Kesal lagi Wulan, kembali mendengar ajakan menikah dari Rion. Laki-laki itu gigih juga ternyata.
"Dengan segala hormat, Bapak Askarion. Saya enggak mau nikah sama Bapak. Dan tolong, jangan seenaknya menyelidiki latar belakang seseorang seperti itu. Saya tau Bapak banyak uang, tapi tidak semua bisa Bapak dapatkan dengan uang itu. Termasuk saya," tegas Wulan menolak lagi tawaran Rion untuk yang kedua kali.
Gadis yang menarik. Jujur saja, semakin Wulan menolak, justru Rion semakin tertantang untuk mendapatkannya. Tapi ketertarikan itu bukanlah rasa antara lelaki dan wanita, melainkan karena Rion berpikir bahwa gadis muda seperti Wulan tentu masih polos, dan akan mudah untuk dikendalikan.
"Wah, ternyata kamu sombong juga ya, untuk ukuran cewek dari kalangan kelas bawah?" ejek Rion sembari bangkit dari duduknya. Iapun mulai mendekat pada Wulan.
Terhina sekali Wulan mendengar kalimat Rion. Apakah orang kaya memang selalu seperti itu? Merendahkan kaum lemah.
"Kamu enggak usah ge-er dulu. Saya minta kamu nikah sama saya, itu bukan karena saya suka sama kamu. Tapi karena saya butuh kamu, kamu juga butuh saya. Sebut saja pernikahan ini sebagai bentuk mutualisme antara kita berdua," sambung Rion setelah ia berdiri sejajar dengan Wulan.
Wulan melirik sinis lelaki di depannya. Rasa ingin sekali Wulan menampar wajah flamboyan itu, jika saja Wulan tidak ingat bahwa saat ini dirinya sedang berada di kandang musuh. Bisa gawat, kalau dia sampai salah ambil tindakan.
"Saya enggak sesusah itu, Pak, sampai harus menukar harga diri saya dengan uang Bapak," ketus Wulan tetap teguh pada pendirian. Dia yang memang menjunjung tinggi kehormatannya sebagai seorang perempuan, tidak akan dengan mudah terhasut oleh bujuk rayu seorang playboy seperti Rion.
Rion terkekeh, "Hahah, kamu ini sepertinya udah salah persepsi tentang tawaran ini. Kamu jangan berpikir bahwa setelah kita menikah, saya akan memperlakukan kamu layaknya seorang Istri pada umumnya. Kamu tenang aja, saya enggak akan menyentuh kamu … sampai kamu sendiri yang memintanya."
Amazing. Sungguh hebat sekali teknik silat lidah yang Rion miliki, sampai Wulan hampir terpengaruh karenanya.
"Bisa-bisanya Bapak berpikir saya akan meminta hal itu dari Bapak? Asal Bapak tau, saya ini punya pacar, Pak. Dan saya cuma mau melakukan itu sama dia. Jadi please ya, Pak … jangan ngadi-ngadi," sungut Wulan lagi.
Rion bereaksi mencebikkan bibirnya, tanda ia meragukan pengakuan Wulan.
"Masa sih? Tapi dari informasi yang saya dapat, bukannya kamu itu jomblo. Bukan, bukan … maksud saya, kamu single. Dari SMA kamu belum pernah berpacaran, 'kan?"
Ya Tuhan, Wulan bisa merasakan kulit wajahnya yang memanas karena ejekan dari Rion tersebut. Jauh sekali Rion mengorek tentang kehidupan pribadi seorang Wulan, bahkan sampai menerobos ke ranah yang cukup sensitif.
Memang benar, sedari SMA Wulan tidak pernah berpacaran dengan seseorang. Bukan berarti itu karena tak ada yang tertarik padanya. Melainkan karena Wulan yang hanya fokus dengan pendidikan, hingga abai pada beberapa lelaki yang datang mendekat hendak menawarkan hati. Itulah alasan status single Wulan yang baru saja Rion paparkan.
"Sok tau banget jadi manusia," gerutu Wulan, memalingkan wajahnya dari pandangan Rion.
"Saya dengar ya, kamu ngomong apa," sahut Rion yang memang mendengar umpatan Wulan dengan cukup jelas.
Baiklah, ini saatnya Wulan untuk mengeluarkan jurus terakhirnya.
"Pak, meskipun saya single, bukan berarti saya akan mengobral diri saya untuk sembarang laki-laki. Silahkan Bapak cari saja wanita lain yang mau Bapak ajak nikah. Jangan teror saya kayakgini. Bapak bukan tipe saya, jadi tolong jangan paksa saya lagi." Itulah jawaban terakhir dari Wulan, sebelum ia pergi meninggalkan apartemen Rion.
Rion hanya bisa menggeleng pelan. Tak mengira, bahwa ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan mendapatkan seorang Wulan. Gadis itu sungguh ber-pendirian teguh sekaligus keras kepala. Alhasil, Rion harus memutar otak lagi, mencari cara yang lebih jitu agar Wulan mau menikah dengannya.
****
Meninggalkan apartemen Rion, Wulan langsung saja pulang ke rumah kosnya. Hari ini sungguh hari yang cukup melelahkan. Dan Rion sukses memperburuk hari Wulan dengan segala tingkah polahnya.
Brugh...
Wulan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, coba menyamankan diri agar bisa beristirahat setelah melalui jam-jam yang cukup menguras energi.
Baru beberapa detik Wulan memejamkan mata, ponselnya yang masih ada di dalam tas berbunyi nyaring. Telepon yang masuk, tak pelak menggagalkan niat Wulan untuk tidur siang.
Gadis berambut pendek sebahu itu bangun. Duduk di tepian tempat tidur, merogoh benda yang masih meraung-raung dari dalam tas selempang miliknya.
Nama bibi Yoza menari-nari di balik layar ponsel pintar berwarna hitam itu.
"Iya, Bi," cetus Wulan langsung memberi sapaan pada wanita di seberang telepon.
"Wulan, Ayah kamu nih, anfal lagi. Kapan kamu mau transfer uang untuk biaya berobat? Janji-janji mulu kamu tuh!" Terdengar suara sumbang dari sang bibi. Wanita itu memang tak pernah lembut, apalagi bersikap baik pada Wulan. Selalu saja ketus dan sewot.
Atas kabar yang baru saja ia dengar, Wulan pun segera dilanda kecemasan. Ia mengkhawatirkan kondisi sang ayah yang belakangan memang seringkali kambuh sakit jantungnya.
"Ayah kambuh lagi, Bi? I-iya, ya udah besok aku pulang," sahut Wulan dengan suara bergetar karena gelisah. Takut terjadi hal buruk pada ayahnya.
"Hiiih! Kamu ngapain pulang? Udah kamu kerja aja yang bener. Yang penting itu duit buat berobat Ayah kamu. Ngerti, enggak?"
Astaga. Sedih sekali Wulan mendengar jawaban dari Yoza. Sekian tahun berlalu, sang bibi masih tetap saja seperti itu. Memperlakukan Wulan seperti bukan keponakannya sendiri.
"Tapi, Bi … aku pengen lihat keadaan Ayah. Aku pulang aja ya," rengek Wulan memelas.
"Apa sih kamu itu. Udah deh, enggak usah manja. Ingat ya Lan, Ayah kamu begini itu gara-gara Ibu kamu. Jadi kalau kamu merasa sebagai anak yang bertanggung-jawab, cari nafkah yang bener biar bisa nyembuhin Ayah kamu."
Tercekat Wulan, tak kuasa membalas lagi perkataan pedas dari bibinya. Jika sudah membahas tentang sang ibu, Wulan memang seketika jadi lemah. Kepergian ibunya yang tanpa pamit bersama laki-laki lain, adalah alasan utama kenapa Yoza begitu membenci Wulan.
"Ya udah … cepetan kamu ke ATM, kirim duitnya sekarang juga. Bibi mau bawa Ayah kamu ke Dokter. Enggak pakai lama, Lan!" desak Yoza memaksa.
Meski terasa menyakitkan, Wulan tak punya opsi lain lagi selain mengiyakan perintah dari Yoza.
"Iya, Bi. Aku … ke ATM sekarang," sahut Wulan lemas.
Tut.
Telepon diakhiri begitu saja oleh Yoza.
Menitik dua butir air mata di pipi Wulan, tatkala rasa rindu pada sang ayah datang mengusik. Di saat ayahnya sakit, Wulan tak bisa selalu mendampingi. Semua karena Wulan yang berada jauh di kota untuk kuliah sekaligus bekerja. Sementara sang ayah diurus oleh bibinya di pinggiran desa.
"Maafkan Wulan, Ayah. Kalau saja Wulan bisa mencegah Ibu biar enggak pergi ninggalin kita … mungkin aja Ayah enggak sakit kayak sekarang. Mungkin juga Bibi enggak akan benci sama aku," rintih Wulan pilu. Hanya kesendirian yang selalu datang menertawai keadaan gadis kesepian itu.
Tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, telah membuat Wulan mau tak mau harus hidup mandiri sedari masih duduk di bangku SD. Dan hingga kini, Wulan masih berharap ibunya akan kembali. Mengobati segala luka yang telah tercipta semenjak kepergiannya.
Puas mencurahkan kesedihan, Wulan lantas membasuh wajah sembabnya di kamar mandi. Setelah itu, cepat-cepat Wulan pergi ke ATM untuk men-transfer uang pada bibinya.
"Ya Tuhan, saldo tinggal seratus ribu. Terus gimana gue bayar kosan minggu depan?" gumam Wulan menatap layar pada mesin ATM, setelah ia berhasil mengirim uang sesuai perintah sang bibi.
Dia dalam kesulitan sekarang. Jangankan untuk membayar uang kos, untuk makan saja Wulan sudah mulai kelimpungan. Apalagi dia sudah terlanjur mengundurkan diri dari Moonlight hotel. Tak mungkin ia kembali lagi ke sana.
"Wulan!"
Suara yang menyerukan namanya, membuat Wulan menoleh.
Menangkap wajah yang baru saja memanggilnya, Wulan pun tersenyum lebar, melambaikan satu tangannya pada sosok laki-laki yang sedang datang mendekat. "Lo di sini ternyata. Gue samperin ke kosan juga," ujar laki-laki tinggi berwajah kebule-bulean itu, setelah sampai di hadapan Wulan. "Gue abis kirim duit buat orang rumah. Lo nyariin gue?" jawab Wulan seadanya. Tersenyum tipis, laki-laki yang tak lain adalah sahabat Wulan itu menjawab lagi. "Iya. Gue mau ngajakin lo kerja sampingan, mau enggak? Yaaa, lembur gitu sih sampe malem." Alangkah girangnya Wulan mendengar ajakan kerja dari sang sahabat. Inilah yang sedang Wulan butuhkan. Mata pencaharian agar bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah. Setidaknya sampai ia bisa menemukan pekerjaan tetap yang baru. "Mau banget," pekik Wulan langsung merangkul sang sahabat, "Oh my
"Loh, tadi lo bilang butuh dua orang?" Owen gusar setengah mati dengan penjaga warnet didepannya saat ini. Laki-laki bernama Daryl, yang tak lain adalah kawannya. Dia sendiri yang meminta agar Owen datang membawa satu orang lagi, tapi setelah Owen datang bersama Wulan untuk bekerja lembur, Daryl tiba-tiba saja berubah keputusan."Ya, sorry, Wen. Tadinya gue pikir, gue emang butuh dua orang buat bantu gue malam ini. Tapi seperti yang lo liat. Orang-orang pada pergi gitu aja. Di lantai atas juga gitu, Wen. Coba lo cek sendiri kalau enggak percaya," tutur Daryl menjelaskan situasi yang terpaksa membuatnya harus merubah keputusan.Awalnya Daryl meminta bantuan Owen untuk ikut menjaga warnet miliknya malam ini, karena tiba-tiba ada ledakan pengunjung sejak pagi tadi. Tapi niat itu harus ia urungkan, karena secara tiba-tiba juga para pengunjung warnet itu pergi satu persatu dan tidak kembali. Aneh memang. Daryl saja sampai kesal dibuatnya. Dia sud
Wulan yang masih berjongkok di atas tanah, perlahan menaikkan pandangannya. Dari sendal selop pink, ke daster warna senada dengan si sandal, kemudian akhirnya sampai di wajah bu Selly.Wanita berumur sekitar empat puluhan itu berkacak pinggang, dengan mimik wajah begitu terlihat tak ramah di mata Wulan. Sudah tentu akan begitu. Orang mana yang tak akan kesal, jika yang ditagih kewajibannya malah berniat ingin kabur."Bangun, Wulan," imbuh bu Selly lagi, menyuruh Wulan agar berdiri.Meringis kuda, gadis itu pun menuruti apa yang bu Selly katakan."Heee, iya, Bu," cicit Wulan sudah dalam mode pasrah, setelah kepergok langsung oleh bu Selly hendak melarikan diri dari wanita berdaster itu.Bu Selly menggeleng pelan atas kelakuan Wulan. Ini bukan kali pertama Wulan melakukan hal seperti itu. Setiap telat bayar uang kos, Wulan memang tiba-tiba jadi seperti ninja. Main lompat-lompatan, panjat pagar, kabur-kaburan, hanya demi menghindari omelan bu Selly.
Terkesiap mendengar balasan Hendar, Wulan tak sadar sudah membuat kedua netranya tampak semakin membulat.Datang pada Rion, berarti sama dengan menyerahkan diri pada laki-laki haus belaian itu. Wulan membatin dalam kebingungan. Sambil berpikir, terus saja Wulan menikmati makanannya.Dari ekspresi Wulan, Hendar sangat yakin, kali ini pun ia akan berhasil membuat gadis itu semakin kehilangan pilihan. Tidak disadari oleh Wulan, sebenarnya Hendar tersenyum--merasa bahwa mendapatkan Wulan tidak sesulit yang ia pikirkan."Pak Hendar?" lirih Wulan melirik Hendar, "menikah sama Pak Rion, apa itu artinya aku harus memberikan dia anak? Maksud aku, kayak di kawin kontrak yang di drama-drama Korea gitu, loh," lanjutnya polos.Tersenyumlah Hendar, mendengar kalimat dari Wulan tersebut. Terlepas dari karakter Wulan yang keras kepala dan sulit dijinakkan, ternyata dia tetaplah seorang gadis yang polos. 
Tok… Tok… Tok…Ketukan dari luar pintu ruangan, menarik perhatian Rion. Di antara gelisah dan gusar yang ia rasa, ia akhirnya didatangi oleh seseorang yang memang sudah ia tunggu sejak tadi.Begitu pintu terbuka, masuklah sosok Hendar ke dalam ruang kerja Rion. Senyum yang mengembang di wajah Hendar saat ini, segera membuat Rion beranjak dari tempatnya duduk."Lama sekali kamu, Hendar?" keluh Rion, setelah Hendar sampai di depan meja kerjanya. Tersirat sebuah kekhawatiran yang jelas sekali di dalam ekspresi wajah Rion. Semua karena desakan yang Kresna berikan pada laki-laki itu. Dan Hendar, merupakan tumpuan harapan Rion--agar bisa menyelamatkan diri dari ancaman yang selama ini terus menekannya. Rion sungguh berharap, Hendar kembali dengan membawa kabar baik."Maaf, Mas Rion … saya dan Mbak Wulan baru saja selesai makan siang," sahut Hendar, menjelaskan alasan keterlambat
Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu."Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu.Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan t
Waktu menghentikan detiknya, tatkala mata Rion dan Wulan bertemu. Begitu yang terjadi hingga beberapa saat lamanya, sebelum kemudian Wulan merasakan sebuah getaran. Sayang sekali, sebab itu bukanlah getaran asmara yang menyentuh relung hatinya, melainkan ponsel di dalam saku celana yang bergetar karena mendapatkan sebuah telepon masuk."Bunyi apa itu?" lirih Rion bertanya, sambil menatap ke sekitar tubuh gadis yang masih ia kungkung.Wushhh…Dengan dorongan pelan kedua tangan Wulan di dada Rion, akhirnya gadis itu pun berhasil membebasan diri dari ancaman yang tadi nyaris membuatnya mati kutu."Bapak enggak punya HP, apa? Enggak pernah denger getaran HP kalau ada telfon masuk?" jawab Wulan, yang sedang mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Rion pun hanya tersenyum kecil, karena jawaban ketus dari Wulan yang terdengar menggemaskan.Gawat. Sejak kapan juga Rion merasa tertarik dengan gadis muda seperti Wulan? Laki-laki itu membatin, m
Cukup lama Rion bertahan dalam diam--mengamati Wulan yang masih sibuk dengan obrolannya di telepon. Tak dipungkiri, rasa penasaran Rion akan isi perbincangan Wulan dengan lawan bicaranya di telepon pun semakin bertambah.Laki-laki itu beranjak bangkit dari tempatnya duduk, menghampiri Wulan yang kini tengah berdiri membelakangi dirinya.Grep.Sama sekali tak memberi pertanda apapun, Rion langsung saja merenggut ponsel milik Wulan yang masih menempel di telinga gadis itu. Wajar saja, Wulan pun terkejut atas aksi serta-merta Rion tersebut."Apa-apaan sih, Pak?" protes Wulan, seraya berbalik badan--menghadap ke arah Rion yang sudah ada di hadapannya sekarang. Jelas sekali terlihat wajah Wulan yang tak suka, sebab ulah Rion.Rion melihat ke layar ponsel milik Wulan. Menyadari bahwa telepon dengan kontak bernama Bibi Zoya masih terhubung, langsung saja Rion mengusap tombol merah--memu