Menangkap wajah yang baru saja memanggilnya, Wulan pun tersenyum lebar, melambaikan satu tangannya pada sosok laki-laki yang sedang datang mendekat.
"Lo di sini ternyata. Gue samperin ke kosan juga," ujar laki-laki tinggi berwajah kebule-bulean itu, setelah sampai di hadapan Wulan.
"Gue abis kirim duit buat orang rumah. Lo nyariin gue?" jawab Wulan seadanya.
Tersenyum tipis, laki-laki yang tak lain adalah sahabat Wulan itu menjawab lagi.
"Iya. Gue mau ngajakin lo kerja sampingan, mau enggak? Yaaa, lembur gitu sih sampe malem."
Alangkah girangnya Wulan mendengar ajakan kerja dari sang sahabat. Inilah yang sedang Wulan butuhkan. Mata pencaharian agar bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah. Setidaknya sampai ia bisa menemukan pekerjaan tetap yang baru.
"Mau banget," pekik Wulan langsung merangkul sang sahabat, "Oh my god, Owen. Lo itu emang selalu jadi hero gue, tau enggak?" imbuhnya begitu senang.
Owen si sahabat Wulan di kampus, ikut tersenyum melihat binar bahagia yang jelas terpancar dari wajah Wulan. Melihat senyuman gadis itu, Owen semakin tak berdaya melawan rasa indah yang sudah lama bersemayam dalam relung hatinya. Perasaan antar sahabat yang lama-lama berkembang menjadi perasaan ingin memiliki sebagai seorang kekasih.
Tak bisa dihindari. Seringnya menghabiskan waktu bersama, telah menanamkan benih-benih cinta di dalam hati Owen untuk Wulan. Dia telah jatuh hati pada sosok ayu Wulandari. Gadis cantik, ceria, dan juga cerdas, yang berhasil mengisi kekosongan hati Owen pasca ditinggal selingkuh oleh kekasihnya terdahulu.
Wulan-lah orang yang mendampingi Owen di saat-saat sulitnya move on dari sang mantan. Mungkin itulah sebabnya, Owen kemudian mulai terbawa perasaan karena sikap dan kepribadian Wulan yang sangat humble dan menyenangkan.
"Ya udah, kalau gitu mending sekarang gue antar lo ke kosan, biar lo bisa siap-siap. Oke?" tawar Owen mengacungkan satu ibu jarinya ke depan wajah Wulan.
"Asiap, bosku!" Wulan memberi hormat Owen, layaknya hormat pada sebuah upacara bendera.
Owen-pun terkekeh karena hal tersebut.
Pandai sekali Wulan menyembunyikan situasi hatinya saat itu yang sedang bersedih. Senyuman manisnya, memang tak pernah gagal menutupi segala luka yang ia pendam seorang diri dalam batin. Tak pernah ingin membiarkan orang lain tau, bagaimana keadaan di dalam hatinya yang sejati.
Bagi Wulan, orang lain hanya boleh melihatnya tersenyum dan tertawa. Tak boleh ada yang tau, bahwa di balik semua itu ada begitu banyak luka dan kesedihan yang harus Wulan rasakan. Dari situlah ketegaran diri Wulan terbentuk. Namun begitu, meski dari luar Wulan terlihat sekuat batu karang, namun dari dalam Wulan sangatlah rapuh. Hanya keinginan untuk melihat ayahnya sembuh dari sakit, yang membuat Wulan bisa bertahan hingga kini.
****
"Jangan biarkan dia sampai mendapatkan pekerjaan. Gagalkan semua usaha yang dia lakukan, yang akhirnya akan membuatnya menyerah dan datang padaku." Sebuah perintah yang Rion berikan kepada anak buahnya lewat obrolan telepon.
Rion yang masih bertelanjang dada, kini tengah berdiri di sisi ranjang tidurnya. Mendengarkan laporan dari orang yang ia utus untuk terus mengawasi Wulan.
"Baik, Mas Rion. Tapi bagaimana dengan teman laki-lakinya, harus kami apakan?" sahut si anak buah Rion di ujung sana.
Rion memutar kedua bola mata, memikirkan jawaban untuk anak buahnya.
"Emm … jauhkan saja dia dari Wulan. Jangan biarkan dia membuat Wulan mendapatkan uang ataupun pekerjaan. Tapi ingat, jangan sampai Wulan menyadari bahwa ini semua adalah ulahku," titah Rion tegas.
Blep!
Sebuah pelukan yang datang dari arah belakang, membuat Rion reflek menutup sambungan telepon.
"Kamu lagi ngomong sama siapa, Yon?" Suara wanita itu begitu lembut memanja. Dan Rion pun segera bereaksi mengusap kedua tangan yang sudah melingkar di perutnya.
"Kamu udah bangun?" jawab Rion tanpa menjawab pertanyaan lebih dulu. Sedetik kemudian, ia berbalik badan menghadap pada sosok wanita cantik di depannya kini.
Wanita yang tubuhnya hanya dililit oleh selembar selimut itu, mulai tersenyum manis pada Rion. Rambut panjangnya tampak kusut, setelah beberapa saat lalu melakukan gulat di atas ranjang bersama Rion. Dialah Anes, salah satu dari sekian banyak wanita koleksi Rion. Casanova tampan, dambaan para wanita.
Siapa yang tidak akan bertekuk-lutut di hadapan seorang Askarion. Memiliki wajah tampan menawan, dan bentuk tubuh proporsional, Rion memang tidak akan pernah bisa ditolak oleh wanita manapun. Terkecuali Wulan tentunya.
Muda dan penuh kharisma, sosok Rion telah berhasil melumpuhkan banyak wanita cantik dari kalangan manapun. Bahkan ada beberapa selebriti yang sempat merasakan hangatnya permainan ranjang seorang Rion. Tapi sayangnya, tak satupun dari wanita-wanita itu yang mampu menggetarkan hati Rion. Ia hanya menganggap para wanita sebagai hiburan dikala jenuh dengan rutinitasnya sehari-hari. Tak ada hati, apalagi cinta. Just for have fun.
Akan tetapi, meski gelar Rion sebagai seorang casanova sudah terkenal di mana-mana, seolah itu tak berpengaruh pada citra Rion. Dia tetaplah laki-laki yang digandrungi oleh wanita-wanita cantik, yang rela melakukan apa saja agar bisa masuk ke ranjangnya. Dialah si Casanova impian.
"Hmmm, boleh aku menginap malam ini?" sambung wanita itu lagi seraya memainkan satu jari telunjuknya pada dada bidang Rion. Kerlingan mata si wanita jelas menunjukkan bahwa dia masih ingin menghabiskan malam yang panjang bersama Rion. Kontras dengan Rion, yang tak pernah membiarkan mainannya untuk menginap.
Rion menggeleng pelan, sambil menurunkan jari lentik sang wanita dari dadanya.
"No, Honey. Kamu tau aturanku, 'kan?" timpal Rion diikuti mengusap lembut sebelah pipi si wanita dengan satu ibu jarinya, "Kamu hanya bisa memiliki aku untuk satu malam saja," imbuhnya mengusap dagu lancip milik sang wanita.
Ya. One night lover seperti Rion memang tak pernah melanggar aturan yang ia buat sendiri. One shoot, one night, one chance. Tiga hal yang bisa ia berikan untuk setiap wanita yang datang menawarkan kehangatan. Namun untuk menginap, atau tidur bersama hingga hari berganti, adalah hal yang tak pernah Rion berikan untuk wanita manapun.
Apalagi dia hanya Anes, salah satu Sekretaris dari relasi bisnis Rion yang sejak dulu tergila-gila pada sosok Casanova itu. Tidak akan bisa Anes menarik Rion lebih jauh ke dalam surga dunia yang ia tawarkan. Sebab ada batasan yang selalu dijaga dengan ketat oleh Rion, tentang hubungan kilatnya dengan para wanita.
"Kenapa, Rion?" cicit Anes dengan tatapannya yang sayu, "Lalu, apa setelah malam ini … aku udah enggak bisa ngelakuin ini lagi sama kamu?" tanyanya pelan.
Santai, Rion menurunkan tangannya dari wajah Anes.
"Em, tergantung." Rion menggantung jawabannya. Berjalan melewati Anes, mendekat pada lemari baju untuk mengambil kaos.
Dalam kebingungan, Anes menatap Rion yang kini sudah memakai pakaian lagi, menutup kesan seksi yang beberapa saat lalu masih bisa Anes nikmati dari pahatan sempurna tubuh lelaki itu.
"Maksud kamu?" Belum puas dengan jawaban Rion yang terkesan tidak jelas, Anes kembali melanjutkan pertanyaan.
Dari tempatnya berdiri, Rion tersenyum tipis pada Anes.
"Iya. Tergantung apakah besok aku akan membutuhkan kamu lagi, atau … aku bosan." Terdengar enteng dan lugas ucapan Rion. Menganggap sepele setiap wanita yang datang penuh puja terhadap dirinya.
Anes tak menjawab. Dia diam tanpa kata. Jawaban Rion itu sudah sangat menjelaskan, bahwa laki-laki itu memang tidak akan pernah bisa terikat dengan wanita manapun. Dan sayangnya, Anes termasuk ke dalam salah satu wanita yang tak berdaya menolak pesona seorang Askarion.
"Loh, tadi lo bilang butuh dua orang?" Owen gusar setengah mati dengan penjaga warnet didepannya saat ini. Laki-laki bernama Daryl, yang tak lain adalah kawannya. Dia sendiri yang meminta agar Owen datang membawa satu orang lagi, tapi setelah Owen datang bersama Wulan untuk bekerja lembur, Daryl tiba-tiba saja berubah keputusan."Ya, sorry, Wen. Tadinya gue pikir, gue emang butuh dua orang buat bantu gue malam ini. Tapi seperti yang lo liat. Orang-orang pada pergi gitu aja. Di lantai atas juga gitu, Wen. Coba lo cek sendiri kalau enggak percaya," tutur Daryl menjelaskan situasi yang terpaksa membuatnya harus merubah keputusan.Awalnya Daryl meminta bantuan Owen untuk ikut menjaga warnet miliknya malam ini, karena tiba-tiba ada ledakan pengunjung sejak pagi tadi. Tapi niat itu harus ia urungkan, karena secara tiba-tiba juga para pengunjung warnet itu pergi satu persatu dan tidak kembali. Aneh memang. Daryl saja sampai kesal dibuatnya. Dia sud
Wulan yang masih berjongkok di atas tanah, perlahan menaikkan pandangannya. Dari sendal selop pink, ke daster warna senada dengan si sandal, kemudian akhirnya sampai di wajah bu Selly.Wanita berumur sekitar empat puluhan itu berkacak pinggang, dengan mimik wajah begitu terlihat tak ramah di mata Wulan. Sudah tentu akan begitu. Orang mana yang tak akan kesal, jika yang ditagih kewajibannya malah berniat ingin kabur."Bangun, Wulan," imbuh bu Selly lagi, menyuruh Wulan agar berdiri.Meringis kuda, gadis itu pun menuruti apa yang bu Selly katakan."Heee, iya, Bu," cicit Wulan sudah dalam mode pasrah, setelah kepergok langsung oleh bu Selly hendak melarikan diri dari wanita berdaster itu.Bu Selly menggeleng pelan atas kelakuan Wulan. Ini bukan kali pertama Wulan melakukan hal seperti itu. Setiap telat bayar uang kos, Wulan memang tiba-tiba jadi seperti ninja. Main lompat-lompatan, panjat pagar, kabur-kaburan, hanya demi menghindari omelan bu Selly.
Terkesiap mendengar balasan Hendar, Wulan tak sadar sudah membuat kedua netranya tampak semakin membulat.Datang pada Rion, berarti sama dengan menyerahkan diri pada laki-laki haus belaian itu. Wulan membatin dalam kebingungan. Sambil berpikir, terus saja Wulan menikmati makanannya.Dari ekspresi Wulan, Hendar sangat yakin, kali ini pun ia akan berhasil membuat gadis itu semakin kehilangan pilihan. Tidak disadari oleh Wulan, sebenarnya Hendar tersenyum--merasa bahwa mendapatkan Wulan tidak sesulit yang ia pikirkan."Pak Hendar?" lirih Wulan melirik Hendar, "menikah sama Pak Rion, apa itu artinya aku harus memberikan dia anak? Maksud aku, kayak di kawin kontrak yang di drama-drama Korea gitu, loh," lanjutnya polos.Tersenyumlah Hendar, mendengar kalimat dari Wulan tersebut. Terlepas dari karakter Wulan yang keras kepala dan sulit dijinakkan, ternyata dia tetaplah seorang gadis yang polos. 
Tok… Tok… Tok…Ketukan dari luar pintu ruangan, menarik perhatian Rion. Di antara gelisah dan gusar yang ia rasa, ia akhirnya didatangi oleh seseorang yang memang sudah ia tunggu sejak tadi.Begitu pintu terbuka, masuklah sosok Hendar ke dalam ruang kerja Rion. Senyum yang mengembang di wajah Hendar saat ini, segera membuat Rion beranjak dari tempatnya duduk."Lama sekali kamu, Hendar?" keluh Rion, setelah Hendar sampai di depan meja kerjanya. Tersirat sebuah kekhawatiran yang jelas sekali di dalam ekspresi wajah Rion. Semua karena desakan yang Kresna berikan pada laki-laki itu. Dan Hendar, merupakan tumpuan harapan Rion--agar bisa menyelamatkan diri dari ancaman yang selama ini terus menekannya. Rion sungguh berharap, Hendar kembali dengan membawa kabar baik."Maaf, Mas Rion … saya dan Mbak Wulan baru saja selesai makan siang," sahut Hendar, menjelaskan alasan keterlambat
Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu."Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu.Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan t
Waktu menghentikan detiknya, tatkala mata Rion dan Wulan bertemu. Begitu yang terjadi hingga beberapa saat lamanya, sebelum kemudian Wulan merasakan sebuah getaran. Sayang sekali, sebab itu bukanlah getaran asmara yang menyentuh relung hatinya, melainkan ponsel di dalam saku celana yang bergetar karena mendapatkan sebuah telepon masuk."Bunyi apa itu?" lirih Rion bertanya, sambil menatap ke sekitar tubuh gadis yang masih ia kungkung.Wushhh…Dengan dorongan pelan kedua tangan Wulan di dada Rion, akhirnya gadis itu pun berhasil membebasan diri dari ancaman yang tadi nyaris membuatnya mati kutu."Bapak enggak punya HP, apa? Enggak pernah denger getaran HP kalau ada telfon masuk?" jawab Wulan, yang sedang mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Rion pun hanya tersenyum kecil, karena jawaban ketus dari Wulan yang terdengar menggemaskan.Gawat. Sejak kapan juga Rion merasa tertarik dengan gadis muda seperti Wulan? Laki-laki itu membatin, m
Cukup lama Rion bertahan dalam diam--mengamati Wulan yang masih sibuk dengan obrolannya di telepon. Tak dipungkiri, rasa penasaran Rion akan isi perbincangan Wulan dengan lawan bicaranya di telepon pun semakin bertambah.Laki-laki itu beranjak bangkit dari tempatnya duduk, menghampiri Wulan yang kini tengah berdiri membelakangi dirinya.Grep.Sama sekali tak memberi pertanda apapun, Rion langsung saja merenggut ponsel milik Wulan yang masih menempel di telinga gadis itu. Wajar saja, Wulan pun terkejut atas aksi serta-merta Rion tersebut."Apa-apaan sih, Pak?" protes Wulan, seraya berbalik badan--menghadap ke arah Rion yang sudah ada di hadapannya sekarang. Jelas sekali terlihat wajah Wulan yang tak suka, sebab ulah Rion.Rion melihat ke layar ponsel milik Wulan. Menyadari bahwa telepon dengan kontak bernama Bibi Zoya masih terhubung, langsung saja Rion mengusap tombol merah--memu
Tak sampai lama menunggu, kedatangan mobil jeep yang dikemudikan oleh Hendar, segera memboyong Rion beserta Wulan meninggalkan gedung kantor. Tak banyak juga yang bisa Wulan lakukan lagi, selain ikut saja dengan cara main sang cassanova--Rion.Selama perjalanan menuju apartemen Rion, perkataan terakhir Zoya di telepon tadi terus saja terngiang di telinga Wulan. Hanya ada satu bulan waktu yang Wulan miliki, untuk mengembalikan uang yang telah Zoya pinjam dari Juragan Juna. Belum lagi, tunggakan uang kos Wulan yang belum dibayar. Semakin menjadi paket komplit, karena kini pun ayah Wulan juga sedang dirawat di Rumah Sakit. Rasa-rasanya, kepala Wulan seperti akan meledak memikirkan semua persoalan itu. Persoalan yang hanya akan selesai dengan uang.***Mobil pun akhirnya sampai di basement, mengajak Rion dan Wulan untuk segera turun."Saya bisa jalan sendiri," ujar Wulan, menghindari satu tangan Rion--ya