Ann ikut mempererat pelukannya di tubuh Ben, menghantarkan rasa, pasrah pada apa yang akan Ben lakukan pada hidupnya. Mereka sudah cukup tangguh sekarang, pondasi cinta sudah mulai ditanam. Seandainya terjadi sesuatu yang menggoyahkan hubungan, Ann tahu Ben pasti tidak akan tinggal diam. "Mumpung sepi," bisik Ben tak sabar memagut bibir Ann bernafsu. Sebagai pasangan yang baru saja resmi menikah, Ann mungkin menginginkan perayaan yang mewah dan megah. Namun, mengingat situasi Ben dan posisinya saat ini, Ann harus merasa cukup dengan apa yang sudah Ben persiapkan. Sebagai bentuk ketulusan yang harus ia tunjukkan pada sang suami, Ann seperti biasa balas merangkul leher Ben. Tak disangka, Ben justru membopong tubuh tinggi seksinya dan membawanya masuk ke dalam kamar. "Dihias?" gumam Ann cukup kaget saat melihat seisi kamar Ben yang dipenuhi harum bunga dan dihiasi taburan bunga-bunga cantik yang segar dan asli. "Danisha," desis Ben tersenyum gema
"Danisha sialan!" desis Ben di telinga Ann, sontak membuat sang istri berjenggit heran. Kini, Tuan dan Nyonya Bennedicth memang sedang menjadi pusat perhatian. Semua orang tampak mengagumi betapa cantik dan indahnya manusia di sebelah lelaki yang baru saja menerima tongkat estafet kekuasaan dari para tetua itu. Ann sengaja didandani sedikit gahar oleh Danisha, dibuat sangat ciamik dan anggun dalam waktu bersamaan. "Kenapa?" Ann balas berbisik. "Dia nggak janji bikin kamu secantik ini, Ann," ucap Ben gombal. "Aku merinding denger kamu ngegombal begini, Mas," sahut Ann bergidik. "Kalau kalimat itu keluar dari bibirku, berarti itu emang pujian, bukan gombalan. Aku nggak suka ngegombal, buang-buang kata. Serius, aku lagi nggak bercanda," ujar Ben beralasan. "Itu artinya, kamu emang luar biasa malam ini. Nggak akan ada yang berani ngeraguin posisimu sebagai ane-san yang baru," tandasnya. Senyum terkembang di wajah Ann, ia senggol lengan suaminya genit. Meski makan malam sudah h
"Kita pergi dari sini," ajak Ben berbisik di telinga Ann. Ia mengitarkan pandangan, melihat wajah-wajah para tamu yang datang."Hah? Emang udah selesai acaranya? Boleh kabur duluan?" bisik Ann balik, bingung. "Biarin aja, kita udah selesai di sini," balas Ben segera berdiri. Ia beri salam dengan membungkukkan badan, Ann mengikutinya kikuk, bingung."Pengantin baru," kekeh Taka gemas, tatapannya mengiringi langkah Ben dan Ann yang keluar dari ruangan besar tempat ritual penyambutan pemimpin baru itu digelar. "Nggak pa-pa kita pergi sebelom acara selesai, Mas?" tanya Ann sambil mengimbangi langkah sang suami. "Nggak pa-pa," jawab Ben. Ia sengaja berhenti, menggamit jemari Ann dan menggenggamnya erat. "Siapa yang berani ngelarang maunya ketua," katanya sombong. "Aku istri ketua," ujar Ann cengengesan. "Ke Jepang yuk!" celetuknya spontan. Langkah Ben terhenti lagi, "Serius? Aku kalau bulan madunya ke sana pasti kena tam
Aomori, Jepang. Ann nampak kikuk saat mendapat sambutan tak biasa begitu tiba di salah satu tempat yang dipersiapkan bagi bulan madunya bersama Ben. Benar kata sang suami, jika di Jepang, mereka bahkan akan diikuti hingga ke depan pintu kamar dan dijaga ketat keselamatannya oleh anggota perkumpulan. Mengingat posisi Ben yang cukup penting dan vital, semua keperluan dan kepentingan Ben selama satu minggu ke depan akan disediakan oleh anak buahnya. Itulah yang membuat Arino tidak diikutsertakan dan mendampingi Ben selama acara bulan madu berlangsung. "Mereka nggak bakalan jagain pintu kita 24 jam kan Mas?" tanya Ann seraya menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas kasur empuk harumnya. "Ya 24 jam mereka di situ. Paling gantian sama yang laen," jawab Ben enteng. "Serius?" mata Ann membulat. "Terus?" ia meminta penjelasan yang lebih detail pada sang suami. "Ya nggak gimana-gimana. Mereka di luar ini, nggak akan asal masuk ke dalem, Ane-s
"Orang-orang kayak kami udah nggak terlalu ditakuti sekarang, apalagi kami udah berbaur," cerita Ben saat Ann takjub melihat penampilan para anak buah Ben yang sangat stylist. Mereka baru selesai bertemu dengan orang yang Ben maksud. "Tergerus jaman tapi kemampuan kalian maen pedang masih nggak bisa diremehin kan?" gumam Ann menatap kagum pada wajah tampan suaminya. "Itu keahlian wajib, terutama di klan kita. Orang yang baru aja kita temuin tadi, dia dari klan yang beda tapi kami saling kerjasama," ungkap Ben. "Itu tadi sih cuma bisa dianggep papasan doang Mas, bukan ketemu dan ngobrol." "Ya kayak gitu cara kita komunikasi. Biar nggak nimbulin kecurigaan dan orang-orang di sekitar nggak sadar transaksi apa yang lagi berlangsung." "Ya, ya. Aku tau bisnis suamiku dan makanku ya dari situ," kata Ann manggut-manggut. "Sekarang mandi air panas?" tanyanya antusias. "Iya, kita ke lokasinya sekarang," ujar Ben seraya mengusap kepala Ann, geregetan. Perjalanan menuju tempat pe
Ann melongo melihat beberapa berkas di depannya yang baru saja Ben tunjukkan. Semua berkas itu berisi harta kekayaan yang Ben limpahkan atas nama istrinya, hadiah pernikahan. Belum lagi beberapa aset lain dari milik klan yang nantinya juga akan dimiliki Ann karena statusnya sebagai istri Ben. "Apa ini nggak berlebihan Mas? Belum juga dua minggu aku resmi jadi istri kamu," ucap Ann. "Kaya mendadak aku nih," desisnya. "Ini hak kamu, Ann," ucap Ben serius. "Di luar kompensasi dari perjanjian seumur hidup kita di awal, ini baru setengahnya. Nanti, kamu bakalan dapet benefit juga dari Papa, ada jatah menantu yang emang sengaja Papa siapin buat para menantunya," jelasnya. "Jadi emang se-istimewa ini jadi istri seorang Big Ben? Harta aja kalau kunikmati sendiri nggak bakalan abis seumur hidup," gumam Ann takjub. "Sejauh ini, kamu menantu yang paling Papa harapkan. Istrinya Benji nggak jelas juntrungannya, aku juga nggak mau tau soal rumah tangga mereka. Sedangkan Bastian, kamu tau se
"Keburu tua akunya," ucap Ann reflek. "Kalau kamu tua aku apa? Yang penting siap dulu, aku nggak mau dia terancam, itu yang jelas!" tegas Ben bersikeras. Ann kalah. Ia tahu, Ben bisa saja bersikap otoriter di beberapa keputusan dan soal keturunan ini, Ann tahu ia tak bisa membantah. Bagaimanapun, Ben memiliki kendali penuh atas dirinya. Pun dengan keinginannya yang sebenarnya berharap untuk bisa cepat hamil. Bukankah menyenangkan jika ada malaikat kecil di tengah-tengah mereka? "Iya Mas," ucap Ann pada akhirnya, mengalah. Ben yang menyadari ada nada aneh dalam suara istrinya langsung mendekat. Ia hadapi Ann dan ia usap pundaknya lembut. "Aku nggak akan ngebiarin kamu ada dalam bahaya, jadi jangan pernah mikir kalau kamu sendirian di dunia!" tegas Ben begitu manis. Ann mengangguk pelan, ia tersenyum simpul. 'Aku nggak khawatir soal itu, Mas. Cuma ... aku pengin punya anak, dari kamu!'
Ann bergegas turun dari kamarnya menyambut sang suami begitu ia melihat mobil Ben memasuki area garasi. Semenjak kepulangan mereka dari Jepang kemarin lusa, Ann memang sengaja diminta Ben untuk menunggu kabar di rumah. Praktis Ben tidak pulang sejak pergi berpamitan mengurus masalah berita yang menyebar tentang keduanya. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan dan telepon sebelum akhirnya Ben pulang ke rumahnya hari ini. "Mas!" tanpa basa-basi, Ann menubruk tubuh Ben dan memeluknya erat. Betapa rindu dan rasa khawatir membaur menjadi satu di dadanya. "Kangen ya?" canda Ben masih sempat-sempatnya. "Aku khawatir," jawab Ann melepas pelukannya, ia iringi sang suami masuk ke dalam rumah sambil melambai ke arah Arino yang berbelok masuk ke arah kandang para hewan. "Khawatir kenapa? Aku nggak ketemu Eriska, Ann," jelas Ben. "Aku juga nggak nuduh kamu begitu Mas." "Terus khawatir karena apa?" tany