. Sampai kemudian, tiba-tiba Rion merapatkan lagi posisi duduknya dengan Wulan. Wajahnya semakin mendekati Wulan, hingga membuat gadis itu terus memundurkan punggung--menghindar. Dan pada detik berikutnya.
Brugh.
Ambruklah Wulan di atas sofa yang menjadi tempat duduknya bersama Rion.
"B-bapak … mau apa?" Tergagap Wulan, ketika kini Rion mengungkung tubuhnya. Refleks, Wulan tak sadar sudah menyilangkan kedua tangan ke depan dada--seolah ia sedang melindungi diri dari laki-laki yang ada di atasnya.
Rion memandangi wajah Wulan cukup lama. Intens, dan tak sekejap pun memalingkan matanya dari gadis itu.
"Sayang sekali, Wulan, kalau wajah secantik ini akan kamu obralkan pada laki-laki hidung belang di jalanan. Hidup kamu itu akan enak, kalau kamu setuju untuk menikah dengan saya. Katakan saja 'iya', dan saya akan jadi pengabul semua keinginan kamu," tutur Rion lagi, dalam jarak yang cukup dekat dengan wajah Wulan. Napas mereka bahkan seperti saling meyapa wajah satu sama lain. Saking intimnya posisi mereka saat itu.
Waktu menghentikan detiknya, tatkala mata Rion dan Wulan bertemu. Begitu yang terjadi hingga beberapa saat lamanya, sebelum kemudian Wulan merasakan sebuah getaran. Sayang sekali, sebab itu bukanlah getaran asmara yang menyentuh relung hatinya, melainkan ponsel di dalam saku celana yang bergetar karena mendapatkan sebuah telepon masuk."Bunyi apa itu?" lirih Rion bertanya, sambil menatap ke sekitar tubuh gadis yang masih ia kungkung.Wushhh…Dengan dorongan pelan kedua tangan Wulan di dada Rion, akhirnya gadis itu pun berhasil membebasan diri dari ancaman yang tadi nyaris membuatnya mati kutu."Bapak enggak punya HP, apa? Enggak pernah denger getaran HP kalau ada telfon masuk?" jawab Wulan, yang sedang mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Rion pun hanya tersenyum kecil, karena jawaban ketus dari Wulan yang terdengar menggemaskan.Gawat. Sejak kapan juga Rion merasa tertarik dengan gadis muda seperti Wulan? Laki-laki itu membatin, m
Cukup lama Rion bertahan dalam diam--mengamati Wulan yang masih sibuk dengan obrolannya di telepon. Tak dipungkiri, rasa penasaran Rion akan isi perbincangan Wulan dengan lawan bicaranya di telepon pun semakin bertambah.Laki-laki itu beranjak bangkit dari tempatnya duduk, menghampiri Wulan yang kini tengah berdiri membelakangi dirinya.Grep.Sama sekali tak memberi pertanda apapun, Rion langsung saja merenggut ponsel milik Wulan yang masih menempel di telinga gadis itu. Wajar saja, Wulan pun terkejut atas aksi serta-merta Rion tersebut."Apa-apaan sih, Pak?" protes Wulan, seraya berbalik badan--menghadap ke arah Rion yang sudah ada di hadapannya sekarang. Jelas sekali terlihat wajah Wulan yang tak suka, sebab ulah Rion.Rion melihat ke layar ponsel milik Wulan. Menyadari bahwa telepon dengan kontak bernama Bibi Zoya masih terhubung, langsung saja Rion mengusap tombol merah--memu
Tak sampai lama menunggu, kedatangan mobil jeep yang dikemudikan oleh Hendar, segera memboyong Rion beserta Wulan meninggalkan gedung kantor. Tak banyak juga yang bisa Wulan lakukan lagi, selain ikut saja dengan cara main sang cassanova--Rion.Selama perjalanan menuju apartemen Rion, perkataan terakhir Zoya di telepon tadi terus saja terngiang di telinga Wulan. Hanya ada satu bulan waktu yang Wulan miliki, untuk mengembalikan uang yang telah Zoya pinjam dari Juragan Juna. Belum lagi, tunggakan uang kos Wulan yang belum dibayar. Semakin menjadi paket komplit, karena kini pun ayah Wulan juga sedang dirawat di Rumah Sakit. Rasa-rasanya, kepala Wulan seperti akan meledak memikirkan semua persoalan itu. Persoalan yang hanya akan selesai dengan uang.***Mobil pun akhirnya sampai di basement, mengajak Rion dan Wulan untuk segera turun."Saya bisa jalan sendiri," ujar Wulan, menghindari satu tangan Rion--ya
"Hah? A-apa, Pak? Maksud Bapak membuktikan itu gimana?" cicit Wulan. Mendadak pikirannya digerayangi bayangan yang tidak-tidak, soal kata 'buktikan' yang diucapkan oleh Rion.Sebuah keperawanan, apakah bagi Rion sama halnya dengan mencicipi rasa sebuah masakan? Enteng sekali laki-laki itu berujar. Dia tidak mempertimbangkan Wulan, yang ternyata cukup peka dengan maksud meminta bukti yang Rion katakan. Mana mungkin juga, Wulan dengan mudah menyerahkan satu-satunya hal paling berharga dari dirinya pada laki-laki yang bahkan tidak ia kehendaki.Akan tetapi, kegelisahan Wulan segera lenyap, ketika Rion kembali memberikan jawaban atas pertanyaannya tersebut."Kamu jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Bukti yang saya maksud, bukan dengan saya tidur sama kamu. Kita akan melakukan tes virgin di Rumah Sakit. Tentu, dengan mengikuti prosedur yang ada," terang Rion.Plong…Lega sudah, begitu Wulan mendengar jawaban Rion. Ternyata semua tidak seburu
Memang sengaja Rion meninggalkan Wulan sendiri, agar gadis itu bisa bebas leluasa menuliskan keinginannya di kertas. Sambil membuatkan minuman dingin untuk Wulan, Rion pun mengirimkan pesan pada Kresna.Rion[Siapkan makan malam yang istimewa. Malam ini aku akan datang bersama calon menantu Papa]Kresna yang saat itu masih berada di kantor, seketika dibuat tertegun karena membaca isi pesan singkat dari Rion. Sedikit kaget, karena ternyata Rion sungguh akan memenuhi janjinya pada sang kakek. Tentu, hal ini akan menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang memang sudah lama menunggu Rion agar segera melepas masa lajang. Kresna lalu meneruskan pesan Rion itu kepada istrinya, agar disampaikan juga pada dua kakak laki-laki Rion.***"Apa? Rion mau nikah?"Seorang wanita tampak terkejut, setelah membaca sebuah pesan singkat di ponsel yang sedang ia pegang. Ia pun lantas mendekat
Setelah serangkaian metode yang Wulan lalui untuk tes virginitas, Rion tampak tersenyum lebar membaca hasil yang baru saja diberikan oleh Dokter. Tersirat juga rasa senang di wajah laki-laki itu, saat terbukti jika Wulan benar-benar masih perawan. Entahlah, kenapa Rion bisa sesenang itu. Barangkali karena ini pertama kalinya dia berhubungan dengan seorang gadis yang benar-benar belum pernah disentuh oleh satu pun lelaki.Sedangkan Wulan yang duduk di sebelah Rion, hanya bisa menyembunyikan wajah malunya. Ia malu sekali, karena harus melakukan serangkaian hal repot itu hanya untuk menjadi istri seorang Askarion.Mobil yang dikemudikan oleh Hendar itu terus melaju dalam kecepatan sedang. Selepas pergi dari Rumah Sakit, kini Rion akan segera membawa Wulan pulang ke istana Mahendra. Tapi sebelumnya, Rion akan mampir ke salon untuk menyulap penampilan Wulan. Tentu saja, agar gadis itu terlihat menawan di mata seluruh anggota keluarga yang akan mereka temui.
Pukul 19.30 malam.Hendar memarkirkan mobil di halaman luas rumah keluarga Mahendra. Akan tetapi di jok belakang, wajah Wulan masih saja masam--karena Rion yang sewaktu di salon tadi, memaksanya untuk mengganti gaun yang sudah ia pakai. Padahal, sebenarnya Wulan suka ketika melihat penampilannya dengan gaun hitam itu. Dan kini, sebagai ganti si gaun hitam, Wulan sudah berpadu apik dengan setelan celana jeans putih dan atasan blouse biru berlengan panjang yang ia kenakan. Sudah tentu, itu juga adalah pakaian yang Rion pilihkan."Tersenyum, Wulan. Kita sudah sampai. Kamu mau menunjukkan wajah masam seperti itu di depan orang tua saya?" celetuk Rion yang tengah tersenyum--menoleh pada Wulan.Gusar, Wulan mendengus pelan. Terlihat kentara gurat keterpaksaan di wajah gadis manis itu."Bapak mau saya tersenyum, tapi tidak membiarkan saya memakai apa yang ingin saya pakai. Egois!" sungut Wulan menatap Rion
Perjamuan makan malam dalam rangka menyambut calon menantu baru di keluarga Mahendra, berlangsung cukup hangat dan menyenangkan. Terutama Setyo Restu Mahendra--kakek Rion, yang sangat senang karena akhirnya si cucu bungsu akan segera menikah. Laki-laki yang usianya sudah terbilang sepuh itu, begitu bahagia menerima kehadiran Wulan di istananya.Tidak menampik, Wulan memang gadis manis dengan etika dan tata kramanya yang sangat baik. Keluarga Mahendra berasal dari keluarga ningrat Jawa, tentu sangat menjunjung tinggi norma-norma kesopanan dalam bertingkah laku. Tak heran, Wulan pun diterima dengan sangat baik oleh orang tua dan kakek Rion. Gadis itu terbilang memenuhi kriteria secara etika, untuk menjadi menantu keluarga Mahendra.Namun begitu, beda cerita lagi dengan kedua kakak ipar Rion. Verra dan Resya mungkin tersenyum di depan semua orang saat ini--untuk kedatangan Wulan. Tapi siapa yang tau, apa yang direncanakan oleh kedua wanit