"Maaf malah jadi ngerepotin ya Om," ujar Ann tak enak hati.
"Nggak ngerepotin," sahut Ben. "Mereka yang mau kita nikah. Udah seharusnya mereka yang urus semuanya," tukasnya."Jangan mau ditidurin Ben lagi sebelum lo resmi jadi istrinya, Ann!" celetuk Danisha."Oh, iya," Ann manggut-manggut polos, ia lirik Ben sekejap."Shut your fucking mouth!" gemas Ben galak. "Nikmatin aja sarapan lo," ajaknya demi mengalihkan topik."Nggak usah ditutupin Ann, kami maklum kok," kekeh Danisha puas sekali. "Ditato aja lehernya biar kalau vampirnya ngegigit, nggak keliatan bekasnya," sarannya absurd."Bisa diem nggak lo Sha?" gumam Ben penuh ancaman."Udah, udah. Sarapan dulu!" lerai Taka sengaja mengambilkan nasi untuk sang calon menantu. "Cukup nasinya, Ann?" tanyanya."Cukup Om, makasih," balas Ann segera meraih mangkok yang Taka sodorkan. "Mas, kamu mau aku ambilin?" tawarnya pada Ben kemudian."Aku ambil send"Joanna." Sang pemilik nama hanya terdiam angkuh saat perempuan di depannya menyebut panggilan itu dengan wajah sinis. Ann tak akan gentar meski ia diancam sendirian, bukankah ia memang harus memiliki mental seperti ini mulai sekarang? "Eriska," desis Ann santai. "Lo udah tau soal gue ternyata," ucap Eriska tertawa kecut, "perasaan, lo nggak ada takut-takutnya. Ngerasa udah pasti jadi istrinya Ben?" cecarnya tak sabaran. Ann menyeringai, "Ben cinta sama gue, itu udah cukup membungkam lo kan, Nona Eriska yang terhormat?" tukasnya sombong. "Jangan gampang bikin kesimpulan sendiri, gue kenal Ben itu kayak apa!" sergah Eriska kesal. Dipancing seperti itu saja sudah membuatnya merasa dikalahkan. "Lo nggak tau apa yang bisa gue lakuin buat bikin Ben nendang lo dari hidupnya. Hati-hati kalau bicara!" ancamnya. Bukannya gentar, Ann justru menyilangkan kedua kakinya angkuh, "Harusnya lo yang hati-ha
Tak ada yang terjadi setelahnya. Diikuti oleh dua orang anak buahnya yang tadi sempat menahan Ann, Eriska berlalu melewati sang mantan pacar. Keduanya hanya saling tatap sebentar, Ben tetap kaku di ambang pintu tanpa melakukan sesuatu untuk menahan Eriska pergi dan memberi pelajaran padanya. Sekarang, yang tersisa hanya Ann dan Ben di dalam ruangan. Berjarak sekitar 4 meter jauhnya, mereka saling tatap dalam diam. Beberapa kali Ann terlihat menelan ludahnya, tapi enggan juga untuk sekadar menyapa atau menjelaskan yang terjadi sebenarnya. Jika boleh jujur, ia sedikit sakit hati saat Ben hanya membiarkan Eriska pergi begitu saja setelah kepergok berusaha membunuhnya di depan mata. "Besok kita nikah, nggak bisa kah kamu diem di rumah atau seenggaknya minta orang buat ngawal kamu kalau pengin keluar?" tegur Ben akhirnya buka suara. Ia menghela napas panjang, berkacak pinggang. "Aku ngurus jadwal setelah kita nikah di agensiku, perusahaan yang masih ada di
Air mata Ann menitik seiring dengan terucapnya ikrar janji setia Ben kepada Tuhan dengan menyebut nama Joanna Diajeng Arumndalu begitu fasih dan lancar. Kini, tersemat nama Wisanggeni di belakang nama Ann, nyonya rumah besar yang sah. Perasaan Ann makin campur aduk bahagia dan haru ketika kecupan lembut Ben mendarat di keningnya. Tak banyak tamu yang datang, tapi seluruh tetua yang pernah Ann temui di pertemuan keluarga besar nampak memberi waktu untuk menyaksikan pernikahan sakral itu. Tidak ada keluarga Ann yang dihadirkan, mengingat betapa mencekamnya latar belakang keluarga Ben yang sudah pasti akan mengagetkan para Budhe dan Pakdhe dari Semarang. "Selamat datang di keluarga Takahashi, Nyonya Bennedicth!" sambut Danisha memeluk tubuh Ann erat. "Kendaliin Ben ya, gue yakin lo bisa," bisiknya iseng. "Jangan diajarin jelek-jelek!" sebut Ben seolah tahu apa yang diperbuat adik cantiknya. "Mau bulan madu ke Jepang?" tawarnya pada Ann. "Hah?" Ann justru tergagap. "Bulan madu?" "S
Ann ikut mempererat pelukannya di tubuh Ben, menghantarkan rasa, pasrah pada apa yang akan Ben lakukan pada hidupnya. Mereka sudah cukup tangguh sekarang, pondasi cinta sudah mulai ditanam. Seandainya terjadi sesuatu yang menggoyahkan hubungan, Ann tahu Ben pasti tidak akan tinggal diam. "Mumpung sepi," bisik Ben tak sabar memagut bibir Ann bernafsu. Sebagai pasangan yang baru saja resmi menikah, Ann mungkin menginginkan perayaan yang mewah dan megah. Namun, mengingat situasi Ben dan posisinya saat ini, Ann harus merasa cukup dengan apa yang sudah Ben persiapkan. Sebagai bentuk ketulusan yang harus ia tunjukkan pada sang suami, Ann seperti biasa balas merangkul leher Ben. Tak disangka, Ben justru membopong tubuh tinggi seksinya dan membawanya masuk ke dalam kamar. "Dihias?" gumam Ann cukup kaget saat melihat seisi kamar Ben yang dipenuhi harum bunga dan dihiasi taburan bunga-bunga cantik yang segar dan asli. "Danisha," desis Ben tersenyum gema
"Danisha sialan!" desis Ben di telinga Ann, sontak membuat sang istri berjenggit heran. Kini, Tuan dan Nyonya Bennedicth memang sedang menjadi pusat perhatian. Semua orang tampak mengagumi betapa cantik dan indahnya manusia di sebelah lelaki yang baru saja menerima tongkat estafet kekuasaan dari para tetua itu. Ann sengaja didandani sedikit gahar oleh Danisha, dibuat sangat ciamik dan anggun dalam waktu bersamaan. "Kenapa?" Ann balas berbisik. "Dia nggak janji bikin kamu secantik ini, Ann," ucap Ben gombal. "Aku merinding denger kamu ngegombal begini, Mas," sahut Ann bergidik. "Kalau kalimat itu keluar dari bibirku, berarti itu emang pujian, bukan gombalan. Aku nggak suka ngegombal, buang-buang kata. Serius, aku lagi nggak bercanda," ujar Ben beralasan. "Itu artinya, kamu emang luar biasa malam ini. Nggak akan ada yang berani ngeraguin posisimu sebagai ane-san yang baru," tandasnya. Senyum terkembang di wajah Ann, ia senggol lengan suaminya genit. Meski makan malam sudah h
"Kita pergi dari sini," ajak Ben berbisik di telinga Ann. Ia mengitarkan pandangan, melihat wajah-wajah para tamu yang datang."Hah? Emang udah selesai acaranya? Boleh kabur duluan?" bisik Ann balik, bingung. "Biarin aja, kita udah selesai di sini," balas Ben segera berdiri. Ia beri salam dengan membungkukkan badan, Ann mengikutinya kikuk, bingung."Pengantin baru," kekeh Taka gemas, tatapannya mengiringi langkah Ben dan Ann yang keluar dari ruangan besar tempat ritual penyambutan pemimpin baru itu digelar. "Nggak pa-pa kita pergi sebelom acara selesai, Mas?" tanya Ann sambil mengimbangi langkah sang suami. "Nggak pa-pa," jawab Ben. Ia sengaja berhenti, menggamit jemari Ann dan menggenggamnya erat. "Siapa yang berani ngelarang maunya ketua," katanya sombong. "Aku istri ketua," ujar Ann cengengesan. "Ke Jepang yuk!" celetuknya spontan. Langkah Ben terhenti lagi, "Serius? Aku kalau bulan madunya ke sana pasti kena tam
Aomori, Jepang. Ann nampak kikuk saat mendapat sambutan tak biasa begitu tiba di salah satu tempat yang dipersiapkan bagi bulan madunya bersama Ben. Benar kata sang suami, jika di Jepang, mereka bahkan akan diikuti hingga ke depan pintu kamar dan dijaga ketat keselamatannya oleh anggota perkumpulan. Mengingat posisi Ben yang cukup penting dan vital, semua keperluan dan kepentingan Ben selama satu minggu ke depan akan disediakan oleh anak buahnya. Itulah yang membuat Arino tidak diikutsertakan dan mendampingi Ben selama acara bulan madu berlangsung. "Mereka nggak bakalan jagain pintu kita 24 jam kan Mas?" tanya Ann seraya menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas kasur empuk harumnya. "Ya 24 jam mereka di situ. Paling gantian sama yang laen," jawab Ben enteng. "Serius?" mata Ann membulat. "Terus?" ia meminta penjelasan yang lebih detail pada sang suami. "Ya nggak gimana-gimana. Mereka di luar ini, nggak akan asal masuk ke dalem, Ane-s
"Orang-orang kayak kami udah nggak terlalu ditakuti sekarang, apalagi kami udah berbaur," cerita Ben saat Ann takjub melihat penampilan para anak buah Ben yang sangat stylist. Mereka baru selesai bertemu dengan orang yang Ben maksud. "Tergerus jaman tapi kemampuan kalian maen pedang masih nggak bisa diremehin kan?" gumam Ann menatap kagum pada wajah tampan suaminya. "Itu keahlian wajib, terutama di klan kita. Orang yang baru aja kita temuin tadi, dia dari klan yang beda tapi kami saling kerjasama," ungkap Ben. "Itu tadi sih cuma bisa dianggep papasan doang Mas, bukan ketemu dan ngobrol." "Ya kayak gitu cara kita komunikasi. Biar nggak nimbulin kecurigaan dan orang-orang di sekitar nggak sadar transaksi apa yang lagi berlangsung." "Ya, ya. Aku tau bisnis suamiku dan makanku ya dari situ," kata Ann manggut-manggut. "Sekarang mandi air panas?" tanyanya antusias. "Iya, kita ke lokasinya sekarang," ujar Ben seraya mengusap kepala Ann, geregetan. Perjalanan menuju tempat pe
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama