"Butuh waktu tiga tahun buat bisa nemuin lo," Danisha meneguk minuman cola-nya sambil menatap Ann dalam-dalam."Cara jitu buat sembunyi dan nggak bisa ditemuin adalah tempat di sekitarnya, nggak perlu jauh," jawab Ann tersenyum cantik. "Lo makin cantik, Sha," pujinya.Setelah pembicaraan tanpa ujung malam itu dengan Ben, pagi harinya, Ann pergi. Ia meninggalkan rumah besar Ben dengan sedikit barang-barang, waktu subuh. Ben tengah tertidur lelap di sebelahnya karena lelah, Ann menangis sesenggukan karena harus pergi tanpa berpamitan. Namun, setelah tiga tahun ada di sekitar Ben dan mengamati suaminya dari kejauhan, Ann telah mampu berdamai dengan dirinya sekarang."Lo bahkan nggak make sepeserpun uang yang kami kirim ke rekening lo, cara menghilangkan jejak yang sangat cerdas, Ane-san," kata Danisha kagum. "Apa setelah tiga tahun, gue masih berstatus Ane-san?" tanya Ann. "Ben belom dapet calon istri lagi? Dia nggak bawa calon Ane-san yang baru bua
"Itulah kenapa Benji dan Ben nggak bisa ngelacak lo, karena lo disembunyiin rapat sama Bas," ucap Danisha membuat kesimpulan. Ia berdiri dari kursi pelanggan toserba seraya mengusap pundak kakak iparnya, "gimanapun, gue tetep nunggu lo balik ke tengah-tengah kami Ann, jadi bagian dari kami apapun kondisi lo. Ben butuh lo dan gue yakin lo juga nggak bisa ngehapus rasa cinta lo ke dia dengan gampang. Kalian masih suami-istri, itulah kekuatan terbesar keluarga Takahashi," tutupnya lantas memeluk erat tubuh kurus Ann sebelum pergi meninggalkan toserba. Tiga tahun Ann berjuang memendam rasa rindunya, melihat Ben dari jauh. Tahu bahwa ketidakhadirannya di sisi Ben membuat Ben cukup hancur, Ann melihat semuanya. Kini, Ben sudah lebih baik, sudah bisa menjalankan semua bisnis perkumpulan jauh lebih baik dari sebelumnya. Yang belum bisa Ben lakukan adalah melupakan Ann, istrinya. Benar, Ben memang tidak pernah berniat untuk melupakan. Setiap detik dalam hidupnya
"Udah hampir sebulan lo cuma ngamatin dan liat dia dari jauh doang," kritik Danisha yang kini bertugas menemani Ben mengintai Ann yang tengah bekerja. "Lo takut apaan sih Ben? Takut diusir? Ketua perkumpulan masa nyalinya begitu, cemen amat," ledeknya.Ben tetap diam tanpa tanggapan, ia isap rokoknya dalam-dalam seolah tak mendengar apa yang Danisha lontarkan. Tatapannya lurus ke arah toserba di mana Ann bekerja, istri tercintanya itu masih belum datang, sepertinya Ann mendapat shift siang hingga tengah malam. "Hubungan kalian nggak bakalan baik kalau lo jalan di tempat gini. Menurut gue, temuin dulu, masalah reaksinya itu urusan belakangan. Gila ya, keluarga mafia tapi disuruhnya ngurus masalah percintaan ketua klan," dengus Danisha, ia berdiri spontan, menyambar kunci mobil di meja dan berjalan kesal ke arah mobil. "Temuin dulu istri lo!" pesannya."Ke mana?" tanya Ben akhirnya bersuara. "Pulang! Jangan berani pulang kalau lo belom ketemu Ann!" ancam Danisha. "Awas aja lo!""Gue d
"Silakan Kak, tambah apa lagi? Nggak sekalian pulsa atau donutnya Kak? Donutnya produksi hari ini K—" tak selesai Ann berucap, suaranya mengambang, matanya berkaca-kaca seketika saat sorot itu bertemu dengan sorot lain di seberang yang penuh keteduhan tapi begitu dingin. "Enggak," jawab Ben lirih, suaranya bergetar hebat. "Nggak pulsa, nggak usah dikasih kantong kresek, dan nggak beli donut juga, Ane-san," lanjutnya.Ann tercenung sesaat, bibirnya bergerak-gerak tanpa suara, menahan kekagetan yang luar biasa. Sesekali Ann susah-payah menelan ludahnya, berusaha menyadarkan diri bahwa mungkin saja ini hanya mimpi. "Pake debet bisa? Aku nggak bawa banyak uang cash," ucap Ben lagi membuat Ann segera menguasai diri. "Ah, bisa," jawab Ann tergagap. "Silakan," katanya yang langsung hafal debet dari bank mana yang selalu suaminya gunakan. "PIN-nya masih sama, aku nggak perlu bantu mencet tombolnya," ujar Ben. Ann mengangguk pelan, i
Seulas senyum tersungging di wajah lelah Ben saat Ann keluar mendatanginya dan membawakannya satu cup mie instan serta sebotol air mineral. Sudah hampir jam 9 malam dan Ben memang masih betah bertahan menunggu Ann menyelesaikan pekerjaannya. "Nggak laper apa seharian cuma makan asep rokok sama kopi doang?" gumam Ann seraya meletakkan mie instan dan minuman yang dibawanya ke depan Ben. "Seenggaknya buat ganjel perut, jangan sampe kamu pingsan di sini dan aku jadi repot," desisnya. "Makasih," ucap Ben tulus. "Ditraktir?" tanyanya tersenyum lebih tampan. "Gratis, kalau udah selesai makan kamu bisa pergi, Mas. Jangan nakutin pembeliku dong!" usir Ann ketus. "Aku nggak akan pergi, mau kamu usir sekuat apapun, aku bakalan nungguin kamu selesai kerja dan kita bicara!" tegas Ben. "Jangan berusaha terlalu keras buat ngusir aku karena aku nggak akan pergi sebelum kita ngobrol, jangan ngelakuin hal yang sia-sia." "Apa yang perlu dibicarain? Kita udah selesai Mas!" geram Ann muak. "Aku ud
Tepat dini hari, Ann selesai menutup toserba. Ben setia menungguinya sambil menyesap rokok yang entah sudah habis berapa batang hari ini. Harus Ann akui, Ben cukup gigih dan susah ditolak, ia sendiri bingung bagaimana harus bersikap pada sang suami sekarang. "Naik apa pulangnya?" tanya Ben mendekat. "Jalan kaki," jawab Ann sekenanya, ia melangkah lebih dahulu. Ben mengejar, mengimbangi langkah tergesa sang istri, "Yang nganter tadi siang nggak sepaket sama jemput?" tanyanya berani. "Kamu mata-matain aku Mas?" dengus Ann seketika menghentikan langkahnya. "Enggak," Ben menggeleng cepat. "Kebetulan aja liat," jawabnya jujur. Ann mendengus kasar, ia kembali berjalan tergesa. Suasana malam sudah cukup sepi untuk pejalan kaki sepertinya, tapi Ann sudah terbiasa. "Kamu mending pulang deh! Ngapain sih nungguin, ngikutin pula!" sungut Ann. "Aku khawatir," balas Ben, "I still love you, still want you!""U
Tak ingin Ann menghilang lagi seperti tiga tahun lalu, pagi buta, Ben kembali menunggu di depan rumah kontrakan Ann, membawa mobilnya. Setelah percakapan emosional membicarakan tentang anak semalam, Ben membiarkan Ann masuk ke dalam rumah untuk beristirahat sementara ia pulang hanya untuk mengambil mobil dan kembali menunggui sang istri hingga pagi menjelang. Entah keberuntungan tengah memihaknya atau memang ia ditakdirkan, Ben bertemu dengan lelaki yang mengantar Ann kemarin. Dengan berani, Ben keluar dari dalam mobilnya, ia cegat lelaki itu tepat di depan motornya. "Sorry, siapa ya?" tanya lelaki dengan tato di lehernya itu. Dahinya mengerut, penasaran melihat Ben yang tampak tak asing tapi ia lupa siapa sosok berkharima yang tengah menegurnya ini. "Jemput Ann?" tanya Ben tanpa basa-basi. "Kenalannya Ann?" tebak laki-laki itu lagi. Ben diam, tak sempat menjawab, Ann keluar dari pintu rumahnya. Ekspresi Ann jelas kaget, ia tak menyangka Ben akan ada di depan rumahnya, masih den
Ann juga tak paham mengapa setelah 3 tahun lamanya, ia dengan mudah menerima kehadiran sang suami. Benar bahwa ia sudah memaafkan, tapi menurutnya untuk kembali akrab selayaknya suami-istri, ini masih terlalu cepat. Mereka diikat oleh status, sementara anak yang seharusnya menjadi kebanggaan telah direnggut secara kejam dan tanpa perasaan oleh musuh yang menjadi masa lalu Ben. Ann ingin keras pada dirinya sendiri, tapi melihat Ben ada di depan matanya, rasa rindu itu mendesak tanpa ampun. Perasaan ingin menubruk dan memeluk Ben begitu mendesak kalbunya, memaksa Ann bertahan sekuat yang ia bisa."Kamu punya dapur tapi makan selalu jajan?" tanya Ben keluar dari dalam kamar mandi hanya berbalut handuk dengan dada telanjang seksi, seperti kebiasaannya. "Kamu tau aku nggak bisa masak," jawab Ann. "Dan tolong, kamu di rumahku, kalau kamu keluar ke mobil ambil baju dengan gaya kayak gini, aku bisa diusir langsung sama yang punya kontrakan!" kritiknya gemas. "To