"Loh, tadi lo bilang butuh dua orang?" Owen gusar setengah mati dengan penjaga warnet didepannya saat ini. Laki-laki bernama Daryl, yang tak lain adalah kawannya. Dia sendiri yang meminta agar Owen datang membawa satu orang lagi, tapi setelah Owen datang bersama Wulan untuk bekerja lembur, Daryl tiba-tiba saja berubah keputusan.
"Ya, sorry, Wen. Tadinya gue pikir, gue emang butuh dua orang buat bantu gue malam ini. Tapi seperti yang lo liat. Orang-orang pada pergi gitu aja. Di lantai atas juga gitu, Wen. Coba lo cek sendiri kalau enggak percaya," tutur Daryl menjelaskan situasi yang terpaksa membuatnya harus merubah keputusan.
Awalnya Daryl meminta bantuan Owen untuk ikut menjaga warnet miliknya malam ini, karena tiba-tiba ada ledakan pengunjung sejak pagi tadi. Tapi niat itu harus ia urungkan, karena secara tiba-tiba juga para pengunjung warnet itu pergi satu persatu dan tidak kembali. Aneh memang. Daryl saja sampai kesal dibuatnya. Dia sudah terlanjur membuat Owen datang membawa Wulan. Tapi ternyata situasi berubah 180 derajat.
Wulan yang masih ada di luar warnet, mulai merasa ada yang tak beres. Apalagi ketika ia melihat dari dinding kaca warnet, sepertinya obrolan Owen dan Daryl tidak menunjukkan tanda-tanda akan satu hal yang baik. Ekspresi dua laki-laki itu terkesan muram.
Owen kecewa. Ia menoleh keluar dari dinding kaca warnet, di mana Wulan masih berdiri di luar menunggunya. Kalau begini caranya, Owen jadi merasa sudah mempermainkan Wulan.
"Itu temen yang niatnya mau lo ajak lembur?" sambung Daryl ikut melarikan pandangannya ke arah Wulan berada.
Owen mengangguk lesu. Netra keabu-abuan itu tampak sayu, ketika membayangkan Wulan yang akan kecewa untuk malam ini.
Puk.
Daryl menepuk salah satu bahu Owen, "Duh, sorry banget, ya. Gue juga jadi enggak enak sama temen lo itu. Bilang ke dia, gue bener-bener minta maaf," sesalnya tulus.
Tak ada gunanya juga Owen tetap di warnet Daryl. Ia pun lalu mengajak kakinya keluar meninggalkan Daryl, untuk menghampiri Wulan.
"Ada apa, Wen? Kok muka lo kusut gitu?" tanya Wulan, mendapati wajah Owen terlihat begitu tak senang ketika keluar dari warnet.
"Lan, kita enggak jadi lembur di warnet ini. Tiba-tiba para pengunjung itu pada cabut," jawab Owen langsung memberitahu kabar buruknya untuk Wulan.
Sudah pasti Wulan kecewa. Angan-angan akan mendapatkan uang malam ini pun sirna. Padahal sejujurnya, tadi Wulan sudah sangat senang karena akhirnya akan punya uang lagi untuk membayar kos. Tapi kini, zonk. Ini dua kali lebih buruk, dari saat ia melihat saldo di ATM-nya yang kian menipis.
Tidak jauh dari posisi Wulan dan Owen masih berbincang, sebuah mobil jeep juga masih berdiam di seberang jalan, dari lokasi warnet milik Daryl berada. Mobil yang berisikan orang suruhan Rion.
Hendar selaku tokoh utama dari misi menggagalkan pekerjaan Wulan, tampak tersenyum puas. Bukan tanpa alasan para pengunjung warnet Daryl pergi satu persatu dari sana. Semua berkat ulah salah satu anak buah yang Hendar bawa. Dengan berpura-pura menjadi salah satu pengunjung, satu anak buah itu menghasut para pengunjung yang lain untuk pergi dari warnet dengan iming-iming beberapa lembar uang.
Tentu saja para pengunjung itu terhasut. Mana ada orang di dunia ini yang bisa menolak uang cuma-cuma. Rencana Hendar pun berjalan lancar, sampai membuat Wulan gagal mendapatkan uang tambahan hari ini.
"Mas, Rion, kami berhasil menggagalkan pekerjaan Wulan malam ini," lapor Hendar kepada Rion, lewat sambungan telepon.
Rion yang masih duduk di sofa menikmati segelas sampagne, tersenyum senang atas laporan dari supir sekaligus tangan kanannya tersebut.
"Bagus, Hendar. Cari tau hal apa saja yang sedang menyulitkan Wulan saat ini. Aku akan menambah kesulitan itu, yang akhirnya membuat Wulan tak punya pilihan lain, selain datang padaku," sahut Rion dengan senyuman devilnya. Pemikirannya yang sangat manipulatif segera aktif, untuk bisa mengikatkan tali emasnya di leher Wulan.
"Baik, Mas."
Tit.
Setelah mengiyakan perintah dari Rion, Hendar lalu menutup telepon.
Di sisi tempat tidur, Anes sudah kembali rapi dengan pakaiannya semula. Cinta satu malam itu sudah berakhir, dan kini tiba saatnya untuk wanita itu pergi. Tampak kentara wajah Anes yang masam, karena Rion tak mengizinkan dirinya bermalam.
"Jangan murung begitu, besok akan aku kirimkan sejumlah uang buat kamu," ujar Rion yang tengah duduk bersandar di sofa, dengan dua kaki bersilang di atas meja. Angkuh sekali.
Anes mendengus, "Kamu pikir aku ini wanita panggilan?" gerutunya seraya menyambar tas selempang di atas meja nakas. Tak mau banyak cakap lagi, langkah-langkah sepatu highheels itu mulai mengayun pergi meninggalkan apartemen Rion.
Rion hanya tersenyum tipis, menyaksikan kepergian wanita yang sudah memberikan pelayanan untuknya malam ini.
***
Setelah semalam Wulan harus pulang dengan tangan kosong dari warnet Daryl, kini dia pun dihadapkan dengan realita yang lebih pahit lagi.
Ini sudah jam satu siang, dan Wulan sama sekali belum makan. Belum lama tadi, Owen juga mengirim pesan chat jika dirinya masih harus berjaga di warnet Daryl. Padahal sebenarnya, saat mengantar Wulan pulang kemarin, Owen berjanji akan mengajak gadis itu pergi makan bersama. Tapi lagi-lagi, kemungkinan rencana itu pun juga gagal. Sampai sesiang ini, Owen belum bebas dari pekerjaannya.
Karena sudah berhenti kerja di Moonlight hotel, Wulan pun resmi jadi pengangguran sekarang.
Duduk di tengah kasur bersila kaki, Wulan meremas rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Pening rasanya memikirkan kesialan yang datang bertubi-tubi.
Jika saja ia tidak bertemu dengan Askarion.
"Arrrgghh! Dasar mesum sialan! Gara-gara dia, gue jadi pengangguran begini. Padahal, 'kan, gaji di Moonlight itu lumayan buat beliin obat Ayah." Wulan meratap, setelah sebelumnya mengumpati Rion.
Tapi, tiba-tiba saja dia jadi teringat dengan penawaran Rion hari itu.
"Kalau gue nikah sama dia, dia janji bakal kasih gue benefit sesuai yang gue minta. Apa dia serius? Apa gue terima aja tawaran itu?" gumam Wulan, mulai melepaskan rambutnya dari jambakan tangannya sendiri.
"Hah. Enggak-enggak! Apa yang gue pikirin. Enggak mungkin gue kasih virgin gue sama orang kayak dia. Najis!" Wulan melawan isi pikirannya sendiri. Meskipun sebenarnya dalam hati, sudah ada sedikit keinginan Wulan untuk menerima tawaran Rion.
Tok… Tok… Tok…
"Wulan! Kamu udah bangun? Buka pintunya!"
Seruan suara wanita di balik pintu kamar kos, membuat mata Wulan melebar. Terkejut.
Habislah, Wulan. Karena itu adalah suara ibu Selly, induk semang dari tempat kosnya tinggal saat ini.
"Mampus, gue! Itu pasti Bu Selly mau nanyain uang kos bulan kemarin," cicit Wulan dirundung kecemasan.
Jangankan untuk membayar tunggakan uang sewa kos, untuk mengisi perut hari ini saja dia kelimpungan. Ya Tuhan, lengkap sudah kesulitan Wulan sekarang.
Tidak bisa begini. Wulan belum bisa menghadapi bu Selly sekarang. Akal bulus pun melintas di benak Wulan, untuk menyelinap pergi dari kamar kosnya. Demi menghindari todongan uang bulanan dari si pemilik tempat kos.
Cepat-cepat Wulan menyambar tas ranselnya yang ada di atas meja belajar. Ia akan melompat pergi dari jendela kamarnya, yang kebetulan langsung mengarah ke area pekarangan belakang dari rumah kos tersebut. Dari pekarangan itu, Wulan akan melompati pagar untuk kabur sementara dari bu Selly.
Brugh!
Baru saja kedua kaki Wulan mendarat di tanah pekarangan belakang kamar kosnya, sepasang kaki dengan sendal selop berwarna pink sudah berdiri di depannya.
"Mau kabur ke mana, Wulan?"
Wulan yang masih berjongkok di atas tanah, perlahan menaikkan pandangannya. Dari sendal selop pink, ke daster warna senada dengan si sandal, kemudian akhirnya sampai di wajah bu Selly.Wanita berumur sekitar empat puluhan itu berkacak pinggang, dengan mimik wajah begitu terlihat tak ramah di mata Wulan. Sudah tentu akan begitu. Orang mana yang tak akan kesal, jika yang ditagih kewajibannya malah berniat ingin kabur."Bangun, Wulan," imbuh bu Selly lagi, menyuruh Wulan agar berdiri.Meringis kuda, gadis itu pun menuruti apa yang bu Selly katakan."Heee, iya, Bu," cicit Wulan sudah dalam mode pasrah, setelah kepergok langsung oleh bu Selly hendak melarikan diri dari wanita berdaster itu.Bu Selly menggeleng pelan atas kelakuan Wulan. Ini bukan kali pertama Wulan melakukan hal seperti itu. Setiap telat bayar uang kos, Wulan memang tiba-tiba jadi seperti ninja. Main lompat-lompatan, panjat pagar, kabur-kaburan, hanya demi menghindari omelan bu Selly.
Terkesiap mendengar balasan Hendar, Wulan tak sadar sudah membuat kedua netranya tampak semakin membulat.Datang pada Rion, berarti sama dengan menyerahkan diri pada laki-laki haus belaian itu. Wulan membatin dalam kebingungan. Sambil berpikir, terus saja Wulan menikmati makanannya.Dari ekspresi Wulan, Hendar sangat yakin, kali ini pun ia akan berhasil membuat gadis itu semakin kehilangan pilihan. Tidak disadari oleh Wulan, sebenarnya Hendar tersenyum--merasa bahwa mendapatkan Wulan tidak sesulit yang ia pikirkan."Pak Hendar?" lirih Wulan melirik Hendar, "menikah sama Pak Rion, apa itu artinya aku harus memberikan dia anak? Maksud aku, kayak di kawin kontrak yang di drama-drama Korea gitu, loh," lanjutnya polos.Tersenyumlah Hendar, mendengar kalimat dari Wulan tersebut. Terlepas dari karakter Wulan yang keras kepala dan sulit dijinakkan, ternyata dia tetaplah seorang gadis yang polos. 
Tok… Tok… Tok…Ketukan dari luar pintu ruangan, menarik perhatian Rion. Di antara gelisah dan gusar yang ia rasa, ia akhirnya didatangi oleh seseorang yang memang sudah ia tunggu sejak tadi.Begitu pintu terbuka, masuklah sosok Hendar ke dalam ruang kerja Rion. Senyum yang mengembang di wajah Hendar saat ini, segera membuat Rion beranjak dari tempatnya duduk."Lama sekali kamu, Hendar?" keluh Rion, setelah Hendar sampai di depan meja kerjanya. Tersirat sebuah kekhawatiran yang jelas sekali di dalam ekspresi wajah Rion. Semua karena desakan yang Kresna berikan pada laki-laki itu. Dan Hendar, merupakan tumpuan harapan Rion--agar bisa menyelamatkan diri dari ancaman yang selama ini terus menekannya. Rion sungguh berharap, Hendar kembali dengan membawa kabar baik."Maaf, Mas Rion … saya dan Mbak Wulan baru saja selesai makan siang," sahut Hendar, menjelaskan alasan keterlambat
Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu."Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu.Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan t
Waktu menghentikan detiknya, tatkala mata Rion dan Wulan bertemu. Begitu yang terjadi hingga beberapa saat lamanya, sebelum kemudian Wulan merasakan sebuah getaran. Sayang sekali, sebab itu bukanlah getaran asmara yang menyentuh relung hatinya, melainkan ponsel di dalam saku celana yang bergetar karena mendapatkan sebuah telepon masuk."Bunyi apa itu?" lirih Rion bertanya, sambil menatap ke sekitar tubuh gadis yang masih ia kungkung.Wushhh…Dengan dorongan pelan kedua tangan Wulan di dada Rion, akhirnya gadis itu pun berhasil membebasan diri dari ancaman yang tadi nyaris membuatnya mati kutu."Bapak enggak punya HP, apa? Enggak pernah denger getaran HP kalau ada telfon masuk?" jawab Wulan, yang sedang mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Rion pun hanya tersenyum kecil, karena jawaban ketus dari Wulan yang terdengar menggemaskan.Gawat. Sejak kapan juga Rion merasa tertarik dengan gadis muda seperti Wulan? Laki-laki itu membatin, m
Cukup lama Rion bertahan dalam diam--mengamati Wulan yang masih sibuk dengan obrolannya di telepon. Tak dipungkiri, rasa penasaran Rion akan isi perbincangan Wulan dengan lawan bicaranya di telepon pun semakin bertambah.Laki-laki itu beranjak bangkit dari tempatnya duduk, menghampiri Wulan yang kini tengah berdiri membelakangi dirinya.Grep.Sama sekali tak memberi pertanda apapun, Rion langsung saja merenggut ponsel milik Wulan yang masih menempel di telinga gadis itu. Wajar saja, Wulan pun terkejut atas aksi serta-merta Rion tersebut."Apa-apaan sih, Pak?" protes Wulan, seraya berbalik badan--menghadap ke arah Rion yang sudah ada di hadapannya sekarang. Jelas sekali terlihat wajah Wulan yang tak suka, sebab ulah Rion.Rion melihat ke layar ponsel milik Wulan. Menyadari bahwa telepon dengan kontak bernama Bibi Zoya masih terhubung, langsung saja Rion mengusap tombol merah--memu
Tak sampai lama menunggu, kedatangan mobil jeep yang dikemudikan oleh Hendar, segera memboyong Rion beserta Wulan meninggalkan gedung kantor. Tak banyak juga yang bisa Wulan lakukan lagi, selain ikut saja dengan cara main sang cassanova--Rion.Selama perjalanan menuju apartemen Rion, perkataan terakhir Zoya di telepon tadi terus saja terngiang di telinga Wulan. Hanya ada satu bulan waktu yang Wulan miliki, untuk mengembalikan uang yang telah Zoya pinjam dari Juragan Juna. Belum lagi, tunggakan uang kos Wulan yang belum dibayar. Semakin menjadi paket komplit, karena kini pun ayah Wulan juga sedang dirawat di Rumah Sakit. Rasa-rasanya, kepala Wulan seperti akan meledak memikirkan semua persoalan itu. Persoalan yang hanya akan selesai dengan uang.***Mobil pun akhirnya sampai di basement, mengajak Rion dan Wulan untuk segera turun."Saya bisa jalan sendiri," ujar Wulan, menghindari satu tangan Rion--ya
"Hah? A-apa, Pak? Maksud Bapak membuktikan itu gimana?" cicit Wulan. Mendadak pikirannya digerayangi bayangan yang tidak-tidak, soal kata 'buktikan' yang diucapkan oleh Rion.Sebuah keperawanan, apakah bagi Rion sama halnya dengan mencicipi rasa sebuah masakan? Enteng sekali laki-laki itu berujar. Dia tidak mempertimbangkan Wulan, yang ternyata cukup peka dengan maksud meminta bukti yang Rion katakan. Mana mungkin juga, Wulan dengan mudah menyerahkan satu-satunya hal paling berharga dari dirinya pada laki-laki yang bahkan tidak ia kehendaki.Akan tetapi, kegelisahan Wulan segera lenyap, ketika Rion kembali memberikan jawaban atas pertanyaannya tersebut."Kamu jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu. Bukti yang saya maksud, bukan dengan saya tidur sama kamu. Kita akan melakukan tes virgin di Rumah Sakit. Tentu, dengan mengikuti prosedur yang ada," terang Rion.Plong…Lega sudah, begitu Wulan mendengar jawaban Rion. Ternyata semua tidak seburu